Terjun dari Monas
Anda termasuk orang yang takut ketinggian? Tidak perlu malu. Sebab menurut survey yang diadakan oleh Fear Factor di channel TV AXN Asia, sekitar 40% pemirsa di Asia takut akan ketinggian. Perasaan takut ketinggian ini menempati urutan pertama dibandingkan rasa takut yang lain, seperti takut kecoa, takut laba-laba, atau takut hantu. Buat saya sih terjun dari ketinggian justru merupakan pengalaman yang sangat seru daripada makan kecoa hidup! Perasaan deg-degan dan gemetaran itu terasa lebih mengasikkan dibandingkan dengan perasaan jijik dan bau. Takut sih wajar, saya aja orang yang paling nekat dan gila ternyata ciut juga sebelum terjun, namun bagaimana mengatasi ketakutan itulah yang terpenting.
Dari dulu saya bercita-cita untuk bungy jump pertama kali di New Zealand – negara pelopor bungy jump di dunia, selain karena pengalaman pertama harus yang paling oke, paling tidak dari segi keamanan lebih terjamin. Kesempatan itu datang saat saya liburan bulan Desember 2003 di Queenstown, kota di selatan New Zealand yang terkenal dengan sebutan ‘mecca for bungy jumpers’. Di hostel Deco Backpackers tempat saya menginap terdapat brosur AJ Hackett, pelopor operator bungy, dimana terdapat 3 pilihan trip ‘terjun’ yaitu dari Kawarau Bridge (jembatan tempat bungy komersial pertama di dunia dengan ketinggian 43m), Ledge Bungy (47m), dan Nevis Highwire (134m). Adrenalin saya langsung memuncak dan segera memutuskan untuk ambil bungy yang tertinggi di negara ini dan di seluruh Australasia, yaitu Nevis Highwire dengan ketinggian 134 meter atau 440 feet! Hmm, 134 meter itu setinggi apa ya? Hah, setinggi Monas, bo! Mampuz ga lo! Ngebayanginnya aja udah bikin deg-degan sendiri.
Jam 10.30 pagi kita mendaftarkan diri di kantor AJ Hackett, ditimbang berat badan, dan dikasih tag yang diikat di tangan dengan tulisan angka hasil timbangan. Jam 11 kita dinaikkan ke Mini Bus 4WD isi 18 orang untuk menuju lokasi bungy yang terletak 32 km dari pusat kota Queenstown. Di dalam bis semua orang stres berat, udah kayak kambing mau disembelih. Ada yang merokok ga brenti-brenti, ada yang nyanyi-nyanyi keras, ada yang terdiam pucat sambil berpegangan tangan dengan temannya, ada yang berdoa keras-keras, bahkan ada yang manggil-manggil mamanya! Setengah jam kemudian mampirlah di Kawarua Bridge, tempat bungy yang ‘cuma’ setinggi 43 m. Melihat orang-orang dengan muka stres terjun dari jembatan bikin kita tambah stres! Dari situ bis bergerak di jalanan offroad melewati pinggiran tebing menuju ke atas gunung... makin lama makin tinggi sampai ke puncak. Huaa...tambah stres! Lalu kita diberikan training singkat dan dipakaikan harness dan carabiner untuk keamanan. Setelah itu naik cable car kecil - tanpa dinding dan atap - melewati wire (kabel) yang terbentang sepanjang 380 meter di antara 2 gunung. Terlihat lah lembah yang mengecil ke bawah seperti kerucut terbalik dengan sungai Nevis yang biru. Di tengah-tengah rentangan kabel ada ‘bangunan’ kecil dengan lantai yang terbuat dari kaca sehingga kita bisa melihat orang terjun dan dasar sungai yang jauuuuuh banget.
Baru saja cable car saya sampai, tahu-tahu nama saya dipanggil. Saya? “Yes, you!” Lah! Rupanya urutan siapa yang terjun duluan ditentukan dari berat badan dari yang paling berat sampai yang paling ringan (sialan, saya termasuk gendut!), padahal tadi saya sengaja berangkat belakangan supaya bisa melihat ‘korban’ awal. Dengan pasrah pergelangan kaki saya dibungkus dengan padding, kemudian didudukkan di kursi untuk pengikatan tali bungy khusus yang terbuat dari rubber latex, lalu dituntun berdiri di pinggir platform menghadap jurang. Saya melihat ke bawah...mampuz, tinggi banget! Lutut saya terasa lemaass dan saya bisa mendengar detak jantung sendiri yang terdengar seperti suara dentuman. Si instruktur berteriak, “Three...two...one...Go!” Tapi saya malah menarik bajunya karena belum siap mental. Saya pun dibujuk-bujuk lagi. Dihitung ulang lagi, “Three...two...one...GO!” Saya pun terjun dengan tangan terbuka... melayang... isi perut rasanya naik ke tenggorokan... tapi kok ga nyampe-nyampe... sesak napas...sampai tiba-tiba saya tersentak dan memantul lagi ke atas... naik... tinggiii... saya pun baru bisa teriak, “YIIHAAA!”. Saat itulah saya menarik tali kecil di kiri dan ZIING... saya berubah posisi dari kepala di bawah jadi posisi duduk dan terlempar ke atas ke bawah 3 kali lalu berhenti, baru saya perlahan dikatrol dari ‘bangunan’ yg menggantung di kabel. Huaaah, leganya! It wasn’t that scary though! Hehe!
Well, rasa takut itu hanya datang pada saat sebelum terjun kok. First step is always the hardest, tapi setelahnya akan terbayar! Dengan sombongnya saya lalu bikin target: ikutan bungy jump tertinggi di dunia yaitu di Macao setinggi 233 meter! Ada yang berminat pergi sama saya?
Dari dulu saya bercita-cita untuk bungy jump pertama kali di New Zealand – negara pelopor bungy jump di dunia, selain karena pengalaman pertama harus yang paling oke, paling tidak dari segi keamanan lebih terjamin. Kesempatan itu datang saat saya liburan bulan Desember 2003 di Queenstown, kota di selatan New Zealand yang terkenal dengan sebutan ‘mecca for bungy jumpers’. Di hostel Deco Backpackers tempat saya menginap terdapat brosur AJ Hackett, pelopor operator bungy, dimana terdapat 3 pilihan trip ‘terjun’ yaitu dari Kawarau Bridge (jembatan tempat bungy komersial pertama di dunia dengan ketinggian 43m), Ledge Bungy (47m), dan Nevis Highwire (134m). Adrenalin saya langsung memuncak dan segera memutuskan untuk ambil bungy yang tertinggi di negara ini dan di seluruh Australasia, yaitu Nevis Highwire dengan ketinggian 134 meter atau 440 feet! Hmm, 134 meter itu setinggi apa ya? Hah, setinggi Monas, bo! Mampuz ga lo! Ngebayanginnya aja udah bikin deg-degan sendiri.
Jam 10.30 pagi kita mendaftarkan diri di kantor AJ Hackett, ditimbang berat badan, dan dikasih tag yang diikat di tangan dengan tulisan angka hasil timbangan. Jam 11 kita dinaikkan ke Mini Bus 4WD isi 18 orang untuk menuju lokasi bungy yang terletak 32 km dari pusat kota Queenstown. Di dalam bis semua orang stres berat, udah kayak kambing mau disembelih. Ada yang merokok ga brenti-brenti, ada yang nyanyi-nyanyi keras, ada yang terdiam pucat sambil berpegangan tangan dengan temannya, ada yang berdoa keras-keras, bahkan ada yang manggil-manggil mamanya! Setengah jam kemudian mampirlah di Kawarua Bridge, tempat bungy yang ‘cuma’ setinggi 43 m. Melihat orang-orang dengan muka stres terjun dari jembatan bikin kita tambah stres! Dari situ bis bergerak di jalanan offroad melewati pinggiran tebing menuju ke atas gunung... makin lama makin tinggi sampai ke puncak. Huaa...tambah stres! Lalu kita diberikan training singkat dan dipakaikan harness dan carabiner untuk keamanan. Setelah itu naik cable car kecil - tanpa dinding dan atap - melewati wire (kabel) yang terbentang sepanjang 380 meter di antara 2 gunung. Terlihat lah lembah yang mengecil ke bawah seperti kerucut terbalik dengan sungai Nevis yang biru. Di tengah-tengah rentangan kabel ada ‘bangunan’ kecil dengan lantai yang terbuat dari kaca sehingga kita bisa melihat orang terjun dan dasar sungai yang jauuuuuh banget.
Baru saja cable car saya sampai, tahu-tahu nama saya dipanggil. Saya? “Yes, you!” Lah! Rupanya urutan siapa yang terjun duluan ditentukan dari berat badan dari yang paling berat sampai yang paling ringan (sialan, saya termasuk gendut!), padahal tadi saya sengaja berangkat belakangan supaya bisa melihat ‘korban’ awal. Dengan pasrah pergelangan kaki saya dibungkus dengan padding, kemudian didudukkan di kursi untuk pengikatan tali bungy khusus yang terbuat dari rubber latex, lalu dituntun berdiri di pinggir platform menghadap jurang. Saya melihat ke bawah...mampuz, tinggi banget! Lutut saya terasa lemaass dan saya bisa mendengar detak jantung sendiri yang terdengar seperti suara dentuman. Si instruktur berteriak, “Three...two...one...Go!” Tapi saya malah menarik bajunya karena belum siap mental. Saya pun dibujuk-bujuk lagi. Dihitung ulang lagi, “Three...two...one...GO!” Saya pun terjun dengan tangan terbuka... melayang... isi perut rasanya naik ke tenggorokan... tapi kok ga nyampe-nyampe... sesak napas...sampai tiba-tiba saya tersentak dan memantul lagi ke atas... naik... tinggiii... saya pun baru bisa teriak, “YIIHAAA!”. Saat itulah saya menarik tali kecil di kiri dan ZIING... saya berubah posisi dari kepala di bawah jadi posisi duduk dan terlempar ke atas ke bawah 3 kali lalu berhenti, baru saya perlahan dikatrol dari ‘bangunan’ yg menggantung di kabel. Huaaah, leganya! It wasn’t that scary though! Hehe!
Well, rasa takut itu hanya datang pada saat sebelum terjun kok. First step is always the hardest, tapi setelahnya akan terbayar! Dengan sombongnya saya lalu bikin target: ikutan bungy jump tertinggi di dunia yaitu di Macao setinggi 233 meter! Ada yang berminat pergi sama saya?