Kelas Bisnis Pakai Piring
Saya baru saja terbang dari Jakarta ke Vienna (Austria), naik Emirates Airlines. Pesawat milik negara UAE ini merupakan airlines favorit saya karena alasan sederhana, harganya relatif lebih murah dan pramugaranya ganteng-ganteng. Saat check in saya bela-belain datang duluan supaya dapat request duduk di paling depan sesudah wall karena cuman di deretan kursi kelas ekonomi itulah lumayan membuat nyaman kaki dalam perjalanan panjang berhubung memiliki ruang yang sedikit lebih lega untuk dengkul saya. Sejujurnya sih, sebenarnya saya menghindari duduk di belakang karena suka malu melihat kelakuan para TKI.
Di Singapura, kami transit selama setengah jam untuk terbang ke Colombo dulu. Saya pun memanfaatkannya dengan nongkrong di smoking room. Begitu masuk lagi, boarding pass saya diganti dari warna hijau menjadi warna biru. Saya tidak perduli dan ikut antri masuk pesawat. Di pintu masuk, saya menyerahkan boarding pass dan pramugari menyapa saya kembali, “Hi, welcome back,”. Lalu ia mendekatkan boarding pass saya ke matanya dan berkata lagi, “Wow! You are on business class!” Hah? Saya pun diantar ke pesawat bagian depan pesawat dengan jejeran kursi besar dan nyaman. Yiihaa, ternyata saya di-upgrade ke business class!
Begitu duduk saya ditawari minuman dengan pilihan orange juice, apple juice, champagne, atau bir. 15 menit kemudian saya ditawari berbagai macam wine atau liquor ditemani dengan penganan kacang yang bukan kacang bundar biasa, tapi kacang mede, almond, pistachio, dll. Saya juga diberi hot towel dengan handuk beneran, bukan kain kertas tipis yang bahannya sama dengan sarung bantal kelas ekonomi dan celana dalam disposable. Kartu menu makanan juga terdiri dari berbagai macam pilihan makanan dan minuman, termasuk wine list lengkap dengan sejarahnya. Kursi kelas bisnis memang sangat nyaman, ada extended kursinya dimana kaki bisa selonjor dan reclining seat yang bisa ‘ngejeblak’. Pokoknya kalau mau tidur tidak perlu susah-susah menekuk-nekuk tubuh, tinggal pencet tombol jadilah tempat tidur. Selimutnya besar dan tebal, bantalnya pun terbuat dari bantal beneran berukuran besar dan dibungkus dengan sarung bantal dari kain katun. Untuk menonton di personal TV, saya diberi headset yang terbuat dari kulit, bukan busa keras seperti di kelas ekonomi. Yang paling asik, saya diberi tas kecil berisi perlengkapan kosmetik bermerk Clarins seperti sabun muka, pelembab, pembersih muka, juga pelembab bibir, mouth wash, sisir sikat, tisu Kleenex, parfum kecil merk Bvlgari, sikat gigi travel merk Oral B dan odol mini. Toilet pun sangat nyaman karena bersih dan interiornya terbuat dari marmer.
Makanan disajikan secara table service dan full course, mulai dari salad dengan pilihan dressing, berbagai macam roti hangat, appetizer, main course (dengan porsi besar), buah-buahan mahal, macam-macam keju, coklat, dan terakhir dessert yang tinggal dipilih dari troli. Minuman juga terserah, terdiri dari segala macam jenis minuman keras dan ‘minuman lunak’. Yang membedakan kelas bisnis dan kelas ekonomi adalah tempatnya. I see the real plate! Tidak seperti di kelas ekonomi yang terbuat dari plastik dan stereofoam, di kelas bisnis semua makanan menggunakan piring dan mangkok yang terbuat dari keramik, dan gelas yang beneran terbuat dari gelas. Garpu dan pisau juga serius, terbuat dari perak, bukan plastik. Garam dan lada menggunakan tempat yang juga terbuat dari keramik, bukan dari sachet. Semua makanan dihidangkan panas dan tidak terbungkus alumunium foil atau plastik. Benar-benar serasa makan di restoran fine dining. Sehabis itu saya dengan nyenyaknya tidur di antara orang-orang tua yang berpakaian business suit (sementara saya pakai T-Shirt baseball, celana training, sepatu kets, dan rambut awul-awulan). Satu lagi, hanya di sinilah saya dipanggil dengan ‘Madame xxxxxxxxx’ (nama keluarga saya) setiap mereka menawarkan sesuatu atau mengajak bicara. Wih!
Transit 2 jam di Dubai, saya manfaatkan dengan masuk ke lounge khusus kelas bisnis Emirates. Kucluk-kucluk saya mendaftarkan diri, sampai petugasnya mengerutkan alis karena tak percaya melihat gaya saya yang bukan penumpang kelas bisnis sama sekali. Di situ diberi sarapan gratis a la buffet dengan makanan serius, mulai dari scrambled eggs, bacon, ham, corn flakes, pancakes, macam-macam roti, aneka juice, kue, buah, kopi, you name it. Disediakan juga seperangkat komputer dengan flat screen plus koneksi internet gratis, bisa sambil merokok pula.
Saat boarding, penumpang kelas bisnis lah yang dipersilakan masuk ke pesawat duluan. Saya jadi berasa super star dengan berdiri duluan sambil dipandang oleh ratusan pasang mata orang yang tak percaya.
Maaf, saya memang kampungan. Kalau bukan karena hoki, saya yang backpacker mana mungkin duduk di kelas bisnis pesawat karena tak sanggup bayar. Tak usahlah saya menceritakan mengapa saya tiba-tiba di-upgrade ke business class, nanti judulnya ‘I’m just a lucky bastard part 2’ lage!
Di Singapura, kami transit selama setengah jam untuk terbang ke Colombo dulu. Saya pun memanfaatkannya dengan nongkrong di smoking room. Begitu masuk lagi, boarding pass saya diganti dari warna hijau menjadi warna biru. Saya tidak perduli dan ikut antri masuk pesawat. Di pintu masuk, saya menyerahkan boarding pass dan pramugari menyapa saya kembali, “Hi, welcome back,”. Lalu ia mendekatkan boarding pass saya ke matanya dan berkata lagi, “Wow! You are on business class!” Hah? Saya pun diantar ke pesawat bagian depan pesawat dengan jejeran kursi besar dan nyaman. Yiihaa, ternyata saya di-upgrade ke business class!
Begitu duduk saya ditawari minuman dengan pilihan orange juice, apple juice, champagne, atau bir. 15 menit kemudian saya ditawari berbagai macam wine atau liquor ditemani dengan penganan kacang yang bukan kacang bundar biasa, tapi kacang mede, almond, pistachio, dll. Saya juga diberi hot towel dengan handuk beneran, bukan kain kertas tipis yang bahannya sama dengan sarung bantal kelas ekonomi dan celana dalam disposable. Kartu menu makanan juga terdiri dari berbagai macam pilihan makanan dan minuman, termasuk wine list lengkap dengan sejarahnya. Kursi kelas bisnis memang sangat nyaman, ada extended kursinya dimana kaki bisa selonjor dan reclining seat yang bisa ‘ngejeblak’. Pokoknya kalau mau tidur tidak perlu susah-susah menekuk-nekuk tubuh, tinggal pencet tombol jadilah tempat tidur. Selimutnya besar dan tebal, bantalnya pun terbuat dari bantal beneran berukuran besar dan dibungkus dengan sarung bantal dari kain katun. Untuk menonton di personal TV, saya diberi headset yang terbuat dari kulit, bukan busa keras seperti di kelas ekonomi. Yang paling asik, saya diberi tas kecil berisi perlengkapan kosmetik bermerk Clarins seperti sabun muka, pelembab, pembersih muka, juga pelembab bibir, mouth wash, sisir sikat, tisu Kleenex, parfum kecil merk Bvlgari, sikat gigi travel merk Oral B dan odol mini. Toilet pun sangat nyaman karena bersih dan interiornya terbuat dari marmer.
Makanan disajikan secara table service dan full course, mulai dari salad dengan pilihan dressing, berbagai macam roti hangat, appetizer, main course (dengan porsi besar), buah-buahan mahal, macam-macam keju, coklat, dan terakhir dessert yang tinggal dipilih dari troli. Minuman juga terserah, terdiri dari segala macam jenis minuman keras dan ‘minuman lunak’. Yang membedakan kelas bisnis dan kelas ekonomi adalah tempatnya. I see the real plate! Tidak seperti di kelas ekonomi yang terbuat dari plastik dan stereofoam, di kelas bisnis semua makanan menggunakan piring dan mangkok yang terbuat dari keramik, dan gelas yang beneran terbuat dari gelas. Garpu dan pisau juga serius, terbuat dari perak, bukan plastik. Garam dan lada menggunakan tempat yang juga terbuat dari keramik, bukan dari sachet. Semua makanan dihidangkan panas dan tidak terbungkus alumunium foil atau plastik. Benar-benar serasa makan di restoran fine dining. Sehabis itu saya dengan nyenyaknya tidur di antara orang-orang tua yang berpakaian business suit (sementara saya pakai T-Shirt baseball, celana training, sepatu kets, dan rambut awul-awulan). Satu lagi, hanya di sinilah saya dipanggil dengan ‘Madame xxxxxxxxx’ (nama keluarga saya) setiap mereka menawarkan sesuatu atau mengajak bicara. Wih!
Transit 2 jam di Dubai, saya manfaatkan dengan masuk ke lounge khusus kelas bisnis Emirates. Kucluk-kucluk saya mendaftarkan diri, sampai petugasnya mengerutkan alis karena tak percaya melihat gaya saya yang bukan penumpang kelas bisnis sama sekali. Di situ diberi sarapan gratis a la buffet dengan makanan serius, mulai dari scrambled eggs, bacon, ham, corn flakes, pancakes, macam-macam roti, aneka juice, kue, buah, kopi, you name it. Disediakan juga seperangkat komputer dengan flat screen plus koneksi internet gratis, bisa sambil merokok pula.
Saat boarding, penumpang kelas bisnis lah yang dipersilakan masuk ke pesawat duluan. Saya jadi berasa super star dengan berdiri duluan sambil dipandang oleh ratusan pasang mata orang yang tak percaya.
Maaf, saya memang kampungan. Kalau bukan karena hoki, saya yang backpacker mana mungkin duduk di kelas bisnis pesawat karena tak sanggup bayar. Tak usahlah saya menceritakan mengapa saya tiba-tiba di-upgrade ke business class, nanti judulnya ‘I’m just a lucky bastard part 2’ lage!