« Home | Hostel Sandwich » | Ayam Bakpau, bukan Bakpau Ayam » | Penyakit Dunia Ketiga » | Miss Metal Teeth » | Eksotisnya Pohon Pisang » | I'm just a lucky bastard! » | Main Fisik dan Main Ras » | Percaya website = dideportasi » | Don’t Touch the (Women) Dancer! » | Terkutuklah Edinburgh »

Tuesday, October 25, 2005

Hotel, Losmen, Guest House, Bungalow, sama bututnya

Catatan: bagian terakhir dari dua tulisan.

Berbeda dengan negara barat, hostel di Asia Tenggara kurang dikenal karena banyak dan variatifnya penginapan. Dengan kurs mata uang Asia yang jeblok dibanding Dolar dan Euro, hotel berbintang pun masih terhitung murah bagi turis asing. Sistem penginapannya memang ada yang a la hostel, satu kamar berbagi dengan beberapa orang. Tapi berhubung murah, lebih baik menyewa kamar sendiri atau berdua sehingga lebih private.
Untuk membiasakan diri, cobalah menginap di salah satu losmen di Jalan Jaksa, Jakarta. Seperti itulah rasanya.

Memang biasanya penginapan berpusat di suatu jalan seperti di Penang, Malaysia, penginapan backpackers terpusat di Jalan Lebuh Chulia. Saya menginap di Hotel Swiss. Namanya sih hotel, tapi keadaannya jauh dari hotel, apalagi negara Swiss. Losmen ini menempati bangunan tua yang diperbesar dengan kamar-kamar tambahan terbuat dari tripleks di sisinya, persis kayak kos-kosan. Petugas reception-nya adalah seorang bapak-bapak Cina gendut yang selalu memakai celana pendek saja dan suka membuang dahak keras-keras. Kalau malam aduh ributnya si bapak ngobrol dengan teman-temannya sambil bermain kartu.

Di Bangkok, pusatnya ada di Khaosan Road. Berjejer dah tuh penginapan murah meriah. Semuanya juga mirip kos-kosan. Di setiap reception ditulis larangan membawa cewek Thailand ke dalam kamar - tuh kan, cuman turis lelaki yang dianggap suka ‘mengangkut’ cewek!


Di Pnom Pehn, Kamboja, saya menginap di Narin Guesthouse seharga US$ 6/malam untuk kamar berdua. Losmen ini bertingkat dua, kamarnya kecil-kecil terbuat dari kayu persis kayak di kos-kosan juga. Di balkon lantai 2 ini ada restoran dan bar, tempat tamu ngumpul-ngumpul dan berpesta. Ironisnya, persis di seberang losmen itu adalah Rumah Sakit Bersalin! Jadi bisa dibayangkan lagi asik-asiknya minum, kami bisa mendengar suara ibu menjerit-jerit kesakitan saat melahirkan, atau melihat suster-suster berlarian, atau orang yang berjalan tertatih sambil menggeret infus.


Penginapan murah belum tentu lokasinya tidak strategis, kadang bila kita jeli, kita bisa mendapat penginapan yang sangat strategis. Contohnya waktu saya ke Pulau Koh Samui, Thailand, dimana pulau ini merupakan tujuan wisata tingkat tinggi alias banyak hotel atau resort mahal di sepanjang pantainya. Berkat jasa supir angkot kami, dia mereferensikan sebuah penginapan yang berupa bungalow ber-AC bernama canggih Chaweng Pearl Cabana seharga 400 Baht/malam untuk berdua dengan kamar mandi dalam dan air panas.

Malamnya saya duduk-duduk di kursi di pinggir pantai persis di depan bungalow, dengan suasana romantis makan a la candle light menghadap pantai yang bersih dan tenang sambil memandang bulan purnama. Paginya ketika saya sarapan, saya baru sadar bahwa saya duduk di kursi bambu reot dan meja kaki buntung, sementara di sepanjang sisi kiri kanannya berjejer kursi-kursi mewah dan cozy milik resort berbintang! Lumayan juga lokasinya, padahal harga penginapan saya mungkin hanya sepersepuluhnya saja.

Sama seperti di Manila, saya menginap di Pension Natividad di daerah Mabini Street. Penginapan ini menempati bangunan kolonial seperti di daerah Menteng Jakarta, langit-langitnya tinggi, tapi sarung bantalnya itu lho bau minyak rambut! Meskipun lokasinya nyempil, tapi dalam jarak 1 blok saja berkumpul hotel-hotel berbintang lima dan apartemen mewah.


Di Indonesia, penginapan paling murah yang pernah saya inapi adalah di Pantai Lagundri Bay, Pulau Nias, Sumatra Utara, pada tahun 1996. Baru kali itu saya bisa menginap di bungalow tradisional terbuat dari kayu dan atap rumbia yang berukuran lumayan besar, ada balkon, ada kamar tidur, ada kamar mandi dalam, seharga Rp 3.000,- per malam! Bungalow ini pun berlokasi strategis, persis menghadap pantai tempat surfing internasional yang sangat terkenal. Cuman di Nias satu-satunya tempat yang saya lihat ombaknya pecah dari arah kanan (right-band reef breaks), sangat besar, tinggi (sampai 3,5 meter), bergulung-gulung, sehingga kalau tidur malam saya menjadi was-was karena mendengar suara deru ombak yang sangat bergemuruh yang terdengar seperti tsunami.


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|