Wednesday, December 28, 2005 

Aneka Dugem (2)

Di Barcelona, suatu malam saya pernah diajak dugem oleh teman-teman sekamar saya di hostel. Saya pikir bercanda ketika Sonya, cewek asal Perancis, bilang bahwa dia biasa pulang dugem sampai jam 6 pagi, namun saya mengiyakan saja. Kami pergi ke daerah Port Olympic dan club hopping (keluar masuk klub). Masuk satu tempat, joget-joget, pindah klub lain, joget-joget lagi, begitu seterusnya. Sampai hitungan tempat dugem ke-6 di Baja Beach Club jam 4 pagi, saya menyerah dan terpaksa pulang sendiri naik taksi. Mereka sih tetap bertahan joget karena “The first Metro in the morning is at 6 AM”. Wah, pelit atau kere banget seh?

Pantesan di setiap hostel saya menginap, saya perhatikan banyak backpacker ABG yang hanya kelihatan pada malam hari saat saya mau bobo sementara siang hari mereka tidur saat saya jalan-jalan ke tempat wisata. Saya pernah tanya kepada salah satu dari mereka apa yang dicari saat traveling ke luar negeri. Jawabannya, “Just wanna partying!”. Hebat, jauh-jauh datang dari belahan dunia lain untuk pindah dugem setiap malam doang. Tapi saya pikir-pikir, saya juga pernah mengalami hal yang sama pada saat masa kejayaan saya dulu. Saya pernah tinggal seminggu di London, tapi tidak pernah lihat Buckingham Palace, Big Ben, atau Madame Tussaud. Bagaikan kalong saya tidur dari pagi sampai sore, lalu dugem dari malam sampai pagi, begitu seterusnya sampai seminggu. Kalau mengingat masa itu, wah, ga kuaaat!

Soal tempat dugem saya rasa di manapun sama saja, mau lounge, cafe, bar, pub, club, atau discotheque – penamaannya saja yang serin rancu. Percaya deh di Indonesia itu tidak kalah dengan luar sama sekali. Bedanya mungkin soal kostum para waitress-nya dimana di Indonesia paling pol mereka memakai rok mini, tapi kalau di luar ada yang pakai bikini doang. Yang mengagumkan, orang Indonesia itu jogetnya jauh lebih jago. Kalau saya sedang bersama teman-teman Indonesia yang dugem bareng di luar, pasti kami menjadi ratu dansa, apalagi kalau keluar andalan kami: joget ngebor a la Inul. Ditanggung semua orang akan berhenti dan memandang kagum kepada kami. Hehe!

Tempat dugem yang berkesan bagi saya adalah Limelight, salah satu club tersohor di London yang menempati gedung bekas gereja berusia ratusan tahun. Klub ini terdiri dari 2 lantai, lantai atas musik ‘tarantuntung’, lantai bawah musik ‘R&B’. Di sini lah pertama kali saya melihat beberapa orang ‘ML’ di tangga darurat ketika saya mau ke toilet tapi salah buka pintu. Ups! Namun tempat dugem paling unik bagi saya adalah Arctic Ice Bar di Helsinki (Finlandia). Bar ini bersuhu minus 5 derajat Celcius! Semuanya terbuat dari es, mulai dari dinding, lantai, bar, dan mejanya. Tentu tidak disediakan kursi karena kalau duduk pasti bikin celana basah, atau kalau sering didudukin kursinya bisa meleleh karena berat badan. Dengan entrance fee-nya yang mahal yaitu 10 Euro, kita masing-masing dipinjamkan thermal jacket dan sepasang kaus tangan dari bahan wol, juga mendapat segelas minuman Finlandia Vodka. Minumnya pun sambil menggigil karena Vodka tersebut on the rocks alias berisi es batu. Brrr!

Saya juga suka memperhatikan suasana saat jam bubaran dugem. Pemandangan jam yang paling mengenaskan adalah di daerah Kings Cross, Sydney, suatu hari jam 5 pagi. Di pinggir jalan, saya melihat orang ternungging-nungging karena sedang fly, ada juga yang menggigil sakau, ada juga yang mengejar-ngejar saya dan malak. Hii! Biasanya jam bubaran dugem, orang menyerbu warung makan pinggir jalan. Kalau di Jakarta orang pergi makan roti bakar atau bubur ayam, di luar orang makan sosis, kebab, pizza, atau burger, maksudnya supaya agak membuat sadar.

Menggunakan transportasi umum sesudah jam dugem ada triknya. Saat weekend, transportasi umum tersedia rata-rata hanya sampai jam 2 pagi. Jadi kalau lewat dari jam segitu, harus menggunakan taksi dengan harga surcharge karena di luar jam normal padahal harga taksinya pun sangat mahal. Saya sendiri pernah ditinggal bis yang mengantar dugem dari hostel di Byron Bay (Australia) dan tidak cukup uang untuk membayar taksi, akhirnya saya memberanikan diri untuk hitch-hike. Saya berhasil minta tebengan dengan seorang lelaki bermobil yang bawa anjing herder gede banget yang dengan galaknya menggonggongi saya sepanjang perjalanan. Apa boleh buat, saya tidak punya pilihan.

Namun suatu kali pernah saya diuntungkan dengan penambahan 1 jam dugem karena ada saving day light, jadi bisa pulang jam 3 pagi. Karena keasikan, kami baru tersadar 10 menit sebelum kereta terakhir berangkat. Waduh, udah tipsy tapi harus jalan cepat dan jauh ke stasion kereta bukanlah hal yang mudah. Perlu diketahui, kereta terakhir adalah yang paling tidak nyaman - selalu sangat penuh, sangat berisik akibat orang yang tidak bisa mengontrol volume suara, dan sangat bau karena banyak orang yang jackpot (baca: muntah). Wek!


Saturday, December 24, 2005 

Aneka dugem (1)

Meskipun saat ini saya sudah tidak suka dugem lagi di negara sendiri karena ‘faktor u’ yang semakin tidak kuat bergadang, namun saat saya traveling saya pasti menyempatkan diri pada satu malam pergi ke tempat dugem di setiap negara. Selain dugem itu membutuhkan uang ekstra, paduan antara ke-disoriented-an saya dan rasa mabuk membuat sulit untuk menemukan jalan pulang ke hostel. Namun pada saat saya harus melaksanakan 'kewajiban' dugem di tiap negara yang saya kunjungi tapi lagi sendirian, ya tidak masalah. Kalau niat cari teman, saya ‘modal’ belagak menyembunyikan korek dan meminta api dari orang yang diincar untuk memulai pembicaraan. Namun yang terpenting adalah menjaga batas minum untuk dapat menemukan jalan pulang.

Mau dugem yang mudah, murah, aman, dan dapat segerombolan teman, menginaplah di hostel yang bekerja sama dengan tempat dugem. Mereka melayani antar jemput dari dan ke hostel gratis, lengkap dengan kupon gratis minuman pertama. Malah mereka kadang mengantar ke beberapa tempat dugem sekaligus dalam satu malam. Mau dugem lebih hemat, caranya patungan beli alkohol di supermarket, nongkrong di salah satu rumah atau apartemen orang, minum bareng. Setelah merasa agak miring sedikit, barulah meluncur ke tempat dugem. Jangan lupa carilah tempat dugem yang tidak pakai entrance fee atau cover charge.

Namun sampai saat ini alkohol paling murah menurut saya adalah di Filipina. Bila dikurskan, sebotol bir cuman lima ribu, segelas liquor di bar termahal di daerah elit pun cuman dua puluh ribu (perbandingannya dengan harga bar ngetop di Jakarta, segelas draft beer sekitar Rp 40.000,- dan liquor Rp 70.000,-). Pernah saya mengadakan farewel party dengan teman-teman Pinoy di kota Puerto Princessa, dengan borjunya saya traktir alkohol untuk 8 orang di salah satu bar terngetop di kota itu, eh bayar cuman sekitar seratus ribu rupiah!

Ada lagi cara dugem yang lebih hemat, tapi memerlukan keberuntungan dan kecuekan. Saya pernah nongkrong sendirian di bar, di sebelah saya kakek-kakek yang juga duduk sendirian. Tentu saya tidak pursue, karena bentuknya maaf, kayak Colonel Sanders-nya logo KFC. Begitu batang rokok terakhir dari bungkus rokok terakhir saya habis dan saya akan beranjak pulang ke hostel, si kakek menawarkan rokok Marlboro-nya kepada saya. Tentu saya ambil, jadi harus berbasa-basi sedikit. Tapi ternyata si kakek ini sangat menyenangkan untuk diajak ngobrol, sopan pula. Sambil mengobrol, dia membelikan minuman yang muahal dan buanyak. Setelah itu kami berpisah di depan pintu bar dan tidak pernah ketemu lagi. Apakah saya cheap shit? Menurut saya tidak, karena kami merupakan simbiosis mutualisme: saya butuh minuman (gratis), dia butuh teman. Hehe!

Soal kostum dugem, saya paling senang traveling saat musim panas, tinggal pakai tank-top dan tidak usah membayar uang ekstra untuk menitipkan jaket. Kalau lagi musim dingin, kadang saya sok-sokan pake rok meskipun dinginnya ga karuan. Istilahnya ‘dress to kill’ dengan artian ‘kill myself’ saking bela-belain bergaya tapi harus menahan dingin yang menusuk sampai ke tulang rusuk. Tapi perempuan di manapun di dunia memang senang dress to kill themselves karena mereka memang paling tahan dingin dibandingkan lelaki. Bayangkan, bisa-bisanya perempuan memakai tank-top di suhu belasan derajat, sementara para lelaki memakai baju berlengan panjang atau jaket.

Pesta dugem paling aneh adalah ketika saya merayakan malam tahun baru di kota Siem Reap, Kamboja. Jam 10.30 malam saya dijemput tukang ojek di losmen tempat saya menginap dan membawa saya ke ‘Angkor What? Pub’ (plesetan dari nama candi Angkor Wat yang terkenal itu) dimana diadakan New Year Street Party. Saya pikir modelnya seperti karnaval jalanan Mardi Grass, tidak tahunya karena bar tersebut sangat kecil - segede ruko lantai satunya saja - mereka menggelar meja-meja dan kursi-kursi di pinggir jalan, sementara pub dikosongkan untuk dance floor. Tapi lagu-lagunya, ya ampuun, jadul abis! Saya pikir puncaknya jam 00.00 akan lebih beradab. Tidak tahunya pas tiup terompet, diputarlah lagu “Made in Japan”-nya Deep Purple. Jaka Sembung bawa golok banget!

Di Amsterdam yang terkenal dengan kampanye legalize canabis merupakan salah satu pusat dugem dunia. Apakah karena legal menggunakan ganja, saya tidak tahu. Tapi memang mudah mendapatkan ganja, tinggal masuk ke Coffee Shop dan tunjuk ganja yang ingin Anda pilih di antara jejeran ganja yang berasal dari manca negara. Ganja Indonesia termasuk yang ngetop dan mahal lho, tapi jangan harap Anda dapat membeli bir atau alkohol lainnya di tempat ini. Coffee Shop hanya menjual kopi dan ganja, sedangkan bar menjual hanya alkohol tanpa ganja. Di Belanda minuman yang terkenal adalah ‘pisang ambon’ - minuman berwarna hijau dengan rasa jus buah dan mengandung 21% alkohol. Anehnya meskipun namanya dalam bahasa Indonesia tapi tidak bisa dibeli di Indonesia, paling tidak saya tidak pernah lihat dijual di bar manapun di Jakarta.

Bersambung...


Sunday, December 18, 2005 

'Jaim'-nya Perjalanan Bisnis

Dasar saya doyan banget jalan-jalan, saya sangat menikmati perjalanan bisnis (business trip). Daripada pantat saya nempel terus di kursi kantor di tengah sumpeknya kota Jakarta dengan langitnya yang berwarna abu-abu, lebih baik saya disuruh ke luar kota untuk meeting kek, survey kek, conference kek, mengurus event kek, disuruh ngangkut barang juga saya bersedia. Selama ini perjalan bisnis saya mayoritas masih di sekitaran Indonesia (penasaran kan saya kerja di mana?), tapi saya tetap menikmatinya.


Tidak enaknya perjalanan bisnis adalah capek. Mungkin karena orang kantor pusat jarang sekali ke daerah, sekalinya ketemu agenda jadi dibuat penuh. Seharian digeber untuk meeting atau keliling sampai malam. Habis makan malam, di saat saya ingin istirahat, mereka pasti mengajak saya jalan lagi. Parahnya, kalau penguasa daerah sana suka minum, terpaksa saya lanjut dugem sampai pagi dengan menjaga batas asupan alkohol karena harus ‘jaim’. Hebatnya, beberapa jam kemudian tetap lanjut meeting atau keliling. Ffuih! Kedua, saya harus bersedia dititipi oleh-oleh oleh orang sekantor. Kebanyakan sih makanan, tapi bisa-bisa saya bawa sedus makanan tradisional seperti keripik, kerupuk, dodol, kacang, sampai klappertaart, otak-otak, dan kepiting.


Tapi perjalanan bisnis menurut saya enaknya banyak. Saking seringnya saya terbang keluar kota naik Garuda, saya langsung mendaftarkan diri menjadi anggota Garuda Frequent Flyer. Point-nya bisa dikumpul untuk ditukarkan dengan tiket gratis yang bisa saya gunakan untuk liburan pribadi. Untungnya lagi, bensin jadi irit karena mobil saya cuman nganggur di garasi rumah akibat tidak jalan beberapa hari. Uang jalan (per diem) juga lumayan untuk ditabung karena saya sering ditraktir makan oleh orang daerah.


Dengan perjalanan bisnis, saya jadi kenal banyak orang - saking banyaknya, saya sering lupa nama mereka. Senang juga rasanya menebak wujud orang yang akan saya temui, karena sebelumnya kami hanya berhubungan lewat email atau telepon. Lucunya, mereka selalu salah menebak saya karena nama saya yang sedemikian canggihnya yang katanya tidak sesuai dengan wujud dan perangainya.


Paling senang bila perjalanan bisnis yang dimulai hari Senin atau diakhiri hari Jumat. Kalau tempatnya menyenangkan, saya biasanya extend, kalau perlu menambah cuti sehari dua hari. Apalagi kalau pas ke Bali, meski saya benci meeting atau conference di sana karena harus berbaju rapih di antara orang yang ber-tank top dan celana pendek. Biasanya saya extend bila perjalanan bisnis pas di tempat diving, seperti Lombok, Balikpapan, atau Manado - lumayan tidak usah keluar ongkos pesawat. Keuntungan pribadi lainnya, saya suka memanfaatkan jaringan kantor cabang bila ingin mencari informasi atau memesan hotel. Dengan harga corporate, saya bisa berhemat menginap saat liburan pribadi. Kadang saya menemui orang daerah untuk mengajak jalan, yang akhirannya saya ditraktir lagi.


Saya sama sekali tidak masalah bila ada orang daerah yang ke Jakarta mengajak saya jalan. Saya pasti akan melakukan hal yang sama, mengantar mereka jalan dan mentraktir. Tapi sepertinya semua orang mempunyai saudara atau teman yang lebih penting daripada saya untuk ditemui di Jakarta, jadilah saya tidak mempunyai kesempatan untuk membalas jasa.


Monday, December 12, 2005 

Sial atau Tolol?

Cerita sial traveling kebanyakan bermuara karena terlambat datang pada waktu keberangkatan. Ketinggalan pesawat sudah jamak dialami orang yang sering berpergian. Alasan klasik, apalagi kalau bukan karena telat bangun pada penerbangan pagi hari. Saya juga pernah, pas mau ke Manado lagi. Tahun 1998 harga tiketnya saja sejuta rupiah one way hasil nabung mati-matian dan penerbangan hanya ada satu kali sehari, mana tiketnya non refundable lagi! Enaknya naik pesawat dari Jambi, orang jarang telat kecuali tolol banget. “Di sini orang pergi ke bandara setelah lihat pesawat mau mendarat,” kata abang saya, mengingat kota Jambi anti macet dan dekat ke mana-mana. Tinggal nongkrong di teras rumah, mendongakkan kepala, lihat pesawat turun, berangkat ke bandara, check in, dan langsung boarding.

Ada juga faktor luar yang tidak bisa dihindarkan, yaitu macet, apalagi lalu lintas kita tidak dapat diprediksi. Meskipun sudah berangkat beberapa jam sebelumnya, bisa saja stuck di jalan karena macet atau ada kecelakaan. Untuk antisipasi, saya pernah berangkat dari Salatiga 4 jam sebelum keberangkatan naik pesawat terakhir dari Semarang. Tak dinyana jalan macet berat karena ditutup berhubung ada pawai dalam rangka perayaan 17 Agustus-an! Duh, Indonesia banget! Besok paginya saya terpaksa pindah tidur jam 4 pagi di depan loket Garuda untuk go show.

Hebatnya, faktor politik bahkan bisa berpengaruh terhadap keterlambatan. Karena demo mahasiswa tahun 1999, bis Damri ke bandara Soekarno-Hatta yang saya naiki tidak bisa lewat. Akhirnya setelah bersusah payah, bis memutar jalan lewat tol Tanjung Priok. Saya deg-degan setengah mati, masalahnya ini penerbangan internasional ke Paris. Tapi untungnya, semua pesawat hari itu delay karena kru penerbangan juga ikut terlambat.

Selain telat, ada juga karena alasan tolol. Seperti teman saya tidak jadi berangkat ke New Zealand karena dia salah bawa paspor – dia bawa paspor lama yang tentunya sudah kadaluwarsa dan tidak ada bukti visa-nya. Ketololan saya yang paling ‘pol’ ketika saya harus kembali dari Semarang (sepertinya kota ini sering membuat saya sial) ke Jakarta setelah menghadiri pernikahan seorang sahabat. “Tenang aja, kereta berangkat jam 5, pulang jam 5,” kata teman saya yang dititipi beli tiket. Sore hari kami pun pergi ke stasion Tawang lebih cepat sejam untuk jaga-jaga. Anehnya, setengah jam kemudian tidak ada satupun kereta di sana, saya pun bertanya kepada petugasnya, “Pak, kereta ke Jakarta kok belum datang ya?”
“Lho, kereta ke Jakarta sudah berangkat, Mbak,” jawabnya lebih heran lagi.
“Lho, kan keretanya berangkat jam 5. Sekarang baru jam setengah empat, Pak.”
“Lho, keretanya berangkat jam 5 pagi, Mbak, bukan jam 5 sore.”
Lucu, semua kalimat dimulai dengan kata ‘lho’. Lebih lucunya lagi, te-o-el-o-el banget: it's a BIG different between 5 AM and 5 PM!

Saya pernah hampir ‘mati’ gara-gara ketololan saya. Waktu itu saya mengakhiri liburan dan akan pulang ke Jakarta dari bandara Athens (Yunani). Dua jam sebelum keberangkatan pesawat yang jam 15.30, saya sudah sampai di bandara. Setelah urusan check in beres, saya masih punya sejam lagi sebelum boarding jam 14.45. Daripada bosan menunggu di bandara, saya punya ide cemerlang untuk pergi ke toko furniture and accecories IKEA yang tersohor yang tidak jauh dari bandara. Wah, barangnya lucu-lucu dan murah-murah. Tak terasa jam menunjukkan 14.45, saat saya harusnya sudah boarding. Saya lari ke kasir dan jantung saya langsung berhenti melihat antrian yang sangat panjang. Pikiran saya, ke bandara hanya 5 menit naik taksi jadi saya masih bertahan untuk mengantri. Saya berhasil keluar jam 15.00, setengah jam lagi sebelum pesawat berangkat. Tapii... tidak ada taksi! Saya ke bagian Customer Service, dan ia mengatakan bahwa taksi harus dipesan dulu via telepon. 5 menit kemudian baru taksi bisa dihubungi dan dikatakan taksi baru datang dalam 10 menit. Damn! Berkucuran lah keringat dingin saya, apalagi membayangkan saya harus melalui pintu detector, X-Ray, dan imigrasi – belum lagi kalau ada antrian karena ini penerbangan internasional. Kalau saya tidak jadi berangkat saat itu, saya pasti dipecat bos karena saya merapel cuti 3 minggu sekaligus dan penerbangan hanya ada 2 kali seminggu ke Jakarta. Kurang 7 menit sebelum pesawat berangkat, saya baru sampai di bandara. Saya berlari blingsatan mencari gate, terbirit-birit membanting ransel dan periksa paspor di imigrasi. Jam 15.27 saya berhasil masuk pesawat sambil dipelototi ratusan pasang mata yang memandang marah kepada saya. Ffuih!


Friday, December 09, 2005 

Faktor ‘U’

Tujuan, gaya, dan teman traveling sedikit banyak tergantung dari Faktor ‘U’ alias Faktor Umur atau Usia. Kita yang berasal dari negara berkembang dengan standar hidup rendah, baru bisa (paksa-paksain) traveling ke luar negeri setelah bekerja dan mempunyai duit sendiri. Pada saat saya mampu traveling ke luar negeri sendiri, umur saya sudah tidak matching dengan kebanyakan para backpackers. Di hostel sebagian besar yang menginap berumur early 20s, mereka traveling setelah lulus kuliah. Ada juga yang masih teenagers, baru lulus SMA dan keliling dunia. Imbasnya, saya lebih sering jalan dengan para brondong yang 'kaga ada matinye' - jalan ke sana ke mari, dugem sana-sini. Sepuluh tahun yang lalu sih masih asik, tapi sekarang capek. Malesnya lagi, kalau ada cowok brondong yang baru jalan sekali sudah bicara cinta dan mau menyusul ke Indonesia. Sori ya, saya bukan paedophilia! Hehe!

Memang enak kalau nemu teman jalan yang seumuran saya, pace-nya sama, gaya jalannya tidak kere-kere banget, dan obrolan nyambung. Sayangnya saya jarang sekali ketemu, konon karena di usia saya lagi sibuk-sibuknya mengejar karir dan membina rumah tangga. Cuih! Sekalinya saya kenalan dengan yang berumur late 20s, kebanyakan adalah pasangan muda. Meskipun mereka tidak keberatan, kan males saya jadi ‘obat nyamuk’ melulu, sementara mereka ‘kecipak-kecipok’ di depan muka saya. Namun akhir-akhir ini saya malah menikmati berteman dengan orang tua sekalian di atas 50an dimana mereka sedang berlibur menikmati masa pensiunnya. Meskipun mereka lebih slow daripada saya, tapi enak diajak ngobrol dan royal. Jadi saya tinggal memilih: kalau lagi punya banyak energi dan ingin gila, saya jalan dengan brondong, tapi kalau lagi ingin santai dan agak borju, saya jalan dengan manula.

Traveling hemat itu tergantung Faktor ‘U’, semakin muda semakin murah. Keliling Eropa paling murah adalah dengan menggunakan tiket Eurailpass, dengan jumlah hari tertentu kita dapat bebas bepergian ke 17 negara. Namun tiket paling murah adalah jenis Eurailpass Youth dengan diskon 35%, tapi syaratnya harus berusia maksimal 26 tahun. Di beberapa hostel di Eropa bahkan mempunyai batas umur agar dapat menginap. Saya terhina sekali ketika membaca peraturan bahwa salah satu hostel di Jerman membatasi umur maksimal 28 tahun. Untuk menjadi anggota Youth Hostel Association harganya pun berdasakan umur, bisa gratis atau diskon 50% bila berumur di bawah 18 tahun. Tiket masuk museum, culture site, bahkan beberapa jenis transportasi, banyak yang memberikan diskon bila kita muda sekali atau tua sekalian di atas 60 tahun. Bisa sih sudah ‘tua’ tapi dapat diskon, asal berstatus masih kuliah full-time dan mempunyai kartu ISIC (International Student Identity Card). Pokoknya saya tetap tidak setuju bila golongan usia saya dan pekerja dianggap berduit. Orang Indonesia gitu loh!

Faktor ‘U’ juga membedakan barang bawaan saat traveling - saya sekarang membawa barang lebih banyak daripada dulu. Kantong mandi saja yang biasanya hanya berisi sabun, sikat gigi dan odol, sekarang bertambah dengan botol pencuci lensa kontak, pelembab badan, pelembab tubuh, pelembab bibir, deodoran, botol parfum, sun block. Obat-obatan yang biasanya hanya obat flu dan pusing, sekarang ditambah obat alergi, obat diare, salep anti gatal, vitamin C, vitamin E, Antangin, Counterpain, dan balsem. Duh, nenek-nenek banget nggak sih? Dulu bajunya cuek, hanya standar kaos dan celana panjang, sekarang ada rok, blus cantik, dan pashmina. Dulu hanya sendal jepit dan sepatu keds, sekarang tambah sepatu berhak untuk jalan malam hari. Dulu pakai satu baju bisa dua hari tanpa ganti, sekarang bau dikit langsung diganti. Dulu bawa 1 bikini cukup, sekarang bawa 3 supaya kalau difoto bikininya ngga itu-itu doang. Intinya semakin tua semakin banyak perawatan dan semakin ingin tampak bergaya. Sedangkan secara psikologis tampaknya saya sekarang tidak bisa secuek dulu lagi, contohnya dulu diajak main ke rumah orang lokal langsung mau, sekarang kebanyakan mikir – pulangnya gimana, naik apa, jam berapa, kalau ada apa-apa gimana. Ah kelamaan!

Soal fisik, Faktor ‘U’ lah yang sangat berpengaruh. Dulu saya bisa-bisanya jalan keliling kota dari pagi sampai malam, lanjut dugem sampai pagi lagi, tidur beberapa jam, besoknya begitu lagi. Sekarang bergadang sedikit saja sudah masuk angin dan besoknya hilang setengah hari karena tidak kemana-mana untuk recovery. Dulu setiap hari selalu sibuk ke sana ke mari karena ogah rugi, sekarang lebih slow – ada saat dimana saya harus menikmati kesendirian dengan duduk mengopi, membaca buku, menulis, atau sekedar leyeh-leyeh saja (saya menyebutnya The Art of Doing Nothing). Kebanyakan jadwal traveling saya sekarang adalah: menghabiskan pagi hari dengan santai, jalan-jalan jam 10.00 – 17.00, tidur atau leyeh-leyeh, jalan lagi jam 19.30 sekalian makan malam, dan pulang maksimal jam 00.00 - kecuali lagi berenergi untuk dugem sampai pagi dengan resiko besoknya mulai jalan lebih siang.

Peringatan: traveling lah selagi masih muda!


Friday, December 02, 2005 

Tidak Semua Pramugari Seksi

Sejak duduk di bangku TK, saya bercita-cita menjadi pramugari, pikiran saya waktu itu rasanya enak bisa jalan-jalan ke mana-mana. Namun sejak SD saya sudah memakai kaca mata, jadi gagal lah cita-cita saya. Belum lagi penampilan saya yang bukan pramugari banget. Hehe! Memang pramugari bagaikan role model, mereka cantik, tinggi, langsing, rapih, dan ramah. Suatu hari teman saya berkomentar, “Enak banget pramugari Citilink, kerjanya cuman ngasih Aqua gelas.” Pemikiran ini salah, sebab fungsi utama pramugara dan pramugari di pesawat terbang adalah flight safety, malah service adalah nomer dua. Kenapa pramugari pramugara tinggi-tinggi ya untuk alasan sederhana saja, supaya nyampe kalau menutup bagasi di atas kursi penumpang. Masalah good looking, usia, ukuran tubuh, dan kaca mata adalah relatif, tergantung dari kebijakan masing-masing perusahaan penerbangan.


Pramugara pramugari dari penerbangan asal negara Asia Tenggara is the best. Buktinya The Best Cabin Crew pasti dimenangkan oleh Singapore Airlines atau Malaysian Airlines. Mungkin karena budaya kita yang gila hormat dan senang dilayani sehingga servis pramugara pramugari dibuat paling oke. Pramugarinya pun langsing-langsing, bahkan ukuran pinggangnya mungkin selebar satu paha saya saking kecilnya. Gendut sedikit, mereka di-grounded – tidak boleh terbang sampai kurus lagi (tentu ukuran ‘gendut’-nya Singapore Airlines tidak manusiawi bagi saya). Sedangkan pramugaranya juga ganteng-ganteng, meskipun bermata sipit tapi mukanya seperti penyanyi F4. Saya penasaran juga sama pramugara Royal Brunai. Maaf, cowok-cowok Brunai kan ga ada yang cakep menurut saya, paling cakep pun mukenye kayak B’Jah. Rupanya tidak ada pramugara yang Melayu, semuanya Cina dan lumayan menyenangkan untuk dilihat. Kalau Garuda Airlines bagi saya juga oke, meskipun mereka saya kategorikan ‘dewasa’ bila dibandingkan dengan pramugari penerbangan lokal lainnya seperti Lion, Batavia, Sriwijaya, dll.


Setelah saya ‘berpengalaman’ naik pesawat terbang non Asia Tenggara, barulah saya sadar bahwa pramugara dan pramugari itu tidak semuanya ganteng–macho, atau cantik–langsing. Tidak usah jauh-jauh, di Sri Lankan Airlines, pramugarinya mengenakan seragam kain Sari seperti baju kebangsaaannya India yang bagian perut dan pinggangnya terbuka. Tapi orang Sri Lanka itu berkulit hitam, turunan Tamil, dan mereka badannya tidak tipis bagaikan orang Singapura. Jadilah daging berlebih di bagian perut dan pinggangnya mencelat ke luar dan berwarna hitam berbintik-bintik pula. Hiii!


Dalam penerbangan asal negara Arab seperti Gulf Air atau Emirates Airlines, jangan dikira pramugarinya mengenakan jilbab. Mereka justru memakai seragam biasa dengan tambahan topi kecil bercadar tipis, seperti Ginny in the Bottle. Nah seperti yang sudah pernah saya ceritakan sebelumnya, menurut saya pramugara Emirates lah yang paling guanteng-guanteng. Ih, sampe kalo diajak ngomong saya bisa bengong karena takjub. Lucunya, peragaan keselamatan lewat tivi modelnya justru bukan pramugara yang ganteng-ganteng itu, tapi bapak-bapak tua, gendut, berkumis tebal a la Pak Raden dan bermuka sangat Arab, persis kayak di Tanah Abang.


Di Quantas, pertama kali saya melihat ada pramugara yang gay golongan bottom alias cowok yang menjadi perempuan dalam hubungan ‘kehombrengannya’ dengan cowok lain. Begitu si pramugara mendatangi saya dan menawarkan kopi, cara dia menuangkan teko ke cangkir saya sangat bencong banget dengan kelingking yang selalu tertekuk ke luar. Begitu dia jalan, apalagi, ketahuan banget kalau dia gay. Tahu kan maksud saya?


Nah, kalau penerbangan Eropa lebih parah lagi. Pramugara dan pramugarinya tidak ada yang muda. Pernah saya naik Swiss Air, sepesawat dilayani 3 oom-oom pramugara, berkacamata, dan gendut pula, persis seperti tokoh film seri Mr. Belvedere. Atau waktu saya naik Austrian Airlines dan British Airways, kami dilayani oleh pramugari yang semuanya tante-tante tidak langsing dengan rambut keriting awut-awutan. Di Lufthansa bahkan banyak juga pramugara yang gay. Saya penasaran pengen lihat para gay itu memperagakan keselamatan, tapi ternyata lewat tivi – modelnya pun kartun, bukan manusia. Tapi soal servis, mereka masih mending lah, paling tidak saat menawarkan bahasanya masih sopan, “Would you like to have coffee or tea, ma’am?”


Paling parah menurut saya adalah penerbangan lokal di Amerika Serikat. Delta Airlines maupun United Airlines dilayani oleh pramugara kakek-kakek dan pramugari nenek-nenek. Udah ubanan, berkaca mata melorot, gendut, tidak ramah lagi. Pas membagikan makanan di nampan tanpa basa-basi, dilempar begitu saja di meja. Saat menawarkan minuman, cuman bilang, “Coffee? Tea? Coke?”. Salah satu pramugari tua gendut yang berkulit hitam menawarkan saya softdrink kalengan, dia bahkan meminta saya untuk membuka sendiri kalengnya karena kukunya yang panjang tidak bisa mencongkel dan takut merusak kuteksnya yang berwarna norak. Sialan!


Yah maklumlah di negara Barat dengan jumlah penduduk yang sedikit dan generasi muda yang jarang (plus hukum persamaan hak), membuat sulit mencari pramugara pramugari yang muda dan seksi. Selain itu, saking seringnya orang di sana bepergian dengan menggunakan pesawat terbang, perusahaan penerbangan pun kurang mengutamakan servis. Tanpa servis yang baikpun, orang pasti naik pesawat - yang penting sampe tujuan.


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates