Bali dan Telur
Rasanya kita semua mempunyai kenangan khusus terhadap Bali, pulau yang sangat negetop - bahkan lebih ngetop daripada negara Indonesia sendiri. Maaf, saya sangat heran kalau ada orang Indonesia yang belum pernah ke Bali, atau ada juga teman saya yang terakhir ke Bali saat masih anak-anak diajak liburan bersama keluarga. Lucunya lagi, Bali menjadi tempat favorit liburan turis lokal pada saat ada hari raya keagamaan yang membatasi perayaan di Jakarta!
Pertama kali ke Bali saya masih SD dan diajak liburan bersama keluarga. Kami menginap di hotel, ikut tur keliling Bali – sampai sekarang turnya tidak berubah, ke Ubud, Kintamani, Tanah Lot, Pura Besakih, Monkey Forest, Uluwatu, terus malamnya pasti ada acara nonton tari-tarian seperti Kecak, Legong atau Sendratari Ramayana. Pantai Kuta yang dulu masih bersih, jadi tempat berenang sehari-hari sampai ‘gosong’ terbakar matahari. Periode ini saya jalani beberapa kali, kadang saya diajak ke Bali karena orang tua saya sedang ada seminar atau konferensi sehingga saya bisa nebeng di kamarnya dan seharian ‘keleleran’ bersama abang saya ke mana-mana.
‘Kemerdekaan’ saya ke Bali dimulai saat saya liburan SMA, berdua bersama sahabat saya. Namanya juga anak sekolahan, duit sangat terbatas – itupun mengambil dari tabungan (dulu namanya Tabanas). Dengan ransel kami ke Bali naik bis, saya ingat dulu naiknya harus dari daerah Pasar Baru. Sampai Terminal Ubung, naik angkot ke daerah Kuta. Penginapan cari yang termurah yang ada di gang-gang kecil, semalam Rp 10.000 saja – itupun sudah termasuk sarapan pagi berupa roti dan teh manis. Bentuk penginapannya mirip kos-kosan yang terbuat dari kayu dengan kamar mandi di luar. Untuk jalan-jalan kami menyewa sepeda seharga Rp 5.000 sehari, sialnya malam kedua sudah tidak bisa naik sepeda lagi karena selangkangan melepuh! Kenangan yang tidak terlupakan adalah ketika kami ingin sekali makan di Made’s Warung, restoran yang saat itu ngetop banget tapi harganya tidak sesuai kantong. Jadilah kami memesan 2 rice and 1 sunny side up, alias nasi dan ceplok telor! Rasanya itu ceplok telor terenak di dunia saking bangganya bisa makan di sana.
Saat kuliah, saya ke Bali lagi bersama 2 orang teman. Masih naik bis dan lagi-lagi menginap di penginapan di gang, tapi kali ini ada kipas angin. Saya ingat setiap sarapan kami ditanya dulu, ‘Mau sarapan roti pakai telur atau pakai selai?’ dan kami selalu menjawab ‘ya telur lah!’ mengingat telur lebih bergizi dan mengenyangkan. Kemajuannya, karena sudah sedikit berduit akibat kuliah sambil kerja, kali ini kami sudah ‘mampu’ sewa sepeda motor untuk jalan-jalan, bisa belanja sedikit di pasar, bisa ngebir di cafe kecil di pinggir jalan. Akhirnya selama kuliah saya telah beberapa kali ke Bali, meski kadang hanya sebagai tempat persinggahan sebelum jalan-jalan ke Lombok dan Sumbawa.
Saat awal kerja, ke Bali mulai sedikit borju. Koper sudah model yang digeret pake roda, pergi naik pesawat, menginap di hotel ber-AC dan kamar mandi dalam, makan di restoran, sarapan pagi sudah a la buffet yang boleh makan telur model apapun sepuasnya. Kemajuannya lagi, sudah sanggup sewa mobil Katana. Acara malam ditambah dengan dugem dari satu diskotik ke diskotik lain. Setelah 3 tahun kerja, beberapa teman saya menetap di Bali. Jadilah Bali sebagai tempat ‘ngabur’ pas wiken, pergi Jumat malam pulang Senin pagi langsung ngantor. Sewa mobil sudah tidak masalah karena bisa pinjam punya teman. Aktivitas pun jadi beragam, selain ke pantai-pantai dan pegunungan, bisa naik ATV di tengah hutan, scuba diving, sampai sailing ke Pulau Lembongan. Malamnya dugem sampai pagi - pokoknya kerjanya mabuk, mabuk, dan mabuk! Pernah juga suatu masa ke Bali bersama rombongan keluarga besar saya yang rame itu, aktivitasnya masih ke tempat-tempat wisata dengan menyewa Kijang termasuk supir dan tentu makan enak ke sana ke mari, dibayari lagi.
Sudah ‘tua’ seperti saat ini, malah saya jadi lumayan sering business trip ke Bali. Rasanya jauh berbeda: isinya meeting seharian di kantor cabang, habis makan malam langsung tidur karena capek. Pernah lebih parah lagi – sampai hotel jam 3 pagi, jam 9 pagi meeting seharian, jam 5 sore sudah terbang lagi. Boro-boro leyeh-leyeh di kolam renang hotel, saya cuma bisa gigit jari melihat orang jalan-jalan pake short dan tank top. Lagi-lagi soal telur, saat ini sudah dikurangi konsumsinya karena takut kolesterol. Perbedaan saat ini kalau sedang liburan pribadi di Bali, saya malah tidak ke mana-mana. Siang leyeh-leyeh ke Pantai Gerger, makan di restoran fine dining, sore mengopi di pinggir pantai, malam nongkrong sambil minum wine di rumah teman. Kalau ‘wis tue’ begini, kebersamaan dengan para sahabat lebih berarti, di mana pun tempatnya...
Pertama kali ke Bali saya masih SD dan diajak liburan bersama keluarga. Kami menginap di hotel, ikut tur keliling Bali – sampai sekarang turnya tidak berubah, ke Ubud, Kintamani, Tanah Lot, Pura Besakih, Monkey Forest, Uluwatu, terus malamnya pasti ada acara nonton tari-tarian seperti Kecak, Legong atau Sendratari Ramayana. Pantai Kuta yang dulu masih bersih, jadi tempat berenang sehari-hari sampai ‘gosong’ terbakar matahari. Periode ini saya jalani beberapa kali, kadang saya diajak ke Bali karena orang tua saya sedang ada seminar atau konferensi sehingga saya bisa nebeng di kamarnya dan seharian ‘keleleran’ bersama abang saya ke mana-mana.
‘Kemerdekaan’ saya ke Bali dimulai saat saya liburan SMA, berdua bersama sahabat saya. Namanya juga anak sekolahan, duit sangat terbatas – itupun mengambil dari tabungan (dulu namanya Tabanas). Dengan ransel kami ke Bali naik bis, saya ingat dulu naiknya harus dari daerah Pasar Baru. Sampai Terminal Ubung, naik angkot ke daerah Kuta. Penginapan cari yang termurah yang ada di gang-gang kecil, semalam Rp 10.000 saja – itupun sudah termasuk sarapan pagi berupa roti dan teh manis. Bentuk penginapannya mirip kos-kosan yang terbuat dari kayu dengan kamar mandi di luar. Untuk jalan-jalan kami menyewa sepeda seharga Rp 5.000 sehari, sialnya malam kedua sudah tidak bisa naik sepeda lagi karena selangkangan melepuh! Kenangan yang tidak terlupakan adalah ketika kami ingin sekali makan di Made’s Warung, restoran yang saat itu ngetop banget tapi harganya tidak sesuai kantong. Jadilah kami memesan 2 rice and 1 sunny side up, alias nasi dan ceplok telor! Rasanya itu ceplok telor terenak di dunia saking bangganya bisa makan di sana.
Saat kuliah, saya ke Bali lagi bersama 2 orang teman. Masih naik bis dan lagi-lagi menginap di penginapan di gang, tapi kali ini ada kipas angin. Saya ingat setiap sarapan kami ditanya dulu, ‘Mau sarapan roti pakai telur atau pakai selai?’ dan kami selalu menjawab ‘ya telur lah!’ mengingat telur lebih bergizi dan mengenyangkan. Kemajuannya, karena sudah sedikit berduit akibat kuliah sambil kerja, kali ini kami sudah ‘mampu’ sewa sepeda motor untuk jalan-jalan, bisa belanja sedikit di pasar, bisa ngebir di cafe kecil di pinggir jalan. Akhirnya selama kuliah saya telah beberapa kali ke Bali, meski kadang hanya sebagai tempat persinggahan sebelum jalan-jalan ke Lombok dan Sumbawa.
Saat awal kerja, ke Bali mulai sedikit borju. Koper sudah model yang digeret pake roda, pergi naik pesawat, menginap di hotel ber-AC dan kamar mandi dalam, makan di restoran, sarapan pagi sudah a la buffet yang boleh makan telur model apapun sepuasnya. Kemajuannya lagi, sudah sanggup sewa mobil Katana. Acara malam ditambah dengan dugem dari satu diskotik ke diskotik lain. Setelah 3 tahun kerja, beberapa teman saya menetap di Bali. Jadilah Bali sebagai tempat ‘ngabur’ pas wiken, pergi Jumat malam pulang Senin pagi langsung ngantor. Sewa mobil sudah tidak masalah karena bisa pinjam punya teman. Aktivitas pun jadi beragam, selain ke pantai-pantai dan pegunungan, bisa naik ATV di tengah hutan, scuba diving, sampai sailing ke Pulau Lembongan. Malamnya dugem sampai pagi - pokoknya kerjanya mabuk, mabuk, dan mabuk! Pernah juga suatu masa ke Bali bersama rombongan keluarga besar saya yang rame itu, aktivitasnya masih ke tempat-tempat wisata dengan menyewa Kijang termasuk supir dan tentu makan enak ke sana ke mari, dibayari lagi.
Sudah ‘tua’ seperti saat ini, malah saya jadi lumayan sering business trip ke Bali. Rasanya jauh berbeda: isinya meeting seharian di kantor cabang, habis makan malam langsung tidur karena capek. Pernah lebih parah lagi – sampai hotel jam 3 pagi, jam 9 pagi meeting seharian, jam 5 sore sudah terbang lagi. Boro-boro leyeh-leyeh di kolam renang hotel, saya cuma bisa gigit jari melihat orang jalan-jalan pake short dan tank top. Lagi-lagi soal telur, saat ini sudah dikurangi konsumsinya karena takut kolesterol. Perbedaan saat ini kalau sedang liburan pribadi di Bali, saya malah tidak ke mana-mana. Siang leyeh-leyeh ke Pantai Gerger, makan di restoran fine dining, sore mengopi di pinggir pantai, malam nongkrong sambil minum wine di rumah teman. Kalau ‘wis tue’ begini, kebersamaan dengan para sahabat lebih berarti, di mana pun tempatnya...