Ayam Bakpau, bukan Bakpau Ayam
Kata ‘ayam’ bermakna ganda – ayam dalam arti binatang ayam, atau ayam manusia alias perempuan ga bener. Mulai dari sini, daripada saya repot mengetik dengan tanda kutip, setiap kata ayam berarti ayam manusia. Well, saya senang memperhatikan ayam-ayam saat saya traveling. Sama sekali saya tidak bermaksud menghina, meskipun tragis mereka dapat membuat saya tertawa terbahak-bahak.
Ciri khas ayam bisa dilihat dari fisik dan gayanya, tapi sampai sekarang saya susah mengidentifikasikan ayam bule. Yang membedakan adalah lokasinya, biasanya mereka mejeng di jalan tertentu persis seperti yang digambarkan dalam film Pretty Woman. Paling gampang mengidentifikasikan ayam ya di negara Asia. Sama seperti di Indonesia, fisik para ayam dilihat dari leher ke bawah pokoknya yahut, asal jangan dilihat mukenye. Mereka memakai pakaian yang berfungsi dekoratif, dengan model kekecilan atau kekurangan bahan. Satu-satunya yang fungsional adalah riasan wajahnya yang (berusaha) menutupi cacat – setelah dirias, wajah yang hitam bisa jadi abu-abu, yang putih bisa jadi kuning. Yang membuat tambah parah adalah gigi mereka yang kok banyak yang ‘prongos’ alias bermodel a la Boneng. Kalaupun giginya bagus, silakan lihat kakinya bagian jari atau tumit, oh, you don’t wanna know!
Ciri lain, para ayam (Asia) senang mendekati lelaki bule tua. Karena penasaran, saya pernah tanya mengapa mereka begitu. Jawabnya, ‘karena lelaki bule tua bayarnya gede tapi maennya sedikit. Tidak seperti lelaki bule muda, bayarnya sedikit, maennya banyak dan macam-macam’. Masuk akal bukan? Tapi fenomena ‘ayam Asia dengan lelaki bule’ membuat beberapa teman saya di Jakarta yang menikah dengan bule expatriate menjadi sangat anti jalan berdua di tempat umum (apalagi ke Kem Chicks Kemang) karena takut disangka ayam.
Di Siem Reap, Kamboja, saya sengaja pergi ke bar Zanzibar yang terkenal tempat tongkrongan bule. Ayam di situ muda-muda dan kurus-kurus, parahnya mereka tidak bisa berbahasa Inggris, jadi hanya menggunakan bahasa tubuh dengan menggelendat-gelendot saja. Teman lelaki saya iseng menawar salah satu ayam, penasaran dengan harga pasaran di sana. O ya, nama para ayam di sana tiba-tiba berubah jadi kebule-bulean gitu, ada Mary, Lucy, Cindy (entah mengapa namanya selalu berkahiran ‘–y’). Anyway, si Mary ini mematok harga yang jika dikurskan ke Rupiah tahun 2002 sekitar Rp 500.000 - menurut teman saya sih kalau model si Mary, bisa dapat Rp 150.000 di Jakarta.
Di Thailand, ayamnya membingungkan. Ayamnya memang ayam banget, tapi susah membedakan antara ayam betina atau ayam jantan karena banyak sekali kaum transeksual yang cantiknya melebihi wanita beneran. Tapi karena ayam jantan harus ‘mengejar ketinggalan’ – akibat terlambat menjadi wanita, mereka terlambat bisa dandan - riasan wajah mereka jadi medok tidak karuan. Namun paling gampang membedakan ayam jantan dan ayam betina adalah dengan melihat dengkulnya, jika berbukuran dan berbentuk seperti bakpau bisa dipastikan mereka adalah lelaki. Bolehlah teknologi saat ini yang canggih yang dapat mengganti kelamin atau menghilangkan jakun, tapi mana ada operasi dengkul?
Di Brunei saya tidak pernah menemukan ayam, karena percaya atau tidak, tidak ada satupun kehidupan malam di sana. Tidak ada cafe atau bar, apalagi klub atau diskotik. Bahkan di hotel berbintang jaringan internasional pun tidak ada bar. Jadi kalau mau gaul malam, orang Brunai harus pergi sekitar dua jam dari kota Bandar Sri Begawan ke perbatasan Malaysia.
Ayam paling cantik yang pernah saya lihat adalah di klub Cocomangas di Boracay, Filipina. Ayam ini tidak seperti ayam umumnya, dia sangat cantik, sangat muda, kulit putih bersih, bodi keren, tapi kacaunya, dia memakai kostum beha putih dan G-String putih saja! Lelaki di situ berebutan joget dengan si ayam cantik, mulai dari bule tua, bule muda, anak gaul lokal, sampai tukang kapal dan tukang becak. Saya sih kasihan melihat dia yang sangat mabuk dan dilaba sana-sini. Kata penduduk lokal sana, ayam ini sangat terkenal (ancurnya) karena “She is half Philippines half Thailand” -. rupanya di sana orang Thailand itu dianggap ayam. Ha, jeruk makan jeruk!
Ayam-ayam paling jelek saya temui justru di Indonesia yaitu di bar salah satu hotel berbintang jaringan internasional di Balikpapan, Kalimantan Timur. Ya ampun, cuman di situ satu-satunya tempat dimana para ayamnya gendut-gendut dan tua-tua, pede pula memakai baju minim dan ketat. Mereka dengan agresifnya mengejar lelaki bule tua para pekerja rig.
Hidup ayam! You make my day!
Ciri khas ayam bisa dilihat dari fisik dan gayanya, tapi sampai sekarang saya susah mengidentifikasikan ayam bule. Yang membedakan adalah lokasinya, biasanya mereka mejeng di jalan tertentu persis seperti yang digambarkan dalam film Pretty Woman. Paling gampang mengidentifikasikan ayam ya di negara Asia. Sama seperti di Indonesia, fisik para ayam dilihat dari leher ke bawah pokoknya yahut, asal jangan dilihat mukenye. Mereka memakai pakaian yang berfungsi dekoratif, dengan model kekecilan atau kekurangan bahan. Satu-satunya yang fungsional adalah riasan wajahnya yang (berusaha) menutupi cacat – setelah dirias, wajah yang hitam bisa jadi abu-abu, yang putih bisa jadi kuning. Yang membuat tambah parah adalah gigi mereka yang kok banyak yang ‘prongos’ alias bermodel a la Boneng. Kalaupun giginya bagus, silakan lihat kakinya bagian jari atau tumit, oh, you don’t wanna know!
Ciri lain, para ayam (Asia) senang mendekati lelaki bule tua. Karena penasaran, saya pernah tanya mengapa mereka begitu. Jawabnya, ‘karena lelaki bule tua bayarnya gede tapi maennya sedikit. Tidak seperti lelaki bule muda, bayarnya sedikit, maennya banyak dan macam-macam’. Masuk akal bukan? Tapi fenomena ‘ayam Asia dengan lelaki bule’ membuat beberapa teman saya di Jakarta yang menikah dengan bule expatriate menjadi sangat anti jalan berdua di tempat umum (apalagi ke Kem Chicks Kemang) karena takut disangka ayam.
Di Siem Reap, Kamboja, saya sengaja pergi ke bar Zanzibar yang terkenal tempat tongkrongan bule. Ayam di situ muda-muda dan kurus-kurus, parahnya mereka tidak bisa berbahasa Inggris, jadi hanya menggunakan bahasa tubuh dengan menggelendat-gelendot saja. Teman lelaki saya iseng menawar salah satu ayam, penasaran dengan harga pasaran di sana. O ya, nama para ayam di sana tiba-tiba berubah jadi kebule-bulean gitu, ada Mary, Lucy, Cindy (entah mengapa namanya selalu berkahiran ‘–y’). Anyway, si Mary ini mematok harga yang jika dikurskan ke Rupiah tahun 2002 sekitar Rp 500.000 - menurut teman saya sih kalau model si Mary, bisa dapat Rp 150.000 di Jakarta.
Di Thailand, ayamnya membingungkan. Ayamnya memang ayam banget, tapi susah membedakan antara ayam betina atau ayam jantan karena banyak sekali kaum transeksual yang cantiknya melebihi wanita beneran. Tapi karena ayam jantan harus ‘mengejar ketinggalan’ – akibat terlambat menjadi wanita, mereka terlambat bisa dandan - riasan wajah mereka jadi medok tidak karuan. Namun paling gampang membedakan ayam jantan dan ayam betina adalah dengan melihat dengkulnya, jika berbukuran dan berbentuk seperti bakpau bisa dipastikan mereka adalah lelaki. Bolehlah teknologi saat ini yang canggih yang dapat mengganti kelamin atau menghilangkan jakun, tapi mana ada operasi dengkul?
Di Brunei saya tidak pernah menemukan ayam, karena percaya atau tidak, tidak ada satupun kehidupan malam di sana. Tidak ada cafe atau bar, apalagi klub atau diskotik. Bahkan di hotel berbintang jaringan internasional pun tidak ada bar. Jadi kalau mau gaul malam, orang Brunai harus pergi sekitar dua jam dari kota Bandar Sri Begawan ke perbatasan Malaysia.
Ayam paling cantik yang pernah saya lihat adalah di klub Cocomangas di Boracay, Filipina. Ayam ini tidak seperti ayam umumnya, dia sangat cantik, sangat muda, kulit putih bersih, bodi keren, tapi kacaunya, dia memakai kostum beha putih dan G-String putih saja! Lelaki di situ berebutan joget dengan si ayam cantik, mulai dari bule tua, bule muda, anak gaul lokal, sampai tukang kapal dan tukang becak. Saya sih kasihan melihat dia yang sangat mabuk dan dilaba sana-sini. Kata penduduk lokal sana, ayam ini sangat terkenal (ancurnya) karena “She is half Philippines half Thailand” -. rupanya di sana orang Thailand itu dianggap ayam. Ha, jeruk makan jeruk!
Ayam-ayam paling jelek saya temui justru di Indonesia yaitu di bar salah satu hotel berbintang jaringan internasional di Balikpapan, Kalimantan Timur. Ya ampun, cuman di situ satu-satunya tempat dimana para ayamnya gendut-gendut dan tua-tua, pede pula memakai baju minim dan ketat. Mereka dengan agresifnya mengejar lelaki bule tua para pekerja rig.
Hidup ayam! You make my day!