Saturday, August 23, 2008 

Habis pantai, terbitlah kunang-kunang

Indonesia dan Filipina sama-sama negara kepulauan, sama-sama makan nasi, sama-sama dipandang sebagai negara yang tidak stabil politiknya. Soal kekayaan budaya, Indonesia jauh lebih unggul daripada Filipina. Di sana tidak ada situs bersejarah yang kuno banget, candi, tarian tradisional yang berbagai macam, atau baju tradisional yang ribet. Budayanya warisan dari Spanyol, atau malah Amerika banget. Kecuali di region Mindanao yang sudah bercampur dengan budaya Indonesia dan Malaysia sehingga ada batik dan tenunan. Kelebihan Filipina adalah mereka berbahasa Inggris jadi mudah berkomunikasi. Lalu, karena ukuran negaranya yang lebih kecil maka aksesnya jauh lebih mudah dan murah dibanding keliling Indonesia.

Sadar akan kekurangannya, Filipina giat mempromosikan eco-tourism atau wisata alam, terutama pantainya - bahkan mereka mengklaim diri sebagai “Asia’s Beach Capital”. Bedanya dengan Thailand, di Filipina belum begitu komersial jadi masih alami dan tidak banyak hotel yang super besar dan mewah. Memang pantai-pantai di Filipina oke banget, contoh yang paling terkenal adalah Boracay yang pasir putihnya halus bak bedak bayi. Tapi pasir putih dan air laut yang biru mah banyak di sana. Bahkan pantai di pusat kota saja tetap berwarna biru dan bersih seperti di Manila Bay atau Rizal Boulevard di Dumagete, meski tiap hari banyak orang nongkrong dan makan di warung-warung pinggir jalan. Harus saya akui, orang Filipina memiliki tingkat kesadaran akan kebersihan yang lebih tinggi. Bagi pecinta diving, Filipina juga surganya. Hanya 2 jam naik mobil dari Manila sampailah ke Anilao, dive site yang indah terumbu karang dan ikannya. Ke dive sites lain yang tak kalah indahnya juga hanya sejam naik pesawat, begitu mudahnya pergi untuk melihat spesies ikan tertentu seperti manta ray, thresher shark dan whaleshark.

Obyek wisata alam di Filipina menurut saya mengada-ada karena sebenarnya di negara kita juga banyak. Tapi dengan kesederhanaan itu, kenapa kita tidak bikin hal yang sama coba? Contohnya, hanging bridge alias jembatan gantung yang alasnya terbuat dari bambu di Bohol yang merupakan tempat wajib untuk dikunjungi turis. Saya aja ke sananya males, tapi buktinya turis (lokal dan asing) berebutan naik jembatan dan foto-foto. Contoh kedua, lunch cruising di Lobok River. Ya ampun, cuman makan siang ala buffet pake iringan penyanyi bergitar di atas saung apung yang ditarik kapal bermotor doang. Air sungainya sih memang jernih dan sekelilingnya hutan hijau, tapi puncak acaranya adalah melihat air terjun... setinggi 2 meter! Halah. Memang kita seharusnya berpikir seperti turis asing yang tinggal di negara non tropis, hal-hal seperti itu bagi mereka kan sungguh eksotis - bahkan bagi orang kota yang nggak pernah ke kampung.

Ada hal dimana Indonesia dan Filipina sama-sama punya, tapi dikemas sedemikian rupa sehingga di sana menjadi lebih terkenal dan heboh. Contohnya hewan tarsier atau tarsius, yang terkenal sebagai monyet terkecil di dunia. Di sana sangat mudah untuk melihat bahkan menyentuh langsung hewan imut tersebut – meski berada di cagar alam, tapi beberapa tarsier ditaruh di dalam kandang besar di pinggir jalan, beda dengan kita yang harus subuh-subuh trekking ke cagar alam Tangkoko di Bitung. Kemudahan ini menguntungkan turis yang tidak punya waktu banyak, bahkan Bohol menjadikan tarsier sebagai icon pariwisatanya. Nah, yang lebih ‘ajaib’ lagi adalah bagaimana Filipina mempromosikan sesuatu yang menurut saya biasa saja, yaitu “Durian City” di Davao. Kota itu memang penghasil durian terbesar di Filipina sehingga semua suvenir gambarnya durian, bahkan tugu di pusat kota gambarnya ya buah durian. Pas banget bagi turis asing yang tidak pernah lihat durian, meski di sana durian juga ada musimnya. Terus terang saya jadi sedih campur sirik.

Sebaliknya, ada obyek wisata alam di Filipina yang bikin saya sampai berdecak kagum. Pernah tau kunang-kunang? Di Donsol, nonton kunang-kunang (fireflies) di pohon yang berlokasi di pinggir sungai jadi salah satu obyek wisata. Saya pernah lihat bahkan menangkap kunang-kunang waktu saya kecil di rumah nenek di kampung, tapi tidak pernah sampai sebanyak itu. Gila, saking buanyaknya sampai kayak lampu pohon natal! Bahkan di sepanjang sungai kumpulan kunang-kunang terlihat seperti lampu disko yang kelap-kelip di kegelapan malam. Indah benerrr! Di Pinacuanan River, nonton kelelawar juga jadi obyek wisata. Baru kali itu saya lihat jutaaan kelelawar keluar dari sarangnya saat matahari terbenam sehingga membentuk gumpalan panjang berwarna hitam. Harusnya di Indonesia ada yang kayak beginian deh.

Jumlah turis asing ke Indonesia dan Filipina kurang lebih sama-sama 3 juta orang per tahun (FYI, Thailand 14 juta). Pertumbuhannya juga jauh beda, Filipina 20% sementara Indonesia sekitar 11% per tahun. Masa sih Indonesia yang jauh lebih besar dan kaya budaya jumlah turisnya tidak lebih banyak daripada Filipina? Menurut saya salah satu kuncinya - selain promosi yang benar dan terintegrasi dengan baik - adalah karena pemerintah Filipina terjun langsung mengurus obyek wisatanya yang benar-benar dianggap aset berharga. DOT (Department of Tourism) bekerja sama dengan barangay (desa) setempat, mereka memberikan pelatihan kepada penduduk setempat akan pentingnya pariwisata dan bagaimana pariwisata dapat memberikan tambahan penghasilan. DOT juga memberikan pelatihan cara menjadi guide, bekerja sama dalam mengoperasikan bisnis, membangun loket, konservasi alam, menstandarisasi harga sewa kapal, memberikan insentif, dll. Barangay jadi merasa bangga dan punya sense of belonging sehingga semangat dan melayani tamu dengan baik. Selain itu, tempat wisata baru terus ditemukan dan dikembangkan sehingga tidak terpusat hanya di Boracay (di kita fokusnya Bali melulu). Pada akhirnya, menguntungkan semua pihak: turis dimudahkan, tingkat ekonomi penduduk setempat naik, dan pemerintah dapat pemasukan.

*Foto di atas berlokasi di White Beach, Boracay, Filipina


Friday, August 15, 2008 

Boat Cruise bikin Dehidrasi

Umumnya orang tau berwisata naik kapal adalah dengan menggunakan kapal pesiar (cruise ship) yang besar dan mewah yang memuat ribuan orang, seperti film The Love Boat atau Titanic, dengan tujuan ke Karibia atau Alaska. Selain kabin yang bagus, ada kolam renang, diskotik, beberapa restoran, bar, dan toko. Tapi kalau boat cruise hanyalah menggunakan kapal kecil terbuat dari kayu dengan panjang kapal sekitar 20an meter dan kapasitas penumpang 12-18 orang saja. Kelebihannya, karena ukurannya yang kecil kapal tersebut dapat mencapai daerah-daerah tepi pantai yang tersembunyi di antara teluk yang sempit dan bisa ‘ngepot’ di antara pulau-pulau kecil. Kalau pergi ke suatu tempat dan disarankan untuk boat cruise, maka saya cari yang versi backpacker-nya. Tidak usahlah yang VIP atau mewah-mewahan segala, toh tujuannya sama. Kenyamanan menjadi nomor ke sekian kalau jadi backpacker bukan?

Pertama kali saya ikut boat cruise pada awal tahun 2007 di Vietnam, mengelilingi Halong Bay selama 3 hari 2 malam. Kapalnya disebut dengan junk boat, dengan 3 layar seperti kipas berwarna emas kekuningan, serasa berada di film silat Cina jaman dulu. Saya sangat surprise, dengan biaya relatif murah USD 46/orang, sudah full board (makan 3 kali dan snack). Kabinnya luas dan mewah, ber-AC, dengan 2 tempat tidur terpisah, meja, handuk, dan kamar mandi dalam dengan air panas. Kedua, baru saja saya ikut boat cruise di Turki dari Olympos ke Fethiye menyusuri laut Mediterania yang terkenal indah itu selama 4 hari 3 malam. Kapalnya disebut gulet, kapal kayu tradisional yang dulunya dipakai oleh para nelayan dengan 2 layar lebar. Trip semacam ini disebut sebagai blue cruise, artinya naik gulet di birunya perairan Aegean dan Mediterranean Turki. Biayanya mahal, TRY 300/orang full board (sekitar Rp 2,3 juta), itu pun termasuk cruise murah untuk para backpackers. Tapi mengingat keindahan itu hanya bisa dinikmati naik kapal dan supaya menghemat waktu dan tenaga untuk pergi ke desa-desa dan situs arkeologi menarik di sepanjang pantai tanpa akses jalan raya, ya sutralah. Sayangnya kabin kapalnya sempit, tempat tidurnya kecil berupa bunk bed (sampai Nina hampir melorot jatuh ketika kapal dihantam ombak), tanpa AC, meski ada juga kamar mandi dalam. Jendelanya kecil, dan hanya ada di samping tempat tidur bagian atas. Saking kecilnya, naro 2 ransel saja sudah penuh sesak, makanya sebagian besar orang memilih untuk tidur di atas deck kapal.

Cruise di Halong Bay terasa romantis dan misterius karena airnya yang tenang dan pemandangan alamnya yang sendu di antara pulau-pulau batu kapur yang menjulang, lengkap dengan kabut yang memecah di pagi hari ketika saya membuka jendela kabin. Boro-boro saya berenang, siang-siang nongkrong di deck kapal saja pakai baju berlapis-lapis karena sedang musim dingin. Kami dibawa ke pulau yang terdapat gua-gua besar, seperti Sung Sot Cave, jalan-jalan di pulau nelayan terbesar di Cat Ba, dan kayaking di Lan Ha Bay. Sebaliknya, di Turki saat musim panas adalah saat terbaik untuk berenang di laut sampai saya gosong terpanggang matahari karena pagi-siang-sore-malam berenang (di sana pada saat musim panas, matahari terbenam jam 8 malam). Begitu kapal berhenti, saya tinggal terjun langsung dari kapal ke dalam birunya laut. Segerrr! Kami juga dibawa ke Sunken City (reruntuhan kota zaman Romawi yang sudah tenggelam di laut), desa Simena dan Kas, Pirate Cave, pulau St.Nicholas dan tentunya Butterfly Valley (teluk cantik yang terdapat 136 jenis kupu-kupu) dan Oludinez (disebut The Blue Lagoon) yang maha indah. Baju pun jadi hemat karena setiap hari hanya memakai bikini dan sarungan.

Dengan kapasitas yang terbatas, maka seluruh penumpang dapat saling mengenal satu sama lain. Meski selalu ada resikonya: kalau tidak sewa kapal sendiri bisa jadi sekapal bersama penumpang ABG yang sangat ribut dan kerjanya mabuk-mabukan, atau justru kalau kita yang pengennya rame dan seru malah sekapal dengan penumpang lain yang tua-tua dan pendiam. Di Halong Bay, saya dan Yasmin bersama 8 orang lain, 6 orang yang merupakan 3 pasang cewek-cowok muda dan 2 orang kakek-kakek. Geng kapal jadi terbagi dua: the couples dan the jomblos (tentunya kami segeng dengan 2 kakek). Dasar Asia yang terkenal dengan tidak efektif, meski jumlahnya hanya 10 tamu, tapi kami dilayani oleh 6 orang kru, satu kapten, plus seorang guide bernama Cuong yang menemani kami ke tempat-tempat wisata. Di Turki, selain saya dan Nina, ada 5 orang cewek ABG asal Australia berusia belasan tahun dan 8 orang lain asal Korea, USA, UK dan NZ yang berusia 28-35 tahun - jadi cocok banget bersekutu nyuekin ABG berisik itu! Kru kapal hanya 3 orang saja termasuk sang kapten, Yusuf. Paduan orang-orang di kapal kami lumayan cocok – yang tua mengalah dan hanya geleng-geleng kepala mendengar topik pembicaraan para ABG yang dangkal. Saya jadi bersyukur ketika malam pertama di Gokkaya Bay ada kapal yang parkir di sebelah yang ributnya minta ampun. Isinya anak-anak ABG Australia dengan musik keras jedang-jedung dan tawa yang memekakkan telinga. Sampai salah satu dari mereka bilang ke saya, “Gila, gua terjebak dengan anak-anak kecil yang ruibut banget! Gua umur 24 dan paling tua di sini karena mereka semua baru lulus SMA!”. Duh, saya jadi merasa tua banget. Faktanya, saya memang yang paling tua di kapal kami, bahkan lebih tua dari kapten kapal. Apalagi ketika mendengar salah satu ABG yang bilang, “Even Madonna is older than my mum”. Sial.

Cara saya mendapat fasilitas tambahan, bergaullah dengan awak kapal. Di Halong, saya berteman dengan guide yang bisa membawa saya keliling Cat Ba, bahkan menemani saya nongkrong ketika kembali ke Hanoi. Saya juga berteman dengan tukang masak, jadi kalau masih laper saya bebas masuk dapur atau ikutan makan jatah awak kapal. Hehehe! Di Turki, saya berteman dengan ABK yang jago mijit. Juga berteman dengan kapten yang punya sepupu tukang mancing pake spear gun. Saya jadi diajak ke laut untuk mancing dan diajari spearfishing gratis. Rupanya sepupunya itu punya sebuah bar di Gokkaya Bay, jadi saya bisa dapat (banyak) alkohol gratis. Yah, biarlah dikatakan cheap shit, yang penting gratiss.

Kapal mendapat penghasilan tambahan dari minuman. Kedua boat cruise itu tidak menyediakan minuman, kecuali kopi atau teh di pagi hari. Peraturannya jelas tertulis bahwa penumpang dilarang membawa makanan dan minuman dari luar. Kebayang kan harganya jadi berapa mengingat tidak ada cara lain membeli minum selain beli di kapal. Tak habis akal, saya selalu beli minuman dari luar dan diam-diam dimasukkan ke dalam ransel. Untungnya di Vietnam harga masih terjangkau dan peraturannya tidak begitu ketat, saya bisa membawa botol minuman kecil di meja makan (hasil mengisi ulang dari botol besar di kabin), dan sesekali masih mampu membeli kopi dan bir. Nah di Turki ini peraturannya ketat, bahkan Nina ketahuan membawa air sendiri karena bunyi ranselnya yang ‘gluduk-gluduk’. Kami terpaksa mengeluarkan 2 botol air mineral besar, dan supaya tidak tertuduh, Nina mengisinya dengan obat klorofil dan saya mencemplungkan CDR. Dengan 2 botol berwarna hijau dan kuning ini kami mengklaim bahwa ini adalah obat-obatan yang harus kami bawa. Sebagai upaya penghematan, kami selalu menolak memesan minum setiap habis makan. Cara minumnya: saya pergi sendiri ke kabin, mengambil air dari dalam ransel, meminumnya, lalu Nina jongkok dari luar jendela dan saya memberinya minum dari dalam, begitu seterusnya. Padahal para ABG, setiap makan membeli sebotol besar air, dan si cewek Kiwi 2 jam sekali minum bir dingin. Duh, ampe ngiler. Sampai hari ke-3, Nina pun tumbang. Kepalanya pusing bukan kepalang seperti terkena heat stroke. Wah, kena dehidrasi dia! Barulah kami memutuskan untuk membeli minuman. Dasar backpacker gembel...


