Saturday, October 25, 2008 

You. Me. Marry.

Siap-siap, cewek traveling sendiri atau sama cewek lain ada kemungkinan dilamar alias diajak menikah. Kalau belum pernah punya pengalaman seperti ini, mungkin karena jalannya berombongan atau bersama lawan jenis. Saya sih cuma menganggap joke saja. Lah, kenal aja nggak. Lagipula, penggunaan kata ‘marry’ seringnya salah kaprah, apalagi bagi yang kesulitan bahasa Inggris.

Jangan ketawa, entah kenapa yang berselera sama saya adalah cowok berkulit hitam turunan Afrika sono. Di mall kalau ketemu cowok item, pasti kepalanya berputar melihat saya.Teman-teman saya sampe udah males ngajak saya dugem ke tempat yang banyak orang itemnya, soalnya bisa jadi rusuh. Saya baru tau alasannya ketika ada cowok item yang melihat saya dengan mata membelalak dan mulut menganga. Benar saja, dia langsung mendatangi saya dan bilang, “Oh, you are the woman I’ve been dreaming of. You really look like Queen Latifah, my most favorite artist!”. Haruskah saya bangga? Tentu tidak, tapi saya jadi tahu alasannya (yaitu karena curvacious – pembagusan kata dari kata ‘gendut’).

Rupanya tidak hanya berlaku di Indonesia, di luar nagri juga begitu. Lagi nongkrong sendirian di depan Piazza di Spagna, Roma, tau-tau ada cowok item berjalan mendekati saya sambil ngomong sesuatu. Sepertinya dia imigran yang belum lama di Italia karena bahasa Inggrisnya ga jelas, tapi tidak beraksen Italia. Lalu, dia berlutut di depan saya sambil memberikan bunga dan berkata, “Please come to my house. You are so beautiful, I want to marry you.” Yey, itu mah ngajak tidur bukan ngajak nikah! Saya diem aja pasang tampang lempeng-dot-com sampai cowok itu kabur. Di Amerika lebih parah lagi, pada akhir pesta perpisahan kami sebelum pulang ke Indonesia, saya pernah diculik cowok item yang sedang mabok! Saya beneran digotong di pundaknya dan dimasukin ke dalam mobil. Saya pikir bercanda karena dia adalah salah satu kolega kami, sampai saya melihat dia mengeluarkan pistol dari laci mobilnya. Wah, serius nih! Mulailah dia berkata, “Please stay here with me, I’ll divorce my wife and we can get married.” Hii, gila apa? Untungnya teman-teman saya cepat menyusul dan memepet mobilnya, lalu salah satu cowok yang paling gede meninju mukanya. Sinetron abis.

Saya pikir ‘penderitaan’ dilamar cowok item akan berakhir, sampai ketika saya ke Kamboja dan Vietnam... saya dilamar para tukang ojek! Tukang ojek pertama bernama Pal, cowok berumur 25, bahasa Inggris-nya lumayan, tapi gayanya leboy banget - sebentar-sebentar ngaca di spion dan nyisir sambil tebar pesona. Dia saya sewa 3 hari keliling Angkor Wat dan Siem Reap. Pada hari terakhir dia mengajak menikah dan minta dibawa ke Indonesia. Yailah! Tukang ojek kedua adalah lelaki berumur 30-an, mukanya kayak Cok Simbara, namanya nggak tau gimana nulisnya tapi kedengarannya sih ‘Long’. Sebenarnya dia tukang ojeknya si Yasmin, tapi tiap motor kami berjalan bersamaan keliling Hanoi, matanya bukan ngeliat jalan tapi ngeliat ke saya mulu. Wah, kejadian lagi nih. Bener aja, begitu kami melewati pinggir danau dimana ada sepasang anak muda lagi peluk-pelukan, dia bilang, “OK? OK?” sambil menyeringai. Apaan seh? Akhirnya ketika motor berhenti, dengan bahasa Inggris terbata-bata, dia ngomongnya gini, “You (sambil menunjuk saya)... me (menunjuk dirinya)... marry (kedua jari telunjuknya didekatkan)...OK?”. Halaaah! Saya jawab saja, “You (menunjuk dia)... shut up (menyilangkan jari telunjuk di bibir saya) ... or...I (menunjuk saya)... will not pay (sambil menggelengkan kepala dan menunjukkan uang kertas đồng).” Barulah dia diem.

