C-130, S-58, CN-235, ATR-42, LET 410 UVP-E...
Naik pesawat terbang jenis Fokker, Boeing, atau Airbus, dengan kapasitas tempat duduk lebih dari 100-an orang sudah biasa. Pernahkah Anda terbang naik pesawat non komersial atau bahkan naik pesawat kecil berbaling-baling? Wah, seru banget!
Tahun 1983 kami naik Hercules C-130, pesawat kargonya TNI AU, karena belum ada pesawat komersial yang terbang ke Dili, Timor Timur. Naik Hercules serasa naik angkot karena duduknya hadap-hadapan. Tempat duduknya bukan berbentuk jok, tapi semacam hammock panjang menempel di sepanjang pinggiran pesawat sehingga duduknya ‘enjot-enjotan’ seirama dengan goncangan pesawat. Jendelanya kecil-kecil dan susah untuk melihat apa-apa karena harus berbalik badan 180 derajat. Di tengah alley adalah tempat menaruh barang-barang, ada meriam, container, koper, sampai burung. WC-nya digantung sehingga kalau mau pipis (jangan harap bisa buang air besar) dikatrol ke bawah lalu ditutupi terpal.
Peraturan naik Hercules: penumpang tidak boleh tahu rute terbang, yang penting sampai di tujuan akhir - jadi bisa saja sampai cepat, atau memakan waktu seharian karena kebanyakan mampir. Saking rahasianya, pas mendarat baru bisa tahu sedang ada di mana – pernah kami ‘nyasar’ mampir ke Pulau Natuna!
Dari Dili ke Los Palos, kota paling Timur propinsi Timor Timur saat itu juga belum ada akses melalui jalan darat - jadilah kami naik helicopter untuk pertama kali. Naik helicopter jenis Twin Pack S-58 tidak mengerikan sih, cuman berisiknya mengalahkan naik bajaj. Yang paling mengerikan justru saat turun dari helicopter: sampai-sampai saya merayap di tanah saking takutnya kalau saya berjalan tegak kepala saya bakal ditebas baling-baling helicopter yang masih berputar kencang.
Pertama kali saya naik pesawat kecil tahun 1991 dari Denpasar ke Mataram dengan Merpati jenis Twin Otter DHC-6 buatan Canada yang kapasitasnya 18 seats. Naik pesawat kecil itu goncangannya lumayan berasa, serasa naik mobil Ceria yang dibalap sama bis kota, suka tiba-tiba ‘ngesot’. Pengalaman pertama itu selalu bikin deg-degan, apalagi sahabat yang duduk di sebelah saya phobia naik pesawat jadi tambah bikin saya senewen.
Pengalaman kedua naik pesawat kecil terjadi 13 tahun kemudian dari Balikpapan ke Tanjung Redeb. Pesawat tua milik Kal Star jenis ATR-42 buatan Perancis ini lumayan besar dengan 48 seats. Rasanya tetap deg-degan, apalagi semakin tua saya jadi semakin ‘parno’. Pas take-off, pesawat terasa berat bak kelebihan bobot, suaranya pun meraung-raung seakan-akan mesinnya mau meledak. Pas landing, pesawat terbang rendah melewati sungai lebar dan oleng-oleng. Fuih!
Paling sering saya naik pesawat kecil berbaling-baling saat liburan di Filipina tahun lalu. Pesawat domestik South East Asian Airlines (SEAIR) sebagian besar jenisnya LET 410 UVP-E buatan Ceko yang isinya cuman 17 seats. Tempat duduknya sangat nyaman, kayak jok Recaro di mobil balap. Pilotnya membuka jendela sambil nangkringin sikunya kayak supir bis. Tidak ada pramugari, tidak ada peragaan keselamatan – si pilot hanya berkata, “In case of emergency, please take a life jacket located under your seat. You know how to use it, right?”.
Pesawat paling kecil yang pernah saya tumpangi adalah jenis Cessna 172 milik Kura-Kura Aviation, saat saya terbang dari Semarang ke Pulau Karimun Jawa bulan Februari lalu. Isinya 4 seats termasuk supir, eh pilot. Jadi serasa naik mobil terbang dengan setir kiri, saya duduk di kanan pilot, di belakang duduk kedua teman saya. Enak juga bisa ngobrol-ngobrol sama pilotnya, bahkan saya diajarin cara nyupirin pesawat. Gampang, tinggal pegang setir pesawat, dorong sedikit setirnya maka pesawat akan turun, tarik ke atas maka pesawat akan naik, dengan catatan harus pelan-pelan kalau tidak mau pesawat menukik tajam. Pandangan kita bukan ke depan kaca seperti naik mobil, namun lihat ke panel di dashboard dimana kita harus kontrol jalannya pesawat berdasarkan petunjuk tersebut.
Di tengah jalan, Albert, si pilot yang ternyata mantan pilot pesawat tempur AURI menawarkan, “Mau nyobain manuver ngga?”. Tentu saya mengiyakan. Tiba-tiba saja pesawat ‘digas’ kencang, naik tinggi dan berbelok menukik. Huek, saya langsung mual melihat garis horison bumi menjadi vertikal dan langit berada di bawah!
Tahun 1983 kami naik Hercules C-130, pesawat kargonya TNI AU, karena belum ada pesawat komersial yang terbang ke Dili, Timor Timur. Naik Hercules serasa naik angkot karena duduknya hadap-hadapan. Tempat duduknya bukan berbentuk jok, tapi semacam hammock panjang menempel di sepanjang pinggiran pesawat sehingga duduknya ‘enjot-enjotan’ seirama dengan goncangan pesawat. Jendelanya kecil-kecil dan susah untuk melihat apa-apa karena harus berbalik badan 180 derajat. Di tengah alley adalah tempat menaruh barang-barang, ada meriam, container, koper, sampai burung. WC-nya digantung sehingga kalau mau pipis (jangan harap bisa buang air besar) dikatrol ke bawah lalu ditutupi terpal.
Peraturan naik Hercules: penumpang tidak boleh tahu rute terbang, yang penting sampai di tujuan akhir - jadi bisa saja sampai cepat, atau memakan waktu seharian karena kebanyakan mampir. Saking rahasianya, pas mendarat baru bisa tahu sedang ada di mana – pernah kami ‘nyasar’ mampir ke Pulau Natuna!
Dari Dili ke Los Palos, kota paling Timur propinsi Timor Timur saat itu juga belum ada akses melalui jalan darat - jadilah kami naik helicopter untuk pertama kali. Naik helicopter jenis Twin Pack S-58 tidak mengerikan sih, cuman berisiknya mengalahkan naik bajaj. Yang paling mengerikan justru saat turun dari helicopter: sampai-sampai saya merayap di tanah saking takutnya kalau saya berjalan tegak kepala saya bakal ditebas baling-baling helicopter yang masih berputar kencang.
Pertama kali saya naik pesawat kecil tahun 1991 dari Denpasar ke Mataram dengan Merpati jenis Twin Otter DHC-6 buatan Canada yang kapasitasnya 18 seats. Naik pesawat kecil itu goncangannya lumayan berasa, serasa naik mobil Ceria yang dibalap sama bis kota, suka tiba-tiba ‘ngesot’. Pengalaman pertama itu selalu bikin deg-degan, apalagi sahabat yang duduk di sebelah saya phobia naik pesawat jadi tambah bikin saya senewen.
Pengalaman kedua naik pesawat kecil terjadi 13 tahun kemudian dari Balikpapan ke Tanjung Redeb. Pesawat tua milik Kal Star jenis ATR-42 buatan Perancis ini lumayan besar dengan 48 seats. Rasanya tetap deg-degan, apalagi semakin tua saya jadi semakin ‘parno’. Pas take-off, pesawat terasa berat bak kelebihan bobot, suaranya pun meraung-raung seakan-akan mesinnya mau meledak. Pas landing, pesawat terbang rendah melewati sungai lebar dan oleng-oleng. Fuih!
Paling sering saya naik pesawat kecil berbaling-baling saat liburan di Filipina tahun lalu. Pesawat domestik South East Asian Airlines (SEAIR) sebagian besar jenisnya LET 410 UVP-E buatan Ceko yang isinya cuman 17 seats. Tempat duduknya sangat nyaman, kayak jok Recaro di mobil balap. Pilotnya membuka jendela sambil nangkringin sikunya kayak supir bis. Tidak ada pramugari, tidak ada peragaan keselamatan – si pilot hanya berkata, “In case of emergency, please take a life jacket located under your seat. You know how to use it, right?”.
Pesawat paling kecil yang pernah saya tumpangi adalah jenis Cessna 172 milik Kura-Kura Aviation, saat saya terbang dari Semarang ke Pulau Karimun Jawa bulan Februari lalu. Isinya 4 seats termasuk supir, eh pilot. Jadi serasa naik mobil terbang dengan setir kiri, saya duduk di kanan pilot, di belakang duduk kedua teman saya. Enak juga bisa ngobrol-ngobrol sama pilotnya, bahkan saya diajarin cara nyupirin pesawat. Gampang, tinggal pegang setir pesawat, dorong sedikit setirnya maka pesawat akan turun, tarik ke atas maka pesawat akan naik, dengan catatan harus pelan-pelan kalau tidak mau pesawat menukik tajam. Pandangan kita bukan ke depan kaca seperti naik mobil, namun lihat ke panel di dashboard dimana kita harus kontrol jalannya pesawat berdasarkan petunjuk tersebut.
Di tengah jalan, Albert, si pilot yang ternyata mantan pilot pesawat tempur AURI menawarkan, “Mau nyobain manuver ngga?”. Tentu saya mengiyakan. Tiba-tiba saja pesawat ‘digas’ kencang, naik tinggi dan berbelok menukik. Huek, saya langsung mual melihat garis horison bumi menjadi vertikal dan langit berada di bawah!