Monday, August 11, 2008 

Saltum di Hamam

Pergi ke Turki tanpa merasakan hamam bagaikan pergi ke Finlandia tanpa merasakan sauna. Hamam atau Turkish bath merupakan budaya mandi tradisional di Turki. Sebenarnya sih sama aja kayak mandi uap, tapi lebih basah dibandingkan sauna. Dari semua hamam yang ada di Turki, pilihan saya jatuh kepada Cağaloğlu Hamami di Istanbul. Pertama, karena merupakan bangunan hamam tertua di negara Turki, usianya saja sudah 300 tahun, yang merupakan pemberian dari Sultan Mehmet I. Kedua, karena masuk ke dalam daftar 1,000 places to see before you die – buku yang terkenal karangan Patricia Schultz, jadi mestinya sih recommended abis. Bahkan King Edward John VIII, Florance Nightingale, Rockefeller, Tony Curtis, Harrison Ford sampai Cameron Diaz adalah sebagian dari orang terkenal yang pernah mandi di tempat ini.

Untuk menemukan tempat yang berada di jalan Yerebatan Caddesi ini lumayan sulit karena nyempil di gang-gang daerah Eminönü. Mana dari luar tidak jelas terlihat karena hanya ada plang di tiang, padahal di dalam konon luasnya 2834 m². Rupanya di sekeliling bangunan ini sudah tertutup dengan toko-toko. Jam 3 sore, saya dan Nina masuk dan mendaftar paket ‘mandi dan pijat’. Tempat mandi wanita ada di sebelah kanan, melewati toko suvenir dan bar. Lalu masuklah kami ke ruang tamu (camekan) berlantai marmer berisi meja-kursi lengkap dengan shisha dan di tengah ruangannya ada air mancur. Di sekeliling ruangan sampai lantai dua terdapat bilik-bilik kecil tempat ganti baju. Oleh seorang ibu-ibu penerima tamu, kami diberi kunci untuk masuk ke salah satu bilik. Isinya 2 tempat tidur kecil, gantungan baju, meja kecil, cermin, pengering rambut dan kipas angin. Katanya kami disuruh buka baju. “All open?”, tanya saya ragu. “Yes,” jawab si ibu yakin. Ya sudahlah pasrah, daripada pulang nggak pake celana dalem.

Dengan dibalut peştemal (kain katun bermotif kotak-kotak macam lap makan) dan berjalan terseok-seok dengan nalin (sendal bakiak kayu), kami memasuki sogukluk atau ruang penghubung antara camekan dan ruang mandi dengan lantai dan pilar-pilar terbuat dari marmer. Ruangan itu terdapat toilet dan tumpukan handuk. Hawa sudah terasa hangat, suara terasa menggema. Begitu memasuki ruang mandi... Astaga, cuman kami doang yang telanjang! Wah, salah kostum! Ada selusin wanita bule di dalam ruang mandi, semuanya memakai baju renang. Baru kami melangkah mundur dan berbalik badan, si ibu malah mendorong kami, “It’s OK,” katanya. Lalu ia menyuruh kami duduk di sisi ruangan yang terdapat undakan tempat duduk marmer dan bak kecil (kurna) dengan dua kran air panas dan dingin. Kami diberi sabun batangan yang wangi dan disuruh mandi dengan kobokan kaleng, sembari dipelototi wanita-wanita yang ada di situ. Haduh, kami - dua orang cewek Asia gendut yang dengan cueknya bertelanjang bulat! Muka saya merah nggak karuan karena menahan tawa dan malu. Lah, meneketehe!? Alhasil kami duduk dengan melipat kaki sampai membentuk kepang supaya berasa tertutup. Byur! Byurr! Entah karena ruangan ini memang hangat sampai saya keringetan atau karena salah tingkah, saya terus membanjur tubuh dengan air.

Daripada saya bersirobok pandang dengan orang yang ngeliatin, saya memperhatikan sekeliling saja. Memang indah dan orisinil tempat ini, serasa balik ke zaman kekasisaran Romawi atau ikutan film Indiana Jones and the Temple of Doom. Suhu ruangan hangat entah berasal dari mana. Langit-langitnya berbentuk kubah besar dengan lubang-lubang kecil berbentuk bintang sehingga sinar matahari masuk tetap remang-remang untuk relaksasi. Ada 8 pilar dengan ujung berukir dan lengkungan yang menopang kubah. Bau ruangan ini bau lembab, khas bangunan tua. Cat pada dindingnya pun sudah ngeletek. Di dindingnya setiap 2 meter terdapat kurna yang berukir relief terbuat dari marmer. Air bilasan mandi langsung masuk ke saluran air tanpa membanjiri lantai yang juga terbuat dari marmer. Di tengah ruangan terdapat semacam meja marmer bundar besar yang panas (göbektasi), di atas situlah cewek-cewek dipijat oleh ibu-ibu gendut berusia 50an yang memakai baju renang one piece. Konon zaman dulu kalau ada cowok ketauan mandi bareng di tempat mandi cewek, hukumannya adalah hukuman mati. Padahal kalo dimandiin cowok ganteng, lumayan banget kan... hehehe...

Miss!”, khayalan saya berhenti, saya dipanggil oleh ibu-ibu tukang pijit. Yah, udah ngga bisa ngumpet deh. Saya pun berjalan ke depan, pede meski full monty. Ibu itu memperkenalkan diri, ia bernama Fatima. Saya disuruh tidur terlentang di atas göbektasi. Waduh, inilah klimaksnya – saya jadi tontonan umum persis di tengah panggung! Lalu ibu Fatima memijat seluruh tubuh saya dengan menggunakan sabun cair dalam botol plastik dan sebentar-sebentar saya dibanjur air dari dalam ember kaleng. Prosesi ini tidak lebih dari 30 menit. Setelah itu, saya dituntun ke pinggir ruangan dan dibilas dengan air dari kurna berkali-kali. Ia juga mengeramasi rambut saya dengan sampo wangi. Wah, jadi berasa bayi lagi! Kami juga disuruh masuk ke dalam hararet, seperti sauna tapi semuanya terbuat dari marmer. Baguslah untuk ngumpet sebentar karena isinya hanya saya dan Nina. Tapi tak berapa lama kemudian masuklah 3 orang cewek ABG asal Amrik yang memakai berbaju renang, yaah kami langsung kabur ke luar lagi deh.

Setelah ritual mandi selesai, kami mengambil handuk dan kembali ke bilik untuk berganti baju dan leyeh-leyeh sebentar karena nguantuk nggak ketulungan akibat terlalu relaks. Sebelum pergi, kami diberi kantong plastik kecil. “Souvenir,” kata si ibu. Isinya adalah sisir rambut merk Cağaloğlu Hamami dan sebuah celana dalam katun. Yeee, kaga dibilangin kalo kita bakal dikasih celana dalam. Tau gitu kan...?


Tuesday, August 05, 2008 

Nebeng membawa sial?

Perjalanan kali ini memang kere, saya belum dapat pekerjaan malah ngacir ke Turki. Kalau kata website bahwa Turki termasuk negara yang murah, ternyata salah besar untuk ukuran orang Indonesia. Pipis di toilet umum aja bayar 1 YTL (= Rp 7.700an). Paling enak memang kalau ada tebengan nginep karena pengeluaran hari-hari terbesar adalah biaya menginap. Apalagi kalau bisa nginep di rumah orang Turki asli, jadi bisa sekalian mempelajari budayanya. Tapi siapa?

Di dalam kereta dari Istanbul ketika hampir mencapai Ankara, seorang cowok senyum-senyum mendekati kami dan mengajak kenalan. Namanya Tezar, 34 tahun, seorang Turki yang besar di Amerika Serikat, berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di Istanbul. Ia baru keluar dari army (di Turki semua pria terkena ‘wamil’ atau wajib militer selama 6 – 15 bulan). Ia pun mentraktir kami kopi di stasiun - dua jam kami mendengarkan curhatan kisah hidupnya yang ajaib. Ketika kami mengatakan bahwa tujuan kami selanjutnya adalah ke Cappadocia, ia mengatakan bahwa dia punya sahabat dari wamil yang tinggal di sana. Dia pun langsung menelepon sahabatnya, Hasan, bahkan diajak menginap sekalian. Assiiik! Tezar yang tidak membawa apa-apa akhirnya ‘kena racun’ dan memutuskan untuk ikut kami ke Cappadocia, tapi dengan syarat kami harus mengantarnya mengurus legalisir diplomanya di semacam kantor ‘depdikbud’ dekat Bilkent University. Jadilah kami kayak orang bego berkeliling kota Ankara yang gersang naik dolmus (angkotnya Turki). Sering pula pake acara nyasar karena Tezar tidak tahu jalan, plus bahasa Turkinya yang parah.

Kami dijemput di stasion kereta di kota Kayseri jam 3 pagi oleh Hasan dan iparnya, Mehmet. Berlima kami naik mobil sedan Fiat sewaan menuju desa kecil bernama Ürgüp. Sinar matahari yang baru muncul membawa kami ke tempat yang luar biasa aneh, serasa berada di bulan, dengan formasi bebatuan berbentuk fairy chimneys berwarna pink, sejauh mata memandang. Sepanjang perjalanan kami membicarakan pertanyaan standar: Umur berapa? Kerja di mana? Sudah menikah apa belum? Dan sampailah ke pertanyaan ‘bagaimana kenal dengan Tezar?’. Karena Tezar merasa tidak enak hati membawa kami – the dynamic hippos – yang baru kenalan di kereta, maka kami pun mengarang cerita: Tezar adalah teman Nina waktu sama-sama tinggal di New York. Apa coba?

Satu jam kemudian, Hasan membawa kami masuk ke rumahnya yang bertingkat dua yang berada di gang di belakang toko karpet. Di ruang tamunya sudah disiapkan dua sofa bed untuk saya dan Nina. Kata Tezar, kami disuruh tidur dulu, lalu bangun untuk langsung sarapan. Eh orang sana ternyata bangunnya siang, jam 11 barulah ada kehidupan. Saya dikenalkan oleh seluruh penghuni rumah: Elif (istri Hasan), Suzan (istri Mehmet), Melise (anak perempuan Mehmet, 15 tahun) dan anne-anne (artinya ‘nenek’ dalam bahasa Turki, nama aslinya Emine, 89 tahun), sedangkan suami Emine sedang terbaring sakit di kamar. Catat, semua penghuni rumah tidak bisa berbahasa Inggris tapi bahasa kedua mereka adalah bahasa Jerman karena mereka bekas imigran di sana. Lalu kami semua makan bersama berupa Turkish kahvalti (sarapan) seperti roti ekmek, seblok keju putih, telur rebus, buah zaitun warna hijau dan hitam, potongan tomat dan ketimun, serta selai strawberry dan sambal buatan Elif, ditemani çay (teh). Nikmaat...

Setelah itu kami duduk-duduk di ruang keluarga dimana anne-anne merajut sambil makan kuwaci dan kacang pisctachio. Lalu Hasan bercerita yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Tezar, bahwa ia sedang dalam keadaan tidak baik ekonominya. Hasan baru keluar dari wamil dan belum dapat pekerjaan, ayahnya sedang terbaring sakit stroke di rumah sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk berobat. Wah, jadi ngga enak banget nih! Tapi kami juga tidak diperbolehkan menginap di hotel dan makan di luar. Saya dan Nina pun memutuskan untuk membayar sewaan mobil Fiat dan menambahnya satu hari lagi agar kami tidak terlalu merepotkan mereka. Dua hari penuh kami berjalan-jalan di sekitar Cappadocia, bergantian ditemani oleh Hasan, Elif, Mehmet dan Melise. Kami pergi ke Göreme, Underground City di Derinkuyu, Uçhisar Castle, bahkan sampai menemani trekking di Ihlara Valley. Lucunya, setiap kami masuk toko bisa menghabiskan waktu minimal setengah jam karena diajak minum çay atau kahve (kopi) oleh pemilik toko yang semuanya teman Hasan. Alhasil kami selalu mendapat diskon. Cihuy!

Malam terakhir keluarga itu mengadakan pesta perpisahan untuk kami di roof top rumahnya. Menunya barbeque ayam dan ikan trout yang nikmaat, bersama pilav (nasi) dan salad, serta buah aprikot. Kami menyumbang pesta dengan membeli sebotol raki (minuman alkohol khas Turki, rasanya seperti ouzo-nya Yunani) dan baklava (dessert khas Turki yang muanis banget sampe bikin gigi ngilu). Orang Turki ternyata sama saja seperti kita, biar dikata udah tua tetep takut sama ibunya. Saya dibisiki Hasan agar jangan minum di depan ibunya. Ternyata semuanya pun menyembunyikan gelas berisi raki di belakang badan dan begitu anne-anne meleng, kami sesegara mungkin meminumnya. Suzan aja sampe ngumpet merokok di balik pohon agar tidak terlihat anne-anne. Nina pun ‘dimarahin’ anne-anne karena meski dia sudah hajjah tapi tidak memakai jilbab. Rupanya anne-anne senang bergadang, sampai Tezar menyebutnya “the woman who doesn’t dissapear” saking kami menjadi tidak bebas semalaman. Hahaha! Besoknya kami diantar ke stasion bis, saya dan Nina menuju Antalya dan Tezar kembali ke Istanbul. Hasan meminta maaf berkali-kali bahwa ia seharusnya membayari kami semua dan mengundang untuk datang kembali tahun depan saat keadaan ekonominya membaik. Elif berurai air mata melepas kami. Seperti kebiasaan orang Turki kepada orang tua, saya mencium tangan dan kedua pipi anne-anne. Ia memberikan petuahnya dalam bahasa Jerman (dia menganggap semua orang yang bukan Turki adalah orang Jerman), lalu melambaikan tangannya dan berkata,”Tschüss!”

Seminggu kemudian – dengan duit yang makin menipis - kami kembali ke Istanbul dan dijemput Tezar di stasion Suadiye. Kami diajak menginap di apartemen pacar kumpul kebonya yang berada di area 5th Avenue-nya Turki. Pacarnya bernama Esra, 23 tahun, perempuan cantik seperti boneka, anak orang kaya yang bekerja sebagai tukang tato, tapi tidak bisa berbahasa Inggris (padahal Esra adalah murid kelas bahasa Inggris yang diajar Tezar!). Sampai di sana, ternyata ada Adnan, 11 tahun, adiknya Tezar lagi ikutan menginap di apartemen Esra. Wah, nggak enak banget nih secara apartemennya kecil gitu. Tezar gila juga, udah nebeng sama pacarnya, bawa adik, eh tambah lagi bawa 2 turis gembel. Alhasil malam itu kami diam-diam menginap di hotelnya si Jade di Taksim.

Malam berikutnya kami terpaksa harus menginap di apartemen Esra, karena kamar Jade penuh. Supaya enak (dan murah), kami bermaksud memasakkan makan malam untuk Tezar dan Esra, tapi Tezar bercerita bahwa mereka berdua lagi berantem hebat sehingga tidak berbicara satu sama lain sejak kemarin. Ups! Untungnya Tezar sudah makan, jadi kami sengaja pergi ke luar dan mentraktir Tezar kopi supaya begitu kembali ke apartemennya kami tidak usah merasakan hawa peperangan. Malam itu saya dan Nina dipaksa tidur di kamar tidur utama satu-satunya, Esra di ruang belajar, dan Tezar di ruang tamu. Duh, nggak enak banget. Jam 11 siang kami sudah siap-siap mau kabur lalu membangunkan mereka untuk pamit. Esra memeluk kami sambil berurai air mata, sepertinya dia ingin mengatakan bahwa ia menyesal dan pengen curhat. To make it worse, begitu kami menginjakkan pintu mau keluar, rupanya Tezar juga keluar sambil bawa pakaian-pakaiannya. “I’m moving out too. I broke up with Esra.” Lah, kok jadi begini?

Well, dengan menginap di rumah penduduk lokal (yang baru kenal), saya semakin tahu banyak tentang budaya orang Turki yang ternyata lebih Asia banget daripada Eropa. Saya hanya bisa berharap semoga Tuhan membalas jasa Tezar dan keluarga Hasan. Dan semoga bukan karena kami yang membawa kesialan...


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates