« Home | C-130, S-58, CN-235, ATR-42, LET 410 UVP-E... » | Taksi, Tram, Bis, atau Ojek? » | Gotham City? » | Menunggu = Makan » | 'Dipalak' di Tabung Kaca Berasap » | Distrik Lampu Merah » | Manfaat Teman (Nemu di) Jalan » | Becak di Landasan Pesawat » | Terjun dari Monas » | Berkelana di Toilet »

Saturday, September 24, 2005

Terkutuklah Edinburgh

Edinburgh, Scotland, Februari 1995

Pergi ke kota ini tidak direncanakan. Saat saya berlibur di London, tiba-tiba saja salah seorang teman saya memberikan surprise dengan menghadiahi tiket pesawat pulang pergi ke Edinburgh. Saking surprise-nya, tiket diberikan 2 jam sebelum keberangkatan! Siapa yang menolak coba? Meski agak panik juga karena sama sekali tidak ada persiapan, tidak tahu mau ke mana, menginap di mana, dan naik apa.

Begitu pesawat British Airways mendarat siang hari, kesialan pertama terjadi: saya kehilangan topi baseball kesayangan yang tertinggal di pesawat. Sampai di tengah kota, saya mendapat hostel yang ternyata butut banget yang sangat tidak sesuai dengan promosi di brosur. Sorenya saya terkunci lama di dalam mall karena tidak tahu bahwa mall tutup jam 5 sore dan saya sedang ada di toilet. Malamnya di restoran Burger King, saya ditangkap 3 orang security dengan badan segede kulkas karena disangka ngeganja, padahal saya merokok Gudang Garam! Fuih…serangan bertubi-tubi menyerang saya di kota Edinburgh hanya dalam beberapa jam.

Karena buta mengenai kota ini, besoknya saya berencana ikut tour ke sebuah danau yang konon masih ada monster raksasa yang menyeramkan bernama Loch Ness. Saya pun pergi ke Tourist Information Office di Waverley Market dan mencari brosur sambil berpikir keras memilih salah satu paket yang paling terjangkau dompet. Saya lalu mengantri di depan loket pemesanan paket tour yang dijaga oleh seorang ibu berkulit putih berumur sekitar 40an dengan rambut warna keemasan yang digelung a la french twist dan pakaian yang rapih.

Di depan antrian ada 5 orang, persis di depan saya ada seorang cewek Jepang. Begitu giliran si Jepang, si ibu petugas loket tidak memandang muka si Jepang ini sama sekali. Si ibu kebanyakan menjawab “No” sambil menatap langit-langit pura-pura budeg akan apa yang dikatakan si Jepang. Saya pun mendekat, mau nguping apa yang mereka bicarakan. Oh rupanya paket tour sudah habis, tapi muka si Jepang terlihat begitu sedih bahkan hampir menangis.

Giliran saya pun tiba. Dengan sopannya saya menanyakan paket tour sambil menunjuk brosur. Begitu saya memandang si ibu, hah, si ibu juga memandang langit-langit sambil berkata dengan intonasi datar, “No tour today.” Saya menanyakan lagi paket tour lain yang juga ke Loch Ness. Dengan gaya yang sama si ibu juga menjawab, “No,” dengan nada yang tambah tinggi. Saking kesalnya saya menunjuk beberapa paket tour yang makin lama makin mahal, penasaran sama reaksi si ibu keparat ini. Dia pun menjawab dengan nada yang tinggi, “I said NO tour today!

Saya pikir karena dia marah, dia akan memandang saya, ga taunya dia tetap memandang langit-langit! Saya pun berjalan melengos sambil melihat si ibu dengan ekor mata saya. Saya melihat si ibu mengambil kain dan berkali-kali melap meja tempat saya menopangkan tangan! Sialan, memangnya saya bervirus membahayakan apa?!

Saya pun ngumpet di balik rak brosur, pengen tahu apa yang akan dilakukan si ibu terhadap 1 cewek bule yang mengantri di belakang saya. Hah? Raut muka si ibu tiba-tiba berubah menjadi sangat manis dan penuh senyum, menunjuk-nunjuk brosur, menerangkan tempat-tempat yang akan dikunjungi, dan akhirnya cewek bule ini membayar tour yang sama seperti yang saya inginkan! Darah saya langsung mendidih. Apalagi antrian berikutnya yang semuanya bule dilayani dengan baik dan ramah, ada eye contact, tanpa lap meja.

Saya segera beranjak ke luar, mau merokok untuk menenangkan diri. Tadaaa, saya melihat beberapa mini bus yang sedang parkir dengan nama Tour Operator dan paket yang saya ingin ikuti. Tour guide-nya membenarkan bahwa mereka akan pergi tour ke Loch Ness, ia bahkan mengatakan, “We have lots of empty seats here.” APA?

Saya langsung merepet panjang menceritakan bahwa si ibu keparat di dalam bilang tidak ada tour hari ini bla bla bla… sampai akhirnya saya baru sadar bahwa saya terkena diskriminasi rasial! Suatu kata yang selama ini saya bayangkan hanya terjadi pada orang kulit putih yang merasa superior terhadap kulit hitam pada masa perbudakan. Saya pun segera menelepon British Airways untuk mengganti tanggal kepulangan ke London. Secepatnya

Catatan: Tidak semua Scottish itu racist. Saya punya beberapa teman Scottish kok. Dan mereka tidak racist.


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|