Kejarlah Daku dan Tangkaplah Bagasimu
Airport internasional di Amerika atau Eropa adalah contoh airport yang canggih, convetor belt-nya banyak dan berjejer sesuai dengan banyaknya pesawat yang lepas landas dari airport tersebut yang dapat dibedakan dari tampilan layar TV yang tersedia. Bahkan ada yang bentuk belt-nya tidak rata melainkan naik turun bagaikan lift, tambah lagi dengan traffic light khusus, hijau bila bagasi sudah boleh diambil, merah bila bagasi belum boleh diambil. Di sana dilengkapi juga rambu-rambu lalu lintas, yang artinya tidak boleh begini tidak boleh begitu.
Bagaimana di Indonesia? Meski hanya sepanjang 5 meter seperti di airport Jambi, pokoknya ada conveyor belt dan beroperasi dengan baik. Nah itu lumayan canggih menurut saya. Airport di kota-kota lain di Indonesia juga kurang lebih sama, paling tidak punya conveyor belt. Sedangkan airport di Denpasar, Balikpapan dan Manado saat ini merupakan salah tiga airport yang tecanggih menurut saya karena conveyor belt-nya paling panjang dan berliuk. Horee! Bukannya saya conveyor belt fetish, tapi mengingat koper itu rata-rata besar dan berat, seharusnya setiap airport memikirkan dan mengimplementasikan cara yang paling efektif demi kenyamanan para penumpang – dan tentunya demi segi kemanusiaan para petugas transfer bagasi.
Di airport Samarinda (Kalimantan Timur) yang kecil, saya bisa ke luar ruang tunggu dan nongkrong di pinggir landasan memperhatikan aktivitas pengambilan bagasi. Caranya begini, bagasi satu per satu diturunkan dari pesawat. Lalu tumpukan tersebut diletakkan di troli super besar terbuat dari besi. Bukannya ditarik dengan mobil, namun troli tersebut ditarik oleh seorang laki-laki berseragam SMA (baca: seorang laki-laki ABG) dari tempat parkir pesawat ke ruang tunggu yang berjarak sekitar 300m! Troli lalu diparkir persis di luar ruang tunggu, dan voila – silakan cari bagasi Anda di antara ratusan tumpukan koper dan dus di siang bolong! Inilah saat yang menyebalkan, antara porter, bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, semuanya berebutan mengubek-ngubek dan mengambil barang. Belum lagi saling berteriak kalo ada yang dituduh salah ambil. *keluh*
Di airport Siam Reap (Kamboja), lebih mending sedikit. Memang saya tidak bisa melihat bagaimana bagasi ditransfer dari pesawat ke ruang tunggu, tapi di tempat pengambilan bagasi yang ber-AC ada pintu kecil dimana semua orang mengerubung di depannya. Saya malas berebutan berdiri di depan gerombolan orang, malas bersaing dengan bule-bule sebesar kulkas. Betul saja, begitu pintu kecil dibuka, ada 2 orang petugas yang melempar koper-koper dari dalam pintu dan kita harus berebutan menangkapnya! Bukannya nangkep rambutan, ini sih koper ‘segede bagong’ melayang-layang di udara dan hup, bisa mejret saat menangkapnya bukan? Sesuailah dengan keadaan airportnya dimana pengumuman naik pesawat dilakukan petugas dengan tidak menggunakan pengeras suara sentral, tapi pakai toa – pengeras suara yang bisa ditenteng kemana-mana, persis seperti di sekolah saat guru menyuruh kita upacara bendera.