« Home | Habis pantai, terbitlah kunang-kunang » | Boat Cruise bikin Dehidrasi » | Saltum di Hamam » | Nebeng membawa sial? » | Naik balon di bulan » | Perawan bernama Negros* » | Kesempatan tidak datang dua kali » | Orang India nggak bisa lihat pohon nganggur? » | Tidak ada alasan untuk tidak jalan-jalan* » | Hotel nge-Bronx »

Wednesday, September 03, 2008

Rookie of the year

Kalau saya traveling dengan sahabat-sahabat jalan saya yang biasa sih tidak pernah punya masalah karena sudah tau sama tau. Tapi kalau ada teman yang baru gabung traveling bego-begoan, butuh penyesuaian juga. Meski dalam kehidupan sehari-hari kami gaul bareng, tapi soal traveling ala backpacker adalah pertama kali bagi mereka. Kesamaan mereka semua: sama-sama baru saja membeli ransel pertama seumur hidup - sehingga saya menyebut mereka rookie. Lucu banget melihat kelakuan mereka, apalagi setelah saya tanya mengenai ‘pengalaman bekpekingan apa yang paling berkesan bagi mereka’.

Thi Met, teman sekelas dan sekamar asal Vietnam, umur 29, ibu satu anak, bekerja sebagai dosen di sebuah universitas di Hanoi. Pertama kali naik pesawat dan ke luar negeri ya pas kuliah di Filipina. Menjadi lajang lagi dan cuti setahun menjadi ibu membuat dia ingin menjelajah dunia, tapi sialnya ia kebablasan hamil pada saat berat-beratnya kuliah. Baru kali ini saya traveling sama ibu-ibu bunting. Dengan perut besarnya tetep keukeuh jalan kaki ke pantai-pantai di Subic dan pegunungan Baguio sambil membawa plastik ke mana-mana: satu plastik kosong untuk tadah muntah, satu lagi plastik berisi segala macam camilan dan susu karton. Belum lagi sebentar-sebentar perutnya minta diisi karena lapar. Ngidamnya pun ajaib banget: minum bir! Saya jadi sering dimarahi orang karena membiarkan dia minum. Karena selalu merasa kepanasan, hobinya memakai baju daster batik yang dipake untuk jalan-jalan, tidur, bahkan masuk ke bar. Ih, udah kayak inang-inang aja! Bagi dia, semuanya berkesan, karena traveling tidak pernah masuk dalam agendanya seumur hidup!
Catatan: sebulan lalu dia melahirkan. Putra keduanya itu diberi nama Phi-Phi – dari kata Philippines, saking berkesannya.

Udhi, teman sekelas yang orang India, umur 5 tahun lebih tua daripada saya, menjabat sebagai top management di perusahaan multi nasional terkenal. Saya salut juga dengan keputusannya untuk mau bersusah payah traveling ala backpacker di Filipina, soalnya selama ini hanya pergi karena perjalanan bisnis kelas atas. Pertama trip bareng sekelas ke Boracay aja, bawaannya koper beroda, pakai sepatu kulit, dan membawa banyak baju yang akhirnya tidak terpakai. Lama-lama setelah di-training, dia sudah nyaman membawa ransel dan memakai sendal jepit saja, baju-bajunya yang ala bapak-bapak kantoran pun lama-lama berubah menjadi kaos dan celana pendek. Parahnya dia tidak bisa berenang, pertama kali lihat laut aja pada umur 20 tahun, jadilah dia salah satu murid saya yang setiap sore latihan di kolam renang kampus. Suatu kali setelah dipaksa-paksa, dia berhasil ikutan rafting di Cagayan Valley. Dia menyebutnya sebagai “The biggest achievement in my life” saking bangganya. Dia memang hepi banget bisa jalan-jalan, sepertinya matanya dibukakan dan merasa muda lagi. Kasiannya, sebentar-sebentar dia berhenti berjalan, lalu membungkukkan badan dan mengeluh, “Oh, my back hurts!”. Dasar aki-aki!

Pascal
, cowok yang city boy dan metrosexual abis ini lebih muda 5 tahun daripada saya. Travelingnya kebanyakan karena perjalanan bisnis yang dibayarin kantor. Orangnya sih asik-asik aja, enak diajak bergosip dan ga masalah jadi cowok sendiri (di antara nenek-nenek bawel). Karena cowok dan masih muda, dia tidak pernah mengeluh soal jalan jauh. Malah orangnya nggak bisa diem: baru aja kita duduk sebentar, udah ngajak jalan-jalan lagi. Kita bangun siang dikit, langsung ribut ngebangunin kita minta ditemenin jalan-jalan. Mana setiap malam ribuut aja cari disko. Capee deeeh! Anehnya soal selera makan, hidup mati maunya makan nasi dan ayam goreng. Bahkan kalau dia lihat lambang KFC, seperti berasa orgasme.
Dia paling berkesan ketika kami makan di restoran di Hongkong dan ada kelebihan charge untuk pemesanan dim sum. Tentulah saya protes dan kami terpaksa menunggu lama agar uangnya dikembalikan sambil deg-degan karena orang Hongkong yang galak-galak. Kata Pascal, “Gua sekarang baru bisa menghargai jadi backpacker yang harus berjuang soal duit, duilee...dim sum seharga 25 ribu rupiah aja dikomplen.” Hush, jangan salah. Uang segitu bisa buat naek Star Ferry 10 kali nyebrangin Victoria Harbour!

Jana, anak mall yang girly banget. Entah kesambet apa, dia memutuskan untuk bekpekingan bersama saya. Padahal biasanya dia traveling ala borju, menginap di hotel mahal, ikut tour, doyan banget belanja (barang sale) dan menggeret koper berwarna ngejreng. Ternyata orangnya asik-asik aja disuruh ngegembel, juga panjang sabar dan jago nawar. Parahnya adalah cara dia berpakaian yang seperti kekurangan bahan: coak depan, coak belakang, menerawang, mini (bahkan micro), dan ‘ketit’ (lebih kecil dari ketat), belum lagi warnanya yang sesilau stabilo. Karena bodinya yahut dan kulitnya putih mulus, pake baju model begitu kesannya jadi porno. Sering banget dia dipelototin dan disuitin orang (apalagi kalo lagi di terminal bis atau pelabuhan. Ya iyalah!). Yang saya salut adalah cara packing-nya. Ranselnya paling kecil di antara kami, tapi semua ada. Saya pikir karena baju-bajunya yang tipis dan kecil, tapi rupanya dia punya barang apapun dengan ukuran mini dan karena apapun digulung kecil-kecil satu per satu.
Tentang pengalaman paling berkesan, katanya ketika kami berdua nongkrong sama anak muda lokal yang main gitaran di Alona Beach, Bohol, Filipina. Lagu-lagu yang dimainin jenis classic rock tahun 80an – lagu favoritnya. Saya pun tanya, “Emang dulu nggak pernah kemping sambil gitaran ya?”. Nggak, jawabnya. Pantess.


Moral of the story: biar bunting, tua, atau anak disko, ga masalah kok untuk bekpekingan!


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|