Thursday, September 29, 2005 

Percaya website = dideportasi

Saya melihat kalender Mei 2003, aha, minggu depan ada tanggal merah 3 hari dalam 1 minggu - lumayan dengan modal 2 hari cuti bisa dapat 9 hari liburan! Saya pun berencana plesir ke luar negeri bersama ibu saya dan seorang teman berhubung kami bertiga sama-sama impulsif.

Dari hasil nonton ‘Wild on E’ membuat kami tertarik pergi ke Cyprus, sebuah pulau kecil di Eropa dekat dengan Italia. Kami pun sibuk mencari informasi via internet. Sedap, bisa masuk tanpa visa. Lagipula saking kecilnya itu negara sampai tidak ada kedutaan besarnya di Indonesia.

Kami pun terbang naik Emirates, Jakarta - Singapore - Dubai - Larnaca. Sampai di Dubai, kami langsung check-in di konter untuk penerbangan selanjutnya ke Larnaca, ibu kota Cyprus.


Sampai di depan petugas counter, kami ditanya soal visa. Dengan muka bego kami menjawab, “
Do we need visa? We were told that we don’t need visa to get in Cyprus.

No, Ma’am. You need visa to go to Cyprus”, kata si petugas. Waduh, mampus!

No, we don’t. Look at these websites, even the Cyprus Tourist Office said we don’t need visa”, sambil kami memberikan hasil print dari beberapa website.

Website doesn’t guarantee you can get in, but we believe on our system which says you can’t”, jawabnya lagi.

Oh tidak!
Setelah bersitegang sana-sini dan akhirnya merayu-rayu namun apa daya tidak berhasil, kami disuruh duduk di pojokan... sampai semua orang naik pesawat dan kami ditinggal!

Rupanya ada 4 orang lain yang bernasib sama dengan kami. Ibu dan anak asal South Africa, dan sepasang suami istri asal Sri Lanka. Kami pun berbincang-bincang. Si Sri Lanka mengatakan bahwa dia seorang
businessman dan sudah 3 kali bolak-balik Cyprus tanpa visa. Si South Africa mengatakan bahwa Cyprus itu hanya pulau kecil tempat turis dan bisa dapat visa on arrival. Sial banget kan?

Alhasil kami semua digeret ke sebuah ruangan, dikerubutin orang-orang berseragam, diinterogasi ini itu, lamaaa banget. Kami bertiga hanya menunduk sambil dituding-tuding, padahal kami berusaha setengah mati menahan tawa saking begonya kejadian ini. Akhirnya diputuskan bahwa kami semua harus segera dipulangkan ke negara kami masing-masing! Waduh!


Saya pun maju dan berbisik memelas, “
Sir, we’re on holiday. We can’t go back to work anyway since we already took our annual leave. Where can we spend holiday to any country on the way back to Jakarta which does not require visa?”. Si petugas pun mengetik-ngetik sesuatu di komputernya, lalu berkata, “Sri Lanka?” Tanpa pikir panjang, saya tersenyum dan merayu lagi, “OK, Sir. Please take us there first and back to Jakarta like a week later. Could you please make it? Please?”. Si petugas lalu ‘melempar’ kami ke lantai 2 di kantor Emirates bagian re-routing tickets.

Sementara diproses, kami disuruh menunggu di airport. Wah saya kenyang dengan
window shopping terlama seumur hidup saya. Perut pun sudah kembung karena nongkrong dari satu kedai kopi satu ke kedai kopi lainnya. Saya pun hapal setiap sudut airport, di mana saya bisa tidur di tempat yang sepi, di mana saya bisa akses internet, dan toilet mana yang paling bersih.

Bila Tom Hanks akhirnya berpacaran dengan Catherine Zeta-Jones dalam film ‘Terminal’, saya jadi percaya bahwa film itu true story. Karena harus bolak-balik mengurus tiket, saya akhirnya berkenalan dengan petugasnya. Cowok guanteng, tinggi, berkaca mata, yang sudah saya incar sejak kami ‘dilempar’ ke kantor itu. Sebelas jam kemudian... good news, rayuan saya berhasil.

Keesokan harinya kami dipulangkan ke Indonesia dengan tiket Dubai – Colombo – Singapore – Jakarta. Artinya, kami dapat berjalan-jalan di Dubai dulu (visa UAE bisa didapat dengan membeli paket hotel yang tersedia di
counter airport). Kedua, kami diperbolehkan pulang ke Jakarta seminggu kemudian setelah sampai di Colombo (jadi kami bisa traveling dulu keliling Sri Lanka, bahkan bisa extend ke Maldives - tempat yang selalu saya impikan pergi ke sana). Ketiga, saya dapat cowok ganteng (yang sebulan kemudian menyusul saya ke Jakarta)!

Catatan:
Meskipun terlambat, akhirnya saya tahu bahwa untuk pergi ke Cyprus, pemegang paspor Indonesia dapat apply visa di Kedutaan Besar Inggris karena Cyprus masih berstatus negara jajahannya. Tapi sampai saat ini saya tidak tertarik tuh ke sana, hehe!


Tuesday, September 27, 2005 

Don’t Touch the (Women) Dancer!

Catatan: 17 tahun ke atas!

Mari kita ke
Strip Club – acara hiburan malam melihat pertunjukan orang bugil menari – just for fun. Bisa jadi Anda malah merasa kasihan daripada enjoy the show. Perlu diketahui, strip club itu terbagi dua jenis, strip club cowok berarti penarinya adalah cewek, begitu juga sebaliknya strip club cewek penarinya adalah cowok.

Pengalaman pertama saya ke strip club sebenarnya tidak direncanakan. Tahun 1997 saat saya training di kota Atlanta, teman-teman dari headquarter mengajak saya ke sana. Risih juga saya diajak sekelompok cowok-cowok untuk menonton cewek-cewek bugil. Tapi penasaran.

Kami ke Gold Club yang merupakan strip club paling sukses di East Coast Amerika. Benar saja, saya satu-satunya cewek di antara seluruh tamu. Ih, jangan-jangan saya disangka lesbian. Di strip club cowok, tamu tidak boleh sama sekali menyentuh para penari. Sampai di dindingnya pun terdapat banyak signage "Don’t touch the dancer!". Bahkan DJ-nya bisa memperingatkan langsung lewat pengeras suara dengan menyebutkan nomer meja bila ada tamu yang mencoba-coba ‘ngelaba’. Seperti saat tamu menyelipkan uang tip ke tali yang dilingkarkan di paha penari tapi jari-jarinya ‘nyolek’ bagian lain. Ironisnya penari cewek benar-benar dilindungi hukum anti sexual harrasment, meski profesi mereka adalah stripper.

Di Gold Club, stok penarinya sangat variatif dalam hal warna kulit dan ukuran tubuh. Tamu juga bisa memanggil salah satu penari untuk menari secara private di depan kita dengan biaya ekstra. Bos saya pun iseng ‘ngerjain’ salah seorang teman. Uh, ‘tu penari dengan ‘mupeng’-nya meliuk-liukan tubuhnya di depan teman saya, mendekatkan buah dadanya, menggetar-getarkan, bahkan nungging close-up di depan muka! Teman saya yang rasis lalu berkomentar, “Dasar orang item, sampe dalem-dalemnya pun uitem banget!”.

FYI, tahun 2001 klub ini ditutup karena skandal seks terbesar yang terjadi dalam sejarah olah raga profesional Amerika. Saa itu, bintang NBA Patrick Ewing dan pemain baseball Atlanta Braves Andruw Jones ketahuan menerima oral sex dari penari. Pemilik klubnya pun dituntut denda 5 juta dolar dan 3-5 tahun penjara. Nah, siapa yang salah dong?

Bagaimana dengan strip club khusus cewek? Tahun 2001 saya ke La Bare, di Dallas, Texas. Cover charge-nya cuman $5, tempatnya super besar seperti diskotik. Surprisingly di malam weekday isinya lumayan penuh dengan wanita pekerja. Di depan club terdapat main stage tempat pertunjukan stripper utama. Di berbagai tempat ada stage-stage kecil. Masing-masing terdapat 2 - 3 cowok bertubuh oh-my-goodness-bagus-banget berjoget dengan hanya mengenakan G-String.

Karena ini pengalaman pertama bagi kami semua maka kami memilih duduk dekat main stage. Pertunjukan dimulai dengan satu per satu cowo menari di main stage dengan sedikit drama. ada drama koboy, kinky, romantis, dsb. Intinya, mereka menari eksotis sembari mencopot bajunya satu satu sampai tinggal ‘tutupan’ penis.

Tidak seperti strip club cowok, di sini para tamu wanita boleh maju ke depan, memegang-megang tubuh penari (sambil mengkhayal tentunya), memberikan tip, dan mendapat tanda terima kasih berupa ciuman. Tentu saja saya maju! Hiii... bodinya memang slurph banget: gede berotot, perut kotak-kotak, kulit mulus tanpa selulit, dan mukanya yang cuakep-cuakeep. Kesimpulan saya, berdasarkan hukum supply and demand, bahwa cowok menyenangi cewek dengan berbagai bentuk dan ukuran, sementara cewek menyenangi cowok dengan satu tipe, yaitu bagus saja. Setuju kan, cewek?

Bagaimana di negara sendiri? Saya pernah ke salah satu diskotik di utara kota Semarang yang katanya ada pertunjukan penari bugil. Semarang gitu loh! Masuknya aja pake ngotot-ngototan sama bouncer karena peraturannya wanita saja tidak boleh masuk karena... takut mengambil jatah ‘jualan’ para pelacur di sana! Sial, apakah kami punya tampang pelacur?! Setelah saya ngamuk-ngamuk, akhirnya si bouncer memperbolehkan saya dan teman-teman wanita saya masuk.
Mulanya sih ada live band, tapi mainnya kelamaan - mending bagus - sampai kita semua teriak-teriak, “Hoy, cepetan napa?” Akhirnya keluarlah si penari. Loh, kok berpakaian lengkap? Rupanya dia menari-nari jaipongan dulu lah, dangdutan dulu lah, yang bagi saya kelamaan dan ga penting. Lalu satu per satu bajunya dicopot. Aha! Tapii...akhir dari acara buka-bukaan ini, ternyata dia memakai baju senam dan legging berwarna emas! Huuuuuu! Kami pun segera beranjak pulang. Maklumlah, saya bukan Moammar Emka yang punya akses mudah ke ‘negeri Sodom dan Gomorah’ sehingga ia bisa menulis 2 jilid buku 'Jakarta Undercover'.


Saturday, September 24, 2005 

Terkutuklah Edinburgh

Edinburgh, Scotland, Februari 1995

Pergi ke kota ini tidak direncanakan. Saat saya berlibur di London, tiba-tiba saja salah seorang teman saya memberikan surprise dengan menghadiahi tiket pesawat pulang pergi ke Edinburgh. Saking surprise-nya, tiket diberikan 2 jam sebelum keberangkatan! Siapa yang menolak coba? Meski agak panik juga karena sama sekali tidak ada persiapan, tidak tahu mau ke mana, menginap di mana, dan naik apa.

Begitu pesawat British Airways mendarat siang hari, kesialan pertama terjadi: saya kehilangan topi baseball kesayangan yang tertinggal di pesawat. Sampai di tengah kota, saya mendapat hostel yang ternyata butut banget yang sangat tidak sesuai dengan promosi di brosur. Sorenya saya terkunci lama di dalam mall karena tidak tahu bahwa mall tutup jam 5 sore dan saya sedang ada di toilet. Malamnya di restoran Burger King, saya ditangkap 3 orang security dengan badan segede kulkas karena disangka ngeganja, padahal saya merokok Gudang Garam! Fuih…serangan bertubi-tubi menyerang saya di kota Edinburgh hanya dalam beberapa jam.

Karena buta mengenai kota ini, besoknya saya berencana ikut tour ke sebuah danau yang konon masih ada monster raksasa yang menyeramkan bernama Loch Ness. Saya pun pergi ke Tourist Information Office di Waverley Market dan mencari brosur sambil berpikir keras memilih salah satu paket yang paling terjangkau dompet. Saya lalu mengantri di depan loket pemesanan paket tour yang dijaga oleh seorang ibu berkulit putih berumur sekitar 40an dengan rambut warna keemasan yang digelung a la french twist dan pakaian yang rapih.

Di depan antrian ada 5 orang, persis di depan saya ada seorang cewek Jepang. Begitu giliran si Jepang, si ibu petugas loket tidak memandang muka si Jepang ini sama sekali. Si ibu kebanyakan menjawab “No” sambil menatap langit-langit pura-pura budeg akan apa yang dikatakan si Jepang. Saya pun mendekat, mau nguping apa yang mereka bicarakan. Oh rupanya paket tour sudah habis, tapi muka si Jepang terlihat begitu sedih bahkan hampir menangis.

Giliran saya pun tiba. Dengan sopannya saya menanyakan paket tour sambil menunjuk brosur. Begitu saya memandang si ibu, hah, si ibu juga memandang langit-langit sambil berkata dengan intonasi datar, “No tour today.” Saya menanyakan lagi paket tour lain yang juga ke Loch Ness. Dengan gaya yang sama si ibu juga menjawab, “No,” dengan nada yang tambah tinggi. Saking kesalnya saya menunjuk beberapa paket tour yang makin lama makin mahal, penasaran sama reaksi si ibu keparat ini. Dia pun menjawab dengan nada yang tinggi, “I said NO tour today!

Saya pikir karena dia marah, dia akan memandang saya, ga taunya dia tetap memandang langit-langit! Saya pun berjalan melengos sambil melihat si ibu dengan ekor mata saya. Saya melihat si ibu mengambil kain dan berkali-kali melap meja tempat saya menopangkan tangan! Sialan, memangnya saya bervirus membahayakan apa?!

Saya pun ngumpet di balik rak brosur, pengen tahu apa yang akan dilakukan si ibu terhadap 1 cewek bule yang mengantri di belakang saya. Hah? Raut muka si ibu tiba-tiba berubah menjadi sangat manis dan penuh senyum, menunjuk-nunjuk brosur, menerangkan tempat-tempat yang akan dikunjungi, dan akhirnya cewek bule ini membayar tour yang sama seperti yang saya inginkan! Darah saya langsung mendidih. Apalagi antrian berikutnya yang semuanya bule dilayani dengan baik dan ramah, ada eye contact, tanpa lap meja.

Saya segera beranjak ke luar, mau merokok untuk menenangkan diri. Tadaaa, saya melihat beberapa mini bus yang sedang parkir dengan nama Tour Operator dan paket yang saya ingin ikuti. Tour guide-nya membenarkan bahwa mereka akan pergi tour ke Loch Ness, ia bahkan mengatakan, “We have lots of empty seats here.” APA?

Saya langsung merepet panjang menceritakan bahwa si ibu keparat di dalam bilang tidak ada tour hari ini bla bla bla… sampai akhirnya saya baru sadar bahwa saya terkena diskriminasi rasial! Suatu kata yang selama ini saya bayangkan hanya terjadi pada orang kulit putih yang merasa superior terhadap kulit hitam pada masa perbudakan. Saya pun segera menelepon British Airways untuk mengganti tanggal kepulangan ke London. Secepatnya

Catatan: Tidak semua Scottish itu racist. Saya punya beberapa teman Scottish kok. Dan mereka tidak racist.


Friday, September 23, 2005 

C-130, S-58, CN-235, ATR-42, LET 410 UVP-E...

Naik pesawat terbang jenis Fokker, Boeing, atau Airbus, dengan kapasitas tempat duduk lebih dari 100-an orang sudah biasa. Pernahkah Anda terbang naik pesawat non komersial atau bahkan naik pesawat kecil berbaling-baling? Wah, seru banget!

Tahun 1983 kami naik Hercules C-130, pesawat kargonya TNI AU, karena belum ada pesawat komersial yang terbang ke Dili, Timor Timur. Naik Hercules serasa naik angkot karena duduknya hadap-hadapan. Tempat duduknya bukan berbentuk jok, tapi semacam hammock panjang menempel di sepanjang pinggiran pesawat sehingga duduknya ‘enjot-enjotan’ seirama dengan goncangan pesawat. Jendelanya kecil-kecil dan susah untuk melihat apa-apa karena harus berbalik badan 180 derajat. Di tengah alley adalah tempat menaruh barang-barang, ada meriam, container, koper, sampai burung. WC-nya digantung sehingga kalau mau pipis (jangan harap bisa buang air besar) dikatrol ke bawah lalu ditutupi terpal.

Peraturan naik Hercules: penumpang tidak boleh tahu rute terbang, yang penting sampai di tujuan akhir - jadi bisa saja sampai cepat, atau mem
akan waktu seharian karena kebanyakan mampir. Saking rahasianya, pas mendarat baru bisa tahu sedang ada di mana – pernah kami ‘nyasar’ mampir ke Pulau Natuna!

Dari Dili ke Los Palos, kota paling Timur propinsi Timor Timur saat itu juga belum ada akses melalui jalan darat - jadilah kami naik helicopter untuk pertama kali. Naik helicopter jenis Twin Pack S-58 tidak mengerikan sih, cuman berisiknya mengalahkan naik bajaj. Yang paling mengerikan justru saat turun dari helicopter: sampai-sampai saya merayap di tanah saking takutnya kalau saya berjalan tegak kepala saya bakal ditebas baling-baling helicopter yang masih berputar kencang.

Pertama kali saya naik pesawat kecil tahun 1991 dari Denpasar ke Mataram dengan Merpati jenis Twin Otter DHC-6 buatan Canada yang kapasitasnya 18 seats. Naik pesawat kecil itu goncangannya lumayan berasa, serasa naik mobil Ceria yang dibalap sama bis kota, suka tiba-tiba ‘ngesot’. Pengalaman pertama itu selalu bikin deg-degan, apalagi sahabat yang duduk di sebelah saya phobia naik pesawat jadi tambah bikin saya senewen.

Pengalaman kedua naik pesawat kecil terjadi 13 tahun kemudian dari
Balikpapan ke Tanjung Redeb. Pesawat tua milik Kal Star jenis ATR-42 buatan Perancis ini lumayan besar dengan 48 seats. Rasanya tetap deg-degan, apalagi semakin tua saya jadi semakin ‘parno’. Pas take-off, pesawat terasa berat bak kelebihan bobot, suaranya pun meraung-raung seakan-akan mesinnya mau meledak. Pas landing, pesawat terbang rendah melewati sungai lebar dan oleng-oleng. Fuih!

Paling sering saya naik pesawat kecil berbaling-baling saat liburan di Filipina tahun lalu. Pesawat domestik South East Asian Airlines (SEAIR) sebagian besar jenisnya LET 410 UVP-E buatan Ceko yang isinya cuman 17 seats. Tempat duduknya sangat nyaman, kayak jok Recaro di mobil balap. Pilotnya membuka jendela sambil nangkringin sikunya kayak supir bis. Tidak ada pramugari, tidak ada peragaan keselamatan – si pilot hanya berkata, “In case of emergency, please take a life jacket located under your seat. You know how to use it, right?”.

Pesawat paling kecil yang pernah saya tumpangi adalah jenis Cessna 172 milik Kura-Kura Aviation, saat saya terbang dari Semarang ke Pulau Karimun Jawa bulan Februari lalu. Isinya 4 seats termasuk supir, eh pilot. Jadi serasa naik mobil terbang dengan setir kiri, saya duduk di kanan pilot, di belakang duduk kedua teman saya. Enak juga bisa ngobrol-ngobrol sama pilotnya, bahkan saya diajarin cara nyupirin pesawat. Gampang, tinggal pegang setir pesawat, dorong sedikit setirnya maka pesawat akan turun, tarik ke atas maka pesawat akan naik, dengan catatan harus pelan-pelan kalau tidak mau pesawat menukik tajam. Pandangan kita bukan ke depan kaca seperti naik mobil, namun lihat ke panel di dashboard dimana kita harus kontrol jalannya pesawat berdasarkan petunjuk tersebut.

Di tengah jalan, Albert, si pilot yang ternyata mantan pilot pesawat tempur AURI menawarkan, “Mau nyobain manuver ngga?”. Tentu saya mengiyakan. Tiba-tiba saja pesawat ‘digas’ kencang, naik tinggi dan berbelok menukik. Huek, saya langsung mual melihat garis horison bumi menjadi vertikal dan langit berada di bawah!


Tuesday, September 20, 2005 

Taksi, Tram, Bis, atau Ojek?

Seperti kebanyakan airport di dunia yang mesti berlokasi agak melipir di luar kota, transportasi dari dan ke airport adalah penting. Bila Anda seorang turis bule yang pertama kali ke Indonesia dan tiba di airport Soekarno-Hatta, Anda akan dikerubutin orang-orang yang menawarkan taksi. Kalau mengantri taksi juga seringkali supirnya ‘nembak’ argo.

Pilihan lain adalah menggunakan bis Damri yang sebagian besar hanya
dimanfaatkan oleh orang lokal saja. Informasi bagaimana orang sampai ke tengah kota pun minim. Memang paling baik kalau ada yang jemput sih, apalagi kalau pulang naik haji! Wih, satu RT diangkut!

Lagi-lagi saya harus membandingkan dengan airport di Kuala Lumpur, karena Indonesia selalu ‘ngakunya’ mirip dengan Malaysia. Lokasi airportnya di Sepang memang jauh; sekitar satu setengah jam naik mobil ke pusat kota. Tapi mereka menyediakan transportasi ke Kuala Lumpur yang sangat nyaman dan mudah dengan menggunakan tram KLIA Express. Begitu juga di Singapura d
an Bangkok, sistem tram mereka sudah canggih dan mudah. Kedua kota itu ada pilihan menggunakan taksi memang, tapi siapa sih yang ga tau kalo naik taksi itu relatif mahal?

Ada juga transport airport yang menggunakan ‘taksi air’ alias speed boat, seperti dari airport Male (Maldives). Namun biasanya sudah di-arrange oleh resort di setiap pulau sebagai bagian dari paket.

Kalau kita mau merasa lebih superior, bandingkanlah dengan negara Kamboja. Di sana, hanya ada 2 pilihan transportasi ke tengah kota dengan tulisan besar: taxi 5$ or motorcycle 1$. Bahkan kita harus mengantri di loket untuk mendapatkan kupon terlebih dahulu. Bayangkan, ojek merupakan salah satu pilihan transportasi dari airport ke pusat kota!

Sama seperti negara-negara di dunia, hampir semua airport di kota besar di Indonesia pilihan utama ke pusat kota adalah menggunakan taksi. Namun jangan salah, kata ‘taksi airport’ di Tanjung Redeb (Kaltim) artinya ‘angkot’. Yep, di depan airport berjajar angkot-angkot yang berebutan mencari penumpang dan dengan pedenya para supir bilang, “Taksi! Taksi!”.

Transportasi antar terminal di airport saat ini pun sudah canggih, seperti di Atlanta (USA) atau Kuala Lumpur dimana terdapat tram yang menghubungkan antar-terminal atau ke tempat pengambilan bagasi. Escalator mendatar di Soekarno-Hatta sih sudah basi. Tapi di airport Dubai (UAE) bila kita ingin pergi ke terminal lain karena pindah pesawat, disediakan petugas merangkap supir yang mengangkut calon penumpang dengan mobil kecil bertenaga accu (seperti yang digunakan di lapangan golf). Lumayan menghemat tenaga.
Sebaliknya di airport Bangkok saat saya harus langsung pindah pesawat, saya harus berlari-lari untuk mengejar pesawat berikutnya yang berada berpuluh-puluh gate dari gate saya turun!


Sunday, September 18, 2005 

Gotham City?

Saya akui meskipun saya seorang certified scuba diver, saya tidak fanatik amat menyelam. Menjadi penyelam pun tidak sengaja. Balik ke tahun 1992 saat jadi anak kos namun pengennya traveling melulu, dalam suatu liburan saya terdampar di Pulau Gili Trawangan, Lombok. Tidak mau pulang tapi duit menipis, saya setiap hari menjaga counter, membantu mengangkat tangki, membersihkan peralatan, dengan imbalan saya diperbolehkan menginap dan makan gratis di diving operator milik teman saya. Akhirnya teman saya malah mengajak saya untuk kursus menyelam, gratis pula.

Sebagai seorang mantan atlit perenang tingkat ecek-ecek dan kebetulan diberkahi otak yang lumayan tidak ecek-ecek, saya tidak menemukan kesulitan apapun dalam kursus menyelam ini. Bahkan di penyelaman ke-3 saya sudah turun di kedalaman 100 kaki karena (bagaikan terbius) mengikuti seorang lelaki yang menyelam hanya dengan celana renang tipis dan bokong yang wow! Tentu saja sehabis itu instruktur saya marah karena saya meninggalkan buddy saya dan menyelam terlalu dalam untuk seorang pemula. Well, sejak lulus, setiap traveling saya usahakan untuk menyelam - tidak seperti para ‘penyelam sejati’ yang bela-belain liburan untuk menyelam 3-4 kali sehari tanpa jalan ke mana-mana lagi.

Tempat diving paling bagus menurut saya so far adalah Bunaken, Sulawesi Utara. Cuman di tempat itu saya bisa tabrakan sama school of fish yang buanyak dan berwarna-warni, bisa keluar masuk gua, dan menemukan tumbuhan laut yang paling amazing. Tempat yang paling weird adalah Danau Kakaban, KalTim, dimana danau pra-sejarah yang dikelilingi atol ini 98% isinya jelly fish, jadi rasanya kayak berenang di dalam cendol kental karena banyakan cendol (yaitu jelly fish) dibandingkan airnya. Yikes!

Namun tempat diving paling saya sukai adalah di tank Seaworld, Ancol! Tidak usah pergi jauh-jauh, tidak usah bayar mahal, tidak usah menyelam dalam-dalam, tapi ketemu dengan ratusan spesies ikan - termasuk beberapa jenis hiu dan beragam ikan pari raksasa. Lagipula sebagai seorang yang agak exhibitionist, saya senang ditonton ratusan orang melalui kaca tunnel – pokoknya serasa jumpa fans meskipun saya yakin ada di antara mereka yang bilang, “Eh, ada ikan dugong pake kaca mata!”

Senangnya ikut trip menyelam di Indonesia karena kita dimanjakan oleh
dive operator-nya. Bahkan fins aja dipasangin. Namun waktu saya menyelam di Great Barrier Reef, Australia, oleh dive operator dari Cairns, kami dipasangkan dua-dua orang, diceburin di tengah laut dan disuruh menyelam begitu saja tanpa ditemani dive master. Sayalah yang rugi karena buddy saya seorang cowok ABG Amerika yang baru belajar diving dan tukang panik sehingga saya hanya bisa setengah jam menyelam akibat mengikuti ritme napas paniknya.

Terus, dive operator di El Nido, Filipina, paling ‘koboy’ caranya. Peralatan tidak dicoba di counter sebelum kapal berangkat, tapi kita disuruh mencari sendiri di antara tumpukan alat di atas kapal yang terombang-ambing ombak. Bayangkan ada 15 orang penyelam yang ‘gubrak-gubruk’ rebutan booties, fins, weight belt, sampai BCD. Belum lagi bila ukurannya tidak cocok kami harus cabut-pasang kembali. Wah, kapal lama-lama oleng!

Cerita menyelam yang paling seru justru saat saya menyelam dekat-dekat saja di Pulau Kotok, Kepulauan Seribu. Sore itu
rasanya badan saya ringan sekali, sama sekali saya tidak merasa sedang menyelam tapi melayang di udara dengan kedua tangan menjulur ke depan, tak lupa melakukan manuver di antara karang sambil tersenyum-senyum sendiri. Tak disangka saya menemukan Gotham City, kota asal Batman! Kota yang mirip New York di waktu malam namun lebih kelam, lengkap dengan gedung pencakar langit dan lorong bawah tanah. Makin asiklah saya melayang ke atas ke bawah, miring-miring sedikit menghindari bangunan... sampai akhirnya saya ditepok buddy saya dan diberikan sign untuk naik. Parahnya saya sama sekali tidak punya tenaga untuk mengangkat badan saya naik ke pier, hidung saya pun mengeluarkan sedikit darah, namun saya tak berhentinya tertawa terbahak-bahak. Yah, saya akui bahwa saya sedang mabuk akibat konsumsi alkohol tapi nekat menyelam! Bye bye Gotham City!


Friday, September 16, 2005 

Menunggu = Makan

Pada saat menunggu di airport, sebenarnya ada tempat yang nyaman dan gratis. Syaratnya kita harus mempunyai kartu kredit, lebih bagus lagi kalau kartu kredit Anda keluaran bank terkenal. Ya, itulah yang disebut Executive Lounge. Meskipun bank penerbit kartu kredit telah banyak menanamkan uangnya untuk memanjakan customer yang akan bepergian, namun masih sedikit orang yang memanfaatkannya. Padahal caranya gampang, tinggal lihat di papan merk kartu kredit di depan lounge. Bila kartu kredit Anda tercantum, tinggal nyelonong masuk dan mendaftarkan diri di receptionist dan kartu Anda akan digesek. Di dalamnya ada ruang duduk dengan sofa yang nyaman, surat kabar terbaru, TV, dan yang terpenting dapat makan dan minum gratis. Saya malah lebih ekstrim, bila saya kebelet, toilet yang paling bersih adalah yang berada di lounge ini. Saking nikmatnya, beberapa kali saya dipanggil lewat pengeras suara karena pesawat sudah akan berangkat.

Lucunya kalau kita bepergian dengan orang yang mempunyai kartu kredit berbeda, seringkali saya dan teman menunggu di lounge yang berbeda karena saya mempunyai kartu Standard Chartered dan dia punya Citibank. Kalau tidak ingin ‘berpisah’ silakan salah satu yang tidak mempunyai kartu kredit yang cocok membayar Rp 50.000,- sebagai charge masuk. Kalau Anda cukup nekat, cek orang yang akan masuk ke lounge dan membuka dompetnya. Kalau ada deretan bermacam kartu kredit apalagi yang berwarna emas, mintalah tolong, “Pak, teman saya tidak punya kartu kredit tapi mau masuk sama saya, boleh saya pinjam satu kartu Bapak?” Waktu itu sih saya berhasil, mungkin lagi hoki aja nemu bapak-bapak yang baik. Bila trik itu tidak berhasil, pilihan terakhir adalah silakan punya bermacam-macam jenis kartu kredit sehingga bisa punya banyak pilihan.

Nah, bagaimana bila kita tidak mempunyai kartu kredit? Restoran di airport menjadi pilihan. Saya sampai eneg. Bila sedang menunggu di Soekarno-Hatta Terminal 2 maka saya akan nongkrong di McDonald’s. Bila di Terminal 1 ya ke AW. Meskipun harga di fast food tersebut lebih mahal, paling tidak rasanya sesuai ekspektasi. Saya jadi ingat iklan salah satu fast food di Indonesia, bila ada iklan promosi paket pasti ada tanda bintang yang berisi keterangan dengan tulisan kecil-kecil di bagian paling bawah iklan ‘harga tidak berlaku di bandara’.

Restoran yang ada di dalam setelah check in bagi saya tidak nyaman karena rata-rata tidak bisa merokok. Kalau terpaksa makan di dalam, relakan merogoh kocek yang tidak sedikit karena apapun barangnya harga pasti melambung tinggi di airport. Sebagai perbandingan, saya pernah makan 1 porsi mie instan di airport Denpasar seharga Rp 20.000,-!

Pengalaman yang paling buruk bisa jadi kalau Anda harus menunggu lamaa sekali di airport pada malam hari dimana semua restoran sudah tutup. Saya pernah tertahan sepuluh jam di Soekarno-Hatta karena sistem menara pengontrolnya down (hebat sekali ya Indonesia!). Mau pulang tanggung karena saat itu musim liburan dan tidak ada pesawat lain yang tersedia sampai 2 hari berikutnya. Padahal, ada meeting penting yang harus saya hadiri keesokan harinya. Yang saya lakukan, sama seperti ratusan calon penumpang lain, adalah tidur di lantai. Ingat, airport ini tidak ada karpetnya, duh, punggung rasanya semriwing berat! Deretan ratusan orang tidur di lantai airport persis kayak pengungsi kena tsunami. Kami pun tidak pernah tau kapan pesawat akan berangkat karena papan jadwal elektroniknya pun mati. Bila salah satu pesawat akhirnya jadi berangkat, ada petugas khusus yang mendatangi calon penumpang, dia mengguncang-guncangkan badan kita sambil membangunkan, “Pak, Bu, bangun... bangun... pesawat ke Surabaya sudah mau berangkat sekarang.”


Thursday, September 15, 2005 

'Dipalak' di Tabung Kaca Berasap

Saya ingat sekitar sepuluh tahun yang lalu, merokok di dalam pesawat dengan rute panjang masih diperbolehkan. Waktu itu saya terbang dari Jakarta ke Amsterdam dan memang disediakan tempat duduk khusus perokok di bagian ekor pesawat. Tidak tahu sejak kapan keluarlah peraturan terbaru yang tidak memperbolehkan merokok di pesawat apapun dan kemanapun. Mau tak mau saya menyetujuinya juga, mengingat alasan keselamatan adalah jauh lebih penting. Malah sekarang saya berpikir, "kok dulu boleh ya merokok di dalam pesawat?".

Setelah pesawat mendarat, apalagi setelah terbang berjam-jam, hal pertama yang saya selalu cari adalah tulisan ‘
smoking room’. Saya yakin seluruh perokok di mana pun di seluruh dunia akan menyatakan hal yang sama (saat menulis ini saja membuat saya jadi pengen merokok). Begitu memasuki anjungan airport, signage dengan gambar rokok inilah yang paling utama dicari bagi para perokok, bagaikan magnet kita terbius dan mengikuti ke mana arah signage tersebut bermuara. Kalau tak sabar, langsung aja tanya ke petugas informasi. Pertanyaan ”where’s the closest smoking room here?” dalam bahasa apa pun saya sampai tahu saking bela-belainnya. Hehe, saya ngaku ini sih exagerated.

Anyway
, smoking room yang dicari-cari ini sebenarnya hanyalah berbentuk tabung kaca. Tapi dapat mengundang orang dengan mata berbinar-binar dan langkah kaki cepat untuk masuk ke dalamnya. Lalu beberapa lama kemudian keluar dengan raut muka yang lebih relaks. Ajaib kan?

Dengan kecilnya ruangan tersebut sementara yang ngebul banyak banget, yang terlihat dari luar yah seperti tabung kaca berasap. Kita bisa lihat tabung kaca ini berisi orang-orang yang asik memicingkan mata sambil menghisap rokoknya dalam-dalam lalu asapnya disembur ke luar lewat mulut sehingga wajahnya tidak terlihat karena tertutup asap. Begitu seterusnya.


Bagi para pengguna lensa kontak, inilah saatnya meneteskan obat tetes mata saking sepetnya ruangan itu. Sialnya para perokok memang dianggap makhluk yang tidak berguna, ruangan merokok ini terletak jauh dari mana-mana. Maka tak heran ruangan merokok di airport adalah ruangan favorit pengunjung, padahal baunya sangat tengik. Kalau setiap 4 gate ada 1 ruangan merokok saja sudah bagus. Kadang di dalam airport besar hanya punya 1 atau 2 ruangan merokok, itupun susah ditemukan, seperti di airport Sydney atau Tokyo. Sedangkan di airport Los Angeles atau Kuala Lumpur, pilihannya adalah pergi ke luar dari airport dan merokok di area antrian taksi.

Ada juga airport yang ‘curang’ seperti di airport Christchurch (New Zealand). Waktu itu saya lagi sakau pengen banget merokok, setelah cari
smoking room tidak ketemu, saya tanya petugas informasi. Dia menunjuk ke suatu arah dan setelah saya mengikutinya ternyata bukanlah smoking room melainkan sebuah bar. Saya lalu disapa waiter-nya, “If you drink beer here, you can smoke here, Ma’am!” Sialan, pinter banget cara marketingnya!

Well, biar bagaimanapun airport internasional Bangkok menurut saya adalah salah satu airport yang paling smoker friendly. Setiap 1 gate mempunyai 1 ruangan merokok. Horee!

Sekedar tips dari saya: kalau Anda berada di airport di negara barat, berhati-hatilah bagi yang merokok kretek. Baunya yang menyengat itu sering disangka ganja atau hasis. Inilah yang membuat saya sering dipelototin orang. Seperti yang sudah-sudah, pasti ada bule di situ yang akan bertanya saya merokok apa, atau bahkan ada yang (nekat) minta. Pokoknya kalau ada pilihan, lebih baik pergi ke ruangan merokok
outdoor deh - aman bagi mata dan hidung, juga hemat karena tidak ada yang malak.


Wednesday, September 14, 2005 

Distrik Lampu Merah

Peringatan: sebagian orang mungkin terganggu dengan tulisan ini.

Bagaimana Anda menghabiskan malam saat traveling ke luar negeri? Makan makanan lokal sudah biasa, ke bar atau diskotik memang wajib hukumnya (terutama bagi anak muda) tapi itu juga biasa. Nah, cobalah pergi ke ‘distrik lampu merah’ atau red-light district setempat. Namun yang pertama kali di pikiran pastilah keluar kata ‘Amsterdam’, seperti niat saya ingin melihat langsung tempat p
rostitusi di sana. Yup, di situlah tempat prostitusi yang paling populer di dunia (konon sudah ada sejak 5 abad yang lalu) dimana sajian tubuh manusia nyaris bugil dipajang di jendela etalase berlampu merah. Bagaikan beli roti, kita bisa memilih jenis apa favorit kita, tinggal dibungkus dan bayar. Pilihan ‘rotinya’ pun beragam, terdiri dari segala macam warna kulit, segala macam ukuran tubuh, segala macam preferensi seks dan usia. Di bagian belakang etalase tersebut ada yang menyatu sekalian dengan rumah bordil, jadi benar-benar one-stop-shopping diterapkan di sini. Hebatnya lagi, para hoertjes (pelacur) di sana dilegalkan dan dilindungi undang-undang oleh pemerintah Belanda, bahkan ada organisasi khusus yang mengurus kesehatannya untuk memastikan bahwa mereka terbebas dari penyakit kelamin (guys, don’t you wanna read this? Hehe!)

Di jalan sempit itu pula banyak terdapat Sex Shops yang menjual majalah porno, film porno, mainan seks, dan segala hal yang berhubungan dengan seks dalam bentuk yang unik dan beragam, contohnya saja vibrator yang dipajang di rak diurutkan berdasarkan ukuran panjang penis persis kayak kita mencari kaset berdasarkan abjad penyanyinya. Juga terdapat bioskop yang hanya memutar film porno, bar dan diskotik khusus gay, tak ketinggalan sejumlah restoran Cina yang etalasenya bukan berisi manusia mejeng tapi bebek peking (sungguh saya tidak tertarik untuk makan di sana!), dan yang paling fiktif bagi saya adalah tempat pertunjukan manusia yang sedang berhubungan seks!

Saya ingat musim salju tahun 1995 ketika saya berkunjung ke sana bersama 4 orang teman. Rupanya muka Indonesia sangat terkenal di sana (regular customer eh?) sampai-sampai para waiters yang mejeng di luar pintu bisa menawarkan servisnya dalam bahasa Indonesia, “Apakah Anda senang menonton pertunjukkan n**n**t hidup kami?” Ha? Gile, kalimat ‘would you like to watch our live sex show’ diterjemahkan sangat gamblang sampai membuat saya tertawa berguling-guling!

Kalau di Asia, distrik lampu merah yang paling populer adalah Patpong di Bangkok, Thailand. Namun yang saya pikir tempat ini seperti di Amsterdam ternyata salah besar, isinya hanya bar-bar kecil di sepanjang 3 gang yang paralel. Bar di sini modelnya seperti di Jalan Jaksa lah, penuh bule mabok dan ayam-ayam yang joget (sok) seksi. Yang terkenal di tempat ini adalah Pu**y Show – pertunjukan ‘kesaktian’ kemaluan wanita – biasanya ada di lantai dua dengan tangga yang sempit menuju ke atas. Sebalnya adalah para calo yang mengejar-ngejar dan memaksa pengunjung agar mau nonton, “Flee, sil. No pay kopel chalge” (artinya: Free, Sir. No pay cover charge).

Karena seorang teman yang kena rayuan calo, kami masuklah ke tempat Pu**y Show. Ruangan di dalamnya seperti diskotik dengan lampu-lampu hidup-mati, di tengahnya ada semacam panggung catwalk dengan tiang-tiang besi, yah model bar striptease di Amrik gitu. Di sepanjang sisinya terdapat meja dan kursi yang menghadap panggung dan disuguhkan minuman.

Saat show dimulai…ya ampun, yang naik ke panggung adalah ‘mbok-mbok penjual jamu’! Asli cewek-cewek setengah tua, bogel, berperut buncit, badan penuh gelambir, dan maaf, " rambut" yang sangat gondrong!
Lingerie-nya juga tidak ‘matching’, masa pake bra renda-renda merah dengan celana dalam putih motif totol-totol hijau. Hiii...! Tapi jangan salah, 'anu' ‘mbok-mbok’ ini sakti banget, ada yang bisa minum Coca Cola pake sedotan, ada yang bisa ngeluarin silet, ada yang bisa ngerokok, bahkan ada yang bisa niup trompet! Dan keluarlah tagihan segelas orange juice seharga 300 Baht (jadi masuk tidak gratis kan?), plus segerombolan ‘mbok-mbok’ yang mendatangi meja kami sambil memaksa, “Tip! Tip! For me, tip!


 

Manfaat Teman (Nemu di) Jalan

Idealnya kalau kita traveling memang lebih mengasikkan bila bersama dengan teman, paling tidak ada orang lain yang bisa diajak ngomongin orang. Lebih asik lagi kalau teman tersebut mempunyai hobi yang sama, seperti sama-sama suka menyelam, sama-sama suka dugem, sama-sama tidak suka shopping. Tapi apa daya tidak semua teman berhobi sama, tidak semua teman mempunyai waktu libur yang sama, dan yang paling sering terjadi adalah tidak semua teman mempunyai jumlah tabungan yang sama.

Ada teman saya (bahkan banyak orang) yang lebih baik membatalkan per
jalanan jika tidak ada yang menemani, tapi bagi saya the show must go on – saya bisa cari teman sendiri bukan? Sebagai seorang backpacker yang mempunyai keterbatasan uang, saya senang mencari teman di jalan dengan tujuan utama untuk menghemat biaya selain mencari teman ngobrol.

Ideal kedua adalah mempunyai teman lokal yang bisa ditebengi meng
inap dan diajak jalan-jalan, apalagi yang mempunyai mobil. Biasanya teman-teman golongan (tajir) ini adalah teman lama yang tinggal di luar negeri. Fasilitas ini saya nikmati saat saya ke London, Paris, dan beberapa kota di Amerika. Mereka mengenal betul daerahnya, jadi kita ga usah pusing-pusing baca peta, hemat biaya akomodasi pula.

Cara lain adalah menjadi anggota kumpulan para traveler di dunia yang
suka mengadakan pertemuan di suatu negara. Spot ini berguna untuk mencari teman buat patungan, seperti di Auckland, NZ, tahun 2003, saat saya menemukan cowok asal Scotland yang bersedia patungan bensin dan sewa mobil. Untungnya lagi, dia jago masak, jadi kami tinggal patungan belanja bahan makanan ke supermarket dan dia bersedia masak setiap hari.

Cara cari teman jika Anda tinggal di hostel (ingat, di tengahnya ada huruf ‘s’ artinya ini penginapan khusus backpackers) dimana isinya adalah sesama orang kere dan berjiwa muda, adalah dengan modal pede. Berkenalanlah dengan orang-orang yang Anda anggap mempunyai aura yang positif, biasanya pada saat makan malam di hall utama. Trik ini berhasil saya lakukan tahun 1998 saat saya menginap di hostel di Florence, Italia.

Di Eropa yang multi bahasa, saya tinggal mensensitifkan pendengaran dan mulai mencari arah suara yang berbahasa Inggris. Dimulai dari berkenalan dengan seeorang cewek Inggris yang funky, lalu saya berteriak dengan bossy-nya “Anybody who speaks English sit here please!”, jadilah saya berkumpul dengan 3 orang cewek lain berkebangsaan Amerika. Kami berlima pun traveling bersama keliling Italia, bisa share makan pizza di restoran, bisa share menginap di bekas istana tua yang cantik di pinggir pantai, bisa share naik taksi, bisa ngegosipin orang lagi!

Teman traveling yang paling salah adalah ketika saya ke Kamboja tahun 2002. Terus terang karena saya nggak pede
traveling di negara ga jelas begitu, saya mengajak seorang teman yang baru kenalan. Seorang cowok India tinggal di Pasar Baru, berdandan seperti detektif partikelir, pekerjaannya adalah seorang bookie (bandar taruhan sepak bola). Duh, dia belum pernah sama sekali ke luar negeri, berjalan dengan pace yang lambat, membawa boombox yang selalu memutar lagu jadul, bawelnya minta ampun, dan ini temuan yang paling lucu – selalu menutup pintu dan jendela kamar rapat-rapat sehabis mandi karena dia harus memblow poninya yang panjang dan dibentuk sedemikian rupa untuk menutupi kebotakannya! Alhasil di tengah perjalanan kami pun ‘bercerai’. Rasanya saya tidak beruntung banyak selain sedikit hemat biaya akomodasi. Yang pastinya dia yang paling beruntung mendapatkan teman jalan yang expert. Hehe!

Saya juga pernah menemukan teman karena teman tersebut kasihan sama saya saking kerenya. Di San Juan, Puerto Rico tahun 2001, saat saya trip ke El Yunqe Forrest saya diajak berkenalan di bis dengan seorang bapak-bapak asal Canada. Pas saya turun dari bis di depan penginapan saya, si bapak merasa kasihan, “Are you staying here in this uhm...place?”. Karena dia ke Puerto Rico untuk bisnis, sementara dia bekerja saya diperbolehkan mempergunakan fasilitas hotel, boleh pesan makan dan minum sepuasnya pula di hotel berbintang lima Hilton Caribe. Setelah dia kembali dari kerja, saya pun kembali menginap di penginapan saya yang disebutnya ‘uhm...place’.

Di Nice, Perancis, saya juga pernah berkenalan dengan sepasang suami-istri manula di stasiun kereta. Saya menolong mereka mengangkat kopernya dan mengajarkan cara efektif pergi dari suatu tempat ke tempat lain (termasuk mengantrikan tiket). Imbalannya, saya sih ga pernah minta, tapi saya selalu dibayari tiket dan ditraktir makan minum. Hehe,
cheap shit ngga sih saya?

Saat-saat terakhir traveling pun saya pernah menemukan teman yang baik hati. Di pesawat dari Jepang ke Singapura, cewek Cina di sebelah saya mengajak ngobrol. Mungkin lagi-lagi karena dia kasihan sama saya yang kere, akhirnya saya diajak menginap di apartemennya karena tahu saya punya 1 malam transit di Singapura sebelum terbang ke Jakarta. Tapi saya disuruh tidur di kamar yang seranjang sama ibunya dan tukang ngorok berat! Benar juga kata pepatah yang dipercayai para
backpackers bahwa ‘beggars can’t be choosers’.


Tuesday, September 13, 2005 

Becak di Landasan Pesawat

Airport paling ‘lucu’ adalah ketika Anda berada di airport dimana airport tersebut melayani penerbangan dengan menggunakan pesawat kecil, biasanya pesawat baling-baling berkapasitas 4 sampai 40an orang. Wajib hukumnya pada saat check in, bagaikan bagasi kita sendiri harus naik timbangan dan petugas akan berteriak di depan umum berapa berat badan kita dan dicatat di boarding pass (beruntunglah bagi Anda yang tidak bertubuh gemuk seperti saya!). Berat badan inilah yang menentukan posisi tempat duduk kita di dalam pesawat, supaya balance. Perlakuan terhadap berat badan pun berlaku terhadap bagasi dimana bagasi tidak boleh lebih dari 10 kg per orang, kalau lebih berarti Anda harus membayar kelebihan bagasi yang lumayan mahal – itupun kalau memungkinkan untuk diangkut.

Di airport Tanjung Redeb (Kalimantan Timur) saat boarding menunggu pesawat datang, saya mendengar suara sirene kencang sekali sebanyak 3 kali dengan jeda beberapa menit. Saya pun bertanya artinya kepada penumpang yang duduk di sebelah saya yang saya yakin adalah penduduk setempat. Jadi begini artinya: sirene pertama adalah pemberitahuan bahwa akan ada pesawat mendarat sehingga harap mengosongkan landasan…bagi orang-orang yang menggembalakan ternaknya. Sirene kedua untuk mengusir orang yang sedang main bola yang biasanya masih nekat main di tengah landasan. Sirene ketiga berarti pesawat sudah benar-benar akan mendarat!

Kelucuan lain yang terjadi di airport kecil adalah saat transit di airport Busuanga (Filipina), pesawat akan mengambil penumpang lain untuk sama-sama menuju Manila. Karena haus dan ada selang waktu beberapa saat, maka kami nyelonong aja ke luar airport dan nongkrong di warung. Lagi asik-asiknya minum, terdengar suara orang berlari ke arah kami, hah, di pintu warung kami berdirilah pilot pesawat tadi sambil teriak, “Boarding! Boarding!”. Hehe, seorang pilot harus turun dari pesawatnya dan kejar-kejaran sampai ke warung untuk memanggil para penumpangnya! Dengan malu, saya dan teman-teman pun berlari-lari masuk dan menjawab, “Coming! Coming!

Airport paling favorit saya adalah airport El Nido, sebuah kota kecil di utara pulau Palawan di Filipina. Begitu pesawat yang membawa saya dari Manila mendarat, saya sampai heran karena tidak ada bangunan berbentuk airport sama sekali di dekat landasan. Ada juga sebuah rumah kayu dengan garasi terbuka tempat orang berkumpul. Rupanya ‘garasi’ itu adalah tempat counter check in dimana cuman ada satu meja tinggi dan timbangan. Di sisi-sisi ‘garasi’ terdapat bangku kayu panjang, di bawahnya terdapat ember-ember berwarna merah yang digantung berisi pasir. Percaya atau tidak, di setiap ember bertuliskan "use this in case of fire"! Busyet, hari gini kalau ada kebakaran cara mematikan apinya masih harus disiram pasir!

Saya lalu bertanya kepada petugasnya bagaimana cara pergi ke pusat kota karena tidak ada jalan raya di belakang ‘garasi’ dan tidak ada tricycle (kendaran beroda tiga khas Filipina, semacam becak bermotor) yang merupakan kendaraan umum di kota kecil. Jawabnya, “Just wait here, Ma’am. After the plane take off, the tricycles will come here.” Hah? Rupanya si petugas tau kalau saya masih bingung. Ia lalu menambahkan, “Because tricycles here are using the same runway, Ma’am!” Huahaha! Gile juga, pesawat dan becak menggunakan jalan yang sama! Tak berapa lama kemudian begitu pesawat lepas landas, ada bunyi sirene yang kencang tanda landasan ‘aman’. Lalu terdengar suara berisik segerombolan motor yang digas pol, terlihat debu yang bertebangan, dan... di balik kabut debu itu ...jreng, jreng...segerombolan tricycle pun datang dengan supir-supir becak yang gagah serasa di film Renegade. Hebat kan?

Kehebatan lain dari airport El Nido adalah saat saya harus terbang balik ke Manila. Dengan naik tricycle, saya memasuki area airport dan tricycle yang memang berjalan atas landasan pesawat! Sehabis check in, ada tiga pilihan menunggu pesawat: berenang di pantai yang indah persis di sebelah airport, tidur-tiduran sambil berayun di hammock di bawah pohon, atau duduk di bangunan utama yang asri bagaikan lobby resort yang mewah dan disediakan aneka minuman gratis. Enak kan boarding di airport seperti ini?


Monday, September 12, 2005 

Terjun dari Monas

Anda termasuk orang yang takut ketinggian? Tidak perlu malu. Sebab menurut survey yang diadakan oleh Fear Factor di channel TV AXN Asia, sekitar 40% pemirsa di Asia takut akan ketinggian. Perasaan takut ketinggian ini menempati urutan pertama dibandingkan rasa takut yang lain, seperti takut kecoa, takut laba-laba, atau takut hantu. Buat saya sih terjun dari ketinggian justru merupakan pengalaman yang sangat seru daripada makan kecoa hidup! Perasaan deg-degan dan gemetaran itu terasa lebih mengasikkan dibandingkan dengan perasaan jijik dan bau. Takut sih wajar, saya aja orang yang paling nekat dan gila ternyata ciut juga sebelum terjun, namun bagaimana mengatasi ketakutan itulah yang terpenting.

Dari dulu saya bercita-cita untuk bungy jump pertama kali di New Zealand – negara pelopor bungy jump di dunia, selain karena pengalaman pertama harus yang paling oke, paling tidak dari segi keamanan lebih terjamin. Kesempatan itu datang saat saya liburan bulan Desember 2003 di Queenstown, kota di selatan New Zealand yang terkenal dengan sebutan ‘mecca for bungy jumpers’. Di hostel Deco Backpackers tempat saya menginap terdapat brosur AJ Hackett, pelopor operator bungy, dimana terdapat 3 pilihan trip ‘terjun’ yaitu dari Kawarau Bridge (jembatan tempat bungy komersial pertama di dunia dengan ketinggian 43m), Ledge Bungy (47m), dan Nevis Highwire (134m). Adrenalin saya langsung memuncak dan segera memutuskan untuk ambil bungy yang tertinggi di negara ini dan di seluruh Australasia, yaitu Nevis Highwire dengan ketinggian 134 meter atau 440 feet! Hmm, 134 meter itu setinggi apa ya? Hah, setinggi Monas, bo! Mampuz ga lo! Ngebayanginnya aja udah bikin deg-degan sendiri.

Jam 10.30 pagi kita mendaftarkan diri di kantor AJ Hackett, ditimbang berat badan, dan dikasih tag yang diikat di tangan dengan tulisan angka hasil timbangan. Jam 11 kita dinaikkan ke Mini Bus 4WD isi 18 orang untuk menuju lokasi bungy yang terletak 32 km dari pusat kota Queenstown. Di dalam bis semua orang stres berat, udah kayak kambing mau disembelih. Ada yang merokok ga brenti-brenti, ada yang nyanyi-nyanyi keras, ada yang terdiam pucat sambil berpegangan tangan dengan temannya, ada yang berdoa keras-keras, bahkan ada yang manggil-manggil mamanya! Setengah jam kemudian mampirlah di Kawarua Bridge, tempat bungy yang ‘cuma’ setinggi 43 m. Melihat orang-orang dengan muka stres terjun dari jembatan bikin kita tambah stres! Dari situ bis bergerak di jalanan offroad melewati pinggiran tebing menuju ke atas gunung... makin lama makin tinggi sampai ke puncak. Huaa...tambah stres! Lalu kita diberikan training singkat dan dipakaikan harness dan carabiner untuk keamanan. Setelah itu naik cable car kecil - tanpa dinding dan atap - melewati wire (kabel) yang terbentang sepanjang 380 meter di antara 2 gunung. Terlihat lah lembah yang mengecil ke bawah seperti kerucut terbalik dengan sungai Nevis yang biru. Di tengah-tengah rentangan kabel ada ‘bangunan’ kecil dengan lantai yang terbuat dari kaca sehingga kita bisa melihat orang terjun dan dasar sungai yang jauuuuuh banget.

Baru saja cable car saya sampai, tahu-tahu nama saya dipanggil. Saya? “Yes, you!” Lah! Rupanya urutan siapa yang terjun duluan ditentukan dari berat badan dari yang paling berat sampai yang paling ringan (sialan, saya termasuk gendut!), padahal tadi saya sengaja berangkat belakangan supaya bisa melihat ‘korban’ awal. Dengan pasrah pergelangan kaki saya dibungkus dengan padding, kemudian didudukkan di kursi untuk pengikatan tali bungy khusus yang terbuat dari rubber latex, lalu dituntun berdiri di pinggir platform menghadap jurang. Saya melihat ke bawah...mampuz, tinggi banget! Lutut saya terasa lemaass dan saya bisa mendengar detak jantung sendiri yang terdengar seperti suara dentuman. Si instruktur berteriak, “Three...two...one...Go!” Tapi saya malah menarik bajunya karena belum siap mental. Saya pun dibujuk-bujuk lagi. Dihitung ulang lagi, “Three...two...one...GO!” Saya pun terjun dengan tangan terbuka... melayang... isi perut rasanya naik ke tenggorokan... tapi kok ga nyampe-nyampe... sesak napas...sampai tiba-tiba saya tersentak dan memantul lagi ke atas... naik... tinggiii... saya pun baru bisa teriak, “YIIHAAA!”. Saat itulah saya menarik tali kecil di kiri dan ZIING... saya berubah posisi dari kepala di bawah jadi posisi duduk dan terlempar ke atas ke bawah 3 kali lalu berhenti, baru saya perlahan dikatrol dari ‘bangunan’ yg menggantung di kabel. Huaaah, leganya! It wasn’t that scary though! Hehe!

Well, rasa takut itu hanya datang pada saat sebelum terjun kok. First step is always the hardest, tapi setelahnya akan terbayar! Dengan sombongnya saya lalu bikin target: ikutan bungy jump tertinggi di dunia yaitu di Macao setinggi 233 meter! Ada yang berminat pergi sama saya?


 

Berkelana di Toilet

Yang bikin bete menunggu di airport di Indonesia karena seumur-umur tidak pernah nyaman toiletnya. Heran bisa begitu, padahal penggunaan toilet di airport termasuk yang paling tinggi karena minimal orang berada di sana selama sejam untuk penerbangan domestik dan dua jam untuk penerbangan internasional. Belum lagi seringnya kita lebih lama di airport lokal karena pesawat kita hobi delayed, plus juga ada orang yang menunggu berjam-jam untuk transit kan?

Baru-baru ini Soekarno-Hatta International Airport (bandara internasional bo!) baru merenovasi toiletnya. Memang lebih bagus dengan tegel dan dinding keramik yang baru dan berwarna, sabun cair sudah ada di setiap wastafel, bahkan ada pengering tangan yang berfungsi. Tapiii...dengan ruangan seluas itu, hanya ada 2 – 3 bilik saja. Di dalamnya...yah, sama aja bo’ong! Tetap kotor, becek, bau, dengan sampah berceceran, dan tidak ada tissue. Tambah lagi toilet shower - lebih tepatnya selang air untuk membasuh kelamin - tidak berfungsi (cara menyalakan airnya bukan dengan memencet gagang shower tapi dengan memutar kran, artinya saat itu juga ujung selang memuncratkan air yang deras sehingga membasahi seluruh bilik!). Bagaimana dengan airport domestik di luar Jakarta? Setali tiga uang. Bahkan dari dari 3 bilik, mesti salah satunya ada yang mampet. Hii!


Suatu kali di airport Schippol (Amsterdam, Belanda), pernah saya kebelet buang air besar. Setelah menyelesaikan ‘tugas’, you know lah, bau kotoran orang Indonesia itu kan ‘khas’ banget! Saya pun segera mencari tungkai untuk flush, hmm ga ada. Cari tombol ke seluruh bilik toilet ga nemu juga. Wah, saya pun mulai panik. Alhasil saya menarik banyak-banyak tissue gulung dan membuangnya di kakus, berharap bau dan bentuknya tidak begitu kelihatan sehingga cukup waktu untuk saya kabur dan tidak dipelototin orang yang ngantri. Setelah berlama-lama di dalam, saya memberanikan diri ke luar. Klik, saya membuka kunci pintu. Seketika itu, byurrr, flush menyala dan mem
basuh kotoran dengan bersihnya! Hehe, rupanya flush baru keluar secara otomatis kalo kita membuka kunci pintu. Bagus juga sistemnya, membantu kelupaan atau kebodohan manusia sehabis buang air.

Fasilitas toilet memang harus nyaman karena saat ini penggunaannya bukan hanya untuk buang hajat belaka. Bisa untuk sikat gigi, ganti baju, ganti popok, pake make-up, nyisir, ngaca, ngerumpi. Airport di negara maju sih sudah lengkap, ada ruang ‘ibu dan anak’, ada vending machine untuk membeli pembalut wanita sampai toilet kit berisi sikat gigi, odol dan sisir. Bahkan ada tempat shower khusus bagi yang ingin mandi. Di sana pun disediakan kertas yang berfungsi sebagai alas duduk toilet-bowl agar higinis dan membantu kita supaya ngga pipis sambil nungging karena jijik. By the way, saya perhatikan hanya toilet di airport negara Asia Tenggara yang mempunyai pilihan toilet jongkok.

Tidak usah lah membandingkan toilet airport kita dengan negara maju, tapi bila negara kita selalu dibandingkan dengan sesama negara di Asia, mengapa toilet di airport internasional negara tetangga kita selalu ada tissue gulung dan lantai yang kering? Siapa yang bertanggung jawab?


Sunday, September 11, 2005 

Pilih Makan Rendang atau "KKN"?

Kecanggihan sistem pengamanan di airport bagaikan dilema, semakin canggih semakin annoying, tapi sebaliknya semakin tidak canggih ya semakin tidak aman bukan? Bukan hanya senjata tajam atau bahan pembuat bom yang ditakutkan, tapi juga bahan yang dianggap berbahaya seperti obat-obatan tertentu, atau yang dilindungi seperti bibit tanaman langka.

Amerika adalah negara yang paling rese soal keamanan di airport, terutama kalau Anda mendarat di airport Los Angeles, New York atau San Francisco, dimana merupakan gerbang pendaratan pesawat internasional.


Saya pernah ke Amerika persis sebulan setelah peristiwa 911, wih ketatnya
pemeriksaan. Pemeriksaan sampai berlapis-lapis sehingga membuat antrian yang panjang, bahkan beberapa pesawat diperbolehkan delay karena penumpangnya belum selesai diperiksa. Bagi penumpang yang bawa tas tenteng, meski sudah lewat sinar X tetap saja isinya dikeluarin satu-satu, bahkan yang bawa laptop pun harus dibuka sampe ke batre dan kabelnya. Biasanya orang setelah lolos pintu metal detector, petugas hanya mendekatkan tongkat metal detector dan men-scan seluruh tubuh.

Di sana ada lagi pemeriksaan ‘lebih menyeluruh’ dengan sistem
random,
herannya meskipun dibilang random saya pasti kebagian salah seorang yang dicek (pasti karena paspor Indonesia saya. Huh!). Oleh petugas cewek item gede saya diraba-raba dari ujung kepala, dada, selangkangan, sampe ujung kaki, di depan umum! Masih mending di airport Dubai dimana cewek dan cowok antriannya dipisah, diperiksa ‘menyeluruh’-nya di dalam ruangan kecil berkorden persis seperti ruangan nyoblos pas Pemilu. Kalau yang meraba Brad Pitt sih saya tentu tidak keberatan sama sekali!

Di bagian custom, bagian pemeriksaan bagasi yang khusus mencek boleh tidaknya bahan makanan, tumbuhan, alkohol, parfum dan rokok masuk ke suatu negara, punya cerita lucu. Teman saya seorang Amerika yang pernah tinggal di Indonesia 3 tahun doyan banget sama daging rendang, saat pulang ke negaranya dia pun membawa rendang. Unfortunatelly, rendang tersebut tidak diperbolehkan petugas custom untuk dibawa ke luar karena mencurigakan. Setelah berdebat panjang mengenai apa dan bagaimana rendang itu dibuat namun tetap tidak diperbolehkan juga, akhirnya dengan kesal dan saking ‘ogah-rugi’-nya teman saya pun bilang, “OK, if you don’t allow me to take my rendang, I’ll eat here,” dan dengan cuek dia memakan 2 kg rendang (baca: 2 kilo, bo!) saat itu juga di depan petugas custom! Saya jadi merasa beruntung, saya pernah meloloskan 5 kg rendang ke Amsterdam karena punya Oom yang kerjanya di airport situ. Hehe, KKN boleh dong!

Saat penyakit SARS sedang ramai, airport adalah salah satu yang berusaha melakukan pencegahan. Biasanya di airport manapun kita harus mengisi formulir yang menanyakan tentang riwayat kesehatan terakhir dan negara-negara mana yang pernah kita kunjungi sebelumnya.

Di airport Male (Maldives), mengharuskan kita mengisi catatan kesehatan – terutama suhu tubuh – dari hari ke hari dengan dibubuhi tandatangan dan cap dokter setempat (males banget kan liburan kudu ke dokter tiap hari!), dan formulir tersebut harus diserahkan sebagai syarat untuk pulang. Tapi di Singapura, sebelum masuk ke airport kita dipersilakan lewat di depan kamera yang dapat mendeteksi panas tubuh. Kita dapat melihat di layar TV sebentuk tubuh manusia digital yang berwarna-warni yang sedang berjalan, dengan warna merah sebagai indikator untuk titik-titik tubuh yang semakin merah berarti semakin panas – kelihatannya seperti
video clip musik. Wiih…!

Sinar X untuk mendeteksi barang bawaan sih sudah biasa di mana-mana, paling banter Anda terpaksa harus menyerahkan pisau lipat model Victorinox atau gunting kuku sebelum masuk pesawat. Saat ini pintu
metal detector sudah sedemikian canggihnya. Alat pendeteksi bahan yang mengandung besi ini dulu rasanya tidak sesensitif sekarang, paling kita hanya perlu mengeluarkan uang koin dan handphone dari saku. Meski tidak terjadi di airport Indonesia, di luar negeri saat ini orang harus rela melepas anting dan kalung, bahkan mencopot ikat pinggang dan membuka sepatu, supaya bisa lewat di dalamnya tanpa ada bunyi alarm.

Nah, bila Anda akan bepergian ke luar negeri pastikan Anda memakai kaos kaki yang tidak bolong dan tidak berbau, karena saya sudah cukup melihat (dan terpaksa membaui) orang-orang yang memalukan ini.


 

Ketemu 'Malaikat' di Airport

Kalau Anda terbang long flight dan maunya bayar murah, harusnya Anda pernah terpaksa menginap di airport. Apalagi Jakarta jarang jadi kota asal untuk terbang direct flight karena hampir semua pesawat yang menuju ke Eropa atau Amerika biasanya bermula dari Singapura. Untuk mendapatkan tiket murah, pasti jam keberangkatannya bukan di jam yang convenient. Contohnya saja, terbang dari Jakarta ke Singapura pada jam 11 malam untuk mengejar pesawat berikutnya pada jam 7 pagi. Well, di manapun airport untuk transit dan bila negara itu tidak memerlukan visa, sebenarnya bisa saja kita ke luar airport menghabiskan malam dengan minum-minum di kota. Tapi selain karena saya seorang yang disoriented – tidak tahu arah dan tidak bisa membaca peta - naik taksi ke kota dan minum-minum tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit bagi saya yang seorang backpacker.

Kalau Anda menghargai privasi dan kenyamanan, silakan menginap di Hotel Transit yang berada di dalam airport. Saya pernah (terpaksa) menggunakan fasilitas ini di airport Kuala Lumpur karena saya sudah lelah sekali berlibur selama 3 minggu keliling Asia Tenggara, dan tiba di aiport sudah jam 1 pagi sementara pesawat berikutnya jam 8 pagi. Saya langsung saja check in di Hotel Transit yang ternyata harga menginapnya
paling mahal dibandingkan penginapan-penginapanan a la backpackers selama 3 minggu sebelumnya. Sistem menginap di hotel transit adalah per lot, satu lot sama dengan 6 jam, kalau tidak salah harga per lot sebesar 200 Ringgit (hampir Rp 500.000,-) untuk single bed. Kamarnya kecil dan ada kamar mandi di dalamnya. Di dinding ada korden motif bunga-bunga berwarna pink, yang begitu kordennya dibuka ternyata hanya dinding belaka sebagai ‘kamuflase’ biar disangka ada jendela dan biar terlihat seperti layaknya kamar di hotel beneran gitu loh. AC-nya pun AC sentral, tidak bisa dikecilkan atau dibesarkan sesuai keinginan. Enam jam kurang lima belas menit, telepon akan berdering keras, artinya harus segera cabut dari kamar itu atau ditawarkan perpanjangan jam oleh petugas reception. Duh, lima belas menit bagi saya kurang cukup untuk ‘mengumpulkan nyawa’ – belum lagi melakukan kegiatan ritual lainnya di kamar mandi.

Kalau Anda tahan dingin dan ‘ogah rugi’ bayar hotel, Anda bisa tidur di bangku ruang tunggu atau bahkan di lantai airport yang berkarpet biar bisa selonjor. Tidak usah kawatir, banyak kok orang yang memanfaatkan ‘fasilitas’ ini. Pernah suatu kali karena tahu kita (terpaksa) transit 5 jam di airport Bandar Seri Begawan, saya dan teman-teman saling mempersiapkan ‘singgasana’ tidurnya: saya dengan badan tertutup selendang pashmina warna shocking pink dari ujung kaki ke ujung kepala, teman yang lain dengan kedua kakinya yang dimasukkan ke dalam tas saking dinginnya, dan yang parah adalah teman satu lagi yang tidur dengan selimut dan bantal hasil nyolong dari pesawat (ini cara yang paling nyaman tapi butuh keberanian)! Zzzz.....kami pun pergi ke alam mimpi. Tiba-tiba ada suara laki-laki berteriak kasar, ”Hooi! Bangun! Bangun!” sambil menggetok-getokkan benda keras ke kursi yang begitu terdengar sangat berisik. Begitu membuka mata, terlihat para satpam dengan muka garang sedang mengerubungi kita sambil memegang pentungan. Gila, kita udah diperlakukan seperti gembel tidur di stasion bis aja! Tapi saya yakin ini hanya terjadi di Brunei kepada orang yang tidur di bangku airport dengan muka Asia, maklum pasti disangka TKW alias pembokat.

Dasar saya ndeso yang tidak tahan dinginnya AC, suatu malam transit di airport Changi Singapura saya memilih ke lantai dua untuk tidur di ruang outdoor untuk perokok. Di sana ada bangku kayu panjang yang lumayan bisa untuk merebahkan badan plus ‘AC’ khusus, bukan ‘Air Conditioning’ tapi singkatan dari ‘Angin Cepoi-Cepoi’. Tidak berapa lama saya tertidur, tiba-tiba ada sinar sangat terang yang meyorot saya bagaikan spot light dan suara yang sangat memekakkan telinga sampe budeg. Sumpah, saya pikir ada malaikat yang datang menjemput saya! Rasanya badan saya lemas sekali dan tulang-tulang terlepas perlahan-lahan dari tubuh saya. Pikiran saya pun jadi flash back mengingat semua dosa yang pernah saya lakukan. Tidak, jangan sekarang! Akhirnya saya memberanikan diri membuka mata, ternyata saya melihat ada pesawat yang terbang rendah sekali di atas muka sampai anginnya menghempas! Setelah sadar atas apa yang terjadi, ah pantas saja demikian karena lokasi tempat tidur saya persis di sebelah landasan pesawat! Namun lama-lama suara bising itu jadi musik penghantar tidur saya bagaikan lagu nina bobo.

Jadi moral of the story: ada harga ada mutu. Jika Anda berani bayar mahal, tentu Anda akan mendapat pesawat yang mempunyai waktu transit seminim mungkin sehingga tidak usah tidur di airport. Jika harus transit lama juga dan mau bayar ekstra untuk hotel plus tahan dinginnya AC, tentu Anda tidak akan ketemu ‘malaikat’ seperti pengalaman saya.


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates