Pilipina, Filipina, atau Pilifina?
Tahukah Anda bahwa orang Filipina itu seperti salah satu suku di Indonesia dimana mengucapkan huruf p, f, v semuanya tertukar? Bukan bermaksud menghina, tapi bagi saya itu lucu sekali. Di kantor saya saja ada teman yang meskipun sudah lama tinggal di Jakarta dan pernah sekolah ke luar negeri, sering ketuker antara p dan f, bahkan dalam bahasa Inggris sekalipun. Dia selalu bilang approved jadi ‘effrup’, Vice President jadi ‘pice fresident’, bahkan dia memanggil rekan kerja yang bernama Rivi dengan Ripi (saya lihat di phonebook-nya pun dia mengetik ‘Ripi’ sesuai dengan yang dia dengar). Kami sering meledeknya dengan balik bertanya, “Huruf p-nya, p - piolet, p - panta atau p - pespa?”
Pengalaman pertama menyadari ‘ketertukaran’ ini ketika hari pertama di Filipina kami berkenalan dengan seorang cowok lokal di Boracay, si cowok ini memperkenakan diri bernama Jobi. Nama yang aneh. Ketika akhirnya kami ngobrol ngalor ngidul, bertanyalah saya, “What’s your favorite song, Jobi?”
“I’ll be there por you, because the singer is Bon Jobi, like my name.”
“We thought your name is Jobi, not Jovi,” protes kami.
“Yes, Jobi. Like Bon Jobi,” jawab si Jobi a.k.a. Jovi dengan muka lempeng-dot-com. Ooh!
Anyway, karena ini hari-hari pertama kami liburan di Filipin, kami semangat mempelajari bahasa lokal. Kami pun diajarkan kalau mengucapkan terima kasih dalam bahasa Tagalog adalah ‘salamat fo’. Kemana-mana kami dengan bangga bilang ‘salamat fo’ ke semua orang, dan semua orang tersenyum. Sampai akhirnya kami membaca peraturan penerbangan di airport, bahwa yang benar adalah ‘salamat po’, dengan ‘p’ - bukan ‘f’! Sialan!
Semakin lama kami semakin aware bahwa memang cara orang Filipina berbicara sering ketukar begitu, terutama bila berbicara dengan orang biasa. Seperti suatu kali kami membicarakan soal merk mobil, supir taksi bilang, ”The best car is bolbo with airbag.” Tahu kan maksudnya? Bolbo = Volvo! Atau ketika berkenalan dengan orang yang bernama Joba, kami dengan yakin bahwa nama aslinya adalah Jova. Dalam angka pun, five disebut ‘paib’ dan seven disebut ‘seben’. Haduh!
Sudah lama tidak kena ‘tipu’, suatu pagi kami berbicara dengan pemilik losmen di Sabang tentang cottage baru di sebelah cottage kami, ”Who’s the owner of that cottage?”
“A Javanese man.”
“Javanese? From Indonesia?” dengan berbinar-binar teman saya bertanya.
“No. Javanese.”
Saya pun menginjak kaki teman saya dan berbisik, “Maksudnya Japanese, tau!” Huahaha! Kami pun berguling-guling tertawa.
Saya pun jahilnya keluar, pengen membuktikan apakah kalau kita berbicara kebalik-balik antara p, f, v dan b, akan dimengerti orang Filipina. Suatu malam kami makan di warung burger dan dengan sengaja bilang kepada pelayannya, “Miss, do you hape toothfick?” dan si mbaknya ke belakang dan membawakan tusuk gigi. Ha, dia mengerti! Ternyata emang farah eh parah!
Kembali ke Manila, malam terakhir kami dugem di tempat gaulnya anak muda borju di daerah Green Belt, namanya Absinthe. Jam 1 pagi kami sudah merasa bosan dan ingin pindah ke bar lain. Teman saya lalu bertanya kepada seorang lelaki tampan, dia menyarankan agar kami pergi ke ‘P Bar’ yang hanya berjarak 1 blok. Untuk memastikan arahnya, teman saya lalu mengkonfirmasikannya ke seorang ABG cewek di toilet, “Do you know where the P Bar is?”
ABG itu bengong, “P Bar?”
“Yes, P Bar. P – Pee. Around this area.”
Dan ABG itu menyaut, “Oh you mean V Bar? V – Vee Baaar.”
Sial, lagi-lagi kena tipu! Bikin malu saja, kami terlihat seperti orang tolol yang tidak bisa menyebut V dengan benar. Mana diketawain sama segerombolan ABG itu lagi! Huh! Siapa sangka di ibu kota dan dan tempat dugem paling elit tetap ada orang salah sebut huruf?
Keesokan harinya kami sedang mengopi di Figaro Cafe sambil baca-baca majalah dan koran lokal. Ada majalah ‘Philippines Tadler’, majalah lifestyle kaum borju di suatu negara. Ada artikel menarik berjudul ’Top 10 Tips for Social Climber’, dan di tips point ke-5 jelas-jelas tertulis: Go to speech therapist to make sure your ‘p’ and ‘f’ are said correctly. Tuh kan! P & F itu ternyata sudah menjadi epidemi nasional! Huahaha! Pantas saja, mereka sendiri menyebut nama negaranya bisa menjadi 3 versi: Pilipina, Filipina, atau Pilifina.
Pengalaman pertama menyadari ‘ketertukaran’ ini ketika hari pertama di Filipina kami berkenalan dengan seorang cowok lokal di Boracay, si cowok ini memperkenakan diri bernama Jobi. Nama yang aneh. Ketika akhirnya kami ngobrol ngalor ngidul, bertanyalah saya, “What’s your favorite song, Jobi?”
“I’ll be there por you, because the singer is Bon Jobi, like my name.”
“We thought your name is Jobi, not Jovi,” protes kami.
“Yes, Jobi. Like Bon Jobi,” jawab si Jobi a.k.a. Jovi dengan muka lempeng-dot-com. Ooh!
Anyway, karena ini hari-hari pertama kami liburan di Filipin, kami semangat mempelajari bahasa lokal. Kami pun diajarkan kalau mengucapkan terima kasih dalam bahasa Tagalog adalah ‘salamat fo’. Kemana-mana kami dengan bangga bilang ‘salamat fo’ ke semua orang, dan semua orang tersenyum. Sampai akhirnya kami membaca peraturan penerbangan di airport, bahwa yang benar adalah ‘salamat po’, dengan ‘p’ - bukan ‘f’! Sialan!
Semakin lama kami semakin aware bahwa memang cara orang Filipina berbicara sering ketukar begitu, terutama bila berbicara dengan orang biasa. Seperti suatu kali kami membicarakan soal merk mobil, supir taksi bilang, ”The best car is bolbo with airbag.” Tahu kan maksudnya? Bolbo = Volvo! Atau ketika berkenalan dengan orang yang bernama Joba, kami dengan yakin bahwa nama aslinya adalah Jova. Dalam angka pun, five disebut ‘paib’ dan seven disebut ‘seben’. Haduh!
Sudah lama tidak kena ‘tipu’, suatu pagi kami berbicara dengan pemilik losmen di Sabang tentang cottage baru di sebelah cottage kami, ”Who’s the owner of that cottage?”
“A Javanese man.”
“Javanese? From Indonesia?” dengan berbinar-binar teman saya bertanya.
“No. Javanese.”
Saya pun menginjak kaki teman saya dan berbisik, “Maksudnya Japanese, tau!” Huahaha! Kami pun berguling-guling tertawa.
Saya pun jahilnya keluar, pengen membuktikan apakah kalau kita berbicara kebalik-balik antara p, f, v dan b, akan dimengerti orang Filipina. Suatu malam kami makan di warung burger dan dengan sengaja bilang kepada pelayannya, “Miss, do you hape toothfick?” dan si mbaknya ke belakang dan membawakan tusuk gigi. Ha, dia mengerti! Ternyata emang farah eh parah!
Kembali ke Manila, malam terakhir kami dugem di tempat gaulnya anak muda borju di daerah Green Belt, namanya Absinthe. Jam 1 pagi kami sudah merasa bosan dan ingin pindah ke bar lain. Teman saya lalu bertanya kepada seorang lelaki tampan, dia menyarankan agar kami pergi ke ‘P Bar’ yang hanya berjarak 1 blok. Untuk memastikan arahnya, teman saya lalu mengkonfirmasikannya ke seorang ABG cewek di toilet, “Do you know where the P Bar is?”
ABG itu bengong, “P Bar?”
“Yes, P Bar. P – Pee. Around this area.”
Dan ABG itu menyaut, “Oh you mean V Bar? V – Vee Baaar.”
Sial, lagi-lagi kena tipu! Bikin malu saja, kami terlihat seperti orang tolol yang tidak bisa menyebut V dengan benar. Mana diketawain sama segerombolan ABG itu lagi! Huh! Siapa sangka di ibu kota dan dan tempat dugem paling elit tetap ada orang salah sebut huruf?
Keesokan harinya kami sedang mengopi di Figaro Cafe sambil baca-baca majalah dan koran lokal. Ada majalah ‘Philippines Tadler’, majalah lifestyle kaum borju di suatu negara. Ada artikel menarik berjudul ’Top 10 Tips for Social Climber’, dan di tips point ke-5 jelas-jelas tertulis: Go to speech therapist to make sure your ‘p’ and ‘f’ are said correctly. Tuh kan! P & F itu ternyata sudah menjadi epidemi nasional! Huahaha! Pantas saja, mereka sendiri menyebut nama negaranya bisa menjadi 3 versi: Pilipina, Filipina, atau Pilifina.