Tragedi Paspor
(Ini bukan cerita traveling tapi sekedar sharing agar menjadi pelajaran bagi kita semua)
Kalau saya sudah merasa jenuh bekerja dan kalau setiap bangun pagi saya merasa malas luar biasa, ini saatnya saya harus pergi berlibur. Saya pun mulai memesan hari cuti untuk bulan depan, merencanakan tujuan liburan dan budget, juga memesan tiket pesawat. Semua rencana tampak sempurna, sampai pada saat saya buka laci lemari…DAR! Paspor saya tidak ada! Hanya ada 2 paspor lama yang tentu sudah tidak berlaku. Saya tarik laci itu dan membalikkan seluruh isinya, wah tidak ada juga! Dengkul saya langsung lemas. Saya cari di rak majalah, di laci bawah TV, di meja kosmetik, di atas lemari… tidak ada! Haduh! Saya paling benci pada saat saya sangat membutuhkan sesuatu, dia menghilang. Kenapa paspor? Modal dasar saya traveling! Oh tidaaaak!
Dasar saya internet mania, saya langsung online dan pergi ke Google, mengetik keyword ‘paspor hilang carinya di mana’ – berharap ada orang lain yang mengalami hal yang sama dan memberikan solusinya di web. Hasilnya nihil, semua isinya tentang tata cara kehilangan paspor di kedutaan Indonesia di luar negeri. Saya pun menghubungi Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, jawabannya, “Wah, Mbak… dicari dulu deh mendingan, soalnya urusannya ribet banget, apalagi paspor Mbak baru 6 bulan yang lalu bikinnya kan? Kalau hilang, Mbak harus ke kantor polisi dulu untuk buat surat keterangan, terus ke Kantor Imigrasi untuk mendaftarkan kehilangan paspor, bawa dokumen-dokumen yang diperlukan, kena denda minimal Rp 400.000,-, terus Mbak harus ke Dephankam di Cawang untuk mendaftarkan paspor hilang, tunggu sampai seminggu sampai tidak ada yang mengembalikan, baru bisa bikin paspor baru lagi, bla bla bla…” Halah, tambah lemes saya mendengar prosesnya yang super ribet itu. Dasar orang Indonesia, masih aja saya ‘dihibur’ dengan kata-kata, “Masih untung sadar hilangnya sebulan sebelum berangkat, coba kalau sehari sebelum berangkat?”
Mulai saat itu setiap hari saya bongkar sana-sini mencari paspor, setiap hari pula saya menanyakan teman-teman soal ide lokasi pencarian dan ‘berburu’ di kolong tempat tidur, di kolong mobil, di antara selipan baju-baju, di dalam kantong jaket, di dalam tas-tas. Meskipun tempat tidur saya tidak berkolong karena hanya ada 2 tumpuk spring bed, saya keukeuh mengangkat. Tentu tidak ada juga. Saya membayangkan paspor saya sudah dipalsu orang dan dipakai orang yang terlibat narkoba sehingga saya dibui. Hii! Ibu saya yang lagi berlibur di Amerika saya kirimkan e-mail, siapa tahu nyempil di tas yang dia bawa, siapa tahu dimainin adik saya, siapa tahu disimpan di SDB (safe deposit box) ibu saya. Jawabannya, “Tidak ada di tas. Adikmu sudah besar dan tidak suka main paspor. Lagian ngapain paspor kamu ada di SDB mama?”. Benar juga. Saya mulai hilang akal. Adik saya sudah SMP ngapain mainin paspor? Dan ngapain juga paspor saya bisa ada di SDB ibu saya?
Seminggu kemudian e-mail dari travel agent masuk, mereka meminta konfirmasi penerbangan dengan meminta saya mengirimkan bukti transfer dan fotokopi paspor! Saya makin panik. Pencarian ini harus diakhiri dan saya mau tak mau harus rela mengantri dan bolak-balik ke sana-sini untuk mengurus kehilangan paspor. Saya pun ke kantor polisi dekat kantor untuk melapor kehilangan. Jawaban Mbak Polwan, “Wah, kalau hilang paspor harus lapornya ke Polsek. Di sini kami cuma menerima laporan kehilangan dompet, KTP, atau kartu ATM saja.” Duh, saya benci birokrasi! Teman-teman saya memberikan ide baru, “Pergi ke tukang ramal aja” dan “Mumpung paspor belum nyambung secara sistem, mending bikin baru di Jambi nebeng kartu keluarga abang lo.” Hmm, benar juga! Tapi masa saya harus percaya pada tukang ramal? Tapi masa saya harus ambil cuti lagi dan terbang ke Jambi? Saya pun semakin kencang berdoa - saya jadi malu, untuk menemukan paspor saja harus minta bantuan Tuhan.
Hari Minggu ini adalah batas waktu yang saya berikan Saya memutuskan untuk mencari lagi lebih seksama, mengulang semua lokasi pencarian tanpa terburu-buru dan tergesa-gesa, pasrah untuk mau mengurus meskipun hilang. Saya pun mengarang cerita fiktif untuk laporan saya ke Polsek, saya akan bilang ‘dicuri di mobil saat parkir di mal’ - soalnya kalau bilang hilang saja pasti saya disuruh cari lagi. Gosrak-gusruk, gubrak-gabrik, manjat sana manjat sini... sampai mata saya terpaku pada tas gym saya. Tas ini saya ingat saya pakai traveling terakhir bersamaan dengan paspor itu. Saya merogoh-rogoh semua sakunya, dan horeeee...paspor saya ketemuuu!! Mengutip kata-kata novel roman picisan: rasanya saat itu saya adalah orang paling bahagia di seluruh dunia.
Dua minggu saya dibuat tidak nyenyak tidur, siapa sangka paspor keparat itu ada di dalam tas gym yang setiap hari saya bawa-bawa sejak 6 bulan yang lalu? Herannya, sejak saat itu saya malah jadi merasa kehilangan sesuatu – saya rindu bongkar sana-sini. Hikmahnya, saya menemukan koleksi baju lama yang tidak pernah dipakai lagi karena nyempil di belakang lemari, saya menemukan kartu Jamsostek perusahaan lama yang bisa saya klaim bulan depan, dan saya menemukan 150 dolar Amerika di dalam diary!
Kalau saya sudah merasa jenuh bekerja dan kalau setiap bangun pagi saya merasa malas luar biasa, ini saatnya saya harus pergi berlibur. Saya pun mulai memesan hari cuti untuk bulan depan, merencanakan tujuan liburan dan budget, juga memesan tiket pesawat. Semua rencana tampak sempurna, sampai pada saat saya buka laci lemari…DAR! Paspor saya tidak ada! Hanya ada 2 paspor lama yang tentu sudah tidak berlaku. Saya tarik laci itu dan membalikkan seluruh isinya, wah tidak ada juga! Dengkul saya langsung lemas. Saya cari di rak majalah, di laci bawah TV, di meja kosmetik, di atas lemari… tidak ada! Haduh! Saya paling benci pada saat saya sangat membutuhkan sesuatu, dia menghilang. Kenapa paspor? Modal dasar saya traveling! Oh tidaaaak!
Dasar saya internet mania, saya langsung online dan pergi ke Google, mengetik keyword ‘paspor hilang carinya di mana’ – berharap ada orang lain yang mengalami hal yang sama dan memberikan solusinya di web. Hasilnya nihil, semua isinya tentang tata cara kehilangan paspor di kedutaan Indonesia di luar negeri. Saya pun menghubungi Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, jawabannya, “Wah, Mbak… dicari dulu deh mendingan, soalnya urusannya ribet banget, apalagi paspor Mbak baru 6 bulan yang lalu bikinnya kan? Kalau hilang, Mbak harus ke kantor polisi dulu untuk buat surat keterangan, terus ke Kantor Imigrasi untuk mendaftarkan kehilangan paspor, bawa dokumen-dokumen yang diperlukan, kena denda minimal Rp 400.000,-, terus Mbak harus ke Dephankam di Cawang untuk mendaftarkan paspor hilang, tunggu sampai seminggu sampai tidak ada yang mengembalikan, baru bisa bikin paspor baru lagi, bla bla bla…” Halah, tambah lemes saya mendengar prosesnya yang super ribet itu. Dasar orang Indonesia, masih aja saya ‘dihibur’ dengan kata-kata, “Masih untung sadar hilangnya sebulan sebelum berangkat, coba kalau sehari sebelum berangkat?”
Mulai saat itu setiap hari saya bongkar sana-sini mencari paspor, setiap hari pula saya menanyakan teman-teman soal ide lokasi pencarian dan ‘berburu’ di kolong tempat tidur, di kolong mobil, di antara selipan baju-baju, di dalam kantong jaket, di dalam tas-tas. Meskipun tempat tidur saya tidak berkolong karena hanya ada 2 tumpuk spring bed, saya keukeuh mengangkat. Tentu tidak ada juga. Saya membayangkan paspor saya sudah dipalsu orang dan dipakai orang yang terlibat narkoba sehingga saya dibui. Hii! Ibu saya yang lagi berlibur di Amerika saya kirimkan e-mail, siapa tahu nyempil di tas yang dia bawa, siapa tahu dimainin adik saya, siapa tahu disimpan di SDB (safe deposit box) ibu saya. Jawabannya, “Tidak ada di tas. Adikmu sudah besar dan tidak suka main paspor. Lagian ngapain paspor kamu ada di SDB mama?”. Benar juga. Saya mulai hilang akal. Adik saya sudah SMP ngapain mainin paspor? Dan ngapain juga paspor saya bisa ada di SDB ibu saya?
Seminggu kemudian e-mail dari travel agent masuk, mereka meminta konfirmasi penerbangan dengan meminta saya mengirimkan bukti transfer dan fotokopi paspor! Saya makin panik. Pencarian ini harus diakhiri dan saya mau tak mau harus rela mengantri dan bolak-balik ke sana-sini untuk mengurus kehilangan paspor. Saya pun ke kantor polisi dekat kantor untuk melapor kehilangan. Jawaban Mbak Polwan, “Wah, kalau hilang paspor harus lapornya ke Polsek. Di sini kami cuma menerima laporan kehilangan dompet, KTP, atau kartu ATM saja.” Duh, saya benci birokrasi! Teman-teman saya memberikan ide baru, “Pergi ke tukang ramal aja” dan “Mumpung paspor belum nyambung secara sistem, mending bikin baru di Jambi nebeng kartu keluarga abang lo.” Hmm, benar juga! Tapi masa saya harus percaya pada tukang ramal? Tapi masa saya harus ambil cuti lagi dan terbang ke Jambi? Saya pun semakin kencang berdoa - saya jadi malu, untuk menemukan paspor saja harus minta bantuan Tuhan.
Hari Minggu ini adalah batas waktu yang saya berikan Saya memutuskan untuk mencari lagi lebih seksama, mengulang semua lokasi pencarian tanpa terburu-buru dan tergesa-gesa, pasrah untuk mau mengurus meskipun hilang. Saya pun mengarang cerita fiktif untuk laporan saya ke Polsek, saya akan bilang ‘dicuri di mobil saat parkir di mal’ - soalnya kalau bilang hilang saja pasti saya disuruh cari lagi. Gosrak-gusruk, gubrak-gabrik, manjat sana manjat sini... sampai mata saya terpaku pada tas gym saya. Tas ini saya ingat saya pakai traveling terakhir bersamaan dengan paspor itu. Saya merogoh-rogoh semua sakunya, dan horeeee...paspor saya ketemuuu!! Mengutip kata-kata novel roman picisan: rasanya saat itu saya adalah orang paling bahagia di seluruh dunia.
Dua minggu saya dibuat tidak nyenyak tidur, siapa sangka paspor keparat itu ada di dalam tas gym yang setiap hari saya bawa-bawa sejak 6 bulan yang lalu? Herannya, sejak saat itu saya malah jadi merasa kehilangan sesuatu – saya rindu bongkar sana-sini. Hikmahnya, saya menemukan koleksi baju lama yang tidak pernah dipakai lagi karena nyempil di belakang lemari, saya menemukan kartu Jamsostek perusahaan lama yang bisa saya klaim bulan depan, dan saya menemukan 150 dolar Amerika di dalam diary!