Sekolah ≠ Jalan-Jalan
Meski saya sering jalan-jalan ke mana-mana, tapi saya tidak pernah tinggal lama di luar negeri. Terus terang tujuan saya tinggal di luar sangat dangkal, saya cuman ingin merasakan tinggal di suatu tempat dengan lingkungan yang berbeda total karena saya punya kecenderungan cepat bosan di suatu tempat dalam waktu yang lama. Tapi orang tua saya bukan diplomat, saya tidak kerja di perusahaan multi nasional yang bisa mengirim saya kerja di luar, dan saya juga tidak sanggup bayar sekolah di luar negeri. Setelah bertahun-tahun berburu beasiswa, untunglah akhirnya keinginan saya terjawab dua bulan yang lalu: saya mendapat beasiswa untuk ambil Master in Management di sekolah bisnis terbaik di Asia yang terletak di Manila, Filipina.
Tapi...hare gene sekolah lagi? Setua gini? Meninggalkan pekerjaan? Di Filipina pula? Saya jadi ragu dengan otak saya yang kebanyakan santai, saya jadi malas membayangkan energi yang akan terkuras demi belajar dan bikin tugas, lebih malas lagi membayangkan bahwa saya harus merelakan hilangnya pemasukan bulanan saya. Tapi saya pikir saya harus berani keluar dari zona nyaman saya dengan pemikiran bahwa kehidupan kampus jauh lebih menarik daripada berkantor. Lagipula rasanya saya bisa survive tinggal di Filipina karena budayanya kurang lebih sama, dan yang paling penting alkohol dan rokoknya murah. Hehehe! Saya pun langsung resigned dari kantor dan menerima pandangan aneh karena dianggap nekat mau sekolah lagi setua gini. Tante dan Oom saya pun menggagap saya aneh karena menurut mereka menikah jauh lebih baik daripada sekolah. Seorang teman bahkan menakuti saya dengan mengatakan bahwa sekolah saya itu sangat berat sampai-sampai salah satu temannya mati karena stres!
Kampus saya terletak persis di seberang Greenbelt Mall di Makati City, jadi bagaikan terletak di seberang Plaza Indonesia di pinggir Jalan Thamrin. Setelah mendaftar ulang, saya diantar masuk dorm yang masih satu kompleks dengan kampus - rasanya seperti Harry Potter: Gryffindor atau Slytherin? Dorm kampus terdiri dari 6 lantai, selantai ada 10 unit, seunit ada 2 kamar masing-masing berisi 2 orang. Lift-nya mengerikan, untuk masuk kadang kita harus manjat atau loncat karena lantai lift sering tidak sejajar dengan lantai bangunan. Dorm saya terletak di lantai 3 dengan jendela kamar menghadap McDonald’s yang buka 24 jam. Jangan membayangkan dorm ini dengan asrama mahasiswa di Indonesia, dorm di sini seperti layaknya apartemen dengan full service karena semuanya fully furnished, full AC, ada koneksi internet gratis, bahkan setiap hari ada yang membersihkan kamar, dan seminggu sekali sprei dan sarung bantal kami diganti.
Kelas kami pun full AC dengan tempat duduk berjajar setengah lingkaran seperti amphi theater, lengkap dengan fasilitas multi media dan Wifi gratis. Hari pertama masuk kuliah... saya benar-benar syok! Saya pikir saya salah masuk kelas, karena isinya kebanyakan orang India - saya pun mencium bebauan tipikal mereka. Saya memperhatikan teman-teman sekelas saya satu per satu, duh, tidak ada yang menarik. Hare gene masih ada orang berkumis tebel! Mana mereka serius bener pakai jas dan dasi segala, sementara saya dengan t-shirt, celana panjang linen, dan sepatu Croc. Dari absen kelas saya baru tahu kalau sekelas ada 43 orang, terdiri dari 23 orang India, 17 Filipina, 2 orang Indonesia, 1 orang Vietnam dan 1 orang Italia. Wanita cuma ada 8 orang. Umur rata-rata 32 tahun, latar belakang pendidikan kebanyakan Engineering, posisi terakhir pun minimal Manager di perusahaan multi nasional. Waks, baru kali ini saya jadi merasa inferior.
Program MM di sekolah saya itu dikhususkan sebagai ‘ilmu menjadi general manager’ karena syaratnya adalah minimal 28 tahun dan berpengalaman manajerial selama 6 tahun. Programnya benar-benar dibuat intensif selama 11 bulan - tapi benar-benar membuat saya merana. Setiap hari ada kelas dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, bahkan kadang Sabtu juga masuk. Jam 7 sampai jam 10 malam harus belajar kelompok dan mengerjakan tugas, setelah itu kami harus belajar sendiri sampai pagi – praktis saya hanya tidur 4 jam sehari. Sungguh saya pikir kuliahnya kayak di Indonesia dimana cuman duduk dengerin dosen ngoceh, bisa tidur dan ngerumpi di kelas, abis itu nongkrong dan malemnya dugem. Tapi di sini cara pengajarannya jauh berbeda. Kami diberi bahan bacaan berupa studi kasus yang harus dipelajari sendiri sebelumnya - artinya benar-benar harus baca, hapal, mengerti, dan menganalisa kasusnya. Lalu kasus-kasus tersebut didiskusikan, dikritik, didebat di kelas, sementara dosennya mengarahkan cara berpikir. Penilaian sebagian besar tergantung dari partisipasi individual di kelas, artinya kita harus aktif memberi input yang berharga. Kelihatannya gampang, tapi membaca dan mengerti minimal 50 halaman/kasus (sehari ada 4 kasus) dalam bahasa Inggris tingkat tinggi bukanlah suatu yang mudah, apalagi harus berdebat melawan orang India yang sangat agresif.
Ternyata sekolah benar-benar tidak sama dengan jalan-jalan! Boro-boro saya bisa jalan-jalan, hidup saya di sini ternyata hanya selebar kampus. Saya benar-benar tidak punya waktu untuk melakukan hal lain selain belajar. Kasian deh saya...
Tapi...hare gene sekolah lagi? Setua gini? Meninggalkan pekerjaan? Di Filipina pula? Saya jadi ragu dengan otak saya yang kebanyakan santai, saya jadi malas membayangkan energi yang akan terkuras demi belajar dan bikin tugas, lebih malas lagi membayangkan bahwa saya harus merelakan hilangnya pemasukan bulanan saya. Tapi saya pikir saya harus berani keluar dari zona nyaman saya dengan pemikiran bahwa kehidupan kampus jauh lebih menarik daripada berkantor. Lagipula rasanya saya bisa survive tinggal di Filipina karena budayanya kurang lebih sama, dan yang paling penting alkohol dan rokoknya murah. Hehehe! Saya pun langsung resigned dari kantor dan menerima pandangan aneh karena dianggap nekat mau sekolah lagi setua gini. Tante dan Oom saya pun menggagap saya aneh karena menurut mereka menikah jauh lebih baik daripada sekolah. Seorang teman bahkan menakuti saya dengan mengatakan bahwa sekolah saya itu sangat berat sampai-sampai salah satu temannya mati karena stres!
Kampus saya terletak persis di seberang Greenbelt Mall di Makati City, jadi bagaikan terletak di seberang Plaza Indonesia di pinggir Jalan Thamrin. Setelah mendaftar ulang, saya diantar masuk dorm yang masih satu kompleks dengan kampus - rasanya seperti Harry Potter: Gryffindor atau Slytherin? Dorm kampus terdiri dari 6 lantai, selantai ada 10 unit, seunit ada 2 kamar masing-masing berisi 2 orang. Lift-nya mengerikan, untuk masuk kadang kita harus manjat atau loncat karena lantai lift sering tidak sejajar dengan lantai bangunan. Dorm saya terletak di lantai 3 dengan jendela kamar menghadap McDonald’s yang buka 24 jam. Jangan membayangkan dorm ini dengan asrama mahasiswa di Indonesia, dorm di sini seperti layaknya apartemen dengan full service karena semuanya fully furnished, full AC, ada koneksi internet gratis, bahkan setiap hari ada yang membersihkan kamar, dan seminggu sekali sprei dan sarung bantal kami diganti.
Kelas kami pun full AC dengan tempat duduk berjajar setengah lingkaran seperti amphi theater, lengkap dengan fasilitas multi media dan Wifi gratis. Hari pertama masuk kuliah... saya benar-benar syok! Saya pikir saya salah masuk kelas, karena isinya kebanyakan orang India - saya pun mencium bebauan tipikal mereka. Saya memperhatikan teman-teman sekelas saya satu per satu, duh, tidak ada yang menarik. Hare gene masih ada orang berkumis tebel! Mana mereka serius bener pakai jas dan dasi segala, sementara saya dengan t-shirt, celana panjang linen, dan sepatu Croc. Dari absen kelas saya baru tahu kalau sekelas ada 43 orang, terdiri dari 23 orang India, 17 Filipina, 2 orang Indonesia, 1 orang Vietnam dan 1 orang Italia. Wanita cuma ada 8 orang. Umur rata-rata 32 tahun, latar belakang pendidikan kebanyakan Engineering, posisi terakhir pun minimal Manager di perusahaan multi nasional. Waks, baru kali ini saya jadi merasa inferior.
Program MM di sekolah saya itu dikhususkan sebagai ‘ilmu menjadi general manager’ karena syaratnya adalah minimal 28 tahun dan berpengalaman manajerial selama 6 tahun. Programnya benar-benar dibuat intensif selama 11 bulan - tapi benar-benar membuat saya merana. Setiap hari ada kelas dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, bahkan kadang Sabtu juga masuk. Jam 7 sampai jam 10 malam harus belajar kelompok dan mengerjakan tugas, setelah itu kami harus belajar sendiri sampai pagi – praktis saya hanya tidur 4 jam sehari. Sungguh saya pikir kuliahnya kayak di Indonesia dimana cuman duduk dengerin dosen ngoceh, bisa tidur dan ngerumpi di kelas, abis itu nongkrong dan malemnya dugem. Tapi di sini cara pengajarannya jauh berbeda. Kami diberi bahan bacaan berupa studi kasus yang harus dipelajari sendiri sebelumnya - artinya benar-benar harus baca, hapal, mengerti, dan menganalisa kasusnya. Lalu kasus-kasus tersebut didiskusikan, dikritik, didebat di kelas, sementara dosennya mengarahkan cara berpikir. Penilaian sebagian besar tergantung dari partisipasi individual di kelas, artinya kita harus aktif memberi input yang berharga. Kelihatannya gampang, tapi membaca dan mengerti minimal 50 halaman/kasus (sehari ada 4 kasus) dalam bahasa Inggris tingkat tinggi bukanlah suatu yang mudah, apalagi harus berdebat melawan orang India yang sangat agresif.
Ternyata sekolah benar-benar tidak sama dengan jalan-jalan! Boro-boro saya bisa jalan-jalan, hidup saya di sini ternyata hanya selebar kampus. Saya benar-benar tidak punya waktu untuk melakukan hal lain selain belajar. Kasian deh saya...