Phobia-mu jadi Phobia-ku!
Traveling bersama teman yang mempunyai phobia membuat kita jadi ketularan phobia – kita jadi ikutan panik melihat teman yang panik. Sepertinya phobia naik pesawat (aviophobia) paling banyak diderita orang, saya saja punya 4 orang teman yang menderita phobia tersebut. Salah satunya adalah teman yang paling sering traveling bersama saya, padahal dia suka banget traveling dan pekerjaannya mengharuskan dia sering naik pesawat. Setiap kali saya duduk di sebelahnya, saya sering jadi ikut senewen. Pertama, dia harus duduk di jendela – dia menolak naik pesawat kalau tidak mendapat duduk di jendela. Pesawatnya pun tidak mau pesawat dari penerbangan ecek-ecek, untuk penerbangan domestik minimal harus naik Garuda. Baru masuk pesawat, mukanya sudah tegang. Saat pramugari memperagakan cara keselamatan, menurut dia kata-katanya terdengar seperti ‘Mayday, mayday!’. Begitu pesawat lepas landas, keringat dingin berkucuran di mukanya yang pucat, begitu pula kedua telapak tangannya. Matanya terpejam sambil komat-kamit membacakan doa. Kalau ada goncangan, tangan saya kena jambak. Aduh!
Orang yang mempunyai phobia ketinggian (acrophobia/altophobi) pasti tidak mau diajak naik roller coaster atau bungy jumping, sebab berada di ketinggian pun mereka sudah mau muntah. Saya pernah jahat memaksa teman ikutan bungy jumping di Selandia Baru, promosi saya ‘kapan lagi bungy di negara asalnya?’. Tapi berada di pinggir tebing dan melihat kabel tempat kami diikat untuk loncat, membuat mukanya pucat seperti mayat dan terduduk lemas. Dia tidak dapat berkata apa-apa selain minta dipapah kembali ke dalam bis karena pusing. Haduh, maaf! Herannya, semakin tua seseorang kadang tidak sadar kalau akhirnya mempunyai phobia. Contohnya ibu saya yang saya ajak naik gunung batu Sigiriya di Sri Lanka. Kami berdua santai saja naik, apalagi ibu saya dulunya anak Menwa dan suka naik gunung. Tapi di tengah jalan, saat kami harus melipir persis di tebingnya, angin pun bertiup keras. Saya pun melihat muka ibu saya yang pucat dan mendengar ibu saya berteriak-teriak minta tolong. Sejak itu dia kapok berada di ketinggian.
Ada lagi teman saya yang belakangan baru sadar dia mempunyai phobia terhadap ruang tertutup (claustrophobia) gara-gara dia pernah terkena panic attack saat menyelam di kedalaman 100 feet. Setahun kemudian kami berencana menyelam di Derawan, dia pikir dia sudah lupa akan kepanikannya. Namum baru 5 meter kami pelan-pelan turun menyelam, matanya melotot panik, tubuhnya kejang dan langsung menolakkan badannya ke atas permukaan air. Sebagai buddy-nya, saya kan jadi takut juga karena sangat membahayakan keselamatan seseorang bila saat menyelam langsung melejit ke permukaan air. Halah! Sejak itu dia jadi takut berada di tempat dimana dia tidak bisa keluar dalam hitungan detik, seperti basement, gua, dan kedalaman lautan.
Yang paling aneh adalah teman saya yang punya phobia sama cicak – entah apa namanya jenis phobia ini. Makhluk kecil tak berdaya itu bisa membuat teman saya ketakutan luar biasa. Suatu hari kami sedang mengendarai mobil, tiba-tiba ada cicak jatuh di luar kaca depan mobilnya. Seketika itu, dia yang sedang menyupir berteriak-teriak panik sambil mengangkat tangan dan ... melepaskan setir! Duh, apa saya tidak jadi panik juga?
Mungkin ketakutan terbesar saya adalah takut nyasar berhubung saya adalah seorang yang disoriented. Namun saya tidak menggolongkannya dalam phobia karena saya tetap tidak kapok traveling ke mana-mana, sendiri pula. Kalau rasa takut akibat nyasar datang, rasanya saya langsung sesak napas, dada rasanya seperti tertusuk, dan keluar keringat dingin. Kalau sudah begini, saya harus duduk tenang di tempat sepi, mengambil napas dalam-dalam, merokok, baru otak saya jernih lagi dan mulai mengulang membaca peta pelan-pelan. Contohnya suatu hari di Florence, Italia, saya menaruh ransel saya di locker stasion kereta api dan maksudnya saya mau keliling-keliling selama 3 jam sebelum kereta berangkat. Di peta kelihatannya Museum Uffizi itu dekat, begitu juga dengan The Duomo. Namun saking asiknya jalan-jalan saya lupa waktu dan tinggal setengah jam lagi kereta akan berangkat, sementara saya tidak tahu sedang berada di mana dan bagaimana caranya kembali ke stasion. Waduh, rasanya mau pingsan! Saya sampai dipapah polisi saking lemasnya, padahal saya cuman mau bertanya bagaimana caranya ke stasion kereta. Untung polisi Italia ganteng-ganteng, hehe!
Orang yang mempunyai phobia ketinggian (acrophobia/altophobi) pasti tidak mau diajak naik roller coaster atau bungy jumping, sebab berada di ketinggian pun mereka sudah mau muntah. Saya pernah jahat memaksa teman ikutan bungy jumping di Selandia Baru, promosi saya ‘kapan lagi bungy di negara asalnya?’. Tapi berada di pinggir tebing dan melihat kabel tempat kami diikat untuk loncat, membuat mukanya pucat seperti mayat dan terduduk lemas. Dia tidak dapat berkata apa-apa selain minta dipapah kembali ke dalam bis karena pusing. Haduh, maaf! Herannya, semakin tua seseorang kadang tidak sadar kalau akhirnya mempunyai phobia. Contohnya ibu saya yang saya ajak naik gunung batu Sigiriya di Sri Lanka. Kami berdua santai saja naik, apalagi ibu saya dulunya anak Menwa dan suka naik gunung. Tapi di tengah jalan, saat kami harus melipir persis di tebingnya, angin pun bertiup keras. Saya pun melihat muka ibu saya yang pucat dan mendengar ibu saya berteriak-teriak minta tolong. Sejak itu dia kapok berada di ketinggian.
Ada lagi teman saya yang belakangan baru sadar dia mempunyai phobia terhadap ruang tertutup (claustrophobia) gara-gara dia pernah terkena panic attack saat menyelam di kedalaman 100 feet. Setahun kemudian kami berencana menyelam di Derawan, dia pikir dia sudah lupa akan kepanikannya. Namum baru 5 meter kami pelan-pelan turun menyelam, matanya melotot panik, tubuhnya kejang dan langsung menolakkan badannya ke atas permukaan air. Sebagai buddy-nya, saya kan jadi takut juga karena sangat membahayakan keselamatan seseorang bila saat menyelam langsung melejit ke permukaan air. Halah! Sejak itu dia jadi takut berada di tempat dimana dia tidak bisa keluar dalam hitungan detik, seperti basement, gua, dan kedalaman lautan.
Yang paling aneh adalah teman saya yang punya phobia sama cicak – entah apa namanya jenis phobia ini. Makhluk kecil tak berdaya itu bisa membuat teman saya ketakutan luar biasa. Suatu hari kami sedang mengendarai mobil, tiba-tiba ada cicak jatuh di luar kaca depan mobilnya. Seketika itu, dia yang sedang menyupir berteriak-teriak panik sambil mengangkat tangan dan ... melepaskan setir! Duh, apa saya tidak jadi panik juga?
Mungkin ketakutan terbesar saya adalah takut nyasar berhubung saya adalah seorang yang disoriented. Namun saya tidak menggolongkannya dalam phobia karena saya tetap tidak kapok traveling ke mana-mana, sendiri pula. Kalau rasa takut akibat nyasar datang, rasanya saya langsung sesak napas, dada rasanya seperti tertusuk, dan keluar keringat dingin. Kalau sudah begini, saya harus duduk tenang di tempat sepi, mengambil napas dalam-dalam, merokok, baru otak saya jernih lagi dan mulai mengulang membaca peta pelan-pelan. Contohnya suatu hari di Florence, Italia, saya menaruh ransel saya di locker stasion kereta api dan maksudnya saya mau keliling-keliling selama 3 jam sebelum kereta berangkat. Di peta kelihatannya Museum Uffizi itu dekat, begitu juga dengan The Duomo. Namun saking asiknya jalan-jalan saya lupa waktu dan tinggal setengah jam lagi kereta akan berangkat, sementara saya tidak tahu sedang berada di mana dan bagaimana caranya kembali ke stasion. Waduh, rasanya mau pingsan! Saya sampai dipapah polisi saking lemasnya, padahal saya cuman mau bertanya bagaimana caranya ke stasion kereta. Untung polisi Italia ganteng-ganteng, hehe!