Tuesday, May 27, 2008 

Awas ada hiu!

Saya baru saja menonton film dokumenter di televisi mengenai seorang dokter hewan cewek yang fobia terhadap hiu, bukan karena dia korban digigit hiu melainkan bermula karena nonton film Jaws sehingga harus diterapi secara serius oleh para ahli. Film berjudul Jaws karya Steven Spielberg ini memang benar-benar bikin orang jadi takut sama hiu. Gara-gara film itulah, beberapa teman saya anti berenang di laut, bahkan ada yang ogah naik boat kecil karena takut diserang. Dulu mendengar kata hiu pun saya rasanya merinding meski saya termasuk jago berenang. Saya pikir semua ikan hiu ya seperti hiu di film Jaws dengan dengan badannya yang super besar dan gigi-giginya yang tajam.

Setelah saya menjadi penyelam bersertifikat pada tahun 1992, saya diajak teman untuk melihat hiu di Shark Point di Pulau Gili Trawangan, Lombok. Dinamakan demikian karena di dive spot tersebut sering ditemui ikan hiu. Sebelum turun, saya jadi kalut juga, apalagi saya sedang haid. Konon katanya setitik darah dapat tercium oleh ikan hiu dari kejauhan. Meski saya yakin itu tidak akan terjadi karena, maaf, seorang yang sedang haid tidak akan mengeluarkan darah saat berenang, namun kepercayaan saya menjadi pudar ya gara-gara film Jaws. Singkat cerita, saya berhasil aman-aman saja bertemu seekor ikan hiu yang tidak begitu besar dan agak jauh.

Kedua, saya kembali deg-degan saat saya diving di dalam akuarium SeaWorld bersama para hiu. Dulu tidak ada atraksi ngasih makan hiu yang pakai kerangkeng. Sebelum turun, saya mengisi formulir ‘kontrak mati’ bahwa apapun yang terjadi adalah tanggung jawab saya dan saya tidak akan menuntut. Lalu saya melihat seorang staf yang yang memakai perban di jari tangannya dan seorang staf yang lain di telinganya. Katanya sih cuman kejeduk tangki diving. Saya diberi pilihan, mau masuk air sembari ngasih makan hiu atau sesudah dikasih makan. Saya pilih yang kedua karena nggak pede. Setelah semua alat terpasang pada tubuh saya, saya pikir saya akan masuk akuarium begitu saja seperti masuk ke kolam renang, nggak taunya akuarium raksasa itu semua atapnya tertutup dan saya disuruh masuk air lewat terowongan kecil persis selebar badan sehingga begitu keluar dari terowongan tersebut saya tidak tahu makhluk apa yang akan ‘menyambut’. Ternyata 1,5 jam di dalam akuarium saya aman-aman saja, hiu-hiunya juga cuek tuh. Udah kenyang kali. Begitu saya naik, bos SeaWorld menyalami saya dan dia bertanya, “Kamu ngga tanya kenapa jempol saya ngga ada?”. Saya pun baru sadar kalau jarinya cuman empat. “Kenapa?” tanya saya polos. “Ya dimakan hiu!”, jawabnya santai. Haah?

Setelah itu, saya tidak takut lagi bertemu hiu. Saya pun jadi tau bedanya hiu, ada yang disebut black tip, white tip, silver tip, reef shark, hammer head, dan lain-lain. Tapi selama ini saya hanya bertemu maksimal seekor-seekor doang sekali diving. Lalu saya bela-belain pergi ke Palau demi bertemu banyak hiu. Ada satu dive spot yang disebut Shark City karena hiu di tempat tersebut banyak banget sampai disebut ‘kota hiu’! Hiii, bergidik nggak sih dengernya? Sebentar-sebentar Dive Master kami memberi isyarat dengan menaruh lima jari tangan vertikal di atas kepala, berarti ‘ada hiu’. Rupanya kegiatan menonton hiu itu menyenangkan sekaligus deg-degan.

Saya belajar dari para penyelam berpengalaman, kata mereka, hiu itu pada dasarnya tidak (doyan) makan manusia asal kita nggak ganggu, makanya mereka ‘hanya’ mengigit. Kedua, hiu yang agresif hanyalah hiu yang berada di perairan dingin, kalau di perairan tropis hiunya nggak galak. Ketiga, lebih aman bertemu hiu saat menyelam di dalam laut karena mereka merasa tidak terganggu dengan gerakan-gerakan penyelam. Hiu lebih senang menyerang para surfer karena surfer bergerak cepat. Menurut statistik resmi, kecelakaan yang terjadi akibat hiu yang menyerang manusia terjadi 4 kali dalam setahun selama 5 tahun belakangan ini – lebih banyak kecelakaan yang terjadi karena kejedot papan surfing atau ketimpa kelapa di pantai! Sebagian penyerangan terjadi oleh hiu jenis white shark, tiger shark dan bull shark. Terakhir, hiu di film Jaws hanyalah rekaan semata. Memang hiu itu termasuk jenis Great White Shark (hiu putih raksasa), tapi nggak segede dan sehoror gitu. Kasiannya, predator hiu justru adalah manusia. Bayangin aja, berapa banyak hiu dibunuh untuk diambil siripnya padahal hiu itu penting untuk keseimbangan ekosistim laut. Saya pun berhenti memakan hiu atau menggunakan produk yang diambil dari hiu. Saya jadi merasa berkepri-hiu-an.

Mungkin karena saya termasuk adrenaline junkie, saya mulai ketagihan mencari jenis hiu yang bukan ‘pasaran’. Saya pergi ke Malapascua Island - sebuah pulau kecil di utara Cebu, Filipina – demi melihat Thresher Sharks yang mempunyai ekor yang sangat panjang macam golok. Saya pun bela-belain pergi ke Donsol - di ujung selatan pulau Luzon, Filipina - untuk berenang bersama Whale Sharks, ikan terbesar di dunia yang panjangnya bisa sampai 18 meter dengan berat 40 ton!
Bersambung...


Saturday, May 24, 2008 

Home Sweet Home

Tinggal di Filipina selama hampir setahun serasa tinggal di propinsi lain di Indonesia. Bentuk orang-orangnya sama, udaranya sama, budayanya hampir sama. Menurut saya, perbedaan mendasarnya hanyalah masalah bahasa dan makanan. Saya tidak menyangka saya bisa survive dengan berbahasa Inggris selama setahun, hehehe! Soal bahasa Tagalog, saya hanya bisa sedikit-sedikit saja, itupun karena terpaksa. Abisan sehari minimal tiga kali saya dituduh orang Filipin dan dicerocosi bahasa Tagalog. Saat di Cina, Thailand, Vietnam atau Kamboja, saya sering juga disangka orang sana. Tapi ternyata di Filipina lebih parah. Malah saya sering dipelototi orang karena saya dianggap ‘anak Manila’ yang sombong yang tidak mau berbahasa Tagalog. Lah? Menjawab dengan “I don’t speak Tagalog” atau “I’m not Filipina” tidak pengaruh. Tapi kalau saya menjawab “I’m Indonesian”, tinggal menghitung 1,2,3 maka mereka akan berkata, “Ooo...Indonesiaaa! You look same-same.We have same ancestors.” Capeee deeeh!

Karena tinggal di Makati, business district di Manila, terpaksa saya makan di mall selama setahun! Tidak ada warteg, warung-warung di gang atau di pinggir got, juga tidak ada jualan makanan yang pakai gerobak. Setiap hari makan di restoran di dalam Greenbelt Mall 1 sampai 5, mall golongan kelas atas. Parahnya lagi, susah banget cari sayuran! Rupanya orang sana nggak suka makan sayur. Sayur standar restoran adalah ‘chop suey’ (capcay) atau kangkung yang dilumuri ‘bagoong’ (sejenis terasi) yang aneh rasanya. Kalau saya kangen makan dedaunan hijau, saya harus pesan salad, itupun paling daun selada. Harga sayuran di sana bahkan bisa lebih mahal daripada main course yang berupa steak. Tambah lagi, di asrama tidak diperbolehkan masak. Gila, saya benar-benar ‘sakau’ dengan dedaunan hijau! Soal minuman, saya paling kangen sama teh botol. Di sana semua es teh adalah lemon tea instan yang rasanya muaniss banget. Sedangkan semua teh dalam kemasan botol adalah teh berasa buah-buahan manis. Mau minum teh normal ya beli teh panas, itupun seperti air diwarnai coklat karena tidak beraroma teh.

Untunglah saya sudah lulus dan kembali ke Indonesia. Seminggu ini saya menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal yang tidak bisa saya lakukan selama setahun, yaitu menonton televisi, makan sayur berdaun hijau, makan tahu dan tempe, makan soto jeroan di pinggir got dengan asap dan debu, minum teh botol, krimbat di salon dan tentunya tidur sepuasnya. Pokoknya saat ini jangan ajak saya ke mall dan jangan suruh saya makan fastfood! Dengan tinggal di luar negeri, saya jadi lebih menghargai Indonesia. Saya merasa beruntung sekali tinggal di negara berkembang, ditinggal setahun sudah ada mall-mall baru, rumah-rumah baru, jalan-jalan baru, peraturan baru, media massa baru. Begitu dinamis dan tidak membosankan bukan? Coba bayangkan bila kamu tinggal di Eropa, ditinggalin 10 tahun juga tidak berubah.

I’m officially jobless now! Jangan tanya rencana traveling saya karena kegiatan utama saya sekarang adalah mencari kerja. Lucunya, ternyata Trinity lebih dibutuhkan daripada diri saya sendiri. Dalam seminggu saya sudah dapat orderan untuk menulis, tapi saya sendiri belum dapat kabar untuk wawancara dari perusahaan manapun. Kegiatan kedua, karena saya pengangguran dan gendut, jadilah saya supir rumah yang ditugaskan ibu saya untuk antar-jemput sana sini sembari (mencoba) untuk berolah raga. Untuk mengurangi makan, saya belum bisa berkomitmen sekarang karena masih banyak masakan khas Indonesia yang belum saya makan. Hehehe... good excuse!

Kabar baiknya, saya berjanji akan mulai posting lagi cerita-cerita perjalanan saya di blog ini. Terus terang susah juga memulai lagi setelah hampir setahun tidak produktif. Bahasa penulisan saya rasanya jadi agak formal karena kebiasaan menulis dalam bahasa Inggris ala anak sekolahan. Jadi, harap sabar dan ditunggu saja...


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates