« Home | Sekilas Banda Aceh Kini » | Mengangkang di Kepala Porter » | Satu malam bersama TKI » | Phobia-mu jadi Phobia-ku! » | Pulau Indah Terjajah » | Road to Heaven » | Banyak matahari, sedikit jalan kaki » | Kumbang, pantat dan kentut » | Thai Message » | Jangan sirik dengan ransel saya »

Sunday, March 05, 2006

Jangan paksa saya buang air besar!

Jet lag merupakan rasa tidak nyaman pada waktu melakukan perjalanan udara yang lama dan dirasakan sebagai suatu kelelahan yang sangat, disorientasi, konsentrasi menurun, sukar tidur (insomnia) dan kegelisahan. Gejala lain yang mungkin timbul antara lain tidak nafsu makan, kelemahan, sakit kepala, pusing, dan pandangan kabur. Gangguan ini merupakan gambaran dari penerbangan jarak jauh yang melewati zona waktu, menyebabkan ritme aktifitas sehari-hari menjadi kacau (Oldmeadow, 1991).

Bagian dari traveling yang paling menyebalkan bagi saya adalah ketika saya harus berada di pesawat yang terbang lama banget melewati beberapa zona waktu, tapi yang lebih menyebalkan lagi adalah merasakan jet lag setelah liburan berakhir. Rasanya sukar sekali berkonsentrasi, ngantuk tidak kepalang meski minum bercangkir-cangkir kopi, tubuh melayang, suhu tubuh meninggi, pokoknya jadi bego abis. Setiap ditanya orang, saya sampai harus konsentrasi penuh akan pertanyaannya karena kata-kata yang diucapkan terdengar seperti berdengung. Untuk menjawabnya pun saya harus menyusun kalimat dengan susah payah sehingga kebanyakan keluar kata-kata tidak berstruktur seperti ‘mmm...mmm...apa tuh....mmmm....itunya diituin...’

Padahal kalau saya sampai di negara tujuan, saya tidak pernah merasa jet lag. Mungkin karena terlalu excited dan kondisi tubuh sebelum berangkat yang masih fit – maklum mau liburan. Saya selalu merasakan jet lag sehabis pulang traveling, dan rasanya semakin tua semakin parah. Minimal 3 hari pertama di Indonesia kondisi tubuh saya kacau, persis yang digambarkan di paragraf pertama tulisan ini, terutama kacaunya jam tidur dan jam buang air besar saya.

Pulang liburan dari Australia yang berbeda 4 jam, awalnya saya selalu terbangun jam 4 pagi dan langsung ‘nyala’ seketika sebab saya biasa bangun jam 8 pagi waktu Australia. Melek 3 jam di tempat tidur dimana cahaya matahari pun belum ada sungguh bukan hal yang menyenangkan. Soal makan, napsu makan saya pun kacau. Meski saya paksa makan dengan jam Indonesia, tetap saja jam 3 sore di kantor saya sudah merasa lapar bukan main!

Pulang liburan dari Eropa, agak lebih bisa ditolerir karena perbedaan 6 jam tidak begitu masalah dengan jam makan - di Indonesia jam makan siang, di Eropa jam makan pagi, atau di Indonesia jam makan malam, di Eropa jam makan siang. Sialnya, lagi enak-enaknya makan siang seketika itu juga perut saya bergemuruh – saatnya buang air besar pagi hari waktu Eropa! Jadilah 3 hari berturut-turut saya menumpang toilet warung dan ribut cari toilet umum di mall.

Paling parah saat saya pulang dari Texas 3 tahun yang lalu. Perbedaan 13 jam itu kan benar-benar membuat dunia terbalik - siang jadi malam, malam jadi siang - padahal saya baru tiba semalam sebelum hari pertama saya masuk di kantor baru. Saya tidak dapat menahan kantuk dan bermuka bete ketika seharian harus dikenal-kenalkan dengan rekan-rekan kerja baru. Senyum saya pasti garing dan saya tidak bisa mendengar satupun nama yang mereka sebutkan. Siangnya saya mendapat telepon dari HRD, saya diharuskan untuk mengikuti general check up keeseokan harinya jam 7 pagi dengan membawa urine dan tinja. Jam 12 malam urusan buang hajat justru sudah selesai dan saya lupa untuk mengambil sample. Tersadar jam 5 pagi, saya paksa untuk bangun dan setengah mati berusaha untuk buang air besar. Saya makan pepaya, mengurut perut pakai balsem, minum kopi, loncat-loncat, tetap tidak bisa keluar...karena saya sudah kebiasaan buang air besar jam 11 siang waktu Amerika atau jam 12 malam waktu Indonesia!

Katanya untuk mencegah atau paling tidak meminimalisasi jet lag, kita tidak disarankan minum kopi atau alkohol di pesawat karena kedua jenis minuman tersebut bersifat diuretik sehingga membuat kita jadi sering buang air kecil dan membuat kita semakin dehidrasi. Tapi mana bisa saya hidup tanpa minum kopi setelah makan? Perut begah, tak ada kerjaan di dalam pesawat, tak bisa merokok, pelariannya adalah ngopi. Saya akui juga saya salah kaprah, saya suka minum alkohol di pesawat maksudnya supaya cepat tidur. Mungkin juga saya termasuk seorang yang ‘ogah rugi’, mumpung alkohol dibagikan gratis. Hehe!


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|