Sial atau Tolol?
Cerita sial traveling kebanyakan bermuara karena terlambat datang pada waktu keberangkatan. Ketinggalan pesawat sudah jamak dialami orang yang sering berpergian. Alasan klasik, apalagi kalau bukan karena telat bangun pada penerbangan pagi hari. Saya juga pernah, pas mau ke Manado lagi. Tahun 1998 harga tiketnya saja sejuta rupiah one way hasil nabung mati-matian dan penerbangan hanya ada satu kali sehari, mana tiketnya non refundable lagi! Enaknya naik pesawat dari Jambi, orang jarang telat kecuali tolol banget. “Di sini orang pergi ke bandara setelah lihat pesawat mau mendarat,” kata abang saya, mengingat kota Jambi anti macet dan dekat ke mana-mana. Tinggal nongkrong di teras rumah, mendongakkan kepala, lihat pesawat turun, berangkat ke bandara, check in, dan langsung boarding.
Ada juga faktor luar yang tidak bisa dihindarkan, yaitu macet, apalagi lalu lintas kita tidak dapat diprediksi. Meskipun sudah berangkat beberapa jam sebelumnya, bisa saja stuck di jalan karena macet atau ada kecelakaan. Untuk antisipasi, saya pernah berangkat dari Salatiga 4 jam sebelum keberangkatan naik pesawat terakhir dari Semarang. Tak dinyana jalan macet berat karena ditutup berhubung ada pawai dalam rangka perayaan 17 Agustus-an! Duh, Indonesia banget! Besok paginya saya terpaksa pindah tidur jam 4 pagi di depan loket Garuda untuk go show.
Hebatnya, faktor politik bahkan bisa berpengaruh terhadap keterlambatan. Karena demo mahasiswa tahun 1999, bis Damri ke bandara Soekarno-Hatta yang saya naiki tidak bisa lewat. Akhirnya setelah bersusah payah, bis memutar jalan lewat tol Tanjung Priok. Saya deg-degan setengah mati, masalahnya ini penerbangan internasional ke Paris. Tapi untungnya, semua pesawat hari itu delay karena kru penerbangan juga ikut terlambat.
Selain telat, ada juga karena alasan tolol. Seperti teman saya tidak jadi berangkat ke New Zealand karena dia salah bawa paspor – dia bawa paspor lama yang tentunya sudah kadaluwarsa dan tidak ada bukti visa-nya. Ketololan saya yang paling ‘pol’ ketika saya harus kembali dari Semarang (sepertinya kota ini sering membuat saya sial) ke Jakarta setelah menghadiri pernikahan seorang sahabat. “Tenang aja, kereta berangkat jam 5, pulang jam 5,” kata teman saya yang dititipi beli tiket. Sore hari kami pun pergi ke stasion Tawang lebih cepat sejam untuk jaga-jaga. Anehnya, setengah jam kemudian tidak ada satupun kereta di sana, saya pun bertanya kepada petugasnya, “Pak, kereta ke Jakarta kok belum datang ya?”
“Lho, kereta ke Jakarta sudah berangkat, Mbak,” jawabnya lebih heran lagi.
“Lho, kan keretanya berangkat jam 5. Sekarang baru jam setengah empat, Pak.”
“Lho, keretanya berangkat jam 5 pagi, Mbak, bukan jam 5 sore.”
Lucu, semua kalimat dimulai dengan kata ‘lho’. Lebih lucunya lagi, te-o-el-o-el banget: it's a BIG different between 5 AM and 5 PM!
Saya pernah hampir ‘mati’ gara-gara ketololan saya. Waktu itu saya mengakhiri liburan dan akan pulang ke Jakarta dari bandara Athens (Yunani). Dua jam sebelum keberangkatan pesawat yang jam 15.30, saya sudah sampai di bandara. Setelah urusan check in beres, saya masih punya sejam lagi sebelum boarding jam 14.45. Daripada bosan menunggu di bandara, saya punya ide cemerlang untuk pergi ke toko furniture and accecories IKEA yang tersohor yang tidak jauh dari bandara. Wah, barangnya lucu-lucu dan murah-murah. Tak terasa jam menunjukkan 14.45, saat saya harusnya sudah boarding. Saya lari ke kasir dan jantung saya langsung berhenti melihat antrian yang sangat panjang. Pikiran saya, ke bandara hanya 5 menit naik taksi jadi saya masih bertahan untuk mengantri. Saya berhasil keluar jam 15.00, setengah jam lagi sebelum pesawat berangkat. Tapii... tidak ada taksi! Saya ke bagian Customer Service, dan ia mengatakan bahwa taksi harus dipesan dulu via telepon. 5 menit kemudian baru taksi bisa dihubungi dan dikatakan taksi baru datang dalam 10 menit. Damn! Berkucuran lah keringat dingin saya, apalagi membayangkan saya harus melalui pintu detector, X-Ray, dan imigrasi – belum lagi kalau ada antrian karena ini penerbangan internasional. Kalau saya tidak jadi berangkat saat itu, saya pasti dipecat bos karena saya merapel cuti 3 minggu sekaligus dan penerbangan hanya ada 2 kali seminggu ke Jakarta. Kurang 7 menit sebelum pesawat berangkat, saya baru sampai di bandara. Saya berlari blingsatan mencari gate, terbirit-birit membanting ransel dan periksa paspor di imigrasi. Jam 15.27 saya berhasil masuk pesawat sambil dipelototi ratusan pasang mata yang memandang marah kepada saya. Ffuih!
Ada juga faktor luar yang tidak bisa dihindarkan, yaitu macet, apalagi lalu lintas kita tidak dapat diprediksi. Meskipun sudah berangkat beberapa jam sebelumnya, bisa saja stuck di jalan karena macet atau ada kecelakaan. Untuk antisipasi, saya pernah berangkat dari Salatiga 4 jam sebelum keberangkatan naik pesawat terakhir dari Semarang. Tak dinyana jalan macet berat karena ditutup berhubung ada pawai dalam rangka perayaan 17 Agustus-an! Duh, Indonesia banget! Besok paginya saya terpaksa pindah tidur jam 4 pagi di depan loket Garuda untuk go show.
Hebatnya, faktor politik bahkan bisa berpengaruh terhadap keterlambatan. Karena demo mahasiswa tahun 1999, bis Damri ke bandara Soekarno-Hatta yang saya naiki tidak bisa lewat. Akhirnya setelah bersusah payah, bis memutar jalan lewat tol Tanjung Priok. Saya deg-degan setengah mati, masalahnya ini penerbangan internasional ke Paris. Tapi untungnya, semua pesawat hari itu delay karena kru penerbangan juga ikut terlambat.
Selain telat, ada juga karena alasan tolol. Seperti teman saya tidak jadi berangkat ke New Zealand karena dia salah bawa paspor – dia bawa paspor lama yang tentunya sudah kadaluwarsa dan tidak ada bukti visa-nya. Ketololan saya yang paling ‘pol’ ketika saya harus kembali dari Semarang (sepertinya kota ini sering membuat saya sial) ke Jakarta setelah menghadiri pernikahan seorang sahabat. “Tenang aja, kereta berangkat jam 5, pulang jam 5,” kata teman saya yang dititipi beli tiket. Sore hari kami pun pergi ke stasion Tawang lebih cepat sejam untuk jaga-jaga. Anehnya, setengah jam kemudian tidak ada satupun kereta di sana, saya pun bertanya kepada petugasnya, “Pak, kereta ke Jakarta kok belum datang ya?”
“Lho, kereta ke Jakarta sudah berangkat, Mbak,” jawabnya lebih heran lagi.
“Lho, kan keretanya berangkat jam 5. Sekarang baru jam setengah empat, Pak.”
“Lho, keretanya berangkat jam 5 pagi, Mbak, bukan jam 5 sore.”
Lucu, semua kalimat dimulai dengan kata ‘lho’. Lebih lucunya lagi, te-o-el-o-el banget: it's a BIG different between 5 AM and 5 PM!
Saya pernah hampir ‘mati’ gara-gara ketololan saya. Waktu itu saya mengakhiri liburan dan akan pulang ke Jakarta dari bandara Athens (Yunani). Dua jam sebelum keberangkatan pesawat yang jam 15.30, saya sudah sampai di bandara. Setelah urusan check in beres, saya masih punya sejam lagi sebelum boarding jam 14.45. Daripada bosan menunggu di bandara, saya punya ide cemerlang untuk pergi ke toko furniture and accecories IKEA yang tersohor yang tidak jauh dari bandara. Wah, barangnya lucu-lucu dan murah-murah. Tak terasa jam menunjukkan 14.45, saat saya harusnya sudah boarding. Saya lari ke kasir dan jantung saya langsung berhenti melihat antrian yang sangat panjang. Pikiran saya, ke bandara hanya 5 menit naik taksi jadi saya masih bertahan untuk mengantri. Saya berhasil keluar jam 15.00, setengah jam lagi sebelum pesawat berangkat. Tapii... tidak ada taksi! Saya ke bagian Customer Service, dan ia mengatakan bahwa taksi harus dipesan dulu via telepon. 5 menit kemudian baru taksi bisa dihubungi dan dikatakan taksi baru datang dalam 10 menit. Damn! Berkucuran lah keringat dingin saya, apalagi membayangkan saya harus melalui pintu detector, X-Ray, dan imigrasi – belum lagi kalau ada antrian karena ini penerbangan internasional. Kalau saya tidak jadi berangkat saat itu, saya pasti dipecat bos karena saya merapel cuti 3 minggu sekaligus dan penerbangan hanya ada 2 kali seminggu ke Jakarta. Kurang 7 menit sebelum pesawat berangkat, saya baru sampai di bandara. Saya berlari blingsatan mencari gate, terbirit-birit membanting ransel dan periksa paspor di imigrasi. Jam 15.27 saya berhasil masuk pesawat sambil dipelototi ratusan pasang mata yang memandang marah kepada saya. Ffuih!