« Home | Pagoda harum, candi sungai, dan candi gigi » | You. Me. Marry. » | Penghitam kulit atau pasta gigi tiruan » | Orang apa hayoo? » | Balada Kebelet » | Wisata ke Kuburan » | Romantisme salju » | Olah Raga (Jantung) Ekstrim » | Rookie of the year » | Habis pantai, terbitlah kunang-kunang »

Monday, November 10, 2008

Kelaparan di tengah taifun dan kudeta

Sebagai seorang yang tinggal di ibukota Jakarta, saya menjadi bagian dari 'saksi sejarah' dengan kondisi politik dan alam yang kacau, mulai dari kerusuhan 1998, tiga kali pemboman, puluhan kali demo, sampai banjir. Mungkin karena berada di ‘kandang sendiri’ membuat saya tahu apa yang harus dilakukan. Nah kalau di negara orang? Saya pernah sih sekali terjebak di tengah demo di Syntagma Square, Athena, sehingga jalan ditutup padahal saya harus ke bandara untuk mengejar pesawat pulang, untunglah pemerintahnya menyediakan alternatif kendaraan umum. Tapi ketika saya memutuskan untuk ke Filipina, saya sudah terbayang akan menghadapi badai taifun dan siap dengan keadaan politiknya yang ‘beti-beti’ dengan negara kita.

Tanggal 2 Desember 2004, saya, Jade dan Nina sedang berlibur di Boracay, Filipina. Siang itu saya dan Jade mau ikut trip diving dan sedang memasang peralatan. Tiba-tiba angin datang sangat kencang sehingga kertas beterbangan dan pasir terbang hebat di udara sampai bikin mata kelilipan. Seorang Satpam berteriak, “Typhoon! Typhoon!!”. Karena tak tahu apa yang harus kami perbuat dan tak familiar dengan keadaan seperti ini, otomatis kami semua tengkurap di lantai! Dive Master malah mengajak kami segera berjalan menuju kapal, “It’s just wind and drizzle,” katanya. Oh bukan taifun kali, pikir kami. Tapi ombak tak menipu, kapal tergoncang di tengah laut sampai kepala saya kejedot kapal ketika turun ke laut. Di dalam air memang tidak terasa apa-apa kecuali visibility yang kurang baik, tapi begitu naik ke kapal tetap bergoncang hebat sampai Jade pun muntah. Masih belum kapok, kami bertiga tetap melaksanakan acara berenang di pantai yang tiba-tiba sepi tak ada orang, kecuali para kite surfer yang terbang-terbang di atas laut. Kami hanya tertawa melihat laut yang biasanya super tenang malah jadi berombak dan pohon kelapa jadi miring, belum lagi terdengar suara menderu-deru angin kencang. Sampai di penginapan, barulah kami sadar bahwa Filipina sedang dilanda taifun setelah resepsionis memberitahu.

Kami segera menyalakan TV, sialnya semua channel dalam bahasa Tagalog! Katanya taifun dalam keadaan “Signal Number 2” yang artinya apa kami tidak tahu, yang jelas kecepatan anginnya mencapai 185 km/jam. Wah, lebih cepat daripada mobil ngebut! Dan kami pun mendengar bunyi halilintar menggelegar disertai dengan hujan maha deras. Karena lapar, kami nekat hujan-hujanan keluar untuk cari makan. Di bar Summer Place yang terletak persis di sebelah penginapan, kami hanya duduk bengong karena hanya ada segelintir orang. Pembicaraan di bar pun berkisah tentang badai taifun yang melanda Filipina. Ada bule yang terjebak di Boracay sampai 2 hari dan tidak bisa ke mana-mana, malah kata si bartender kemungkinan pesawat besok juga tidak ada yang bisa terbang. Waduh, gawat ini! Jam 12 kami pun pulang dan sibuk merencanakan plan A, B, C, kalau seandainya kita tidak bisa pergi ke mana-mana karena taifun. Untunglah keesokan harinya pesawat ke Manila tetap berangkat meskipun delay berjam-jam menunggu keadaan aman.

Dua kali lagi saya mengalami taifun saat saya tinggal di Filipina, yaitu tanggal 15 Agustus 2007 bernama Typhoon Sepat dan 26 November 2007 bernama Mitag (entah bagaimana mereka menamakan taifun). Dasar sekolah saya yang ketat, tidak pernah ada acara diliburkan. Paling hanya siswa yang tinggal jauh di luar asrama yang terlambat datang. Jadi tiap ada taifun, 3 hari 3 malam langit gelap gulita dan hujan maha deras, tapi saya tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Yang jelas, bolak-balik saya dan teman-teman ditelepon keluarga di rumah karena berita mengenai taifun melanda Manila masuk di CNN.

Di Filipina pula lah saya mengalami apa yang namanya ‘kudeta’ yang artinya adalah ‘penggulingan kekuasaan secara paksa, biasanya secara keras oleh golongan tertentu yang kebanyakan dari militer’. Tanggal 29 November 2007, lagi asik-asiknya nongkrong di pinggir kolam renang kampus, tiba-tiba seeorang berlari ke arah saya dan berteriak, “Ku ku ku! There’s ku!”. Kirain apaan ‘kukuku’, ngga taunya coup (dalam bahasa Inggris dibaca ‘ku’) atau coup d’etat alias kudeta. Hah? Seorang dosen memberi tahu bahwa sekarang sedang terjadi kudeta oleh militer yang ingin menggulingkan pemerintahan Gloria Macapagal-Arroyo dan berada hanya beberapa blok dari kampus. Ia menjelaskan lagi bahwa 30 tahun yang lalu pernah terjadi kudeta juga dan kampus kami dijadikan basis para tentara sehingga terjadi tembak-menembak yang membahayakan siswa. Makanya berkaca dengan pengalaman dulu dan berbicara secara konservatif maka saat ini juga semua penghuni asrama harus segera packing untuk 3 hari dan berkumpul di lobi untuk dievakuasi ke luar kota! Hah?

Gubrak-gubruk, semua orang berlari ke kamar masing-masing sampai lift pun penuh dan banyak yang memilih naik tangga darurat. Sialnya, saat itu kaki saya sedang bengkak karena keseleo dan berjalan pun memakai tongkat. Teman sekamar saya, Alda baru saja keluar dari RS akibat operasi usus buntu dan Thi Met sedang hamil. Bertiga kami tertatih-tatih packing ini dan itu, lalu turun. Bus sudah disiapkan di halaman kampus dan kami akan dibawa ke rumah seseorang di luar Manila. Saya mencoba meng-SMS ibu di Indonesia, tapi rupanya network sedang kacau sehingga tak ada sinyal. Baru saja mau berangkat tiba-tiba terdengar bunyi tembakan dari kejauhan. DOR! DOR! DOR! Saya menahan napas. Jantung saya tambah berdebar-debar. Semuanya pun menjadi sunyi beberapa saat. “Wait,” kata si dosen. TUT-TUT... SMS masuk ke handphone si dosen. Kudeta telah berhasil digagalkan oleh pemerintah, begitu bunyinya. Yaah... antiklimaks, kami pun disuruh tinggal di kamar masing-masing dan diumumkan bahwa 3 hari ke depan diberlakukan jam malam. Tapi malam itu saya kelaparan, sialnya semua bisnis tutup dan area Makati dijaga ketat oleh pasukan keamanan. Dengan menggeret beberapa teman, kami nekat berjalan kaki di kesunyian malam untuk nebeng makan di apartemen teman... sambil membawa paspor. Uh, rasanya seperti di jaman G30S!

Catatan:
- Taifun 2 Desember 2004 adalah Typhoon Nandamol yang melanda Pulau Luzon, Filipina, dan menewaskan lebih dari 400 orang. Saat itu kami berada di Pulau Boracay (lihat foto di atas), 315 km selatannya ibukota Manila yang terletak di Pulau Luzon.
- Kudeta 29 November 2007 dipimpin oleh Sen. Antonio Trillanes IV and Army Brig. Gen. Danilo Lim dan terjadi di hotel The Peninsula Manila, Makati.


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|