Miss Metal Teeth
Sebagai siswa yang kuliah di universitas negeri, kami diwajibkan untuk mengambil mata kuliah Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai pengabdian kepada masyarakat. Saya yang doyan jalan-jalan tentu menyambut baik program ini. Apalagi KKN terkenal sebagai ajang cari jodoh karena menganut falsafah ‘witing tresno jalaran soko kulino’ (menurut saya sih lebih tepat disebut ‘witing tresno jalaran soko ora ono lio’). Biasanya program KKN reguler diadakan di desa terpencil di Pulau Jawa selama 2 bulan, namun saat itu pas universitas mengadakan KKN hasil kerjasama dengan TNI AL dan Departemen Transmigrasi ke Kalimantan Tengah selama sebulan, dan saya terpilih bersama 99 orang mahasiswa/i lainnya.
Bayangkan letak lokasi KKN-nya: kami naik kapal perang AL selama semalam dan tidur terombang-ambing di hammock di dalam kabin yang bau muntah teman-teman yang seasick. Terus naik angkot 2 jam ke kota Pangkalan Bun. Dari situ naik angkot lagi sejam ke pinggir sungai. Terus naik speed boat kecepatan tinggi selama 5 jam di sepanjang sungai Amazon-nya Indonesia. Lanjut lagi naik truk selama 2 jam, baru sampai ke desa kami di Nanga Bulik. Ffuih, rambut saya langsung kayak Ahmad Albar! Meski tidak ada listrik, namun saya langsung betah karena pemandangannya yang indah. Terletak di pinggir hutan, dengan kontur tanah yang berbukit. Udaranya pun segar dengan langit yang jernih, kalau malam dengan jelas terlihat ribuan bintang di langit.
Di desa ini ada 9 orang mahasiswa/i yang ditempatkan di sebuah rumah panggung yang kosong. Kami tidur di lantai papan dimana dinginnya angin malam menembus tulang rusuk melalui celah lubang papan tersebut. Kalau mau menggunakan kamar mandi, airnya harus menimba sendiri di sumur yang berjarak 50 meter di belakang rumah. Karena kondisi alam yang kering, sumur di sini dalam sekali. Saya hitung, begitu menceburkan ember ke dalam sumur sampai terangkat kembali, sama lamanya dengan menyanyikan full lagu Indonesia Raya, dan pas bait lagu terakhir ‘Hiduplah Indonesia Raya...’ saat itulah ember mentok di atas kerekan persis seperti upacara bendera. Kebayang kan kalau pas kebelet tapi harus menimba dulu?
Setiap hari kami disediakan makan oleh istri Pak Lurah. Lauknya tak lain tak bukan adalah gabungan antara ikan sarden kaleng dan mie instan: sarden kuah, sarden goreng, mie kuah, mie goreng. Makan borju bagi kami adalah saat si Ibu berhasil menangkap ayam hutan - itupun kami sebut ‘ayam atlet’ saking alotnya itu daging mungkin karena ayamnya kebanyakan lari marathon di hutan belantara. Suatu kali kami pernah pesta makan daging non-ayam saat salah satu orang Dayak di situ berhasil berburu babi hutan. Untungnya saya boleh makan daging yang bersertifikat ‘100% haram’ dari MUI ini.
Selain menyelenggarakan program penyuluhan dan administrasi desa, kami juga mengajar di SMP lokal dan saya memilih untuk mengajar Bahasa Inggris. Kasihan guru di sana, satu guru harus mengajar 2 – 3 kelas. Yang paling kasihan sekaligus lucu, saat istirahat keluar main dan harus masuk lagi, guru-guru SD harus kejar-kejaran ke dalam hutan sambil membunyikan bel sekolah dan berteriak, “Hayoo anak-anak, masuk, masuk...” sementara anak-anak muridnya berlarian di tengah hutan bahkan ada yang bersembunyi di atas pohon.
Karena saya hobinya jalan-jalan, saya berusaha mendekati Pak Camat karena dia satu-satunya yang punya motor trail - cocok untuk kondisi jalan hutan belantara yang rusak berat karena banyaknya truk logging lewat. Saya mengajak teman lelaki saya (yang merupakan target program ‘witing tresno’ saya) untuk berjalan-jalan ke desa-desa sebelah. Dari yang tadinya kami naik motor, sampai akhirnya kami sendiri yang harus menggendong motor karena jalannya putus!
Jalan-jalan di desa sendiri juga sering kami lakukan sekalian bersosialisasi. Sialnya, semua anak kecil di situ selalu menangis ketakutan setiap melihat wujud saya karena saya memakai behel. Bahkan ibu-ibunya sengaja menjadikan saya sebagai obat ampuh untuk membuat anak-anaknya mau makan dengan ancaman, “Awas kalau kamu ndak mau makan, ntar ibu panggilin Mbak Gigi Besi lho!” (mungkin saya dianggap seperti si Jaws dalam film James Bond).
Malam terakhir, para tetua desa mengatakan bahwa kebiasaan farewel party di sana adalah dengan minum anggur bersama. Saya pun patungan dengan teman-teman untuk membeli Anggur Cap Orang Tua (pertama dan terakhir saya minum ini). Mulanya kami pesta ayam (atlet) bakar, lanjut dengan minum-minum, dan gitaran sampai pagi. Beberapa jam kemudian kami pun pulang naik truk. Semua orang sedesa berjejer dan menyalami kami sambil bertangis-tangisan. Anak-anak SMP mendadahi saya, “Good byeee, Miss! We miss you, Miss! We love you, Miss Metal Teeth!”
(dedicated to my big family in Nanga Bulik, miss y’all a lot!)
Bayangkan letak lokasi KKN-nya: kami naik kapal perang AL selama semalam dan tidur terombang-ambing di hammock di dalam kabin yang bau muntah teman-teman yang seasick. Terus naik angkot 2 jam ke kota Pangkalan Bun. Dari situ naik angkot lagi sejam ke pinggir sungai. Terus naik speed boat kecepatan tinggi selama 5 jam di sepanjang sungai Amazon-nya Indonesia. Lanjut lagi naik truk selama 2 jam, baru sampai ke desa kami di Nanga Bulik. Ffuih, rambut saya langsung kayak Ahmad Albar! Meski tidak ada listrik, namun saya langsung betah karena pemandangannya yang indah. Terletak di pinggir hutan, dengan kontur tanah yang berbukit. Udaranya pun segar dengan langit yang jernih, kalau malam dengan jelas terlihat ribuan bintang di langit.
Di desa ini ada 9 orang mahasiswa/i yang ditempatkan di sebuah rumah panggung yang kosong. Kami tidur di lantai papan dimana dinginnya angin malam menembus tulang rusuk melalui celah lubang papan tersebut. Kalau mau menggunakan kamar mandi, airnya harus menimba sendiri di sumur yang berjarak 50 meter di belakang rumah. Karena kondisi alam yang kering, sumur di sini dalam sekali. Saya hitung, begitu menceburkan ember ke dalam sumur sampai terangkat kembali, sama lamanya dengan menyanyikan full lagu Indonesia Raya, dan pas bait lagu terakhir ‘Hiduplah Indonesia Raya...’ saat itulah ember mentok di atas kerekan persis seperti upacara bendera. Kebayang kan kalau pas kebelet tapi harus menimba dulu?
Setiap hari kami disediakan makan oleh istri Pak Lurah. Lauknya tak lain tak bukan adalah gabungan antara ikan sarden kaleng dan mie instan: sarden kuah, sarden goreng, mie kuah, mie goreng. Makan borju bagi kami adalah saat si Ibu berhasil menangkap ayam hutan - itupun kami sebut ‘ayam atlet’ saking alotnya itu daging mungkin karena ayamnya kebanyakan lari marathon di hutan belantara. Suatu kali kami pernah pesta makan daging non-ayam saat salah satu orang Dayak di situ berhasil berburu babi hutan. Untungnya saya boleh makan daging yang bersertifikat ‘100% haram’ dari MUI ini.
Selain menyelenggarakan program penyuluhan dan administrasi desa, kami juga mengajar di SMP lokal dan saya memilih untuk mengajar Bahasa Inggris. Kasihan guru di sana, satu guru harus mengajar 2 – 3 kelas. Yang paling kasihan sekaligus lucu, saat istirahat keluar main dan harus masuk lagi, guru-guru SD harus kejar-kejaran ke dalam hutan sambil membunyikan bel sekolah dan berteriak, “Hayoo anak-anak, masuk, masuk...” sementara anak-anak muridnya berlarian di tengah hutan bahkan ada yang bersembunyi di atas pohon.
Karena saya hobinya jalan-jalan, saya berusaha mendekati Pak Camat karena dia satu-satunya yang punya motor trail - cocok untuk kondisi jalan hutan belantara yang rusak berat karena banyaknya truk logging lewat. Saya mengajak teman lelaki saya (yang merupakan target program ‘witing tresno’ saya) untuk berjalan-jalan ke desa-desa sebelah. Dari yang tadinya kami naik motor, sampai akhirnya kami sendiri yang harus menggendong motor karena jalannya putus!
Jalan-jalan di desa sendiri juga sering kami lakukan sekalian bersosialisasi. Sialnya, semua anak kecil di situ selalu menangis ketakutan setiap melihat wujud saya karena saya memakai behel. Bahkan ibu-ibunya sengaja menjadikan saya sebagai obat ampuh untuk membuat anak-anaknya mau makan dengan ancaman, “Awas kalau kamu ndak mau makan, ntar ibu panggilin Mbak Gigi Besi lho!” (mungkin saya dianggap seperti si Jaws dalam film James Bond).
Malam terakhir, para tetua desa mengatakan bahwa kebiasaan farewel party di sana adalah dengan minum anggur bersama. Saya pun patungan dengan teman-teman untuk membeli Anggur Cap Orang Tua (pertama dan terakhir saya minum ini). Mulanya kami pesta ayam (atlet) bakar, lanjut dengan minum-minum, dan gitaran sampai pagi. Beberapa jam kemudian kami pun pulang naik truk. Semua orang sedesa berjejer dan menyalami kami sambil bertangis-tangisan. Anak-anak SMP mendadahi saya, “Good byeee, Miss! We miss you, Miss! We love you, Miss Metal Teeth!”
(dedicated to my big family in Nanga Bulik, miss y’all a lot!)