Rupanya bukan cuma saya, teman-teman saya juga sering dilamar, terutama sama cowok Arab. Maaf, saya tidak bermaksud mendeskreditkan pihak tertentu, tapi ini true story yang perlu diketahui untuk jaga-jaga. Si Nina yang sudah 3 kali umroh sudah dilamar sebanyak 7 kali di sana. Karena dia sering melipir dari rombongan dan jalan-jalan sendiri rupanya jadi sasaran empuk bagi cowok. Lagi nongkrong sendiri bisa-bisanya ada cowok yang datengin dan berkata, “Will you marry me?”. Lagi bersama ibunya di toko, si bapak penjual toko bilang ke ibunya untuk menikahkan Nina dengan anak lakinya. Si Yasmin juga begitu, dia lagi jalan sendirian di pasar Khan el-Khalili di Cairo, ada cowok datengin ngajak nikah, malah ditawarin onta sebagai mas kawinnya. Anehnya, saya dengar cerita dari teman, ada seorang cewek Indonesia, wanita karir dan berpendidikan, lajang, berumur 40 tahun, yang mau. Dia juga lagi nongkrong sendirian dan tiba-tiba didatangi seorang cowok yang bilang “Will you marry me?”. Dia mengiyakan saja karena dia pikir bila ada yang melamar di sana maka itu adalah ‘jalan’ dari atas. Konon di sana dia dibawa ke keluarganya dan dinikahkan. Trus, begitu umroh selesai si cewek ini pulang ke Indonesia dengan janji si cowok akan menyusul. Eh, sudah lebih dari setengah tahun si cowok ini menghilang begitu saja, nggak datang-datang, sampe si cewek ini depresi. Waduh!


Monday, October 20, 2008 

Penghitam kulit atau pasta gigi tiruan

Kalau traveling ke luar negeri, saya selalu bawa toiletries (sabun, sampo, pasta gigi, lotion, dll) lengkap dari Indonesia. Tidak apa-apa berat sedikit, daripada harus membeli di luar. Alasan utamanya karena harga di luar bisa jauh lebih mahal, contohnya untuk body lotion dengan merk dan ukuran yang sama, harga di Eropa bisa empat kalinya. Selain itu, tidak semua merk namanya sama di tiap negara. Contohnya waktu saya di Turki, saya melihat iklan dengan bintang Madonna, Shakira dan Marilyn Monroe. Itu iklannya sampo “Sunsilk”, dan saya baru tahu kalau di sana namanya jadi “Elidor”. Sama seperti pasta gigi “Pepsodent”, di Perancis bernama “Signal” dan di Vietnam bernama “P/S”. Tapi di Filipina dan Australia nggak ada “Pepsodent tuh”. Belum lagi masalah bahasa yang bikin bingung itu produk apa dan untuk kondisi yang bagaimana.

Di negara barat produk toiletries-nya memang paling lengkap dan beragam, dengan ukuran kemasan yang besar – botol body lotion saja sampe ada yang ukuran 950 ml (bayangin badannya segede apa!). Kalau di Asia, Thailand yang paling lengkap (meski dengan huruf keriting di kemasannya), mungkin karena merupakan regional office dari brand internasional di Asia. Iklan saja banyak yang diproduksi dari Thailand dan diadaptasi ke berbagai macam bahasa di negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Kalau di Malaysia koleksi body lotion-nya sedikit, ada juga yang merk standar seperti “Nivea” (apakah orang Malaysia nggak suka pake body lotion ya?). Kalau di Vietnam dan Filipina, susah cari sabun mandi cair, yang tersedia hanyalah merk “Dove” yang mahal. Saya perhatikan room mate saya di Filipina kalau lagi traveling, si sabun batangan itu dibawa ke mana-mana di dalam kotak plastik. Ih, bikin blenyek. Fakta lain tentang toiletries di Filipina: produknya pasti ada ukuran mini. Semuanya ada ukuran sachet, mulai dari sampo, krim rambut, sabun muka cair, body lotion, sampai pelembab wajah dan pasta gigi! Cuma di Filipina lah saya bisa beli deodoran “Rexona” berukuran sekutil (8 gram) dan toner “Pond’s” segede jempol. Itu artinya daya beli orang Filipina yang rendah, tapi bagi saya, produk mininya sangat cocok untuk dibawa traveling beberapa hari karena ringkas. Ironisnya, produk kelas atas buatan Amerika (yang tidak ada di Indonesia) banyak tersedia di supermarket biasa, contohnya merk “Neutrogena” dan “Aveeno” - mungkin karena orang Filipina sangat ke-Amerika-an.

Kesamaan dari produk toiletries terutama skin care di Asia, banyak yang mengandung pemutih. Entah mengapa orang Asia memang tergila-gila kulitnya menjadi putih. Bahkan produk khusus cowok pun sekarang ada yang untuk memutihkan kulit. Kebalikannya, orang bule tergila-gila kulitnya menjadi hitam atau tanned. Makanya hati-hati membeli sunblock lotion di negara barat, karena kebanyakan malah mengandung bahan ‘penghitam’ kulit. O ya, kalau di Indonesia sunblock produk lokal paling besar mengandung SPF (Sun Protection Factor) 30, di luar bisa sampai SPF 100 saking takutnya kena kanker kulit karena matahari jarang ada. Ada cerita lucu, seorang teman cewek saya yang ras kulit hitam pernah meminta saya untuk mengantarnya ke mall di Jakarta mencari alas bedaknya yang telah habis. Nyari di konter kosmetik di mana-mana nggak nemu, meski sudah mencari merk kosmetik internasional, rupanya...di Indonesia tidak tersedia alas bedak untuk ras itu. Oalah! Nah, kalau produk sampo di negara barat yang nggak ada di Asia adalah sampo untuk rambut pirang asli (bukan buceri = bule cet sendiri), kebalikannya di Asia yang samponya bisa membuat rambut menjadi silky black. Ah, ada-ada saja strategi marketing!

Nah, kalau di Cina produknya beragam dan... banyak tiruannya (Cina banget!). Saya sampe ngakak sendiri melihat produk pasta gigi di rak salah satu supermarket di Shenzhen. Contohnya merk pasta gigi nomor 1 di Cina, yaitu “Darlie” (dulunya bernama “Darkie”, tapi karena dianggap rasis jadi ganti nama), ada sekitar 10 yang mirip, entah namanya entah logo atau warna kemasannya. Belum lagi dengan tulisan karakter Cina yang bikin tambah bingung. Merk “Darlie” yang dalam bahasa Cinanya berarti black man toothpaste, berlogo lelaki kulit hitam yang memakai jas, dasi kupu-kupu dan topi berwarna hitam. Tiruannya bisa berupa gambar yang sama, tapi dasi kupu-kupunya berwarna putih dan di depannya ada jempol, jadilah merk “Mr. Thumbs-Up”. Ada merk lain yang bernama hampir sama, tapi si lelaki berambut keriting. Contoh lain, merk pasta gigi “Crest”, tiruannya bermerk “Crescent” dan “Escent” dengan tipe huruf dan warna sama. Yang lucu, ada merk “Cleast”, yaitu campuran antara merk “Crest” di tipe huruf dan warna kemasannya dengan “Mr.Thumbs-Up” di logonya! Bukan hanya pasta gigi, sampo dan sabun juga mengalami hal yang sama, contohnya sampo “Clear” bisa-bisanya ada tiruannya yang bermerk “Klear”. Pokoknya segala macam kombinasi yang membuat saya bak maen tebak-tebakan ‘carilah 8 titik perbedaan’ seperti di majalah anak-anak. Kalau tidak jeli, alamat dapat produk tiruan deh.

Intinya, Indonesia is the best deh. Meski kita dianggap negara berkembang tapi pilihannya sangat beragam, bahkan segala macam merk dunia juga ada dengan harga terjangkau karena sudah diproduksi lokal. Jadi mendingan bawa dari rumah saja toh?


Wednesday, October 15, 2008 

Orang apa hayoo?

Kalau main tebak-tebakan saya asal sukunya mana, mayoritas ‘menuduh’ saya keturunan Cina. Kedua Manado, ketiga Palembang. Semua suku yang diasosiakan dengan mata sipit dan kulit putih. Padahal saya bukan merupakan salah satu dari suku tersebut.

