Hotel nge-Bronx
Akhir Desember 2007 sahabat-sahabat saya, Yasmin, Jana dan Pascal, mengunjungi saya di Filipina, lalu kami ber-backpacking-ria ke Filipina, Hongkong, Shenzhen dan Macau. Usulan saya diterima dan mereka menyerahkan urusan perjalanan kepada saya. Namun karena kesibukan kuliah yang super padat melebihi kerja kantoran, kali ini saya benar-benar tidak ada persiapan sebelum perjalanan. Saya tidak sempat baca-baca situs tentang ke mana mau pergi, apalagi booking penginapan. Saya merasa santai saja, karena selama ini juga pasti dapat. Saya lupa kalau saya jalan rame-rame dan pada saat peak season pula. Saya cuma sempat booking penginapan pertama di Malapascua Island dan minta tolong seorang teman untuk booking hotel di Cebu sehingga tidak ada hambatan yang berarti.
Bencana pertama datang ketika kami sampai di pelabuhan laut Bohol, Filipina, pada malam hari. Setelah diserbu oleh para supir taksi, tricycle dan taksi gelap akhirnya kami memutuskan naik mobil sewaan dengan sound system jedang-jedung karena supirnya muda dan culun. Perjalanan ke Alona Beach membuat kami jadi parno karena jalannya menuju hutan yang gelap. Sialnya lagi, ternyata semua penginapan penuh, tapi si supir yang ternyata baik hati itu membantu mencari penginapan. Akhirnya kami mendapat 1 kamar tapi hanya untuk semalam saja, harganya sekitar Rp 300.000/kamar. Kamarnya bau debu sampai saya bersin-bersin nggak karuan dan tidur dialas sarung bali karena takut gatel. Besoknya kami bela-belain bangun pagi dan menyusuri pantai untuk mencari penginapan lain. Dengan matahari yang bersinar terik, kami keluar-masuk dan tanya-tanya, sembari sebentar-sebentar duduk di bawah pohon untuk ngadem. Perburuan yang memakan waktu tiga jam akhirnya membuahkan hasil, kami dapat penginapan di Isis Bungalow. Letaknya di pantai paling ujung dan harganya agak mahal, kalau patungan sekitar Rp 800.000 untuk berempat. Untunglah bungalownya besar, bersih dan menghadap pantai. Susahnya karena berempat, ya harus ngantri kalau mau ke kamar mandi, mana air dari kran kecil banget jadi harus selalu siap air di dalam ember.
Belajar dari pengalaman itu, kami buru-buru cari penginapan di Hongkong melalui internet. Apalagi kami akan menghabiskan tahun baru di sana, plus takut ribet dengan bahasanya kalau masih harus cari-cari lagi. Seperti yang sudah diduga, semuanya penuh mulai dari yang murah sampai yang mahal. Entah search pakai apa, Pascal akhirnya mendapat tempat di New China Hotel di daerah Tsim Sha Tsui, meski agak di luar budget tapi tidak ada pilihan lain yang lebih murah. Jadi kami langsung pesan 3 malam dan membayar 10% DP secara online. Kalau judulnya ‘hotel’, pikiran kami ya standar hotel lah. Malah menurut peta, hotel itu ada di sebelahnya Holiday Inn. Setelah turun dari bis dan memasuki Chungking Mansions, mata kami membelalak...abisan dalamnya ternyata pertokoan kayak di Glodok: isinya penuh dengan toko elektronik, toko jam, toko tas, warung India, dan banyak orang berkulit hitam gede-gede seliweran. Bau di lantai dasar pertokoan itu campuran antara bau kari, bau hio, bau rokok dan bau pipis. Wah, Bronx abis! Hotelnya ternyata di lantai 9 dengan lift sempit dan antrian yang panjang dan lama. Kamarnya lebih parah lagi, begitu buka pintu langsung tempat tidur, sampai naro barang aja harus di kolong tempat tidur saking nggak ada tempat. Pemandangan dari jendela adalah gedung-gedung lain yang sama tuanya, dengan cat yang luntur, gelap dan lembab. Dari keterangan di internet sih bener: lokasi strategis, ada AC, TV, kamar mandi dalam dan air panas. Kamarnya memang bersih sih, tapi siapa yang sangka nge-Bronx gitu!
Karena parno masih berlanjut, dari Hongkong kami pesan kamar untuk menginap di Shenzhen melalui internet juga, pilihan jatuh ke My Little Hut Hostel. Harganya hampir ½ dari Hongkong, jadi kami benar-benar pasrah dengan keadaan penginapannya – apalagi namanya ‘hostel’. Setelah susah payah mencari info bagaimana cara naik MRT ke hostel itu karena tidak ada yang bisa berbahasa Inggris, kami turun di stasion ke-empat dilanjut dengan berjalan kaki sambil terengah-engah menggendong ransel. Begitu melihat gedung bertingkat yang tua dan busuk banget, kami pun pasrah bila harus tinggal di Bronx lagi. Eh, ternyata bukan dan masih jauh lagi jalan kaki (petanya sangat menipu karena tidak ada skalanya). Tulisan hostelnya ternyata kecil banget karena ketimpa dengan karakter Cina sehingga hampir tidak kelihatan. Kami harus naik tangga lagi 4 lantai, lagi-lagi melewati toko-toko dan warnet. Wah, namanya sih hostel tapi ternyata bagus dan bersih banget, jauh lebih oke daripada yang di Hongkong dengan fasilitas yang sama pula. Reception-nya saja ada beberapa layar CCTV, kamarnya luas dan jendelanya besar menghadap jalan raya. Lega banget!
Bencana terakhir, kami tidak menemukan satupun penginapan murah di Macau melalui internet, minimal harganya udah ratusan dolar, jadi kami memutuskan untuk go show saja. Dari Pier 14, kami jalan kaki ke alun-alun Largo do Senado, istirahat sebentar, lalu ‘hom-pim-pah’ – dua orang yang kalah harus mencari penginapan, dengan catatan dua orang yang menang nggak boleh protes atas keputusan yang kalah. Saya dan Yasmin yang kalah, menyusuri jalan utama Avenida de Almeida Ribeiro lalu nemu hotel yang nyempil di antara toko-toko di namanya Hotel Central. Kami memilih tinggal di sana karena lokasinya yang sangat strategis dan juga karena malas cari-cari lagi. Harganya pun lumayan, sekitar 280 ribu rupiah semalam untuk berdua meski hotelnya tua bener, gelap dan spooky. Langit-langitnya tinggi, jendelanya banyak sarang laba-laba, besi-besi di kamar mandi pun sudah berkarat – persis kayak di settingan film-film horor. Hiiii!
Moral of the story: Ada harga, ada mutu. Semakin males, semakin mahal bayarnya. Jangan pernah punya ekspektasi karena ntar malah kecewa. Makanya harus punya selera humor yang sama, kalo sial ya cuma ngetawain aja.
Bencana pertama datang ketika kami sampai di pelabuhan laut Bohol, Filipina, pada malam hari. Setelah diserbu oleh para supir taksi, tricycle dan taksi gelap akhirnya kami memutuskan naik mobil sewaan dengan sound system jedang-jedung karena supirnya muda dan culun. Perjalanan ke Alona Beach membuat kami jadi parno karena jalannya menuju hutan yang gelap. Sialnya lagi, ternyata semua penginapan penuh, tapi si supir yang ternyata baik hati itu membantu mencari penginapan. Akhirnya kami mendapat 1 kamar tapi hanya untuk semalam saja, harganya sekitar Rp 300.000/kamar. Kamarnya bau debu sampai saya bersin-bersin nggak karuan dan tidur dialas sarung bali karena takut gatel. Besoknya kami bela-belain bangun pagi dan menyusuri pantai untuk mencari penginapan lain. Dengan matahari yang bersinar terik, kami keluar-masuk dan tanya-tanya, sembari sebentar-sebentar duduk di bawah pohon untuk ngadem. Perburuan yang memakan waktu tiga jam akhirnya membuahkan hasil, kami dapat penginapan di Isis Bungalow. Letaknya di pantai paling ujung dan harganya agak mahal, kalau patungan sekitar Rp 800.000 untuk berempat. Untunglah bungalownya besar, bersih dan menghadap pantai. Susahnya karena berempat, ya harus ngantri kalau mau ke kamar mandi, mana air dari kran kecil banget jadi harus selalu siap air di dalam ember.
Belajar dari pengalaman itu, kami buru-buru cari penginapan di Hongkong melalui internet. Apalagi kami akan menghabiskan tahun baru di sana, plus takut ribet dengan bahasanya kalau masih harus cari-cari lagi. Seperti yang sudah diduga, semuanya penuh mulai dari yang murah sampai yang mahal. Entah search pakai apa, Pascal akhirnya mendapat tempat di New China Hotel di daerah Tsim Sha Tsui, meski agak di luar budget tapi tidak ada pilihan lain yang lebih murah. Jadi kami langsung pesan 3 malam dan membayar 10% DP secara online. Kalau judulnya ‘hotel’, pikiran kami ya standar hotel lah. Malah menurut peta, hotel itu ada di sebelahnya Holiday Inn. Setelah turun dari bis dan memasuki Chungking Mansions, mata kami membelalak...abisan dalamnya ternyata pertokoan kayak di Glodok: isinya penuh dengan toko elektronik, toko jam, toko tas, warung India, dan banyak orang berkulit hitam gede-gede seliweran. Bau di lantai dasar pertokoan itu campuran antara bau kari, bau hio, bau rokok dan bau pipis. Wah, Bronx abis! Hotelnya ternyata di lantai 9 dengan lift sempit dan antrian yang panjang dan lama. Kamarnya lebih parah lagi, begitu buka pintu langsung tempat tidur, sampai naro barang aja harus di kolong tempat tidur saking nggak ada tempat. Pemandangan dari jendela adalah gedung-gedung lain yang sama tuanya, dengan cat yang luntur, gelap dan lembab. Dari keterangan di internet sih bener: lokasi strategis, ada AC, TV, kamar mandi dalam dan air panas. Kamarnya memang bersih sih, tapi siapa yang sangka nge-Bronx gitu!
Karena parno masih berlanjut, dari Hongkong kami pesan kamar untuk menginap di Shenzhen melalui internet juga, pilihan jatuh ke My Little Hut Hostel. Harganya hampir ½ dari Hongkong, jadi kami benar-benar pasrah dengan keadaan penginapannya – apalagi namanya ‘hostel’. Setelah susah payah mencari info bagaimana cara naik MRT ke hostel itu karena tidak ada yang bisa berbahasa Inggris, kami turun di stasion ke-empat dilanjut dengan berjalan kaki sambil terengah-engah menggendong ransel. Begitu melihat gedung bertingkat yang tua dan busuk banget, kami pun pasrah bila harus tinggal di Bronx lagi. Eh, ternyata bukan dan masih jauh lagi jalan kaki (petanya sangat menipu karena tidak ada skalanya). Tulisan hostelnya ternyata kecil banget karena ketimpa dengan karakter Cina sehingga hampir tidak kelihatan. Kami harus naik tangga lagi 4 lantai, lagi-lagi melewati toko-toko dan warnet. Wah, namanya sih hostel tapi ternyata bagus dan bersih banget, jauh lebih oke daripada yang di Hongkong dengan fasilitas yang sama pula. Reception-nya saja ada beberapa layar CCTV, kamarnya luas dan jendelanya besar menghadap jalan raya. Lega banget!
Bencana terakhir, kami tidak menemukan satupun penginapan murah di Macau melalui internet, minimal harganya udah ratusan dolar, jadi kami memutuskan untuk go show saja. Dari Pier 14, kami jalan kaki ke alun-alun Largo do Senado, istirahat sebentar, lalu ‘hom-pim-pah’ – dua orang yang kalah harus mencari penginapan, dengan catatan dua orang yang menang nggak boleh protes atas keputusan yang kalah. Saya dan Yasmin yang kalah, menyusuri jalan utama Avenida de Almeida Ribeiro lalu nemu hotel yang nyempil di antara toko-toko di namanya Hotel Central. Kami memilih tinggal di sana karena lokasinya yang sangat strategis dan juga karena malas cari-cari lagi. Harganya pun lumayan, sekitar 280 ribu rupiah semalam untuk berdua meski hotelnya tua bener, gelap dan spooky. Langit-langitnya tinggi, jendelanya banyak sarang laba-laba, besi-besi di kamar mandi pun sudah berkarat – persis kayak di settingan film-film horor. Hiiii!
Moral of the story: Ada harga, ada mutu. Semakin males, semakin mahal bayarnya. Jangan pernah punya ekspektasi karena ntar malah kecewa. Makanya harus punya selera humor yang sama, kalo sial ya cuma ngetawain aja.