Road to Heaven
Menyewa mobil bersama teman-teman di Bali adalah hal yang biasa dilakukan, bukan karena sistem transportasi umum kita yang belum begitu baik tapi memang lebih menyenangkan bisa pergi kemanapun kita mau. Di luar negeri saya menyewa sekaligus menyupir mobil hanya dua kali, di Amerika Serikat dan Selandia Baru. Untuk menghemat, patunganlah dengan teman-teman untuk biaya sewa mobil dan bensin. Kalau perlu dan masih muat, angkut sesama backpacker yang bertujuan ke tempat yang sama. Menurut peraturan menyupir mobil di luar negeri, kita harus mempunyai SIM Internasional yang bisa diurus di Jakarta. Kalau belum berubah, bentuk SIM-nya bukan seperti SIM biasa yang kecil tapi berupa lembaran karton besar berwarna hijau.
Waktu ke AS, saya terpaksa cuek menyupir tanpa SIM karena akan traveling dari Dallas ke San Antonio. Sewa mobil sih atas nama teman saya, tapi yang menyupir saya. Jam 12 malam sebelumnya, saya latihan menyupir untuk membiasakan diri menyupir di jalur jalan sebelah kanan dengan setir kiri, membaca rambu lalu lintas Amerika, dan menyupir mobil otomatis (enak juga kaki bisa nangkring kayak di Warteg). Pokoknya ada dua hal yang selalu saya ingat: jaga batas kecepatan dan peraturan mengenai yield. Canggihnya, petunjuk jalan dapat di-print dari website. Tinggal memasukkan nama jalan, keluarlah petunjuk yang sangat rinci, naik high way nomer berapa, berapa lama, ke luar di mana, sampai petunjuk belok kanan atau kirinya.
Inilah jalan ke luar kota di Amerika: sejauh mata memandang isinya jalan tak ada ujung. Jarak Dallas – San Antonio itu sebenarnya mungkin sejauh Jakarta – Yogyakarta, tapi bisa ditempuh hanya dalam beberapa jam saja karena jalan mulus tanpa macet. Meski di high way itu ada speed limit (biasanya 70 mile/hour atau sekitar 120 km/jam), tapi semua mobil justru menjadikannya sebagai batas minimum, apalagi kalau mobilnya ada teknologi cruise control. Cocok banget dengan gaya menyupir saya yang bawaannya doyan ngebut, serasa main games balap mobil di komputer. Zziiing! Padahal sejujurnya deg-degan juga kalau melihat polisi mendekat, soalnya bisa gawat kalau ketahuan tidak punya SIM dan menyupir mobil atas nama orang lain.
Kali kedua, saya menyupir di Selandia Baru. Traveling di negara yang ‘lebih banyak domba daripada manusia’ ini memang lebih nyaman dan mudah bila menyewa mobil sendiri, apalagi saat itu saya patungan dengan 2 orang teman perempuan. Berbekal brosur dari hostel yang mengatakan bahwa di sini mobil setir kanan dan diperbolehkan menggunakan SIM negara sendiri, kami pun memutuskan untuk sewa mobil di kota Christchurch dengan tipe ekonomis seharga 45 NZ$/hari selama 7 hari. Kami juga menambah biaya asuransi sebesar 6 NZ$/hari karena kalau terjadi kerusakan harus bayar minimum 700 NZ$. Kami pun dibawa ke garasinya, mobilnya Corolla putih tahun 1995, 1500 cc, otomatis lagi. Uhuy! Baru mau jalan, kami sadar ternyata tidak ada tape maupun radio! Sialnya, ini mobil terakhir yang tersisa. Tidak hilang akal, kami langsung tancap gas ke Warehouse untuk beli tape. Supaya murah, kami membeli walkman ecek-ecek buatan Cina dan speaker, total jendral 30 NZ$. Baru kali ini traveling sampai bela-belain beli barang elektronik, yah daripada bete tidak ada musik sepanjang jalan. Not bad at all, paling tidak ada suara-suara berirama meski supaya jelas terdengar harus tutup jendela.
Kami sangat menikmati perjalanan di Selandia Baru, terutama di South Island. Favorit saya adalah perjalanan dari Christchurch ke Franz Joseph yang pada awalnya hanya jalan lurus dengan kanan kiri padang rumput. Sampai jalannya agak menanjak barulah kami disuguhkan dengan pemandangan spektakuler...pegunungan Southern Alps dengan salju abadi di puncaknya. Menyupir seakan-akan menonton film, selalu ada kejutan di setiap belokan jalan. Tiba-tiba hutan yang lebat, tiba-tiba danau yang airnya warna tourquois, tiba-tiba pegunungan warna hijau, warna putih, warna coklat, tiba-tiba ada pantai dengan pasir putih dengan air yang biru. Pemandangan indah terlihat pada 3 bagian selain dari kaca mobil, yaitu dari kaca spion depan, spion kanan dan spion kiri – semuanya berbeda dan bagus banget. Cuaca pun kadang panas, kadang hujan – di sinilah kami melihat banyak Misty Mountain, serasa di film Lord of the Rings. Banyak kali kami stop untuk memotret di scenic look out (spot dimana disediakan parkir mobil untuk memotret pemandangan yang spektakuler). Baru sekarang saya merasakan apa yang disebut breathtaking scenery – saking bagusnya sampai sesak napas.
Waktu ke AS, saya terpaksa cuek menyupir tanpa SIM karena akan traveling dari Dallas ke San Antonio. Sewa mobil sih atas nama teman saya, tapi yang menyupir saya. Jam 12 malam sebelumnya, saya latihan menyupir untuk membiasakan diri menyupir di jalur jalan sebelah kanan dengan setir kiri, membaca rambu lalu lintas Amerika, dan menyupir mobil otomatis (enak juga kaki bisa nangkring kayak di Warteg). Pokoknya ada dua hal yang selalu saya ingat: jaga batas kecepatan dan peraturan mengenai yield. Canggihnya, petunjuk jalan dapat di-print dari website. Tinggal memasukkan nama jalan, keluarlah petunjuk yang sangat rinci, naik high way nomer berapa, berapa lama, ke luar di mana, sampai petunjuk belok kanan atau kirinya.
Inilah jalan ke luar kota di Amerika: sejauh mata memandang isinya jalan tak ada ujung. Jarak Dallas – San Antonio itu sebenarnya mungkin sejauh Jakarta – Yogyakarta, tapi bisa ditempuh hanya dalam beberapa jam saja karena jalan mulus tanpa macet. Meski di high way itu ada speed limit (biasanya 70 mile/hour atau sekitar 120 km/jam), tapi semua mobil justru menjadikannya sebagai batas minimum, apalagi kalau mobilnya ada teknologi cruise control. Cocok banget dengan gaya menyupir saya yang bawaannya doyan ngebut, serasa main games balap mobil di komputer. Zziiing! Padahal sejujurnya deg-degan juga kalau melihat polisi mendekat, soalnya bisa gawat kalau ketahuan tidak punya SIM dan menyupir mobil atas nama orang lain.
Kali kedua, saya menyupir di Selandia Baru. Traveling di negara yang ‘lebih banyak domba daripada manusia’ ini memang lebih nyaman dan mudah bila menyewa mobil sendiri, apalagi saat itu saya patungan dengan 2 orang teman perempuan. Berbekal brosur dari hostel yang mengatakan bahwa di sini mobil setir kanan dan diperbolehkan menggunakan SIM negara sendiri, kami pun memutuskan untuk sewa mobil di kota Christchurch dengan tipe ekonomis seharga 45 NZ$/hari selama 7 hari. Kami juga menambah biaya asuransi sebesar 6 NZ$/hari karena kalau terjadi kerusakan harus bayar minimum 700 NZ$. Kami pun dibawa ke garasinya, mobilnya Corolla putih tahun 1995, 1500 cc, otomatis lagi. Uhuy! Baru mau jalan, kami sadar ternyata tidak ada tape maupun radio! Sialnya, ini mobil terakhir yang tersisa. Tidak hilang akal, kami langsung tancap gas ke Warehouse untuk beli tape. Supaya murah, kami membeli walkman ecek-ecek buatan Cina dan speaker, total jendral 30 NZ$. Baru kali ini traveling sampai bela-belain beli barang elektronik, yah daripada bete tidak ada musik sepanjang jalan. Not bad at all, paling tidak ada suara-suara berirama meski supaya jelas terdengar harus tutup jendela.
Kami sangat menikmati perjalanan di Selandia Baru, terutama di South Island. Favorit saya adalah perjalanan dari Christchurch ke Franz Joseph yang pada awalnya hanya jalan lurus dengan kanan kiri padang rumput. Sampai jalannya agak menanjak barulah kami disuguhkan dengan pemandangan spektakuler...pegunungan Southern Alps dengan salju abadi di puncaknya. Menyupir seakan-akan menonton film, selalu ada kejutan di setiap belokan jalan. Tiba-tiba hutan yang lebat, tiba-tiba danau yang airnya warna tourquois, tiba-tiba pegunungan warna hijau, warna putih, warna coklat, tiba-tiba ada pantai dengan pasir putih dengan air yang biru. Pemandangan indah terlihat pada 3 bagian selain dari kaca mobil, yaitu dari kaca spion depan, spion kanan dan spion kiri – semuanya berbeda dan bagus banget. Cuaca pun kadang panas, kadang hujan – di sinilah kami melihat banyak Misty Mountain, serasa di film Lord of the Rings. Banyak kali kami stop untuk memotret di scenic look out (spot dimana disediakan parkir mobil untuk memotret pemandangan yang spektakuler). Baru sekarang saya merasakan apa yang disebut breathtaking scenery – saking bagusnya sampai sesak napas.