Dulu kalau backpaking di Indonesia, saya tidak pernah disangka orang Indonesia, bahkan oleh orang Indonesia sendiri. Mungkin karena tampilan saya yang selalu bawa ransel dengan dandanan lusuh, sendirian ke mana-mana naik angkutan umum. Beda dengan turis domestik yang bergaya dan berombongan. Seringnya sih saya disangka orang Jepang, bahkan orang Jepangnya sendiri suka ngajak ngomong ke saya dalam bahasa Jepang. Pernah juga di Bali saya lagi jalan sama ibu saya ke pasar, beach boys Bali (yang konon tergila-gila dengan cewek-cewek Jepang) bilang kepada ibu saya, “Mbak, temannya dari Jepang kenal di mana? Mau dong diajak kenalan.” Lah? Rupanya muka ibu-anak pun beda jauh! Kadang saya suka memanfaatkan situasi jika ada tukang jualan yang menyapa saya dalam bahasa Inggris. Saya langsung berlagak bukan orang Indonesia dan berbicara ala Cinta Laura untuk menawar harga, soalnya kalau ketahuan turis dari Jakarta bisa lebih dimahalin daripada ngaku turis luar. Kalau ditanya kok bisa bahasa Indonesia, saya bilang, “Saiya syujah syering ke Indonesyia. Saiya ouwrang Jhephang yang cinggal ji Ameyriyka”. Ajaib, mereka percaya.

Saya dikira orang Jepang mungkin karena badan saya dulu masih langsing. Begitu badan saya membesar, tiba-tiba saya jadi sering dituduh orang Korea. Mungkin karena cewek (terutama emak-emak) Korea bermata sipit, badan gede dengan kerangka tubuh yang kotak, plus rambut yang (di)keriting. Pernah di sebuah supermarket di Palau, petugas kasir bilang “Oh I’m so happy to see Japanese and Korean are getting together like you.” Kami pun tertawa. Yah, saya pasti disangka Korea dan Yasmin disangka Jepang. Padahal Yasmin seorang Jawa tulen dengan segala cirinya, hanya saja matanya bukan sipit tapi kelopak matanya turun bak Garfield dan ia pun berdandan ala Harajuku. Soal warna kulit, kalau di pulau kan semua juga gosong terbakar matahari.

Pilihan lain, saya juga sering dituduh orang Cina, Taiwan, Thailand, Kamboja, Vietnam, Filipina. Apalagi kalau lagi di Amerika atau Australia dimana banyak terdapat imigran asal Asia, di bis atau kereta ada aja yang ngajak ngomong ke saya dalam bahasa ‘daerah’. Lucunya, orang bule banyak yang tidak bisa membedakan orang Asia. Mereka pikir orang yang berkulit kuning, mata sipit dan rambut hitam semuanya berasal dari negara Cina. Masih ada lho hare gene orang bule yang ngisengin kalau saya lewat dengan berkomentar,”Ciaaaaatt!!”. Malah masih ada yang beneran nanya apakah saya bisa kungfu. Blah. Waktu saya di Thailand, saya sampai harus belajar sebuah kalimat dalam bahasa Thai untuk mengatakan bahwa “saya bukan orang Thai” yaitu “mai chai kun Thai” saking seringnya saya tiba-tiba diajak ngomong orang Thai.

Penuduhan paling parah adalah ketika saya tinggal di Filipina. Cape deh sehari minimal 3 kali saya menerangkan bahwa diri saya bukan Pinay (bayangkan dalam setahun saya di sana bisa menerangkan sampe lebih dari 1095 kali!). “Hindi ako Pilipina,” begitu kalimat ampuh saya, atau langsung bilang “Ako ay Indonesian” supaya nggak ditanya balik “Taga-saan ka?” (kamu dari mana?). Sialnya, saya sering disangka anak Manila yang super sombong karena ngomongnya bahasa Inggris terus sampe nggak mau lagi ngomong bahasa Tagalog. Malah kalau lagi jalan di Filipina yang mblusuk, saya jadi sering disepa'in sama orang lokal. Tapi saya pikir-pikir memang saya kelihatan seperti orang Filipina banget, pokoknya paling mirip dibanding orang di negara Asia manapun. Saya aja sampe berasa sodaraan banget ngeliat mereka dan berasa pengen manggil mbak, mas, om, tante (FYI, saya seriiiing banget masuk ke restoran dan lidah otomatis memanggil 'Mbak' ke waitress-nya). Hehe!

Yah, orang Indonesia memang mukanya beda-beda sehingga panjang kalau harus menerangkan. Apalagi kalau lagi jalan sama sahabat-sahabat saya yang berasal dari macam-macam suku. Gimana orang luar bisa menyangka kami semua dari satu negara kalau asal sukunya bisa Batak, Jawa, Sunda, Manado, atau Flores coba? Warna kulit, bentuk muka, mata, rambut, badan, semua beda-beda. Kalau ada orang iseng yang nanya asal kami dari mana, ya ngarang aja. Nina yang berkulit hitam, rambut uwel-uwelan dan bermata belo mengaku asal Zimbabwe. Jade yang berkulit gelap, rambut lurus, mata sipit mengaku asal Fiji. Dan saya pun berbohong asal Bhutan. Paling tidak tu orang akan terdiam, mikir negara itu ada di mana, baru kita bisa kabur. Untung juga kan jadi orang Indonesia?


Teka-teki: Nah, bagaimana membedakan orang Indonesia di luar negeri diantara kerumunan orang (meski semuanya orang Asia)? Boleh percaya boleh tidak, salah satunya adalah jalannya paling slow. Salah lainnya, panjang kalau diceritakan tapi I just knew it!


Sunday, October 12, 2008 

Balada Kebelet

Ini sedikit catatan (nggak penting) dari trip Hongkong-Shenzhen-Macau bersama Yasmin, Jana dan Pascal, dimana kami selalu ribet cari toilet umum. Sepertinya hawa dingin belasan derajat, senewen di tempat dengan bahasa yang tidak dimengerti, dan ‘faktor U’, membuat kami jadi sering buang air kecil.

Berada di negara dimana orang jarang bisa berbahasa Inggris membuat susah bertanya kepada orang lokal ‘di mana toilet?’. Alhasil ya harus menggunakan bahasa ala Tarzan. Kalau bahasa tubuh cowok sih gampang dimengerti, tinggal menjentikkan jari telunjuk dan ditaro di bawah perut. Nah kalo cewek bingung kan? Kami pun berusaha menerangkan dengan menggunakan berbagai macam cara. Bilang “psssss”, nggak ngerti. Jongkok, ngga ngerti. Akhirnya kami menemukan bahasa yang dimengerti umat, yaitu dengan mengeluarkan suara bak lebah “buzzzz” sambil menggetarkan badan gaya kebelet. Susah bener ya?

Kalau lagi jalan di tempat umum dan mau cari toilet yang nyaman dan tidak bayar, logikanya masuk ke dalam mall. Sialnya waktu itu hampir jam 10 malam, mendekati jam tutup toko. Nemu satu yang buka di The Landmark Hongkong, sebuah mall kelas atas dimana isinya semua merk internasional yang ga mungkin banget terbeli. Sambil ter-wah-wah dengan mall yang super mewah, kami berlari-lari kecil ke tiap pojokan di 3 lantai demi mencari toilet yang ternyata sudah tutup. Ketika hampir menyerah, kami bertemu dengan salah satu staf yang kelihatannya habis dari toilet dan ia pun menunjukkan ke suatu arah. Horeee! Tapiii... oh no, tulisannya “Staff Only” dan terkunci pula! Sial! Akhirnya kami harus merelakan duit untuk membeli minuman di sebuah restoran di luar mall, demi pipis.

Paling gampang mencari toilet dengan cari papan petunjuk toilet, yang biasanya gambar cewek (pake rok) dan cowok berdiri. Tapi kalau sudah kebelet memang otak jadi susah berpikir. Kami pernah ‘tertipu’ dengan gambar ikon cewek dan cowok tapi ada di dalam kotak yang arahnya sama-sama menuju pojokan bangunan, sudah berlari-lari ternyata itu adalah lift! Pernah juga kami kebelet di Kun Lam Temple. Namanya juga temple berusia ratusan tahun, nyari toilet kan susah. Lalu dari kejauhan kami melihat plang biru bertuliskan ‘WC’ dengan gambar yang tidak jelas bentuknya apa. Begitu dideketin, ternyata gambar anjing berikut tulisan ‘W.C.’, dan persis di bawah plangnya ada tembok kecil setinggi paha yang mengitari tumpukan pasir. Sial.


Dari Hongkong kami ke Shenzhen naik MTR (Mass Transit Railway), begitu turun di perbatasan lagi-lagi kebelet. Sialnya langsung ada antrian puanjang di loket imigrasi, dilanjut dengan antrian untuk apply visa, baru bisa keluar dari negara Hongkong. Dengan proses yang panjang ini, kami tidak menemukan satupun toilet umum. Jana yang udah kebelet abis akhirnya bertanya dengan susah payah dimana toilet ke beberapa orang yang ternyata nggak ngerti bahasa Inggris maupun bahasa Tarzan. Sampai akhirnya ia bertanya kepada seorang ibu-ibu, dan dijawab pelan-pelan seperti mengeja, “Toooiiilet??” sambil mengernyitkan dahi dan ada jeda beberapa saat. “Yess?”, balas Jana harap-harap cemas. Dan ibu itu pun berkata dengan keras, “IN CHINA!!!” Hah? Jauh amat? Gila, ini rekor toilet terjauh karena harus ke luar negeri segala! Huahaha!

Akhirnya setelah ‘menginjak’ Cina, buru-buru kami berlari ke toilet umum. Ya ampun, dasar Cina penduduknya banyak... ngantrinya sampe kayak ular naga panjangnya alias puanjang benerr. Toilet umumnya cuma terdapat 4 bilik, semuanya WC jongkok, tapi tanpa tungkai atau tombol untuk flush, tapi nggak bau. Lagi mikir-mikir cara untuk flush, nggak taunya coooorrrrrr.... oh flush otomatis! Lagi mengancingkan celana, coooorrrr.... oh rupanya air menyiram secara otomatis setiap 1/2 menit sekali. Bagus juga caranya!

Sampai di Macau, ternyata toilet umum lebih parah lagi: kotor dan bau ga karuan. Tapi masa setiap di atas jam 10 malam kita harus selalu membeli minuman di restoran terus sih, boros amat. Akhirnya kami menemukan cara ampuh meski prosesnya memakan waktu lama: cari casino yang tanpa entrance fee, masuk, naro tas di penitipan, nulis formulir, diperiksa satpam, nanya waiter, lari ke toilet, dan selesai. Panjang ya?

Flush with pride, perasaan ini ada ketika kami pergi ke Macau Tower di malam hari. Sebenarnya kami nggak kebelet-kebelet amat, tapi ritual itu harus dilaksanakan sebelum beranjak pergi ke tempat lain daripada bingung nyari-nyari. Akhirnya di Observation Deck tepat di lantai 61, atau di ketinggian 223 meter, kami melaksanakan ‘tugas’. Dengan bangganya telah pipis di salah satu toilet tertinggi di dunia! Yihaaa! Kami pun sibuk foto-foto untuk mengabadikan kenangan norak ini di dalam toilet, sampai tak terasa pintu telah digedor-gedor oleh Satpam karena Tower mau ditutup dan kami digeret ke bawah di kegelapan lampu yang sudah mati – untung lift masih nyala.

Malam terakhir kami merayakannya dengan makan ala bufet di Noite e Dia Cafe di Hotel Lisboa di Macau. Berhubung sudah capek jadi orang kere, kami berharap dengan makan di hotel berbintang makanan pasti terjamin dan dapat toilet yang nyaman. Rupanya tempat itu melebihi ekspektasi kami, bukan saja makanan yang enak dan banyak, tapi toiletnya juga wah. Begitu sampai di depan pintu toilet, saya pikir salah masuk karena pintunya pintu besi dan tidak ada gerendelnya. Baru mikir bukanya gimana, pintu itu membuka sendiri dengan membuka kedua buah pintunya. Ciyeee... otomatis! Masuk lagi ke pintu lain, pintu otomatis terbuka lagi. Lalu memasuki bilik toilet, dibukakan lagi pintunya secara otomatis. Bagaikan ada hantu yang membukakan! Begitu masuk, lampu menyala otomatis. Begitu selesai dan berdiri dari toilet, flush otomatis. Mau cuci tangan, air dari kran otomatis keluar, begitu juga dengan sabun cairnya. Semua pintu pun membukakan kembali secara otomatis ketika saya keluar. Waah hebat!


Piss!


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates