Monday, April 30, 2007 

Trik Basi

Begitu saya memutuskan untuk traveling ke suatu tempat, saya pasti akan mencari informasi tentang tempat tujuan saya, terutama tentang ‘tourist traps’ atau ‘warnings or dangers’. Ketika saya memutuskan untuk traveling ke Hanoi, ibu kota Vietnam, saya jadi ngeri karena sepertinya keadaannya mengerikan sekali. Banyak turis yang tertipu, yang kecopetan, yang tertabrak, dan lain-lain.

Pertama dikatakan bahwa hati-hati harga yang dimahalin bagi turis, terutama oleh tukang jual buah dan anak kecil penjual postcard. Menurut saya itu sih gara-gara turis barat saja yang menganggap tukang jual buah pikulan itu unik dan eksotis sehingga mereka senang foto-foto dengan para tukang buah. Tentu lah tukang buah memanfaatkan kesempatan ini dengan meminjamkan pikulan dan topi capingnya kepada para turis barat untuk difoto, lalu trik basinya adalah si tukang buah memaksa turis bule untuk membeli buahnya dengan harga sangat mahal. Sama seperti kasus anak kecil penjual postcard, ya biasalah banyak anak kecil yang menyodorkan postcard berharap agar turis mau membeli. Nah, turis barat menganggap anak kecil Vietnam itu lucu dan mereka kasihan sehingga dibeli lah postcardnya. Tapi ketika mereka pergi ke toko, baru sadar bahwa harga postcard yang dijual anak kecil luar biasa mahal, bisa sampai US$ 1 selembar. Saya jadi berpikir ‘beruntunglah’ jadi orang Indonesia karena tukang jual buah pikulan adalah hal yang biasa sehingga tidak perlu foto-foto, apalagi melihat banyak anak kecil yang berkeliaran di jalan.

Kedua, hati-hati ambil cruising ke Halong Bay karena sering ditipu paketnya. Banyak turis mengaku mereka ditawarkan paket murah tapi dengan tambahan sedikit uang, mereka dijanjikan akan mendapat layanan tambahan seperti jenis makanannya adalah seafood dan jaminan jumlah orang yang sedikit di dalam junk boat. Akhirnya mereka marah-marah karena seafood yang disediakan di kapal adalah ikan goreng biasa – itupun berebutan, bukan udang, cumi atau lobster seperti yang mereka bayangkan. Dengan mengambil paket murah dan membayar ekstra, ternyata kapal mereka tetap penuh dijejali dengan banyak orang. Prinsip saya, when you pay peanuts, you get monkey – artinya, ada harga ada mutu. Kalau mau murah, ya terimalah keadaannya. Jangan tertipu dengan janji-janji surga karena when it’s too good to be true, then it’s not true. Saya membayar US$ 46 untuk paket 3D/2N cruising di Halong Bay, termasuk tour guide, transportasi, makan, penginapan di junk boat dan di hotel di Cat Ba Island – harga yang cukup sesuai mengingat kapal kami hanya berisi 10 orang tamu dengan kamar kabin yang mewah.

Ketiga, hati-hati ditipu supir transportasi umum seperti taksi, becak dan ojek. Nah kalau ini saya mengalaminya. Setelah seharian berjalan kaki ke museum-museum, saya dan Yasmin memutuskan untuk menyewa ojek. Setelah tawar-menawar, kami deal dengan harga US$ 3/orang dan akan diantar ke 5 tempat: Quan Thanh Temple, Tran Quoc Pagoda, Tay Ho Pagoda, St Joseph Cathedral dan Water Puppet Theatre. Baru sampai tempat kedua, tukang ojeknya mulai bertingkah dengan bilang bahwa Tay Ho Pagoda sudah tutup jadi mending dilewatkan aja. Mulai nih trik basi! Kami ngotot lah, karena tidak ada informasi seperti itu. Sampai di Cathedral, dengan kasarnya mereka minta dibayar saat itu juga, padahal mereka masih harus mengantar ke satu tempat lagi. Kami cuek saja dan masuk ke dalam gereja. Dari situ kami mau diturunkan di tengah jalan karena katanya Water Puppet hanya tinggal 2 menit jalan kaki. Yey, buat apa bayar ojek kalau masih disuruh jalan kaki pula. Saya pun ngotot lagi, tidak mau turun dari boncengannya kalau tidak diantar ke tujuan akhir sesuai perjanjian. Begitu turun, tukang ojek saya marah-marah dan tidak mau menerima uang kami. Halah, trik basi lagi! Saya balik marah karena dia menyalahi perjanjian, lalu saya pun menyelipkan uang ke dalam saku jaket tukang ojeknya Yasmin dan berlari ke dalam gedung. Tak mungkin ada yang mau menolak uang bukan? Selesai masalah.

Terakhir, hati-hati menyebrang jalan. Saya pikir sebagai seorang yang tinggal di Jakarta bukanlah masalah karena kita terbiasa dengan lalu lintas yang padat dan menyebrang di jalan raya yang padat pula. Tapi ternyata informasi ini baru benar – lalu lintas di Hanoi jauh lebih parah! Masalahnya, Hanoi penduduknya 8 juta orang, tapi ada 5 juta motor! Motor-motor di sana memang buanyaak banget! Parahnya lagi, mereka doyan ngebut tapi tidak suka ngerem, belum lagi doyan membunyikan klakson sehingga berisiiik. Mana jalanan di Old Quarter yang sempit itu di pinggirnya dijadikan tempat jualan dan parkir motor pula. Kalau sedang berjalan kaki jadi kagok sendiri karena diklaksonin motor meski masih jauh jaraknya. Kalau mau menyebrang jalan harus melihat 360º karena motor-motor itu bisa menyambar dari arah kanan-kiri-depan-belakang! Kalau ada lampu lalu lintas, motor-motor itu bagaikan laron yang menyerbu begitu lampu merah menyala. Jalan kaki di pasar malam saja membahayakan karena tetap ada motor yang ngebut di antara para pejalan kaki sehingga menyambar tali tenda dan bruuk... robohlah tenda jualan. Hiiiih!

Namun biar bagaimanapun, Hanoi itu menyenangkan. Saya tidak terasa seperti berada di Asia karena bangunannya sangat Eropa akibat bekas jajahan Perancis, makanannya enak-enak, kopinya luar biasa nikmat, orang dan budayanya lucu-lucu. Halong Bay sendiri sangat indah – apalagi ketika berlayar dengan kapal tradisional di antara ribuan pulau yang bertebing...


Sunday, April 08, 2007 

Nonton tivi di Hanoi

Pergi ke tempat-tempat wisata saat traveling memang wajib dilakukan, tapi saya toh lebih tertarik memperhatikan hal-hal di luar tempat wisata itu sendiri, seperti orang-orangnya, budayanya, toiletnya, sampai tayangan tivi lokalnya. Di guesthouse tempat saya menginap di Hanoi, Vietnam, terletak sangat strategis di daerah Old Quarter. Dengan harga US$ 10/malam untuk berdua, fasilitasnya sangat lumayan: kamar mandi dalam dengan bathtub, AC dan Fan (yang tidak pernah dinyalakan karena udaranya sudah duingin), kulkas, dan TV. Jadilah saya memperhatikan tayangan tivi lokal Vietnam di waktu luang.

Saluran tivi di sana ada 3, yaitu VTV 1, VTV 2, VTV 3 – singkatan dari Viet Nam Television, yang sepenuhnya dimiliki oleh negara sebagai alat informasi penyebaran ideologi dan budaya nasional (komunis banget). Sebenarnya ada saluran VTV 4 dan VTV 5 tapi tidak tertangkap di TV guesthouse. Mayoritas acaranya lokal, seperti siaran berita, siaran pembangunan, sinetron, musik, dan pendidikan. Pokoknya persis seperti TVRI 30 tahun yang lalu, hanya bedanya mereka cuek menayangkan adegan ciuman. Soal iklan, jarang sekali ada. Kalaupun ada, kualitas iklannya seperti iklan Tje Fuk yang dibuat dengan teknik sangat sederhana. Iklan yang paling lucu adalah iklan obat flu dimana ada bapak-bapak yang bersin saking kerasnya sampai poninya yang panjang terlempar! Ikan yang hanya berisi ‘bersin-poni lempar-nama obat’ ini berdurasi 5 detik, diulang pula sampai 3 kali berturut-turut.

Sedangkan tayangan musiknya lumayan sering dengan menampilkan bintang-bintang lokal bernyanyi di studio dengan teknik minus one. Pakaian penyanyinya sangat formal, yang cewek pakai baju nasional atau baju pesta yang kerlip-kerlip, yang cowok pakai jas dan dasi.Yang paling lucu adalah grup vokal 4 orang pria, ceritanya bergaya boyband tapi kok sudah ubanan. Mereka duduk di kursi bar, bernyanyi bergantian sambil masing-masing memangku laptop! Apa coba? Mungkin lagunya tentang teknologi laptop masa kini, saya tidak tahu. Sekali saya pernah nonton acara musik lagu barat, dipandu oleh seorang cewek yang ceritanya jadi vj, tapi lagu-lagunya jaman jebot banget seperti ‘Believe’-nya Cher dan lagu ‘Opposite Attract‘-nya Paula Abdul.

Yang paling ‘mengenaskan’ adalah semua tayangan berbahasa Inggris di-dubbing dalam bahasa Vietnam. Jadi mulai dari cuplikan berita bola dari ESPN, film seri Bart Simpsons sampai Desperate Housewives, semuanya di-dubbing. Boro-boro dubbing-nya pakai teknik sinkronisasi atau pakai suara yang berbeda-beda antara pria, wanita, anak-anak – semua dubbing hanya ada satu suara, yang dilakukan oleh seorang ibu-ibu! Jadi suara Bart, Hommer, maupun Margie semuanya ya suara si ibu-ibu itu. Setiap jam 10 malam ada tayangan film-film Hollywood, saya pernah nonton 2 kali, yaitu film The Last Mohicans dan The Missing - entah kebetulan atau tidak, mungkin mereka senang dengan film tentang Indian. Sepanjang film si ibu-ibu itu pula yang jadi dubber-nya! Lucu juga melihat Daniel Day-Lewis dan Tommy Lee Jones yang macho itu bersuara ibu-ibu berbahasa Vietnam. Anehnya lagi, saya pikir dubber hanya untuk suara di film saja, ternyata setelah film habis, dubber juga membacakan keseluruhan credit title dalam bahasa Vietnam, seperti directed by, produced by, written by, dan seterusnya ikut dibacakan. Saya jadi berpikir, ini sih bukannya orang Vietnam yang tidak bisa berbahasa Inggris, tapi mungkin juga banyak yang buta huruf! Saya pun berasumsi, pasti si ibu-ibu tukang dubber tunggal senegara Vietnam ini kaya raya sekali.

Ada sih acara yang tidak di-dubbing, yaitu pelajaran bahasa Inggris jam 11 malam. Gurunya seorang bapak-bapak yang menerangkan dalam bahasa Vietnam dan memberikan contoh dalam bahasa Inggris yang sempurna. Duh, gimana bangsa itu bisa berbahasa Inggris, kalau semuanya di-dubbing dalam bahasa Vietnam dan pelajaran bahasa Inggris diadakan jam 11 malam! Untunglah saya berteman baik dengan para staf guesthouse, jadi bisa merengek untuk minta dinyalakan saluran HBO di kamar. Rupanya HBO itu ditangkap dari Thailand, jadi pakai subtitle bahasa Thailand. Lumayan lah bisa menonton tayangan yang berbahasa Inggris, at least tidak di-dubbing...


Sunday, April 01, 2007 

Sisi Lain Polisi

Kalau saya traveling, mata saya selalu jelalatan mencari polisi setempat. Rasanya saya merasa aman kalau saya dapat melihat polisi meski dari kejauhan, paling tidak saya tahu kemana saya harus lari kalau terjadi apa-apa atau sekedar bertanya karena saya sering nyasar. Kalaupun tidak ada polisi, cukup lihat mobil atau kantornya - untunglah kata ‘polisi’ sebagian besar dalam bahasa apapun bunyinya mirip dan dimulai dengan huruf ‘p’, seperti Polis, Policia, dan Polizei. Seragam polisi di mana-mana warnanya selalu netral seperti coklat, biru, hitam. Model seragamnya semua kurang lebih sama, tapi bawahannya bisa beda-beda. Di negara barat, pada saat musim panas mereka memakai celana pendek – entah mengapa di Asia kok tidak ada seragam polisi celana pendek, mungkin dianggap tidak berwibawa. Yang paling aneh, saya pernah lihat foto polisi di Fiji: ia memakai seragam polisi dengan atasan kemeja dan bawahannya berupa rok miring yang ujungnya rumbai-rumbai – persis seperti bajunya Flinstone! Mana sepatu polisinya model sepatu sendal tali-tali gitu. Jadi pengen foto bareng...

Saya memang senang foto bareng polisi setempat, tapi pernah tidak kesampaian ketika saya traveling ke Vietnam. Begitu mendarat di Bandara Noibai, Hanoi, di depan pintu pesawat sudah berdiri 3 orang polisi Vietnam dengan seragamnya yang sangat intimidating – jas berwarna hijau berkancing emas dengan pangkat kain keras di bahu dan topi pet hijau bersimbol merah dan bintang kuning. Mana mukanya serem, berkulit kuning, mata sipit, rahang tegas dengan raut yang bengis – hiii, jadi teringat film-film tentang Vietcong yang berdarah dingin banget. Anehnya di jalan saya jarang lihat polisi kecuali yang jaga di depan Kedutaan. Kata teman saya yang orang Jerman, itu adalah salah satu ciri negara komunis dimana jarang polisi terlihat karena kebanyakan mereka berbaju biasa agar dapat memata-matai orang. Sejak itu, selama di Vietnam saya berbahasa rahasia dengan Yasmin karena parno takut diciduk dan dibentak-bentak, “Mata-mata kamu!”. Keparnoan saya bertambah ketika suatu malam saya mengikuti cara orang lokal dengan nongkrong di pinggir jalan sambil minum bir dan makan rujak. Persis jam 12 malam saya melihat mobil polisi datang dengan sirene yang meraung-raung dan lampu kelap-kelip dengan teriakan yang saya tidak mengerti lewat toa tapi kira-kira artinya ‘Bubar! Bubar!!’. Lalu Cuong, teman saya yang orang Vietnam, berteriak, “Poliiiik!” dan semua orang berlarian panik dan brek brek warung tutup dengan cepatnya. Hah? Ade ape?

Saya jadi ingat saya pernah ketangkep polisi di luar negeri. Gara-garanya sih standar saja, speeding di highway Orlando, AS. Bingung juga bisa ketangkep karena saya tidak melihat satu polisipun di sepanjang jalan. Saya sampai bertanya dari mana dia bisa tau bahwa kecepatan mobil saya melebihi batas. Pak Polisi menunjuk jarinya ke atas dan saya melihat helikopter lewat di atas kepala saya. Wih, canggih bener deteksinya lewat helikopter, kayak di film-film. Perasaan tidak aman justru karena banyak polisi bersenjata di mana-mana pernah saya alami di Davao. Kota yang terletak di selatan Filipina itu memang terkenal sering terjadi pemberontakan suatu kelompok, makanya banyak polisi dikerahkan untuk menjaga. Tapi rasanya ini lebih parah daripada saat kerusuhan Jakarta, bahkan ketika saya cuma makan di restoran fast food Jollibee yang hanya berisi 6 meja saja, di depan pintu dijaga oleh polisi yang berdiri dengan sikap sempurna lengkap dengan senjata laras panjang!

Kalau polisi dengan anjing sih biasa kita lihat di bandara, tapi selama ini saya hanya lihat anjingnya duduk-duduk saja sambil diikat ke pagar, kecuali di Sydney anjingnya jalan-jalan mengendus-endus setiap koper sampai teman saya menjerit-jerit karena takut anjing. Bicara soal polisi dan anjing, saya punya pengalaman lucu. Tahun 1990 di kota Ventura, AS, saya pernah mengunjungi kantor polisi setempat dan berkesempatan melihat pelatihan anjing polisi. Anjing dilatih untuk membaui sesuatu, mencari benda, berlari, menyerang, dan sebagainya. Saya perhatikan si polisi memberikan instruksi ke anjing dalam bahasa yang bukan bahasa Inggris sehingga saya menanyakan dalam bahasa apakah mereka berkomunikasi. Jawaban polisi membuat saya tertawa terbahak, rupanya anjing-anjingnya itu diimpor dari Jerman, sehingga para polisi sampai khusus dikursuskan bahasa Jerman agar dapat berkomunikasi dengan anjing! Hebat!

Polisi memang kadang seram kadang menyenangkan - apalagi kalau ramah dan bisa berbahasa Inggris. Kadang saya suka cari ‘gara-gara’ kalau bertanya kepada polisi, pasti saya cari yang ganteng dulu. Di Stock Yards, sekitar sejam dari Fort Worth, AS, saya (pura-pura) bertanya arah jalan kepada seorang polisi bule yang ganteng, tinggi, gede, dan berambut hitam karena berasal dari Italia. Saya masih ingat namanya Bruno - karena namanya seperti nama anjing saya. Dengan baiknya ia mengantar saya keliling-keliling dan menerangkan sejarah tempat itu bak tour guide, malah mengajak saya masuk museum yang saat itu sudah tutup karena dia punya kuncinya. Selanjutnya? Rahasia!

Cerita paling lucu tentang polisi justru terjadi di Jakarta. Suatu sore saya ketangkep di depan Hotel Le Meridien karena bablas 3-in-1. Mampus! Seperti biasa, saya hanya diam saja tidak melawan ketika dia akan menilang saya.
“Damai aja deh, Pak,” tawar saya. Sialnya, saya hanya membawa selembar uang kertas seratus ribuan di dalam dompet. Nyogok seratus ribu kan sayang banget karena ‘harga biasa’ hanya 30-50 ribu rupiah. “Begini, Pak. Uang saya hanya selembar seratus ribuan nih. Kalau dikasih semua, abis ini saya nggak bisa makan, belum pulangnya harus bayar tol. Bisa kembalian nggak, Pak?” kata saya dengan deg-degan takut disangka kurang ajar.
Eh Pak Polisi menyaut, “Maunya damai berapa?”
“Yah harga biasa lah, Pak, tiga puluh ribu.”
“Hmm... tunggu sebentar,” jawabnya sembari mengambil uang kertas bergumpal-gumpal di dalam sepatu botnya! “Saya cuman punya kembalian enam puluh ribu tuh, Mbak. Gimana?”
“Ya okelah, Pak,” jawab saya sambil mengambil uang yang diambil dari sepatunya.
Hihihi, nyogok polisi udah kayak beli barang di pasar saja - bisa kembalian!


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates