Sunday, April 30, 2006 

Pilipina, Filipina, atau Pilifina?

Tahukah Anda bahwa orang Filipina itu seperti salah satu suku di Indonesia dimana mengucapkan huruf p, f, v semuanya tertukar? Bukan bermaksud menghina, tapi bagi saya itu lucu sekali. Di kantor saya saja ada teman yang meskipun sudah lama tinggal di Jakarta dan pernah sekolah ke luar negeri, sering ketuker antara p dan f, bahkan dalam bahasa Inggris sekalipun. Dia selalu bilang approved jadi ‘effrup’, Vice President jadi ‘pice fresident’, bahkan dia memanggil rekan kerja yang bernama Rivi dengan Ripi (saya lihat di phonebook-nya pun dia mengetik ‘Ripi’ sesuai dengan yang dia dengar). Kami sering meledeknya dengan balik bertanya, “Huruf p-nya, p - piolet, p - panta atau p - pespa?”

Pengalaman pertama menyadari ‘ketertukaran’ ini ketika hari pertama di Filipina kami berkenalan dengan seorang cowok lokal di Boracay, si cowok ini memperkenakan diri bernama Jobi. Nama yang aneh. Ketika akhirnya kami ngobrol ngalor ngidul, bertanyalah saya, “What’s your favorite song, Jobi?”
I’ll be there por you, because the singer is Bon Jobi, like my name.”
We thought your name is Jobi, not Jovi,” protes kami.
Yes, Jobi. Like Bon Jobi,” jawab si Jobi a.k.a. Jovi dengan muka lempeng-dot-com. Ooh!

Anyway, karena ini hari-hari pertama kami liburan di Filipin, kami semangat mempelajari bahasa lokal. Kami pun diajarkan kalau mengucapkan terima kasih dalam bahasa Tagalog adalah ‘salamat fo’. Kemana-mana kami dengan bangga bilang ‘salamat fo’ ke semua orang, dan semua orang tersenyum. Sampai akhirnya kami membaca peraturan penerbangan di airport, bahwa yang benar adalah ‘salamat po’, dengan ‘p’ - bukan ‘f’! Sialan!

Semakin lama kami semakin aware bahwa memang cara orang Filipina berbicara sering ketukar begitu, terutama bila berbicara dengan orang biasa. Seperti suatu kali kami membicarakan soal merk mobil, supir taksi bilang, ”The best car is bolbo with airbag.” Tahu kan maksudnya? Bolbo = Volvo! Atau ketika berkenalan dengan orang yang bernama Joba, kami dengan yakin bahwa nama aslinya adalah Jova. Dalam angka pun, five disebut ‘paib’ dan seven disebut ‘seben’. Haduh!

Sudah lama tidak kena ‘tipu’, suatu pagi kami berbicara dengan pemilik losmen di Sabang tentang cottage baru di sebelah cottage kami, ”Who’s the owner of that cottage?”
A Javanese man.”
Javanese? From Indonesia?” dengan berbinar-binar teman saya bertanya.
No. Javanese.”
Saya pun menginjak kaki teman saya dan berbisik, “Maksudnya Japanese, tau!” Huahaha! Kami pun berguling-guling tertawa.

Saya pun jahilnya keluar, pengen membuktikan apakah kalau kita berbicara kebalik-balik antara p, f, v dan b, akan dimengerti orang Filipina. Suatu malam kami makan di warung burger dan dengan sengaja bilang kepada pelayannya, “Miss, do you hape toothfick?” dan si mbaknya ke belakang dan membawakan tusuk gigi. Ha, dia mengerti! Ternyata emang farah eh parah!

Kembali ke Manila, malam terakhir kami dugem di tempat gaulnya anak muda borju di daerah Green Belt, namanya Absinthe. Jam 1 pagi kami sudah merasa bosan dan ingin pindah ke bar lain. Teman saya lalu bertanya kepada seorang lelaki tampan, dia menyarankan agar kami pergi ke ‘P Bar’ yang hanya berjarak 1 blok. Untuk memastikan arahnya, teman saya lalu mengkonfirmasikannya ke seorang ABG cewek di toilet, “Do you know where the P Bar is?”
ABG itu bengong, “P Bar?”
Yes, P Bar. P – Pee. Around this area.”
Dan ABG itu menyaut, “Oh you mean V Bar? V – Vee Baaar.”
Sial, lagi-lagi kena tipu! Bikin malu saja, kami terlihat seperti orang tolol yang tidak bisa menyebut V dengan benar. Mana diketawain sama segerombolan ABG itu lagi! Huh! Siapa sangka di ibu kota dan dan tempat dugem paling elit tetap ada orang salah sebut huruf?

Keesokan harinya kami sedang mengopi di Figaro Cafe sambil baca-baca majalah dan koran lokal. Ada majalah ‘Philippines Tadler’, majalah lifestyle kaum borju di suatu negara. Ada artikel menarik berjudul ’Top 10 Tips for Social Climber’, dan di tips point ke-5 jelas-jelas tertulis: Go to speech therapist to make sure your ‘p’ and ‘f’ are said correctly. Tuh kan! P & F itu ternyata sudah menjadi epidemi nasional! Huahaha! Pantas saja, mereka sendiri menyebut nama negaranya bisa menjadi 3 versi: Pilipina, Filipina, atau Pilifina.


Sunday, April 23, 2006 

Hotel Kelebihan Bintang

Menginap di hotel yang berada bukan di ibu kota propinsi di Indonesia dan bukan daerah tujuan wisata bagi saya memang menarik dan lucu. Kebanyakan karena pekerjaan lah yang membawa saya ‘bertualang’ di hotel-hotel daerah, meski saya selalu menginap di hotel terbaik yang ada di suatu kota. Kategori hotel di daerah berdasarkan bintang sudah rancu, kadang ada hotel tanpa bintang yang jauh lebih bagus daripada yang berbintang, seperti hotel Swa-Loh di Tulung Agung. Siapa sangka hotel dengan nama yang kurang keren itu berada di pinggir waduk besar dengan pemandangan sangat indah dan memiliki fasilitas Spa.

Namun biasanya kamar hotel di daerah ya biasa saja, temboknya kusam dan lembab, dengan lantai tegel tanpa karpet. Interior kamar dibedakan berdasarkan kelasnya, kalau kamar standar artinya warna dan mebel yang ada di dalam kamar tersebut tidak nyambung; selimut bisa merah, korden bisa coklat bluwek, kursi warna coklat dan meja warna hitam. Kalau kamar superior atau deluxe, artinya warna dan mebelnya nyambung... tapi hati-hati warnanya bisa menyolok mata. Contohnya sebuah hotel di Tasikmalaya yang kamar deluxe-nya memiliki korden, bed cover, dan kain penutup lemari berwarna shocking pink dan terbuat dari satin! Aww!

Kunci kamarnya jelas bukan sistem digital, tapi kunci putar biasa dengan gantungan kuncinya yang besar dan berat terbuat dari kayu atau akrilik. AC sih ada, cuman masih ada AC window yang kalau malam sangat berisik. TV jelas tidak ada channel luar negeri, tapi ukurannya 14 inchi. Untuk mendapatkan hasil tontonan TV terbaik, antena harus kita arah-arahkan sendiri, bahkan rebutan antena dari kamar sebelah.

Untungnya, di setiap hotel terbaik di daerah selalu ada air panas untuk mandi - meski tidak janji akan derasnya air mengalir, dan toiletnya pun sudah model duduk. Tapi hari gini masih ada hotel yang kamar mandinya masih pakai bak mandi dan gayung seperti di salah satu hotel di Jember. O ya, hotel di daerah juga menyediakan sabun, sikat gigi, dan odol, meski dengan merk yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Tapi sayangnya, mereka tidak pernah menyediakan shower cap.

Yang nyebelin adalah seprei dan sarung bantalnya yang tidak crispy seperti di hotel berbintang. Tambah lagi kadang berbau lembab karena tidak kering dicuci, bahkan kadang berbau minyak rambut pria karena memang tidak dicuci. Hiii! Persamaan dari semua hotel di daerah adalah handuknya yang tidak berwarna putih bersih, malah seringnya pinggiran handuknya sudah ‘dedel dowel’.

Sarapan pagi yang selalu sama di hotel daerah adalah menunya, kalau tidak nasi goreng ya mie goreng – kalau untung, ada bakso dan sosis dibentuk kembang di dalamnya. Lauknya adalah telor yang sudah digoreng ceplok dan diletakkan di wadah, jadi tinggal ambil satu-satu. Ada juga roti, dengan pilihan olesannya berupa mentega kuning dan berminyak, coklat tabur, selai yang super manis rasanya, atau gula pasir. Kopi atau teh disediakan di teko besar alumunium yang tinggal diputar keran di bagian bawahnya. Piring dan cangkir rata-rata terbuat dari melamin yang bercorak tidak seragam satu sama lain dan dasarnya pun sudah berwarna kecoklatan. Room service biasanya tutup jam 12, silakan kelaparan lewat dari jam segitu. Laundry jangan mengharapkan bisa jadi dalam waktu cepat dan garing. Setelah dua hari pun pun pakaian masih lembab karena mencucinya manual dan sangat tergantung dengan panas matahari untuk menjemur.

Ada cerita lucu. Suatu hari di Jepara, saya menginap di hotel bintang tiga yang terbaik di kota itu. Saya menelepon house keeping untuk meminjam hair dryer. Saya berpikir, bukankah biasanya kalau tidak disediakan di kamar, kita bisa meminjamnya di house keeping. Setelah selama lima menit telepon saya digantung karena mereka masih mencari, akhirnya si petugas menjawab begini, “Maaf, Bu. Kami tidak menyediakan hair dryer.”
“Oh, hotel bintang tiga tidak punya hair dryer ya?”, sindir saya iseng.
“Maaf, Bu, ini hotel bintang dua,” jawab si petugas serius.
“Loh, di papan merk di depan hotel bintangnya tiga tuh.”
“Maaf, Bu, itu ada kesalahan, kami sablonnya kelebihan satu bintang.”
Hahaha!

Yah, ada harga ada mutu. Menginap di hotel daerah itu rata-rata dua ratus ribu rupiah semalam sudah termasuk sarapan pagi.


Monday, April 10, 2006 

Naik Gunung? Kemping aja ah!

Baru-baru saja saya ikut kemping di kaki gunung Salak, ceritanya sekalian reuni Pecinta Alam SMA saya. Halah, cuman semalam saya di sana, pulang-pulang kaki saya pengkor 3 hari. Biar dikata kemping di kaki gunung, tetap harus hiking bukan? Kami semua tertawa mengingat masa lalu dimana kami sedang rajin-rajinnya naik gunung dan tidak pernah punya masalah. Sekarang saya saja heran kenapa saya dulu mau-maunya naik gunung – sudah capek-capek naik eh turun lagi. Berhubung ‘faktor U’ dimana kemampuan fisik yang sudah berkurang dan waktu yang semakin terbatas, biasanya saya dan teman-teman hanya mengendon di base camp untuk kemping. Enak rasanya ngumpul-ngumpul bersama teman di kedinginan malam alam terbuka. Jadilah tradisi naik gunung diganti dengan kemping bersama teman-teman.

Dulu setiap naik gunung punya 3 macam rokok: Marlboro putih untuk dihisap sembari jalan, Gudang Garam Filter untuk dihisap kalau ada istirahat sebentar, dan terakhir Dji Sam Soe saat bermalam atau sebagai rokok kuncian untuk merayakan di atas gunung. Bayangkan betapa kuatnya napas kala itu – dan betapa tidak sehatnya hidup! Sekarang boro-boro jalan sambil merokok, lah untuk mengobrol sepatah kata saja susah karena sibuk mencari napas. Dulu malah bisa gaya-gayaan bawa ‘botol gepeng’ alias alkohol murah meriah supaya menambah hangat, katanya. Apa coba?

Sekarang semakin tua, semakin ingin nyaman dan untungnya sudah punya duit untuk membayar kenyamanan itu. Soal makanan, semakin tua semakin borju. Dulu kan standar kemping adalah bawa mie instan dan keripik. Sekarang wajib bawa nasi, sosis, bakso, telor, kornet, roti isi (kalau perlu yang merk Daily Bread), dan lain-lain. Minuman saja berbagai jenis, seperti kopi, teh, susu dan air mineral yang banyak jadi tidak usah harus memasak air setiap ingin minum. Dengan jenis makanan yang demikian, tentu kompor juga tambah canggih - dulu pakai parafin, sekarang kompor gas dengan tabung kecil sekaligus peralatan memasaknya. Untuk kebersihan pun bawa tissue kering dan tissue basah, ditambah cairan anti bakteri untuk cuci tangan.

Dulu barang bawaan naik gunung hanya bermodalkan baju, sarung, dan sendal jepit. Sekarang rela bawa sleeping bag dan sepatu naik gunung dengan alas yang tidak licin. Kalau tempat kemping jauh dan membutuhkan waktu menginap beberapa hari, kami patungan membayar porter karena sekarang kami memang tidak mau susah dan untungnya mampu untuk membayar porter. Porter itu hebat sekali, seminggu bisa 2-3 kali jalan bolak-balik, sambil memanggul barang-barang berat pula. Heibat! Ketika saya dan teman-teman kemping sekalian diving di Pulau Sanghiyang, kami malah patungan untuk membayar 2 orang pembokat khusus untuk bersih-bersih dan memasak. Sehabis diving, makanan sudah tersedia. Sehabis makan, tidak perlu cuci piring. Ah, nikmatnya!

Kemping pun sudah punya gadget sendiri, sekarang tak usah repot-repot berteriak memanggil teman yang jalan jauh di depan atau minta sesuatu yang tertinggal di belakang. Kalau masih di kaki gunung, sinyal handphone masih ada, tinggal kirim SMS (untuk menghemat baterai berhubung tidak ada listrik untuk men-charge). Kalau sinyal sudah habis, kami baru menggunakan HT sebagai alat komunikasi. Mengenai alat transportasi karena dulu kami masih anak kos dan miskin, bela-belain nebeng truk orang (dulu rasanya bangga sekali bawa ransel dan nangkring di truk sayur mayur). Sekarang sih naik mobil dan parkir di titik terdekat dengan lokasi. Kalau masih dirasa jauh dan susah dijangkau, tinggal cari teman yang punya mobil 4-Wheel Drive seperti Land Rover atau Ford Ranger. Mantab kali!

Saat ini untuk naik gunung lagi, rasanya malas sekali. Bagi saya intinya adalah kumpul-kumpul bersama teman di alam terbuka, jadi tak perlu repot-repot naik gunung karena masih banyak tempat lain yang lebih mudah dijangkau. Namun kalau pun saya dipaksa harus naik gunung lagi, saya cuman mau naik gunung Rinjani. Itu pun syaratnya panjang: harus bawa porter yang juga jago masak, bawa makanan yang enak dan banyak, jalan sesantai-santainya, dan bersama teman-teman yang asik juga. Setuju?


Monday, April 03, 2006 

Belanja Barang Bermerk

Memakai barang bermerk (sering disebut branded, meski semua barang ada merknya) katanya membuat gengsi orang naik dan tambah pede - namun bagi saya, karena ukurannya ada yang besar. Bagi orang yang mampu, mereka dapat belanja langsung di butiknya atau bahkan langsung belanja di negara asalnya. Tapi yang pas-pasan namun mau tetap gaya, belanja lah di Factory Outlet (FO). Untuk menghemat biaya produksi dan upah buruh, para pemilik merk terkenal memproduksi barangnya di negara dunia ketiga. Tak heran kalau kita melihat label pakaian atau sepatu yang bertuliskan Made in India, Made in Cambodia, Thailand, Bangladesh, bahkan Made in Indonesia. Entah bagaimana caranya di negara-negara tersebut dapat menjualnya di negara sendiri meski seharusnya untuk komoditas ekspor atas spesifikasi khusus si pemilik barang bermerk. Bahkan saat ini sudah dijadikan barang komoditas untuk turis.

Di Bangkok di mana lagi belanja kalau bukan di Pasar Chatucak. Sayangnya pasar tersebut hanya buka hari Sabtu dan Minggu saja. Pasar ini sangat besar sekali, luasnya mencapai 35 hektar dengan ribuan kios-kios kecil mirip di Pasar Klewer Solo. Barang apapun bisa ditemukan di sini, mulai dari kerajinan tangan, buku, sutra Thai, suvenir, pakaian bermerk, furniture, sampai binatang peliharaan. Barang bermerk pun sudah saru antara barang lokal yang ditempel label merk terkenal atau memang barang sisa ekspor. Bersiaplah memakai baju yang nyaman karena panas dan sumpek banget, celana pun harus bisa digulung karena kadang becek saat hujan.

Versi pasar yang lebih kecil ada di Pnom Pehn tepatnya di Psah Toul Tom Poung, atau lebih dikenal dengan Russian Market. Berbeda dengan Chatucak, pasar ini spesialisasi menjual barang bermerk dengan harga sangat miring, misalnya tank top merk Gap atau sport bra merk Moschino seharga 1 US$. Ya, di Kamboja orang jarang sekali menggunakan mata uang lokal Riel tapi mata uang dolar Amerika. Uang sedolaran paling lecek yang pernah saya lihat ya di sini karena diperlakukan sebagai recehan uang kembalian belanjaan dan membayar ojek.

Di Colombo, pusat belanja favorit turis adalah di Odel, department store khusus pakaian bermerk terkenal. FO ini persis seperti FO yang ada di Indonesia, dibuat nyaman dan ber-AC. Odel menempati bangunan tua yang dipugar dengan cantik dan bertingkat tiga. Harganya sekitar 50 ribu rupiah sepotong kalau dikurskan ke mata uang Rupiah. Merk-merk pakaian yang ditawarkan ada Esprit, Tommy Hilfiger, Calvin Klein, Ralph Lauren, Escada, DKNY, sampai Versace.

Di Eropa, hanya orang berada yang belanja barang bermerk beneran (designer label). Merk H&M dan Zara di sana bagaikan toko Matahari di Indonesia karena termasuk barang murah makanya selalu dipenuhi dengan orang lokal maupun turis. Kalau tidak merasa jijik, silakan belanja pakaian bermerk tapi bekas. Di Eropa atau Amerika saja cuek, belanja saja ke flea market atau pasar loak yang biasanya hanya buka saat week end - minimal jeans Levi’s 501 saja sih ada. Di Indonesia juga ada, seperti di Pasar Ular atau Pasar Senen Jakarta, Pasar BJ di Jambi atau Monza di Medan yang menjual barang bermerk bekas tapi impor. Kalau rajin ngubek-ngubek di pasar yang becek, mau berbersin-ria, kepanasan, dan bersedia ngotot tawar-menawar, kita bisa mendapatkan barang bermerk dengan kondisi masih bagus dan murah. Pasar BJ yang spesialisasinya adalah tas dan sepatu bekas bermerk menawarkan tas tangan merk Mango dan Nine West seharga 60 ribu rupiah per buah.

Berbeda dengan di Amerika, konon barang-barang bermerk yang dijual di FO sana murah karena musim yang sudah lewat (misalnya pakaian winter dijual saat summer), bukan karena barang reject. Lokasi FO biasanya agak di luar kota agar pajaknya lebih murah dan terletak di pinggir jalan highway jadi siap-siap baca plang dengan seksama. FO di Amerika bukan berada di satu gedung sendiri tapi merupakan kompleks sangat luas dimana setiap merk mempunyai gudang besar yang berdiri sendiri dengan jarak lumayan jauh antar tokonya. Terdapat sekitar seratus lebih merk terkenal dalam satu FO yang besar, seperti San Marcos Prime Outlet di dekat kota San Antonio. Harganya pun sangat miring, contohnya tas ransel merk Calvin Klein cuman 5 US$, t-shirt Esprit @ 1,50 US$, celana korduray Armani 10 US$. Karena tempatnya sangat besar dan selalu penuh dengan antrian, metode belanja paling efektif adalah langsung cari section harga termurah dengan tulisan sale terbesar, biasanya ada di dalam bak pakaian yang nyarinya pun pakai tarik-tarikan dengan orang lain. Well, that’s what I can afford!


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates