Museum Sereum
Saya selalu menyempatkan diri pergi ke museum kalau lagi traveling ke suatu tempat. Rasanya dengan pergi ke museum saya telah membaca puluhan bahkan ratusan buku sekaligus. Ekspresi saya seperti pengunjung lainnya pun sama: sama-sama mengangguk-angguk, menggelengkan kepala saking kagum, dan keluarlah kata ‘Ooo...’. Tapi kalau masuk museum sampai bikin merinding dan berteriak ketakutan? Walah!
Museum yang paling sereum menurut saya adalah Genocide Museum Tuol Sleng (S-21 Prison) di Phnom Penh, Kamboja. Markas Khmer Merah ini dulunya gedung sekolah SMP yang dimodifikasi menjadi penjara-penjara kecil, ruang interogasi, ruang penyiksaan, dengan jendela-jendela yang telah diberi teralis besi dan pagar yang dikeliling kawat berduri. Spooky banget! Di ruang interogasi terdapat ranjang besi tempat korban dirantai tangan dan kakinya, lalu disetrum. Di dalam ruang kelas terdapat penjara-penjara sangat kecil terbuat dari kayu dan batu bata. Ruang kelas juga merupakan tempat puluhan korban yang kaki-kakinya disatukan dengan rantai besi dan digeletakkan begitu saja di lantai. Alat-alat penyiksaannya mengerikan: berbagai macam alat penyetruman, besi besar untuk menggencet tangan, kursi dimana ada bolongan tempat kepala korban yang disekrup dan akan dikencangkan bila korban ‘ngeyel’, palang bar yang seharusnya untuk latihan senam dijadikan tempat menggantung korban, bak kecil tempat menceburkan kepala korban sampai megap-megap, dan lain-lain. Baju-baju korban yang tercabik-cabik dan masih bergelimangan darah pun diperlihatkan. Petanya saja terbuat dari kumpulan tengkorak kepala manusia! Selain koleksi benda tadi, kekejaman ini juga diperlihatkan dalam bentuk lukisan, diorama, dan foto-foto. Benar-benar membuat jantung saya berdebar hebat dan perut terobok-obok pingin muntah. Meskipun saya ke sana di tengah siang bolong, tetap saja ngeri-ngeri sedap. Hal yang sama rupanya dirasakan oleh pengunjung lain, sampai-sampai untuk naik ke ruangan kelas di atas saja saling bergandengan tangan meski tak kenal satu sama lain. Kebayang ada 17.000 orang yang disiksa di sini. Hiii! Lalu malam harinya pun saya tidak bisa tidur... seperti ketika saya pulang dari Lubang Buaya zaman study tour di SD dulu.
Cerita sereum lain ketika saya dan Yasmin mengunjungi Belau National Museum, dalam rangka ingin mengetahui sejarah Republik Palau. Jam 4 sore dengan semangat kami datang dan mendaftarkan nama di buku tamu. Kami pun diberi buku panduan museum dan... senter! Maksud lo? “Sorry, ma’am, no electricity now. But you still can look around with that flashlight,” kata si petugas. Gila, baru pertama kali ini saya masuk museum tapi mati lampu! Apa nggak serem tuh? Saya pun minta diskon entrance fee, dari US$ 5 jadi US$ 2. Mula-mula di ruangan pertama masih agak terang karena terbantu sinar matahari dari luar dan isinya pun hanya papan berisi tulisan dan foto sejarah Palau – rupanya nenek moyang mereka dari Indonesia. Begitu masuk di ruangan kedua yang berada lebih di dalam, antara merem dan melek sama saja gelapnya! Kami pun harus berjalan pelan-pelan takut menabrak kaca display, mana satu museum pengunjungnya hanya kami berdua. Untung hanya berisi koleksi mata uang, alat makan dari tanah liat, dan foto-foto. Ruangan ketiga rupanya berisi beragam kerajinan tangan, patung-patung, dan manequin berbaju adat. Dengan jalan meraba-raba untuk naik ke ruangan selanjutnya, tak sengaja saya meraih sebuah patung. Eh kok kayak rambut... halus... panjang... loh kok hangat...saya pun menyenter kepala patung itu...dan patung itu menoleh ke arah saya! “AAAAAAAAAAA...!!!”, saya berteriak, Yasmin berteriak, patung itu pun berteriak...dan berlari sambil menangis jejeritan. Sial, rupanya anak bule pengunjung museum juga! *fiuhh*
Ada lagi museum yang juga bikin saya merinding, bukan merinding takut tapi merinding disko, yaitu Sex Museum (atau disebut ‘Venustempel’ alias ‘The Temple of Venus’). Terletak di Amsterdam, isinya tidak ada yang lain selain segala koleksi benda yang berhubungan dengan seks, mulai dari lukisan, foto, patung, manequin, alat, mainan, pajangan, buku, film - semuanya ‘jorok’, contohnya perilaku seks manusia sepanjang zaman mulai dari 4000 tahun yang lalu sampai sekarang, tokoh-tokoh seks mulai dari Cleopatra sampai Marilyn Monroe, sejarah film porno di dunia, aneka perilaku seks seperti BDSM, seks dengan hewan, seks dengan kotoran manusia *Yuck!*. Jangan kaget kalau di sana mendengar suara latar belakang berupa erangan orang yang berhubungan seks. Yang paling sering dijadikan spot berfoto para turis adalah tempat duduk yang berbentuk alat kelamin pria berukuran raksasa dimana orang dapat menduduki kursi yang terletak pada bagian buah zakarnya, tapi hati-hati kursi itu bisa bersuara, ‘Stand up and go away!’. Hehe! Sebelum menuju pintu keluar, terdapat jejeran boks kayu sebesar boks telepon umum. Saya dan sahabat saya, Pepita, mengintip ke dalam, oh rupanya tempat nonton bokep. Dengan ketawa ngikik kami masuk, memasukkan koin, memilih film, duduk, dan nonton deh koleksi film porno yang sangat beragam dan aneh. Begitu keluar boks, kami dipandang aneh oleh pengunjung lesbian. Sialan!
Museum yang paling sereum menurut saya adalah Genocide Museum Tuol Sleng (S-21 Prison) di Phnom Penh, Kamboja. Markas Khmer Merah ini dulunya gedung sekolah SMP yang dimodifikasi menjadi penjara-penjara kecil, ruang interogasi, ruang penyiksaan, dengan jendela-jendela yang telah diberi teralis besi dan pagar yang dikeliling kawat berduri. Spooky banget! Di ruang interogasi terdapat ranjang besi tempat korban dirantai tangan dan kakinya, lalu disetrum. Di dalam ruang kelas terdapat penjara-penjara sangat kecil terbuat dari kayu dan batu bata. Ruang kelas juga merupakan tempat puluhan korban yang kaki-kakinya disatukan dengan rantai besi dan digeletakkan begitu saja di lantai. Alat-alat penyiksaannya mengerikan: berbagai macam alat penyetruman, besi besar untuk menggencet tangan, kursi dimana ada bolongan tempat kepala korban yang disekrup dan akan dikencangkan bila korban ‘ngeyel’, palang bar yang seharusnya untuk latihan senam dijadikan tempat menggantung korban, bak kecil tempat menceburkan kepala korban sampai megap-megap, dan lain-lain. Baju-baju korban yang tercabik-cabik dan masih bergelimangan darah pun diperlihatkan. Petanya saja terbuat dari kumpulan tengkorak kepala manusia! Selain koleksi benda tadi, kekejaman ini juga diperlihatkan dalam bentuk lukisan, diorama, dan foto-foto. Benar-benar membuat jantung saya berdebar hebat dan perut terobok-obok pingin muntah. Meskipun saya ke sana di tengah siang bolong, tetap saja ngeri-ngeri sedap. Hal yang sama rupanya dirasakan oleh pengunjung lain, sampai-sampai untuk naik ke ruangan kelas di atas saja saling bergandengan tangan meski tak kenal satu sama lain. Kebayang ada 17.000 orang yang disiksa di sini. Hiii! Lalu malam harinya pun saya tidak bisa tidur... seperti ketika saya pulang dari Lubang Buaya zaman study tour di SD dulu.
Cerita sereum lain ketika saya dan Yasmin mengunjungi Belau National Museum, dalam rangka ingin mengetahui sejarah Republik Palau. Jam 4 sore dengan semangat kami datang dan mendaftarkan nama di buku tamu. Kami pun diberi buku panduan museum dan... senter! Maksud lo? “Sorry, ma’am, no electricity now. But you still can look around with that flashlight,” kata si petugas. Gila, baru pertama kali ini saya masuk museum tapi mati lampu! Apa nggak serem tuh? Saya pun minta diskon entrance fee, dari US$ 5 jadi US$ 2. Mula-mula di ruangan pertama masih agak terang karena terbantu sinar matahari dari luar dan isinya pun hanya papan berisi tulisan dan foto sejarah Palau – rupanya nenek moyang mereka dari Indonesia. Begitu masuk di ruangan kedua yang berada lebih di dalam, antara merem dan melek sama saja gelapnya! Kami pun harus berjalan pelan-pelan takut menabrak kaca display, mana satu museum pengunjungnya hanya kami berdua. Untung hanya berisi koleksi mata uang, alat makan dari tanah liat, dan foto-foto. Ruangan ketiga rupanya berisi beragam kerajinan tangan, patung-patung, dan manequin berbaju adat. Dengan jalan meraba-raba untuk naik ke ruangan selanjutnya, tak sengaja saya meraih sebuah patung. Eh kok kayak rambut... halus... panjang... loh kok hangat...saya pun menyenter kepala patung itu...dan patung itu menoleh ke arah saya! “AAAAAAAAAAA...!!!”, saya berteriak, Yasmin berteriak, patung itu pun berteriak...dan berlari sambil menangis jejeritan. Sial, rupanya anak bule pengunjung museum juga! *fiuhh*
Ada lagi museum yang juga bikin saya merinding, bukan merinding takut tapi merinding disko, yaitu Sex Museum (atau disebut ‘Venustempel’ alias ‘The Temple of Venus’). Terletak di Amsterdam, isinya tidak ada yang lain selain segala koleksi benda yang berhubungan dengan seks, mulai dari lukisan, foto, patung, manequin, alat, mainan, pajangan, buku, film - semuanya ‘jorok’, contohnya perilaku seks manusia sepanjang zaman mulai dari 4000 tahun yang lalu sampai sekarang, tokoh-tokoh seks mulai dari Cleopatra sampai Marilyn Monroe, sejarah film porno di dunia, aneka perilaku seks seperti BDSM, seks dengan hewan, seks dengan kotoran manusia *Yuck!*. Jangan kaget kalau di sana mendengar suara latar belakang berupa erangan orang yang berhubungan seks. Yang paling sering dijadikan spot berfoto para turis adalah tempat duduk yang berbentuk alat kelamin pria berukuran raksasa dimana orang dapat menduduki kursi yang terletak pada bagian buah zakarnya, tapi hati-hati kursi itu bisa bersuara, ‘Stand up and go away!’. Hehe! Sebelum menuju pintu keluar, terdapat jejeran boks kayu sebesar boks telepon umum. Saya dan sahabat saya, Pepita, mengintip ke dalam, oh rupanya tempat nonton bokep. Dengan ketawa ngikik kami masuk, memasukkan koin, memilih film, duduk, dan nonton deh koleksi film porno yang sangat beragam dan aneh. Begitu keluar boks, kami dipandang aneh oleh pengunjung lesbian. Sialan!