Sunday, January 28, 2007 

Las Klismes

Karena orang tua saya berasal dari 2 agama yang berbeda, dari kecil saya ikut merayakan Lebaran dan juga Natal bersama keluarga. Ketika saya sudah doyan traveling sendiri, perayaan agamais itu kadang terlewatkan begitu saja. Apalagi liburan lebaran atau natal biasanya lebih panjang sehingga kalau ditambah hari cuti bisa sangat menguntungkan. Lebaran pertama saya tanpa keluarga terjadi ketika saya lagi training di Atlanta, AS, tahun 1997. Berada di tempat yang tidak berasa suasana lebaran membuat saya sedih, apalagi hari itu saya harus masuk kerja di tengah musim dingin dengan suhu -10°C pula. Semalam sebelumnya saja saya tidak mendengar beduk takbiran, lalu saya membayangkan keluarga besar saya berkumpul di rumah nenek yang bercuaca tropis sambil makan makanan lebaran andalan tante-tante saya. Haduuh...! Untunglah saya sempat berkenalan dengan seorang yang sedang kuliah di sana sehingga dia berbaik hati untuk mengajak saya untuk berkumpul bersama di salah satu apartemen temannya. Berkumpul bersama orang-orang Indonesia juga yang merayakan lebaran sambil makan ketupat dan rendang rasanya luar biasa, paling tidak mengobati rasa rindu saya.

Lebaran kedua tanpa keluarga tahun 2003 di New Zealand, lebih aneh lagi kejadiannya. Hari itu saya di Paihia dan sedang on the way ke Cape Reinga, tempat paling ujung utara negara ini, untuk menginap di sana semalam. Gara-gara ada SMS masuk mengucapkan selamat lebaran, saya jadi tersentak bahwa hari itu seharusnya saya sudah ada di Auckland karena harus terbang ke Christchurch, padahal dari Paihia ke Auckland saja harus 5 jam naik mobil. Buru-buru kami memutar mobil dan ngebut balik ke Auckland. Wih, boro-boro bersedih ria karena tidak berlebaran, sepanjang jalan kami mengutuki kebodohan kami yang tidak ingat hari dan tanggal sambil berdoa tidak ketinggalan pesawat.

Mungkin karena nenek saya sudah meninggal dunia, lebaran keluarga besar ibu saya rasanya jadi hambar dan tidak bermakna lagi. Sudah dua lebaran terakhir, saudara-saudara ibu saya merayakannya di luar negeri. Tiga tahun lalu di Singapura sekalian mengantar sepupu saya yang sekolah di sana. Tahun lalu, seperti yang saya sudah pernah posting, berlebaran di sebuah kolam renang hotel di Kuala Lumpur. Dua tahun lalu sebenarnya merupakan lebaran ketiga tanpa keluarga, ketika saya ada di Wina, Austria. Meskipun saya mempunyai teman yang bekerja di Kedutaan Indonesia di Wina dan mengajak saya berlebaran bersama, tapi hari itu saya memilih untuk pergi ke Salzburg. Entah mengapa rasanya saya jadi malas berbasa-basi.

Tahun 2001 ayah saya meninggal dunia, setelah itu saya baru ‘berani’ traveling pada hari natal setahun kemudian. Ya, natal pertama saya tanpa keluarga, segala yang pertama membuat saya jadi sensitif. Hari itu saya sedang ada di Chiang Mai, Thailand – negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, sehingga berasa suasana natal aja nggak. Saya bertanya kepada resepsion losmen di mana gereja saja mereka tidak tahu. Saya sampai masuk ke hotel mewah untuk menanyakan Church Service, paling tidak mereka bisa berbahasa Inggris dan mungkin jadi pertanyaan standar turis bule di mana ada gereja. Lalu saya diberi alamatnya, katanya hanya 10 menit berjalan kaki. Saya cari ke sana ke mari, sampai akhirnya saya melihat sebuah gedung yang ada tanda salib, tapi plangnya dalam tulisan Thai yang uwel-uwelan pula. Loh, kok kosong? Saya masuk ke dalam halaman, ke bangunan di belakang gereja – bertemulah saya dengan seorang bapak-bapak yang sangat ramah tapi keukeuh ngomong bahasa Thai meski saya cuman mau tanya kebaktian ada jam berapa. Jawabannya, “Jedang-jedung, pak-tok, cing-cung, mok-oy!”. Ampuun! Saya jadi tambah sedih dan merasa bersalah luar biasa. Mana ibu saya kirim SMS untuk mengingatkan saya harus ke gereja lagi. Kedua teman jalan saya (1 beragama Hindu, 1 beragama Islam) menghibur saya dengan mengajak Christmas Dinner bersama di sebuah Food Court karena di tempat itu terlihat ada keramaian dengan pohon natal, lampu-lampu dan hiasan natal. Sambil makan, di panggung ada hiburan dari band-band ga jelas. Lalu ada sekelompok anak-anak kecil Thailand yang akan menyumbangkan koor natal. Mereka semua berpakaian merah dan putih ala Sinterklas. Wah lumayan, saya pikir. Dan bernyanyilah mereka dengan logat yang aneh, “Las klismes, ai gep yu may halt bat de beli nek dey yu gebit eweey...” Huh? Saya berusaha mendengar lagi dengan seksama. Oh rupanya lagu “Last Christmas, I gave you my heart. But the very next day you gave it away… This year to save me from tears, I'll give it to someone special...” Lah, itu kan bukan lagu natal tapi lagu patah hatinya duo Wham!


Friday, January 12, 2007 

Pesta Adat di Tambak Udang

Setelah berjam-jam kehujanan dan kelelahan naik jeepney yang penuh sesak di jalanan off road, akhirnya malam hari kami sampai di Sabang - sebuah desa kecil di Pulau Palawan, Filipina. Penginapan kami berupa rumah panggung dari kayu berdinding gedek beratap rumbia, tidak ada listrik pula. Saya, Nina, dan Jade tidak bisa tidur karena merasa kebosanan, berindit-indit mengikuti suara orang ramai di pinggir pantai. Ternyata mereka adalah sekelompok cowok-cowok Filipin yang sedang kumpul-kumpul sambil minum-minum dan bermain gitar. Jadilah kami berkenalan: ada abang-adik Arthur John dan Arthur James (nggak kreatif amat ortunya kasih nama), Patrick, Kymne, Rubello, dan lain-lain – usia mereka 10 tahun di bawah kami (segerr!). Bergabunglah kami dengan pesta mereka sampai pagi. It was fun! Kami pun bertukar nomer telepon, dan mereka menawarkan untuk bertemu lagi saat kami ke kota asal mereka. Beberapa hari kemudian di Puerto Princessa sebagai balas jasa, kami mentraktir teman-teman baru di restoran ‘Kalui’ yang menurut buku Lonely Planet merupakan restoran terbagus dan termahal di kota itu – mereka masuk dengan malu-malu karena seumur hidup belum pernah ke restoran ini. Dari situ lanjut nongkrong di ‘Kinabuch Cafe’, sekali lagi dengan sombongnya semuanya kami traktir alkohol.

Sebagai balas jasa lagi, mereka mengajak kami menghabiskan malam dengan ‘berpesta adat’ a la geng ABG mereka – yang mereka pun tidak mau menyebutkan apa dan bagaimana. Kami yang lagi tipsy pun pasrah saja ‘diangkut’ naik mobil pick up, kami (sudah setua begini) duduk di bak belakang, jalan-jalan keliling kota sambil ketawa-ketawa, sampai akhirnya jalan berliku naik ke atas perbukitan dengan sekelilingnya perkebunan dan sawah menuju rumah Arthur John dan Arthur James. Rumah tembok bercat putih ini tidak begitu besar, dengan berjinjit takut orang tuanya bangun, kami masuk rumah dan bablas ke pintu belakang. Halaman belakang rumah ini sangat besar dan dikelilingi pepohonan, di tengahnya terlihat ada kolam besar pula, rupanya tambak udang. Kami berjalan melewati jalan setapak berupa pematang, James menyenter sisi kanan pematang... wah, kebun ganja! Kami tertawa senang campur parno. Dengan melalui sebatang pohon, kami dibawa ke tengah tambak dimana ada semacam cottage mengapung di atas tambak Di dalamnya terdapat satu meja besar dengan bangku yang menempel mengelilingi mejanya. Mereka lalu menarik kabel listrik dari rumah utama supaya bisa menyalakan tape dan lampu.

Mereka pun mempersiapkan ’pesta adat’-nya dengan menyediakan sebuah gelas kosong, seember es batu, sebotol Brandy, sebotol iced lemon tea, dan ganja alias cimeng yang sudah dikeringkan hasil budi daya si James. Tidak lupa camilan berupa kripik kentang. Cara ‘pesta adat’-nya adalah: satu per satu secara berkeliling harus menghisap cimeng yang dibakar di dalam pipa, lalu minum Brandy, ditutup dengan minum iced lemon tea. Setelah 3 ritual itu dilakukan, masing-masing harus mengisikan kembali untuk diberikan kepada orang di sebelahnya. Sembari cimeng dan gelas berkeliling, kami pun mengobrol ngalor-ngidul sambil ketawa-ketawa bego. Orang Filipin itu ternyata noraknya sama persis dengan orang Indonesia, bahkan joke-nya pun model ‘plesetan’. Lama-lama kami sudah susah merangkaikan dan mengucapkan kata-kata karena bercampur aduk antara bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Tagalog. Meski di otak mau ngomong bahasa Inggris, yang keluar bahasa Indonesia, jadi harus diterjemahkan lagi ke bahasa Inggris, lalu bahasa Tagalog karena Rubello tidak mengerti bahasa Inggris. Halah, ribet! Lebih susah lagi kalo mau pipis karena harus ke rumah utama, dalam keadaan ‘melayang’ kami harus berjalan melalui pematang yang gelap yang kanan kirinya kolam tambak. Wah! Ketika kami sudah tergolek giting dengan pipi menempel di meja, mereka tetap keukeuh memasukkan pipa ganja dan menuangkan minuman di mulut. Terus menerus begitu. Duh, dunia serasa berputar, tulang terlepas dari sendinya, mata susah melek serasa kelopaknya diganduli batu bata...

Entah jam berapa kami menyudahi pesta lalu berjalan bersusah payah melewati pematang tambak udang sambil bergandengan tangan dan akhirnya mencapai jalan raya. John sudah terkapar tidak sanggup menyupir mobil lagi, Patrick yang masih sadar mengantar kami ke hotel naik tricycle (becak bermotor). Dengan jalan yang berliku menuruni perbukitan dan becak yang terasa berjalan mengambang 5 cm di atas jalan raya - bagaikan naik roller coaster! Dengan merangkak-rangkak kami pun masuk kamar hotel dengan susah payah. Terakhir yang saya ingat, di tengah tidur saya mendengar suara benturan benda keras tapi saya tidak sanggup untuk bangun. Keesokan siangnya kami melihat kening Jade tumbuh benjolan merah akibat kepalanya menabrak tembok kamar ketika ia ingin ke toilet!


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates