Menunggu = Makan

Lucunya kalau kita bepergian dengan orang yang mempunyai kartu kredit berbeda, seringkali saya dan teman menunggu di lounge yang berbeda karena saya mempunyai kartu Standard Chartered dan dia punya Citibank. Kalau tidak ingin ‘berpisah’ silakan salah satu yang tidak mempunyai kartu kredit yang cocok membayar Rp 50.000,- sebagai charge masuk. Kalau Anda cukup nekat, cek orang yang akan masuk ke lounge dan membuka dompetnya. Kalau ada deretan bermacam kartu kredit apalagi yang berwarna emas, mintalah tolong, “Pak, teman saya tidak punya kartu kredit tapi mau masuk sama saya, boleh saya pinjam satu kartu Bapak?” Waktu itu sih saya berhasil, mungkin lagi hoki aja nemu bapak-bapak yang baik. Bila trik itu tidak berhasil, pilihan terakhir adalah silakan punya bermacam-macam jenis kartu kredit sehingga bisa punya banyak pilihan.
Nah, bagaimana bila kita tidak mempunyai kartu kredit? Restoran di airport menjadi pilihan. Saya sampai eneg. Bila sedang menunggu di Soekarno-Hatta Terminal 2 maka saya akan nongkrong di McDonald’s. Bila di Terminal 1 ya ke AW. Meskipun harga di fast food tersebut lebih mahal, paling tidak rasanya sesuai ekspektasi. Saya jadi ingat iklan salah satu fast food di Indonesia, bila ada iklan promosi paket pasti ada tanda bintang yang berisi keterangan dengan tulisan kecil-kecil di bagian paling bawah iklan ‘harga tidak berlaku di bandara’.

Pengalaman yang paling buruk bisa jadi kalau Anda harus menunggu lamaa sekali di airport pada malam hari dimana semua restoran sudah tutup. Saya pernah tertahan sepuluh jam di Soekarno-Hatta karena sistem menara pengontrolnya down (hebat sekali ya Indonesia!). Mau pulang tanggung karena saat itu musim liburan dan tidak ada pesawat lain yang tersedia sampai 2 hari berikutnya. Padahal, ada meeting penting yang harus saya hadiri keesokan harinya. Yang saya lakukan, sama seperti ratusan calon penumpang lain, adalah tidur di lantai. Ingat, airport ini tidak ada karpetnya, duh, punggung rasanya semriwing berat! Deretan ratusan orang tidur di lantai airport persis kayak pengungsi kena tsunami. Kami pun tidak pernah tau kapan pesawat akan berangkat karena papan jadwal elektroniknya pun mati. Bila salah satu pesawat akhirnya jadi berangkat, ada petugas khusus yang mendatangi calon penumpang, dia mengguncang-guncangkan badan kita sambil membangunkan, “Pak, Bu, bangun... bangun... pesawat ke Surabaya sudah mau berangkat sekarang.”