Tuesday, June 24, 2008 

Tidak ada alasan untuk tidak jalan-jalan*

*Tulisan ini dimuat di 'U Magazine' edisi Juni 2008, hal. 80, dengan judul "17 Ribu Pulau, 47 Tahun" dg beberapa bagian yg telah di-edit
------------------------------------------------------

The World is a book, and those who do not travel read only a page.
- Saint Augustine

Saya suka tidak habis berpikir bila ada orang yang tidak suka jalan-jalan. Ada teman kampus saya di Manila yang bisa-bisanya tidak pernah jalan-jalan ke mana-mana. Boro-boro ke luar kota Manila, hidupnya selama setahun dihabiskan hanya di dalam kampus, dari dalam kamar di asrama sampai ke dalam kelas. Saya sampai tanya mengapa demikian, padahal dia termasuk kategori berada dan lajang pula. Dia merasa senang-senang saja sih tapi memang nggak suka bepergian! Apa nggak merasa sumpek tuh? Wah, kalau saya sih bisa jadi gila nggak pergi ke mana-mana.

Saya sudah pergi ke hampir seluruh propinsi di Indonesia dan 36 negara di dunia. Saya seringkali dituduh seorang yang tajir, yang kerjanya jalan-jalan melulu. Padahal saya hanya seorang ‘mbak-mbak kantoran’ biasa. Semuanya karena traveling is my passion! Saya sering dibilang gila karena pengeluaran terbesar saya adalah untuk jalan-jalan. Saya bekerja setahun, menabung setahun, jalan-jalan sampai tabungan menipis, dan bekerja lagi, begitu seterusnya. Motivasi saya bekerja dengan baik dan mengejar karir adalah agar saya mendapat uang lebih banyak, ya untuk jalan-jalan. Saya pun berusaha keras menyelesaikan thesis saya lebih cepat demi mendapatkan waktu untuk menjelajahi Filipina.

Untungnya pengeluaran saya tidak begitu banyak. Saya tidak suka belanja, tidak suka beli-beli baju, tas, sepatu, kosmetik, seperti layaknya kebanyakan wanita. Saya tidak malu untuk mengakui bahwa saya masih numpang tinggal di rumah orang tua. Barang termahal yang saya punya saat ini adalah laptop saya, itupun bukan yang canggih-canggih amat karena prosesornya pun masih Celeron. Saya orang yang fungsional, membeli sesuatu berdasarkan fungsinya. Laptop bagi saya berfungsi sebagai mesin ketik dan bisa browsing saja sudah cukup. Harta saya yang paling beharga hanyalah berupa tulisan perjalanan saya, foto-foto dan cap di dalam paspor.

Ke mana saya pergi tergantung dari dana dan waktu yang tersedia. Setahun sebelumnya saya sudah hapal tanggal berapa yang ada tanggalan merahnya, terutama yang ada long week end atau hari kejepit. Pokoknya cuti 12 hari dalam setahun, saya manfaatkan sebaik-baiknya. Cuti bisa saya bagi dengan mengambilnya sedikit-sedikit, atau langsung saya ‘jebret’ sekaligus, tergantung izin bos di kantor. Makanya saya bercita-cita ingin pergi ke negara-negara di Amerika Latin atau di Afrika, sayangnya dana dan waktu belum kesampaian sampai saat ini. Hari-hari sebelum cuti biasanya saya paling sibuk karena harus menyelesaikan pekerjaan dan hand-over ke kolega saya. Sebagai wujud pertanggungjwaban saya, handphone saya terbuka 24 jam dan saya sesekali membuka email di warnet. Saya juga selalu mengecek sinyal di suatu tempat dengan provider selular saya sebelum saya pergi dan memberitahu tim saya. Dari semua negara yang pernah saya kunjungi sampai saat ini, hanya di Republik Palau yang tidak ada sinyal karena tidak bekerja sama dengan provider selular di Indonesia.

