Sunday, July 30, 2006 

Visa doesn’t take you anywhere

Sialnya jadi orang Indonesia yang mempunyai paspor hijau bergambar Garuda, mau ke luar negeri itu susah dan ribet banget. Apalagi kalau bukan karena urusan visa! Bayangkan, kita disuruh isi formulir berlembar-lembar, bawa dokumen ini-itu, bawa foto yang ada ukuran khusus, mengantri panjang, diwawancara, bahkan disuruh bayar hampir sejuta rupiah, tunggu seminggu, tapi tanpa kepastian – dan kalau visa ditolak uang tidak bisa kembali! Mengurus visa memang bikin deg-degan, terutama menunggu hasilnya.

Tidak heran paspor orang Indonesia isinya kebanyakan cap-capan imigrasi Singapura dan Malaysia karena kedua negara tersebut menjadi negara yang disinggahi orang Indonesia jika ke luar negeri pertama kali dan tidak perlu visa. Tapi tahukah Anda bahwa dengan paspor Indonesia, kita bisa ke 11 negara-negara berikut tanpa apply visa? Thailand, Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, Filipina, Hong Kong, Macao, Chile, Moroko, Peru, dan Vietnam. Lumayan juga ada 11 negara yang percaya kepada warga negara Indonesia untuk main ke negaranya tanpa syarat apa-apa kecuali boleh tinggal di negara tersebut maksimal sebulan. Well, sebenarnya sih peraturan ini bisa berlaku karena ada sistem reciprocal, paspor ke-11 negara tersebut juga dapat masuk Indonesia tanpa apply visa juga. Di luar 11 negara tersebut, kita harus mengurusnya di Kedutaan Besar negara yang ingin kita tuju di Indonesia, kecuali bagi warga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Bukti visanya berupa sticker yang ditempel di paspor. Tapi kalau kita pengen pergi ke negara-negara yang tidak punya Kedutaan di Indonesia menimbulkan masalah lain, biasanya kita harus apply di Kedutaan negara yang menjajahnya. Nah, ribet bukan?

Ironisnya, orang luar masuk ke Indonesia gampang banget. Mereka hanya bermodalkan paspor yang berlaku saja. Makanya saya setuju banget dengan kebijakan pemerintah yang baru berlaku beberapa tahun belakangan ini untuk mengutip bayaran untuk visa Indonesia. Harga visa-on-arrival Indonesia, US$ 10 untuk 3 hari atau US$ 25 untuk 30 hari. Meskipun murah, paling tidak pemerintah Indonesia harus cool sedikit lah, atau bagi saya pribadi sih sebagai 'balas dendam' saja. Hehe! Untuk turis yang ingin tinggal di Indonesia lebih dari batas waktu itu harus mengurus di Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri. Sticker visa Indonesia bentuknya keren juga, berwarna biru dengan gambar latar kepulauan Indonesia. Lebih keren daripada visa negara Eropa yang plain saja.

Peraturan visa rasanya setiap tahun berbeda-beda, tergantung keadaan politiknya. Yang jelas, makin lama makin ribet urusannya. Dulu sih kebanyakan bisa diurus oleh travel agent, tinggal lengkapi dokumen dan bayar. Ada juga yang bisa diurus travel agent tapi pada saat wawancara kita tetap harus datang sendiri ke Kedutaan. Dapat atau tidaknya visa sungguh saya tidak tahu apa penyebabnya. Ada yang bilang kalau duit di rekening banyak, tapi sepupu saya yang tajir pernah ditolak visa Australianya. Ada yang bilang kalau sudah banyak visa di paspor akan semakin mudah, tapi teman saya ditolak visa Amerikanya. Sepertinya faktor keberuntungan jadi salah satu penentunya.

Katanya visa Amerika Serikat paling susah didapat, tapi untungnya saya sudah pernah punya 2 kali, terakhir urus tahun 1997. Sudah siap dengan dokumen setumpuk di tangan dan antrian yang panjang, saya menjadi deg-degan juga mengingat orang-orang di depan saya kok pada lama-lama ditanya, malah ada yang sekeluarga yang satu boleh yang lain tidak dapat visa, pake nangis-nangis segala lagi. Akhirnya giliran saya diwawancara oleh petugasnya. Dia cuman nanya dengan juteknya ngapain ke Amerika, saya menjawab untuk training karena mau buka franchise pertama dari Amerika di Indonesia. Begitu tahu nama perusahaannya, si bapak langsung matanya membelalak, “Really? That headquarter is in my hometown! I’m really glad you open that in Indonesia!”. Dan cap-cap-cap, keluarlah visa Amerika saya, multiple 5 tahun pula. Wah, ikatan primordial berlaku juga ternyata.

Terakhir saya mengurus visa Schengen di Kedutaan Besar Austria. Syaratnya harus bawa bukti booking-an tiket pesawat pulang pergi, booking-an hotel, slip gaji, bukti keuangan dari bank 3 bulan terakhir, asuransi perjalanan yang menjamin minimal 30.000 Euro, foto (berwarna, ukuran 3,5 x 4,5 cm, berlatar belakang terang), isi formulir, dan bayar 35 Euro. Tiga minggu sebelum keberangkatan, saya memasukkan visa application saya ke Kedutaan. Minggu kedua tanpa ada hasil, saya jadi blingsatan. Duh, tiket pesawat yang harganya tidak murah dan tidak bisa refund itu sudah di tangan tapi visa tak kunjung tiba. Mau tahu kapan keluarnya visa tersebut? 6 jam sebelum pesawat saya terbang ke Vienna! Halah!

Alasan ketatnya peraturan visa di negara maju memang sangat bisa dimengerti. Mereka tidak mau dibebani dengan para imigran gelap yang katanya dapat meningkatkan pengangguran, kriminalitas, dan bla bla bla. Sialnya paspor Indonesia sering disamakan perlakuannya dengan negara-negara Afrika yang ga jelas gitu. Inilah akibat nila setitik jadi rusak susu sebelahnya eh sebelanga. Kasian kan orang Indonesia yang memang niatnya pengen jalan-jalan doang seperti saya?


Monday, July 24, 2006 

Sandal Jepit Pejabat

Manila, 4 Desember 2004, jam 7 pagi.
Kami (saya dan 2 orang teman, Nina dan Jade) baru sampai di Centennial Airport, mau terbang dari Manila ke Puerto Princessa. Saat pemeriksaan paspor di pintu masuk, dari kejauhan tiba-tiba saya mendengar suara, “Aduh...aduhh...” - bahasa yang sangat familiar di tengah kerumunan orang yang berbahasa aneh. Buru-buru saya berlari ke sumber suara dan terlihat ada baju kotak-kotak di bawah troli dengan tumpukan kantong setinggi kulkas. Hah, Nina tertabrak troli dan jatuh tengkurap di lantai! Saya lalu membantunya berdiri, kakinya berdarah. Nina memberi kode bahwa yang menabraknya adalah seorang bapak-bapak muda yang berdiri di sebelahnya. Si bapak yang berdandan necis pakai jas itu membungkukan badan meminta-minta maaf.

Saya tetap tidak terima, lalu mengamuklah saya, “WHAT HAVE YOU DONE TO MY FRIEND?!” sambil menuding-nuding mukanya. Saat si bapak gelagapan menjawab, saya pun melihat tali sandal jepit Nina yang copot. Duh, kasihan dia, perjalanan masih panjang, masa dia nyeker? Saya lalu menyalak lagi, “WHAT ABOUT HER SANDALS?!”. Dengan takut-takut, si bapak itu membungkuk mengambil sandal jepit Nina. Saya pun pasang muka kencang dan berkacak pinggang, puluhan orang menonton kami dengan pandangan tegang juga. Si bapak berusaha membetulkan sandal Nina dengan memuntir-muntir tali sandal yang copot dan memasuk-masukkan ke lobangnya lagi. Setelah beres, bapak itu minta maaf lagi dan pergi.

Lalu kami mengantri lama sekali di counter check in, namun si bapak itu tiba-tiba bisa menyerobot antrian dengan diantar bapak-bapak lain juga yang memakai jas rapih. Hum, siapa dia ya? Kami mengopi dulu di dalam airport, saya dan Jade marah-marah ke Nina yang cuman pasrah diam tanpa menuntut apa-apa, “Belagak pincang kek, trus minta ganti rugi kek untuk sendal lu yang rusak, atau minta transpor gratis kek ke Sabang!”. Nina dengan santai menjawab, “Sudahlah, biarin aja. Lagian dia sudah minta maaf. Gua saking shock-nya sampe speechless, nggak bisa berbuat apa-apa selain nahan ketawa. Tapi gila juga lo tega nyuruh dia benerin sandal gua.” Kami semua tertawa, mentertawai tololnya kejadian tadi. “Gila, masa badan gua yang segede gini nggak keliatan sampe bisa ditabrak gitu!”, tambah Nina.

Jam 10.30 pagi mendaratlah kami di kota Puerto Princessa di pulau Palawan. Begitu turun dari pesawat, ada serombongan orang yang mengurubuti landasan, lengkap dengan kamera, blitz, kamera TV, dan mike. Ada apa ini? Rupanya para wartawan yang mengejar bapak-bapak yang menabrak Nina! Kami pun tambah bingung, siapa dia? Saya berinisiatif untuk bertanya kepada ke salah satu wartawan, ternyata dia adalah seorang CONGRESSMAN! Kalau di Indonesia, mungkin sejajar dengan anggota DPR yang terkenal, bisa jadi bak Adjie Massaid karena sama-sama ganteng dan muda. Dengan jahilnya, langsung saya melipir ke belakang si Congressman dan making face sambil memelet-meletkan lidah dan berteriak dalam bahasa Indonesia mumpung tidak ada yang ngerti, “Ah, bohong! Dobol! Huu!” sampai saya didorong body guard sebesar kulkas 3 pintu. Siapa dia punya banyak body guard?

Belum puas juga, saya mendekati salah satu wartawan, “Who’s this man?”
Baham Mitra, a famous congressman from Palawan,” jawab si wartawan.
Oh! You know what? This man hit my friend in Centennial airport. She fell down and bleed. Bla bla bla...”, saya ‘mengadu’ ke wartawan itu.
Really, Ma’am?” tanya dia sambil terheran-heran dan sibuk mencatat. Dia juga bertanya saya dari mana, kejadian rincinya bagaimana, dan seterusnya.
Sehabis itu, kami semua ngakak berguling-guling! Well, mengingat koran Filipina yang suka menulis hal yang tidak penting. Ada kemungkinan beritanya masuk dengan judul “Congressman hit Indonesian tourist in Centennial Airport”. Apalagi dia seorang wakil daerah yang sangat terkenal dan mungkin saja dimanfaatkan oleh lawan politiknya.

Dari airport kami naik tricycle ke stasion bis. Di sepanjang jalan kami melihat banyak billboard besar dengan muka close-up Baham Mitra, lengkap dengan kampanye-kampanyenya. Wah, orang ini terkenal sekali di sini. Besoknya saat kami membayar karcis kapal untuk ke Underground River, kami melihat poster-poster Baham Mitra lagi. Kata si petugas, Baham orang ngetop nomor 1 di Palawan, bahkan dia anaknya Senator yang terkenal di Filipina. Mungkin di Indonesia bagaikan keluarga Soekarno yang bapak dan anak sama-sama politikus. Waduh, this man is something! Di penginapan kami pun terdapat poster-posternya. Kata yang punya penginapan, Baham Mitra memang terkenal dan sangat dipuja masyarakat Palawan, dan kabar baiknya, dia berumur 34 tahun dan masih lajang.

Dari hasil browsing, Baham Mitra adalah seorang Congressman Filipina lulusan S2 Politik di UCLA, seorang pelopor gerakan ’delayed in marriage’ karena dianggap memperlambat pertumbuhan ekonomi di Filipina, dan juga seorang ketua klub anjing Labrador di Palawan. Pantesan dia masih jomblo dan membawa troli setinggi kulkas isinya berkantong-kantong makanan anjing yang banyak banget sampai menabrak Nina. Duh, jadi tambah merasa bersalah...masa seorang pejabat terkenal dan terhormat saya paksa memperbaiki sandal jepit jelek! Saya jadi membayangkan seandainya Adjie Massaid atau Guruh Soekarnoputra membungkuk-bungkuk memperbaiki sandal jepit seorang turis cewek Asia di bandara Soekarno-Hatta sambil dimarah-marahin...


Sunday, July 16, 2006 

Kuping Babi, Embrio Bebek, atau Kecoa?

Kalau sedang backpacking, makan di pinggir jalan itu menjadi agenda sehari-hari. Maklum harganya murah dan porsinya juga lumayan besar, selain itu cepat pula dalam penyajiannya. Soal rasa sih menurut saya enak-enak saja – mungkin karena saya menganggap semua makanan itu hanya ada enak dan enak sekali. Makanan jenis ini ada di pinggir jalan, baik di gerobak maupun ada di tenda kecil, pokoknya jualan yang tidak perlu masuk ke dalam sebuah ruangan restoran. Di negara kita nongkrong sebentar di depan rumah saja sudah banyak tukang jualan lewat. Ada bakso, mie ayam, nasi goreng, sate, bubur ayam, lontong sayur, es cendol, es kelapa, es podeng, dan lain-lain. Jajanan di tenda-tenda pinggir jalan lebih beragam lagi, ada pecel lele, ayam bakar, gado-gado, sop kambing, martabak, roti bakar, sampai ke makanan jepang dan dim sum.

Di negara barat, jualannya itu-itu saja. Standar makanan pinggir jalan mereka adalah burger, hot dog, kentang goreng, sosis (paling enak bratwurst Jerman!), pizza, dan es krim. Saya juga sering lihat orang jualan gulali, atau disebut cotton candy. Tapi justru jenis makanan barat itu telah mendunia sehingga bisa didapat di mana mana. Selain harga, bedanya tentu dari saos dan ukurannya. Contohnya burger pinggir jalan di Indonesia isinya kebanyakan bukan terbuat dari daging cincang yang tebal tapi patty – daging merah tipis yang banyak dijual di supermarket juga. Bandingkan dengan burger di Selandia Baru yang benar-benar bikin blenger, rotinya besar berwijen, ada selada, bit, tomat, bawang bombay, daging, telor ceplok, keju, bacon, mayonnaise, mustard, saos tomat. Perbandingan harganya, Rp 5000 versus NZ$ 5.

Khusus di Eropa, selain makanan yang telah mendunia tadi, biasanya tersedia jenis makanan yang dipengaruhi para imigran, seperti kebab dan shawarma. Yang agak lain paling jualan chestnut, sejenis kacang yang berukuran besar dan berwarna coklat ini biasanya dijual di gerobak dan dipanggang. Juga ada crêpe, yang mayoritas dijual di Perancis. Cuman kalau di Indonesia crêpe-nya manis sebagai makanan penutup, di Perancis bisa jadi makan siang karena isinya bisa ham, keju, dan telor. Di selatan Australia yang beda ada jualan meat pie, pie isi daging – enak kalau dimakan pakai sambal Indonesia. O ya, salah satu trik menambah napsu makan di luar negeri adalah membawa sambal sendiri, cukup yang sachet rasanya langsung selangit.

Di Asia kurang lebih sama dengan di negara kita. Dari semua negara Asia, kesamaan makanan pinggir jalannya adalah makanan yang terbuat dari nasi atau mie. Suatu pagi di Manila, saya kelaparan dan pengen sarapan. Pergilah saya ke warung depan hostel dan memesan makanan yang saya juga lupa apa namanya, pokoknya saya cuma bilang ‘breakfast’. Tak lama kemudian datanglah sepiring nasi putih, ceplok telor, dan kornet goreng. Idih, samaan gitu sarapannya kayak di Indonesia! Makanan pinggir jalan di Filipina kebanyakan gerobak berisi aneka barbeque, seperti ayam (setengah ekor), usus ayam, ceker ayam, aneka sosis, daging babi dan kuping babi. Saosnya ada dua, yang rasanya asam manis dan saos sambal. Yang aneh adalah balut, embrio telur bebek yang hampir menetas – meskipun sudah direbus, kalau dimakan bunyinya ‘kress’ karena masih ada bulu dan tulangnya! Ada lagi Banana Cue, pisang bakar yang dilumuri karamel dan ditusuk kayak sate. Wih! Sedangkan pencuci mulut yang terkenal adalah halo-halo – seperti es campur di negara kita, isinya kolang-kaling, kacang merah, jagung, nata de coco, pakai susu kental dan es krim ubi berwarna ungu di atasnya. Ya ampuun, enak banget!

Di Thailand sama aja, banyak gerobak jualan aneka barbeque. Ada juga jualan mie goreng yang disebut pad thai, atau nasi goreng yang disebut khao pad. Sup tom yam yang terkenal banyak dijual di pinggir jalan saja enak banget, disajikan panas-panas dan pedes banget lagi. Yang sama dengan negara kita lagi adalah jualan buah di gerobak, tapi biasanya hanya satu jenis buah saja seperti nanas. Sosis tradisional juga ada, terutama di daerah utara Thailand, terbuat dari daging cincang babi yang dibumbui. Yang paling aneh dan menjijikkan adalah jualan gorengan di gerobak, bukannya tahu atau tempe seperti di negara kita, tapi berisi cacing, belalang, jangkrik, kecoa, bahkan kalajengking! Gorengan jijay itu dijual bak kacang rebus di kita, dibungkus kertas yang dibentuk selongsong segitiga, dimakan iseng sambil jalan-jalan.

Soal kebersihan makanan pinggir jalan yah jangan ditanya deh, apalagi soal kebutuhan gizi. Tapi apa boleh baut, sebagai backpacker cuman itu makanan yang murah, tinggal berdoa saja semoga tidak sakit perut atau typhus. Yap, backpacker yang harus adventurous dalam segala hal, juga harus adventurous dalam hal makanan.


Monday, July 10, 2006 

Kecil tapi Penting

Selain membawa dokumen, pakaian, alas kaki, alat mandi, alat tulis, kamera, dan obat-obatan, ada benda-benda yang menurut saya penting dibawa saat traveling. Apalagi saya seringnya traveling sendirian di negeri antah berantah, perempuan pula. Tujuan saya membawa benda-benda ini adalah demi keamanan, penghematan, kepraktisan, dan kebersihan. Maklum, sebagai backpacker harus travel light dengan duit terbatas.

Tas badan
Saya tidak tahu bahasa Indonesianya apa untuk benda ini. Yang jelas bentuknya seperti tas pinggang kecil tapi sangat tipis, dipakai menempel di badan sebelum pakai celana dan baju. Terbuat dari kain mirip blacu, gunanya sebagai tempat menaruh dokumen penting, seperti paspor, kartu kredit, tiket, dan uang kertas. Karena tipis dan fleksibel, kita serasa tidak memakainya, dari luar pun tidak kelihatan gembung atau apapun. Tas ini menempel di badan ke manapun saya pergi, bahkan saat tidur sekalipun. Untuk mengambil paspor saja saya harus menarik baju dan memelorotkan celana di depan petugasnya, kebayang repotnya kalau ada yang berani nyolong, pasti keburu ada perlawanan. Paling tidak ada usaha dulu, daripada merelakan duit dan dokumen penting ditaruh di tas tangan yang mudah saja dicolong.

Pepper Spray
Dulu-dulu saya tidak pernah membawa benda ini, tapi suatu hari saya diberi oleh seorang teman, lama-lama saya merasa tidak pede kalau tidak membawa benda ini. Semprotan ini entah isinya apa, namun dari pembungkusnya saya baca bisa membuat mata perih dan bengkak juga membuat orang sesak napas. Benda ini tidak bisa jauh dari saya, makanya sering sengaja saya taruh di dalam saku celana, bahkan saat tidur sekalipun (apalagi menginap di hostel sekamar dengan orang-orang yang tidak dikenal, malah bisa jadi saya cewek sendiri). Teorinya memang tidak seratus persen ampuh untuk bela diri, tapi paling tidak bisa memanjangkan waktu untuk lari kabur. Meskipun sampai saat ini saya tidak pernah menggunakannya dalam keadaan terdesak (amit-amit, jangan sampe!) tapi saya pernah iseng mengetes. Saya menyemprot ke sudut ruangan kantor saya yang lagi sepi, teman saya yang berjarak 2 meter terbatuk-batuk. Hehe, cukup ampuh bukan?

Pisau lipat
Maksudnya swiss army knife, bukan pisau jawara. Dalam satu genggaman ada pisau, gunting, kaca pembesar, bukaan botol, gergaji mini, obeng, pinset, kikiran kuku, bahkan tusuk gigi. Dari nama-nama alatnya saja sudah tahu kegunaannya bukan? Menurut saya, yang menciptakan pisau jenis ini sangat brilian! Bisa jadi benda ini dipakai juga sebagai alat bela diri, tapi terus terang saya lebih sering menggunakannya untuk mengoles mentega di roti, buka botol wine, dan mencabut alis. Hehe! Bicara kemungkinan terburuk, kalau saya terdampar di pulau terpencil sepert film Cast Away (lagi-lagi, amit-amit jangan sampai terjadi!), saya merasa 'aman' bila membawa pisau jenis ini karena memang diciptakan untuk survival. Tapi ingat, jangan menaruh di dalam tas tangan kalau mau terbang naik pesawat, soalnya saya pernah lupa memindahkan ke dalam ransel yang masuk bagasi. Pas lewat Sinar X, tiba-tiba saja saya dikepung petugas dan pisau saya disita. Sial!

Sarung Bali
Keuntungannya banyak. Bisa buat alas duduk kalau lagi ke pantai, bisa jadi baju atau rok kalau kekurangan pakaian, bisa jadi selimut atau syal kalau kedinginan, bisa juga jadi sprei atau sarung bantal. Mengapa spesifik 'sarung bali' bukan sarung kotak-kotak, karena motifnya yang menarik, bahannya tipis, bisa dilipat jadi kecil, dan kalau basah pun cepat kering. Kalau ke pantai, saya malas bawa bawahan karena pasti jadi basah dan kotor, pakailah sarung yang tinggal dililit di pinggang. Kalau musim dingin, tinggal dililit di leher – warnanya yang ‘ngejreng’ matching juga kok. Kalau menginap di hostel kadang tidak termasuk seprei, jadi tinggal menggelar sarung saja di atas tempat tidur. Betapa saya merasa beruntung bawa sarung ketika saya menginap di losmen-losmen di Asia Tenggara dimana sering bau sarung bantalnya tidak sedap – mulai dari bau lembab sampai bau minyak rambut murahan, jadi dengan dibungkus sarung tidur makin mantap.

Celana dalam disposable
Jangan ketawa dulu. Memang bentuknya jelek dan kurang nyaman dipakai, tapi ini cara yang paling praktis dan higinis, habis dipakai tinggal dibuang. Kalau celana dalam beneran kan harus rajin dicuci – mending kering, belum lagi harus mikir mau dijemur di mana. Saat ini disposable panty bisa dibeli di supermarket besar di manapun, ada ukuran S sampai XL, berwarna putih dan bermotif bunga-bunga kecil, satu dus isi 7. Sedikit tips dari saya, jangan memakai dalam keadaan badan masih basah dan jangan memakai terburu-buru karena bahannya tipis sehingga mudah robek. Sekali salah injak kaki atau narik terlalu kencang, tamatlah riwayatnya. Satu lagi, kalau pakai celana panjang hipster model sekarang atau yang garis pinggangnya jatuh di pinggul, jangan pula pakai celana dalam model ini. Ya ampun, jelek banget kalau nongol dari belakang pas duduk!


Monday, July 03, 2006 

Tragedi Paspor

(Ini bukan cerita traveling tapi sekedar sharing agar menjadi pelajaran bagi kita semua)

Kalau saya sudah merasa jenuh bekerja dan kalau setiap bangun pagi saya merasa malas luar biasa, ini saatnya saya harus pergi berlibur. Saya pun mulai memesan hari cuti untuk bulan depan, merencanakan tujuan liburan dan budget, juga memesan tiket pesawat. Semua rencana tampak sempurna, sampai pada saat saya buka laci lemari…DAR! Paspor saya tidak ada! Hanya ada 2 paspor lama yang tentu sudah tidak berlaku. Saya tarik laci itu dan membalikkan seluruh isinya, wah tidak ada juga! Dengkul saya langsung lemas. Saya cari di rak majalah, di laci bawah TV, di meja kosmetik, di atas lemari… tidak ada! Haduh! Saya paling benci pada saat saya sangat membutuhkan sesuatu, dia menghilang. Kenapa paspor? Modal dasar saya traveling! Oh tidaaaak!

Dasar saya internet mania, saya langsung online dan pergi ke Google, mengetik keyword ‘paspor hilang carinya di mana’ – berharap ada orang lain yang mengalami hal yang sama dan memberikan solusinya di web. Hasilnya nihil, semua isinya tentang tata cara kehilangan paspor di kedutaan Indonesia di luar negeri. Saya pun menghubungi Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, jawabannya, “Wah, Mbak… dicari dulu deh mendingan, soalnya urusannya ribet banget, apalagi paspor Mbak baru 6 bulan yang lalu bikinnya kan? Kalau hilang, Mbak harus ke kantor polisi dulu untuk buat surat keterangan, terus ke Kantor Imigrasi untuk mendaftarkan kehilangan paspor, bawa dokumen-dokumen yang diperlukan, kena denda minimal Rp 400.000,-, terus Mbak harus ke Dephankam di Cawang untuk mendaftarkan paspor hilang, tunggu sampai seminggu sampai tidak ada yang mengembalikan, baru bisa bikin paspor baru lagi, bla bla bla…” Halah, tambah lemes saya mendengar prosesnya yang super ribet itu. Dasar orang Indonesia, masih aja saya ‘dihibur’ dengan kata-kata, “Masih untung sadar hilangnya sebulan sebelum berangkat, coba kalau sehari sebelum berangkat?”

Mulai saat itu setiap hari saya bongkar sana-sini mencari paspor, setiap hari pula saya menanyakan teman-teman soal ide lokasi pencarian dan ‘berburu’ di kolong tempat tidur, di kolong mobil, di antara selipan baju-baju, di dalam kantong jaket, di dalam tas-tas. Meskipun tempat tidur saya tidak berkolong karena hanya ada 2 tumpuk spring bed, saya keukeuh mengangkat. Tentu tidak ada juga. Saya membayangkan paspor saya sudah dipalsu orang dan dipakai orang yang terlibat narkoba sehingga saya dibui. Hii! Ibu saya yang lagi berlibur di Amerika saya kirimkan e-mail, siapa tahu nyempil di tas yang dia bawa, siapa tahu dimainin adik saya, siapa tahu disimpan di SDB (safe deposit box) ibu saya. Jawabannya, “Tidak ada di tas. Adikmu sudah besar dan tidak suka main paspor. Lagian ngapain paspor kamu ada di SDB mama?”. Benar juga. Saya mulai hilang akal. Adik saya sudah SMP ngapain mainin paspor? Dan ngapain juga paspor saya bisa ada di SDB ibu saya?

Seminggu kemudian e-mail dari travel agent masuk, mereka meminta konfirmasi penerbangan dengan meminta saya mengirimkan bukti transfer dan fotokopi paspor! Saya makin panik. Pencarian ini harus diakhiri dan saya mau tak mau harus rela mengantri dan bolak-balik ke sana-sini untuk mengurus kehilangan paspor. Saya pun ke kantor polisi dekat kantor untuk melapor kehilangan. Jawaban Mbak Polwan, “Wah, kalau hilang paspor harus lapornya ke Polsek. Di sini kami cuma menerima laporan kehilangan dompet, KTP, atau kartu ATM saja.” Duh, saya benci birokrasi! Teman-teman saya memberikan ide baru, “Pergi ke tukang ramal aja” dan “Mumpung paspor belum nyambung secara sistem, mending bikin baru di Jambi nebeng kartu keluarga abang lo.” Hmm, benar juga! Tapi masa saya harus percaya pada tukang ramal? Tapi masa saya harus ambil cuti lagi dan terbang ke Jambi? Saya pun semakin kencang berdoa - saya jadi malu, untuk menemukan paspor saja harus minta bantuan Tuhan.

Hari Minggu ini adalah batas waktu yang saya berikan Saya memutuskan untuk mencari lagi lebih seksama, mengulang semua lokasi pencarian tanpa terburu-buru dan tergesa-gesa, pasrah untuk mau mengurus meskipun hilang. Saya pun mengarang cerita fiktif untuk laporan saya ke Polsek, saya akan bilang ‘dicuri di mobil saat parkir di mal’ - soalnya kalau bilang hilang saja pasti saya disuruh cari lagi. Gosrak-gusruk, gubrak-gabrik, manjat sana manjat sini... sampai mata saya terpaku pada tas gym saya. Tas ini saya ingat saya pakai traveling terakhir bersamaan dengan paspor itu. Saya merogoh-rogoh semua sakunya, dan horeeee...paspor saya ketemuuu!! Mengutip kata-kata novel roman picisan: rasanya saat itu saya adalah orang paling bahagia di seluruh dunia.

Dua minggu saya dibuat tidak nyenyak tidur, siapa sangka paspor keparat itu ada di dalam tas gym yang setiap hari saya bawa-bawa sejak 6 bulan yang lalu? Herannya, sejak saat itu saya malah jadi merasa kehilangan sesuatu – saya rindu bongkar sana-sini. Hikmahnya, saya menemukan koleksi baju lama yang tidak pernah dipakai lagi karena nyempil di belakang lemari, saya menemukan kartu Jamsostek perusahaan lama yang bisa saya klaim bulan depan, dan saya menemukan 150 dolar Amerika di dalam diary!


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates