Mengangkang di Kepala Porter
Alat transportasi paling beragam - mulai dari roda dua sampai roda banyak, bahkan tanpa roda - rasanya hanya ada di negara-negara Asia, entah karena kontur negaranya, kondisi ekonominya, atau karena orang Asia memang sangat kreatif. Sebagai independent traveler sekaligus backpacker, kemewahan menggunakan bis turis ber-AC sungguh tidak adventurous (sebenarnya sih tidak sanggup bayar), tapi menggunakan alat transportasi tradisional dan bergaul dengan orang lokal jauh lebih menyenangkan.
Di Siem Reap, dengan harga 5 US$/hari saya menyewa ojek untuk keliling-keliling kota termasuk mengunjungi candi-candi di kompleks Angkor Wat yang luas. Si mas tukang ojek yang masih muda juga merangkap guide, dia mengerti sejarah dan seluk beluk percandian. Saya pun jadi punya teman ngobrol karena dia berbahasa Inggris meskipun patah-patah - belakangan saya ajari bahasa Indonesia (kata-kata favoritnya adalah “Ayo cabut!”). Di Pnom Pehn, ojek juga merupakan alat transportasi utama tapi tukang ojeknya kebanyakan kakek-kakek dengan motor yang sudah tua-tua. Motor pun dimodifikasi dengan memanjangkan jok belakang menggunakan kayu sehingga dapat memuat 3 orang sekaligus. Hati-hati, kemampuan bahasa Inggris mereka parah, saya sering dibuat nyasar. Cara mengatasinya, saya selalu membawa peta dan menunjuk benar-benar arahnya, saya juga mencari tahu bagaimana mengucapkan tempat yang dimaksud dengan bahasa lokal. Kalau pede, kita juga bisa menyewa motor seperti yang saya lakukan di Pulau Koh Samui, Thailand. Lucunya, saya pernah lupa mencatat nomor plat motor sampai saya kebingunan mencari di antar ratusan motor di tempat parkir karena ternyata semua motor sewaan itu bentuk dan warnanya sama!
Jangan heran di Colombo dibanjiri lautan bajaj karena bajaj berasal dari India, negara yang berbatasan dengan Sri Lanka. Bentuk bajajnya lebih kecil sedikit daripada di Indonesia tapi suara dan getarannya tetap menyebalkan. Di Bangkok, saya memilih untuk menyewa becak genjotan manusia untuk membawa saya keliling ke tempat-tempat wisata. Si tukang becak bersedia mengantar, menunggu, dan memberi informasi bagaimana cara masuknya meskipun dengan bahasa Tarzan. Berbeda dengan di Filipina, becaknya bermotor seperti di kota Medan dengan gerobak di belakangnya yang muat sampai 3 orang. Kalau jalan menanjak, si tukang ojek menyuruh kami mengatur tempat duduk berjejer di belakang, begitu jalanan datar kami baru duduk hadap-hadapan.
Di beberapa tempat bahkan ada pangkalan gajah sebagai salah satu alat transportasi komersial. Contohnya saja di di utara kota Chiang Mai, Thailand, tempat Meo hill tribes tinggal. Jijik juga naik gajah, kulitnya yang keras tapi bernyawa dikerubutin serangga kecil-kecil. Si pawang menyangka saya takut dan berkata, “Don’t worry, elephant is vegetarian!”. Di candi Phnom Bakeng, salah satu situs di Angkor Wat tempat orang melihat matahari terbenam di antara kemegahan kompleks candi ratusan tahun yang lalu, terletak di atas gunung. Bagi orang yang tidak sanggup mendaki dengan kemiringan 60º, tersedia gajah yang membawa ke atas. Hebat, saya pikir gajah itu cuman bisa jalan di daratan yang rata, ternyata di sana gajah-gajah itu bisa trekking ke dalam hutan, menyebrang sungai, naik gunung, dan berjalan di jalan setapak dengan 4 kakinya yang sejajar.
Yang paling tersiksa adalah ketika saya naik Jeepney (angkot di Filipina yang menggunakan Jeep Willis zaman Perang Dunia yang telah dimodifikasi). Dari kota Puerto Princessa ke Sabang di Pulau Palawan membutuhkan waktu 4 jam dengan jalan yang off road. Jeepney yang kecil itu bisa dinaiki sampai 45 orang sampai ke atap bahkan supirnya pun pangku-pangkuan dengan penumpang. Di tengah jalan turunlah hujan deras dan semua orang berdesak-desakan masuk, jendelanya yang tanpa kaca ditutupi plastik gulung. Duh, pengapnya tidak karuan! Pulang dari Sabang, sekali lagi saya disiksa Jeepney. Di atas atap mobil selain manusia ada 2 kontainer besar berisi ikan hidup, 2 ekor babi, plus 4 ekor ayam. Atap mobil sebentar-sebentar bunyi berdebum karena si babi seperti main surfing bersusah payah menjaga keseimbangan. Kapok akibat pengap, saya bela-belain duduk di pinggir jendela bolong namun air amis dari ikan dan ‘tokai’ babi menyiprat masuk melalui jendela saya! Yikes!
Alat transportasi yang paling lucu ada di Filipina, tepatnya di Pulau Boracay. Begitu sampai, kapal berhenti jauh dari garis pantai jadi kami harus rela nyebur berbasah-basahan dengan kedalaman air sekitar sepaha. Di bawah kapal ada segerombolan lelaki, dari gelagatnya sih saya menebak mereka adalah porter. Betapa kagetnya saya ketika tahu bahwa mereka bukan porter pengangkat barang, tapi pengangkat orang! Saya perhatikan satu per satu orang turun dari kapal, naik ke atas si porter – pilihan gayanya: bisa mengangkang di antara kepala porter dengan kedua kaki menjuntai di badannya, bisa duduk di salah satu sisi pundak porter, atau digendong di punggung porter dengan resiko masih kena basah - diangkutlah sampai ke pinggir pantai. Teman saya yang dapat giliran turun dari kapal jelas-jelas menolak digendong karena dia pakai rok mini dan G-String, hehe! Saya pun jadi risih dan kami memilih untuk nyebur ke laut. Beberapa hari kemudian kami harus kembali menggunakan kapal yang ternyata masih ngedok jauh dari garis pantai. Daripada berbasah-basahan sampai di Manila, mending digendong. Sadar diri bertubuh besar, saya memilih porter yang bertubuh paling gede, lalu diangkat lah saya di pundak kanannya (daripada mengangkang di kepalanya) dan berjalan lewat laut yang berombak. Meskipun serasa putri-putri zaman Majapahit, saya tetap teriak-teriak takut tidak balance karena bisa-bisa kecebur ke belakang. Di antrian belakang saya ada cowok bule yang sempat sangsi mau diangkat, “I weigh 90 kg, you know?”, tapi para porter justru berebut untuk menggendong. Hebat!
Di Siem Reap, dengan harga 5 US$/hari saya menyewa ojek untuk keliling-keliling kota termasuk mengunjungi candi-candi di kompleks Angkor Wat yang luas. Si mas tukang ojek yang masih muda juga merangkap guide, dia mengerti sejarah dan seluk beluk percandian. Saya pun jadi punya teman ngobrol karena dia berbahasa Inggris meskipun patah-patah - belakangan saya ajari bahasa Indonesia (kata-kata favoritnya adalah “Ayo cabut!”). Di Pnom Pehn, ojek juga merupakan alat transportasi utama tapi tukang ojeknya kebanyakan kakek-kakek dengan motor yang sudah tua-tua. Motor pun dimodifikasi dengan memanjangkan jok belakang menggunakan kayu sehingga dapat memuat 3 orang sekaligus. Hati-hati, kemampuan bahasa Inggris mereka parah, saya sering dibuat nyasar. Cara mengatasinya, saya selalu membawa peta dan menunjuk benar-benar arahnya, saya juga mencari tahu bagaimana mengucapkan tempat yang dimaksud dengan bahasa lokal. Kalau pede, kita juga bisa menyewa motor seperti yang saya lakukan di Pulau Koh Samui, Thailand. Lucunya, saya pernah lupa mencatat nomor plat motor sampai saya kebingunan mencari di antar ratusan motor di tempat parkir karena ternyata semua motor sewaan itu bentuk dan warnanya sama!
Jangan heran di Colombo dibanjiri lautan bajaj karena bajaj berasal dari India, negara yang berbatasan dengan Sri Lanka. Bentuk bajajnya lebih kecil sedikit daripada di Indonesia tapi suara dan getarannya tetap menyebalkan. Di Bangkok, saya memilih untuk menyewa becak genjotan manusia untuk membawa saya keliling ke tempat-tempat wisata. Si tukang becak bersedia mengantar, menunggu, dan memberi informasi bagaimana cara masuknya meskipun dengan bahasa Tarzan. Berbeda dengan di Filipina, becaknya bermotor seperti di kota Medan dengan gerobak di belakangnya yang muat sampai 3 orang. Kalau jalan menanjak, si tukang ojek menyuruh kami mengatur tempat duduk berjejer di belakang, begitu jalanan datar kami baru duduk hadap-hadapan.
Di beberapa tempat bahkan ada pangkalan gajah sebagai salah satu alat transportasi komersial. Contohnya saja di di utara kota Chiang Mai, Thailand, tempat Meo hill tribes tinggal. Jijik juga naik gajah, kulitnya yang keras tapi bernyawa dikerubutin serangga kecil-kecil. Si pawang menyangka saya takut dan berkata, “Don’t worry, elephant is vegetarian!”. Di candi Phnom Bakeng, salah satu situs di Angkor Wat tempat orang melihat matahari terbenam di antara kemegahan kompleks candi ratusan tahun yang lalu, terletak di atas gunung. Bagi orang yang tidak sanggup mendaki dengan kemiringan 60º, tersedia gajah yang membawa ke atas. Hebat, saya pikir gajah itu cuman bisa jalan di daratan yang rata, ternyata di sana gajah-gajah itu bisa trekking ke dalam hutan, menyebrang sungai, naik gunung, dan berjalan di jalan setapak dengan 4 kakinya yang sejajar.
Yang paling tersiksa adalah ketika saya naik Jeepney (angkot di Filipina yang menggunakan Jeep Willis zaman Perang Dunia yang telah dimodifikasi). Dari kota Puerto Princessa ke Sabang di Pulau Palawan membutuhkan waktu 4 jam dengan jalan yang off road. Jeepney yang kecil itu bisa dinaiki sampai 45 orang sampai ke atap bahkan supirnya pun pangku-pangkuan dengan penumpang. Di tengah jalan turunlah hujan deras dan semua orang berdesak-desakan masuk, jendelanya yang tanpa kaca ditutupi plastik gulung. Duh, pengapnya tidak karuan! Pulang dari Sabang, sekali lagi saya disiksa Jeepney. Di atas atap mobil selain manusia ada 2 kontainer besar berisi ikan hidup, 2 ekor babi, plus 4 ekor ayam. Atap mobil sebentar-sebentar bunyi berdebum karena si babi seperti main surfing bersusah payah menjaga keseimbangan. Kapok akibat pengap, saya bela-belain duduk di pinggir jendela bolong namun air amis dari ikan dan ‘tokai’ babi menyiprat masuk melalui jendela saya! Yikes!
Alat transportasi yang paling lucu ada di Filipina, tepatnya di Pulau Boracay. Begitu sampai, kapal berhenti jauh dari garis pantai jadi kami harus rela nyebur berbasah-basahan dengan kedalaman air sekitar sepaha. Di bawah kapal ada segerombolan lelaki, dari gelagatnya sih saya menebak mereka adalah porter. Betapa kagetnya saya ketika tahu bahwa mereka bukan porter pengangkat barang, tapi pengangkat orang! Saya perhatikan satu per satu orang turun dari kapal, naik ke atas si porter – pilihan gayanya: bisa mengangkang di antara kepala porter dengan kedua kaki menjuntai di badannya, bisa duduk di salah satu sisi pundak porter, atau digendong di punggung porter dengan resiko masih kena basah - diangkutlah sampai ke pinggir pantai. Teman saya yang dapat giliran turun dari kapal jelas-jelas menolak digendong karena dia pakai rok mini dan G-String, hehe! Saya pun jadi risih dan kami memilih untuk nyebur ke laut. Beberapa hari kemudian kami harus kembali menggunakan kapal yang ternyata masih ngedok jauh dari garis pantai. Daripada berbasah-basahan sampai di Manila, mending digendong. Sadar diri bertubuh besar, saya memilih porter yang bertubuh paling gede, lalu diangkat lah saya di pundak kanannya (daripada mengangkang di kepalanya) dan berjalan lewat laut yang berombak. Meskipun serasa putri-putri zaman Majapahit, saya tetap teriak-teriak takut tidak balance karena bisa-bisa kecebur ke belakang. Di antrian belakang saya ada cowok bule yang sempat sangsi mau diangkat, “I weigh 90 kg, you know?”, tapi para porter justru berebut untuk menggendong. Hebat!