Bagi saya, tidak ada tempat yang bagus atau jelek, hanya saja berbeda. Saya selalu membuka kelima indera saya untuk merasakan sesuatu yang baru dan menikmatinya. Saya bisa nongkrong di pinggir jalan hanya untuk memperhatikan orang berpakaian, berjalan, berbicara, berjualan, atau sekedar menikmati harum roti baru dipanggang dan kopi panas. Saya selalu mencari hal yang lucu dari perbedaan itu, bahkan ketika saya mengalami kesialan – apalagi saya orangnya disoriented dan tidak bisa membaca peta. Saya tidak pernah punya ekspektasi tentang suatu tempat, dan tidak pernah ngambek kalau saya menganggap tempat tersebut tidak sesuai dengan harapan. Pergi ke negara maju selalu membuat saya kagum, sebaliknya pergi ke negara yang lebih miskin daripada Indonesia selalu membuat saya lebih menghargai negara sendiri. Sebagai mbak-mbak kantoran, mana bisa saya pergi ke tempat-tempat dalam keadaan tidak aman politiknya, karena bisa-bisa saya tidak bisa pulang dan kehilangan pekerjaan.

Menurut saya jalan-jalan itu bisa menyegarkan fisik dan mental. Mungkin karena saya orangnya bosenan, tidak bisa hidup dengan melihat, merasa dan melakukan hal yang sama terus-terusan. Jalan-jalan bagi saya bukanlah sesuatu yang besar, cukup pergi ke suatu tempat yang asing atau melakukan sesuatu hal yang baru. Saya selalu bertanya kepada diri saya, “When was the last time you did something for the first time?” mengutip tagline sebuah iklan penerbangan. Bila saya sudah tidak bisa menjawabnya, berarti saya harus melakukan sesuatu. Keuntungan lain, saya mempelajari sejarah dunia hasil jalan-jalan, belajar bahasa asing dari jalan-jalan, tahu rasa makanan khas dari berbagai daerah dan negara, bahkan saya menjadi lebih open-minded dan sabar.

Jalan-jalan ala backpacker juga bukan semata-mata karena budget saya yang sangat terbatas. Kalau saya mau, saya bisa menginap di hotel berbintang kok. Tapi buat apa menginap di hotel mahal kalau hanya ditiduri beberapa jam saja, lebih baik uangnya dipakai untuk ongkos untuk pergi ke tempat lain. Dengan menginap di hostel (bedanya di huruf ‘s’ tapi harga hanya 10%-nya saja), saya bisa berteman dengan sesama pelancong lainnya bahkan merencanakan trip bersama. Saya juga bisa saja pergi membawa koper, tapi saya lebih suka membawa ransel demi kepraktisan karena selama perjalanan harus kejar-kejaran dengan bis dan kereta, bahkan naik kapal nelayan atau naik ojek. Dengan ransel juga membuat saya selalu harus travel light dan jadi ogah belanja, karena kalau semakin berat akan semakin capek menggendongnya – apalagi dengan faktor ‘u’ (usia) yang bikin tambah lamban.

Saya lebih senang menjadi independent traveler daripada ikut tour yang diadakan travel agent karena saya tidak suka diatur-atur. Saya suka geli sendiri melihat rombongan tour yang dipimpin tour leader yang membawa bendera: rombongan diturunin di suatu tempat, foto-foto, terus masuk lagi ke dalam bis. Padahal jika bergaul dengan penduduk lokal, saya sering menemukan tempat-tempat seru yang bukan tempat turis. Makan aneka tapas enak dan murah di gang kecil di Barcelona, nongkrong sambil minum bir dan mangga muda di trotoar jalan di Hanoi, bahkan ke nudist beach di Sydney – semua karena saya gaul dengan orang lokal.

Jalan-jalan bersama teman memang lebih menyenangkan, tapi saya juga tidak masalah untuk jalan-jalan sendiri karena saya pasti bertemu teman baru. Malah saya tidak menikmati jalan-jalan dengan begitu banyak orang karena capek harus bertoleransi karena satu sama lain maunya beda-beda: ada yang mau shopping, ada yang mau dugem, ada yang mau tidur lebih cepat. Makanya saya lebih senang sekali pergi maksimal dengan 3 orang lain. Kalau dengan teman-teman saya sendiri, kami tidak selalu pergi berbarengan. Silakan saja jalan sendiri-sendiri dan bertemu di suatu tempat pada jam yang telah ditentukan sebelumnya.

Akibat jalan-jalan, saya juga bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari menulis di blog (naked-traveler.blogspot.com) atau majalah dan mendapat royalty dari buku. Email saya terbuka bagi siapa saja dan saya berusaha menjawab sebisa saya atau melempar lagi di milis. Email yang paling sering masuk adalah email yang menanyakan, ‘saya pengen banget jalan-jalan, tapi ngga punya uang, jadi gimana dong, mbak?’. Jawaban saya pendek saja, ‘mulailah menabung’. Sepertinya jawaban itu dianggap remeh sampai mereka tidak membalas email saya lagi. Seperti kata pepatah ‘ada kemauan ada jalan’, seharusnya kalau ada orang yang mempunyai keinginan yang kuat, dia akan berusaha untuk mencapainya bukan? Ya disisihkan dong penghasilan per bulan, dengan menabung lima puluh ribu per bulan saja dalam setahun sudah bisa pergi liburan ke Pulau Pramuka atau Taman Nasional Halimun.

Pertanyaan paling banyak kedua adalah minta tips karena ‘takut pergi sendiri’. Kalau karena alasan ini memang tidak bisa dipaksakan, namun bisa diakali. Caranya, carilah teman yang mau diajak jalan bareng. Memang agak susah cari teman yang mau sama-sama nekat, punya dana dan cuti pada waktu yang bersamaan, tapi kalau direncanakan jauh-jauh hari kan bisa. Kalau tidak bisa menemukan teman yang bisa digeret bareng, mulailah dengan bergabunglah dengan tour yang diselenggarakan oleh travel agent atau bergabung dengan klub jalan-jalan yang saat ini sudah mulai marak di Indonesia. Kalau sudah tau caranya dan merasa lebih pede, pergilah sendiri.

Yang terakhir, banyak orang berpikir bahwa jalan-jalan harus ke luar negeri. Percaya deh, negara kita ini sangat luas dan indah. Dengan lebih dari 17.000 pulau kalau sehari ke satu pulau di Indonesia saja, dalam setahun tidak bakal habis dijalani. Hehehe! Lagian, males dong kalau jauh-jauh ke Puerto Rico, salah satu obyek wisatanya adalah melihat pohon pisang!

Nah, rasanya tidak ada alasan lain untuk tidak jalan-jalan bukan? Berangkaaat...!


Sunday, June 08, 2008 

Hotel nge-Bronx

Akhir Desember 2007 sahabat-sahabat saya, Yasmin, Jana dan Pascal, mengunjungi saya di Filipina, lalu kami ber-backpacking-ria ke Filipina, Hongkong, Shenzhen dan Macau. Usulan saya diterima dan mereka menyerahkan urusan perjalanan kepada saya. Namun karena kesibukan kuliah yang super padat melebihi kerja kantoran, kali ini saya benar-benar tidak ada persiapan sebelum perjalanan. Saya tidak sempat baca-baca situs tentang ke mana mau pergi, apalagi booking penginapan. Saya merasa santai saja, karena selama ini juga pasti dapat. Saya lupa kalau saya jalan rame-rame dan pada saat peak season pula. Saya cuma sempat booking penginapan pertama di Malapascua Island dan minta tolong seorang teman untuk booking hotel di Cebu sehingga tidak ada hambatan yang berarti.

Bencana pertama datang ketika kami sampai di pelabuhan laut Bohol, Filipina, pada malam hari. Setelah diserbu oleh para supir taksi, tricycle dan taksi gelap akhirnya kami memutuskan naik mobil sewaan dengan sound system jedang-jedung karena supirnya muda dan culun. Perjalanan ke Alona Beach membuat kami jadi parno karena jalannya menuju hutan yang gelap. Sialnya lagi, ternyata semua penginapan penuh, tapi si supir yang ternyata baik hati itu membantu mencari penginapan. Akhirnya kami mendapat 1 kamar tapi hanya untuk semalam saja, harganya sekitar Rp 300.000/kamar. Kamarnya bau debu sampai saya bersin-bersin nggak karuan dan tidur dialas sarung bali karena takut gatel. Besoknya kami bela-belain bangun pagi dan menyusuri pantai untuk mencari penginapan lain. Dengan matahari yang bersinar terik, kami keluar-masuk dan tanya-tanya, sembari sebentar-sebentar duduk di bawah pohon untuk ngadem. Perburuan yang memakan waktu tiga jam akhirnya membuahkan hasil, kami dapat penginapan di Isis Bungalow. Letaknya di pantai paling ujung dan harganya agak mahal, kalau patungan sekitar Rp 800.000 untuk berempat. Untunglah bungalownya besar, bersih dan menghadap pantai. Susahnya karena berempat, ya harus ngantri kalau mau ke kamar mandi, mana air dari kran kecil banget jadi harus selalu siap air di dalam ember.

Belajar dari pengalaman itu, kami buru-buru cari penginapan di Hongkong melalui internet. Apalagi kami akan menghabiskan tahun baru di sana, plus takut ribet dengan bahasanya kalau masih harus cari-cari lagi. Seperti yang sudah diduga, semuanya penuh mulai dari yang murah sampai yang mahal. Entah search pakai apa, Pascal akhirnya mendapat tempat di New China Hotel di daerah Tsim Sha Tsui, meski agak di luar budget tapi tidak ada pilihan lain yang lebih murah. Jadi kami langsung pesan 3 malam dan membayar 10% DP secara online. Kalau judulnya ‘hotel’, pikiran kami ya standar hotel lah. Malah menurut peta, hotel itu ada di sebelahnya Holiday Inn. Setelah turun dari bis dan memasuki Chungking Mansions, mata kami membelalak...abisan dalamnya ternyata pertokoan kayak di Glodok: isinya penuh dengan toko elektronik, toko jam, toko tas, warung India, dan banyak orang berkulit hitam gede-gede seliweran. Bau di lantai dasar pertokoan itu campuran antara bau kari, bau hio, bau rokok dan bau pipis. Wah, Bronx abis! Hotelnya ternyata di lantai 9 dengan lift sempit dan antrian yang panjang dan lama. Kamarnya lebih parah lagi, begitu buka pintu langsung tempat tidur, sampai naro barang aja harus di kolong tempat tidur saking nggak ada tempat. Pemandangan dari jendela adalah gedung-gedung lain yang sama tuanya, dengan cat yang luntur, gelap dan lembab. Dari keterangan di internet sih bener: lokasi strategis, ada AC, TV, kamar mandi dalam dan air panas. Kamarnya memang bersih sih, tapi siapa yang sangka nge-Bronx gitu!

Karena parno masih berlanjut, dari Hongkong kami pesan kamar untuk menginap di Shenzhen melalui internet juga, pilihan jatuh ke My Little Hut Hostel. Harganya hampir ½ dari Hongkong, jadi kami benar-benar pasrah dengan keadaan penginapannya – apalagi namanya ‘hostel’. Setelah susah payah mencari info bagaimana cara naik MRT ke hostel itu karena tidak ada yang bisa berbahasa Inggris, kami turun di stasion ke-empat dilanjut dengan berjalan kaki sambil terengah-engah menggendong ransel. Begitu melihat gedung bertingkat yang tua dan busuk banget, kami pun pasrah bila harus tinggal di Bronx lagi. Eh, ternyata bukan dan masih jauh lagi jalan kaki (petanya sangat menipu karena tidak ada skalanya). Tulisan hostelnya ternyata kecil banget karena ketimpa dengan karakter Cina sehingga hampir tidak kelihatan. Kami harus naik tangga lagi 4 lantai, lagi-lagi melewati toko-toko dan warnet. Wah, namanya sih hostel tapi ternyata bagus dan bersih banget, jauh lebih oke daripada yang di Hongkong dengan fasilitas yang sama pula. Reception-nya saja ada beberapa layar CCTV, kamarnya luas dan jendelanya besar menghadap jalan raya. Lega banget!

Bencana terakhir, kami tidak menemukan satupun penginapan murah di Macau melalui internet, minimal harganya udah ratusan dolar, jadi kami memutuskan untuk go show saja. Dari Pier 14, kami jalan kaki ke alun-alun Largo do Senado, istirahat sebentar, lalu ‘hom-pim-pah’ – dua orang yang kalah harus mencari penginapan, dengan catatan dua orang yang menang nggak boleh protes atas keputusan yang kalah. Saya dan Yasmin yang kalah, menyusuri jalan utama Avenida de Almeida Ribeiro lalu nemu hotel yang nyempil di antara toko-toko di namanya Hotel Central. Kami memilih tinggal di sana karena lokasinya yang sangat strategis dan juga karena malas cari-cari lagi. Harganya pun lumayan, sekitar 280 ribu rupiah semalam untuk berdua meski hotelnya tua bener, gelap dan spooky. Langit-langitnya tinggi, jendelanya banyak sarang laba-laba, besi-besi di kamar mandi pun sudah berkarat – persis kayak di settingan film-film horor. Hiiii!

Moral of the story: Ada harga, ada mutu. Semakin males, semakin mahal bayarnya. Jangan pernah punya ekspektasi karena ntar malah kecewa. Makanya harus punya selera humor yang sama, kalo sial ya cuma ngetawain aja.


Tuesday, June 03, 2008 

Awas ada Hiu...Terbesar di Dunia!

Rupanya si thresher sharks di Malapascua ini hanya bisa dilihat persis pada saat matahari terbit, jadi para penyelam harus sudah masuk air pada jam 5.30 pagi. Mau nggak mau, saya bersama kedua sahabat jalan saya, Yasmin dan Jana, bangun jam 4 pagi. Berhubung restoran di resor belum buka plus rasa parno takut kelaparan pas diving, kami menyeduh mie instan dan kornet. Setelah perjalanan kapal selama 45 menit, kami pun turun ke kedalaman laut yang masih agak gelap, terus turun sampai ke dasar yang hanya hamparan pasir dan karang yang tandus. Nah, lama-lama ikan-ikan pada bangun pagi satu per satu entah datang dari mana...cling...cling...tau-tau nongol aja ikan kecil-kecil. Aneh juga. Tak lama kemudian, datanglah makhluk berwarna perak, sang hiu thesher...woalah, gede benerrrr...dengan ekor yang panjang bagaikan pedang berkilat kena sinar matahari. Ia pun berputar-putar di depan kami dan pergi. Tidak percuma kami bela-belain ‘sahur’ jam 4 pagi. Di kapal kami berbicara dengan sesama penyelam lain, rupanya mereka sudah beberapa hari diving tapi tidak ketemu hiu thresher. Kasihan. Kata Yasmin berkomentar jahil, “Monggo sahur lagi, boss...”

Soal whalesharks, saya mengetahuinya secara tidak sengaja dari brosur yang saya dapat di pameran diving, judul brosur tersebut ‘Swimming with the Whalesharks’. Disebutkan pula bahwa bila datang pada saat musim Butanding (bahasa lokal untuk whaleshark) di daerah Donsol pada bulan April-Mei setiap tahunnya maka dijamin pasti bisa ketemu. Whalesharks atau hiu paus atau butanding ini merupakan jenis ikan terbesar di dunia padahal mereka bukan termasuk mamalia. Mungkin mereka dinamai ikan paus karena memang ikan ini gede banget bagaikan paus (whale) padahal ia termasuk spesies hiu (shark). Untuk melihat si butanding harus mendaftarkan diri di kantor Department of Tourism (DOT) dan menyewa kapal seharga P3,500 yang bisa diisi maksimal 7 orang peserta. Karena saya hanya berdua dengan teman saya, Udhi, saya minta dipasangkan dengan 5 orang lain supaya bisa patungan. Tak menunggu lama terisi 7, kami langsung berangkat ke laut. Kru kapal ternyata ada 7 orang sendiri: 1 orang kapten, 2 orang awak kapal, 2 orang guide, dan 2 orang spotter yang berdiri di atas tiang kapal. Cara kerjanya, para spotter melihat dari ketinggian keberadaan bayangan hitam gede di laut dan memberi tahu pak kapten untuk mendekatkan kapal. Lalu guide yang memberi aba-aba ke para peserta untuk bersiap-siap duduk di pinggir kapal dan loncat ke dalam laut, juga ikut berenang bersama para peserta mengejar butanding atau menggeret peserta yang berenangnya lelet.


Setelah sejam melaut, tiba-tiba guide berteriak, “Get ready! When I say jump, you all jump ok?”. Saya pun segera memasang fin dan snorkel, duduk di pinggir kapal. Begitu aba-aba ‘jump’, saya bersama peserta lain lompat dari kapal yang sedang berjalan sambil harus menghindar dari baling-baling mesin kapal. Lalu kami berenang mengikuti guide sambil di-hayo-hayo-in, “Fast! Fast!”. Mana visibility air lautnya buruk lagi, artinya jarak pandang mungkin hanya 2 meter saja di dalam air, sisanya ya warna biru aja. Tiba-tiba guide berteriak, “Stooop!” yang membuat saya tiba-tiba jadi patung nggak ngerti kenapa disuruh stop. Lalu dia berkata dengan nada rendah, “Now, look down...” Saya pun melihat ke bawah...dan...hah kok lautnya tiba-tiba hitam, tapi kok bergerak dan nggak habis-habis warna hitamnya...Haaah? Itu hiu paus! Ada di bawah saya, berenang sangat dekat serasa di perut saya! Jantung saya pun berhenti berdetak dan meloncat ke luar, menarik napas sambil berteriak histeris. Kata si guide, itu hiu paus ukuran medium doang dengan panjang 8 meter. Gila, medium kok gede banget, lebih panjang daripada ruang tamu rumah saya! Begitulah sampai akhirnya saya pun berhasil berenang bersama 7 ekor butanding dengan ngos-ngosan (padahal butanding termasuk lelet dalam berenang, kecepatannya ‘hanya’ 5 km/jam). Kata si guide lagi, butanding ini vegetarian, makannya cuma plankton meski mulutnya kalo mangap setinggi 1,5 meter dan giginya ada ribuan. Saya sadar saya nggak bakal dimakan, tapi melihat makhluk super besar di dalam laut ya bikin deg-degan juga bukan? Lah kalo dia menggoyang pantatnya sedikit aja, mungkin saya bisa kelempar sampai ke darat kali! Atau kalau saya tiba-tiba tersedot mulutnya, gimana coba?

Hari berikutnya, saya tidak melewati kesempatan untuk diving di Manta Bowl, sebuah dive spot yang katanya banyak terdapat manta rays (ikan pari raksasa) sekitar 1,5 jam naik boat. Dasar lagi musim butanding, seharian diving bukannya ketemu manta malah butanding lagi karena katanya manta juga ogah ketemu butanding. Ternyata ketemu butanding pas menyelam jauh lebih serem karena nggak bisa berenang cepat untuk kabur naik ke permukaan. Lagi enak-enaknya nunggu di dasar laut kedalaman 18 meter, tiba-tiba area sekitar kami gelap bagaikan ada awan hitam yang menghalangi sinar matahari. Begitu Dive Master menunjuk ke atas, lagi-lagi jantung saya mau copot... ada butanding lewat di atas kepala, hitam, gede, panjang 12 meter, bagaikan kapal selam! Hiii! Diving terakhir pun saya sampai panik berat. Lagi safety stop di tengah kedalaman laut yang cuma warna biru, tiba-tiba butanding datang dari belakang, lewat ke depan dan berbalik arah ke arah saya. Haaaa!!! Buddy saya kena panick attack dan langsung bergelanjut di badan saya sampai saya tenggelam lagi. Haduh nggak bisa kabur ke mana-mana, selain meremin mata karena mulutnya die mangap gede benerrr. Rupanya dia lewat aja di samping kami sambil melengos dengan matanya yang kedap-kedip. Sialan!

Well, gara-gara hiu, saya jadi berniat untuk melihat langsung great white shark (hiu putih raksasa) sambil diving di dalam kerangkeng besi. Katanya sih di Afrika Selatan ada dive spot khusus yang dijamin bisa lihat hiu paus, jenis hiu yang paling ganas yang bukan vegetarian. Ah, membayangkannya saja adrenalin saya rasanya sudah mendidih. Ada yang mau ikut?


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates