« Home | Miss Metal Teeth » | Eksotisnya Pohon Pisang » | I'm just a lucky bastard! » | Main Fisik dan Main Ras » | Percaya website = dideportasi » | Don’t Touch the (Women) Dancer! » | Terkutuklah Edinburgh » | C-130, S-58, CN-235, ATR-42, LET 410 UVP-E... » | Taksi, Tram, Bis, atau Ojek? » | Gotham City? »

Saturday, October 15, 2005

Penyakit Dunia Ketiga

Penyakit paling klasik kalau traveling di negara barat adalah sembelit atau susah buang air besar. Mungkin karena makanannya yang kurang kuah, kurang bumbu, kurang sayur dan buah. Sebagai backpacker, mana sempat memikirkan (dan kuat bayar) makanan full course yang bergizi coba? Alhasil kalau lebih dari 3 hari tidak bisa keluar juga, saya punya resep yang cukup ampuh: pergi ke Chinatown, makan nasi dengan lauk yang pedas. Ditanggung bakal langsung keluar semua dengan mudahnya. Indonesia banget!

Penyakit kedua adalah masuk angin. Tidak tahu mengapa orang Indonesia menyebutnya ‘masuk angin’ - saya pun bingung kalau disuruh menjelaskannya dalam bahasa Inggris. Yang jelas badan rasanya tidak enak, perut kembung, sering bersendawa, kepala pusing. Di Kuala Lumpur saya pernah masuk angin berat karena kamar di penginapan(murah)nya lembab akibat kurang cahaya matahari dan AC Window yang tidak bisa dikecilkan, tambah lagi semalaman di luar jendela terdengar suara bising motor kebut-kebutan. Obat paling manjur ya istirahat sebanyak-banyaknya, minum vitamin C, dan minum Antangin – bablas angine!

Kadang kalau saya masuk angin, saya minta dikeroki oleh teman. Banyak kejadian lucu, terutama saat berlibur di daerah pantai. Saya dengan santainya berenang memakai bikini dengan punggung yang belang-belang merah keunguan. Setiap saya jalan melewati para bule, mereka memelototi saya lalu saling bergosip satu sama lain. Misteri ini terpecahkan saat salah satu dari mereka menarik tangan saya dan bertanya sambil berbisik pelan, “I’m sorry but I have to ask you although I know it’s none of my business, but what happen to your back? Did your partner beat you?”

Versi parah dari masuk angin adalah flu. Saya pernah sakit flu berat sampai suhu tubuh meninggi, mungkin gara-gara kecapekan bela-belain week end ke Atlanta – Orlando pp naik Greyhound. Dua hari tewas, akhirnya saya memaksakan diri ke RS. Saat dokter mau periksa dengan stetoskop, otomatis saya main buka baju aja. Eh si dokter sambil membuang muka mengatakan, “No no no…you don’t have to open it.” Rupanya di sana pemeriksaan dengan stetoskop itu cukup dengan ditempel di baju saja, di bagian punggung lagi! Saya jadi malu. Bukan maksud saya...tapi dokter di Indonesia kan....

Penyakit karena transisi ternyata tidak ada-apanya dibanding karena kurangnya kebersihan. Pulang traveling dari Filipina, saya masuk RS seminggu karena typhus. Teman saya yang lain mengalami keputihan berat. Dan teman yang satu lagi menderita panuan, di mukanya lagi! Wah, betapa tidak higinisnya negara itu, atau cara kami traveling yang terlalu gembel kali ya? Ada lagi penyakit yang ‘Indonesia banget’ yaitu ‘cantengan’ – jempol kaki yang bengkak bernanah akibat kuku yang menusuk daging. Gara-garanya sederhana saja, teman saya kelamaan nyupir mobil sewaan kami keliling New Zealand!

Namun penyakit paling parah adalah saat saya bersama 2 orang teman cewek pulang trekking dari Pulau Moyo, Sumbawa, pada tahun 1994. Dua minggu setelahnya, satu per satu kami semua masuk RS karena malaria - penyakit yang hanya saya ketahui dari film-film perang zaman dulu! Pada jam tertentu, bagaikan datangnya malaikat pencabut nyawa, rasa dingin yang luar biasa menyerang perlahan dimulai dari ujung kaki sampai akhirnya menggelepar-gelepar kedinginan sampai mulut harus dimasukkan semacam sendok agar tidak menggigit lidah. Ugh! Meskipun kami semua melakukan tindakan preventif dengan rajin minum obat anti malaria 2 bulan sebelumnya dan rajin pakai lotion anti nyamuk, dokter saya menerangkan, “Mau minum obat segerobak kalau memang daerah endemis malaria, tetep saja kamu yang bukan orang asli sana bakal kena!” Nenek saya yang membesuk pun berkomentar, “Oh masih ada toh penyakit dunia ketiga?”

...Suatu malam, setahun kemudian...saya dan teman yang sama-sama pernah kena malaria tidur di stasion kereta api di Paris menunggu kereta ke Strasbourg. Udara winter yang duingin membuat kami menggigil berat, sampai-sampai saya memakai seluruh baju yang ada di ransel untuk menahan dingin. Tiba-tiba teman saya mengajukan pertanyaan yang sangat menohok, “Ini emang dingin atau malaria kita kumat ya?” Good question!

‘Pembelaan’ saya: Jangan menyebut diri Anda seorang traveler sejati, kalau belum kena malaria. Hehe!


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|