Uka-Uka di Moyo
Cerita-cerita seram selama traveling mungkin pernah kita alami, terutama ketika naik gunung atau kemping di hutan – paling banter sih ada yang kesurupan. Namun pengalaman paling mistis yang pernah saya alami adalah ketika saya ke Pulau Moyo di Sumbawa pada tahun 1993. Saya bersama 2 orang teman perempuan tertarik ke sana karena di situ terdapat resor mewah Amanwana (di mana ada resor jaringan Aman, bisa dipastikan tempat tersebut pastilah bagus sekali), konon Lady Diana dan sejumlah orang terkenal di dunia pernah menginap di tempat ini. Selain itu, di pulau tersebut terdapat air terjun yang sangat indah.
Entah kapan kami sanggup menginap di resor Aman, jadilah kami menumpang di rumah Pak Lurah dan bertanya-tanya bagaimana caranya ke air terjun yang tersohor bagusnya itu. Kami kecewa karena semua orang di kampung itu termasuk Pak Lurah sangat tidak menyarankan untuk pergi ke air terjun, alasannya pun beragam mulai dari susah, jauh, sampai bahaya. Besok paginya ketika kami duduk mengopi di teras, kami didatangi seorang kakek-kakek tua berambut putih. Bertanyalah kami kepada si kakek, dan hanya dia yang menyarankan kita dapat pergi ke sana. “Gampang, tinggal ikuti jalan saja. Jalannya pun selebar mobil karena sering dilewati kok,” jelas si kakek. Siang harinya kami berhasil menggeret 2 orang pemuda kampung untuk mengantar kami trekking ke dalam hutan dan meminta bantuan temannya yang nelayan untuk menjemput kami keesokan harinya di pantai seberang pulau. Jalannya memang selebar mobil tapi makin ke dalam hutannya makin lebat dan rapat, saya melihat kedua pemuda tersebut mukanya pucat. Salah satu meminta pulang, “Mbak, saya tidak kuat, dari tadi diganggu hantu.” Kami hanya tertawa karena kami tidak merasa ada hal-hal yang mencurigakan. Sampai pemuda yang terakhir juga minta pulang dengan alasan yang sama, “Bahaya, mbak, bahaya,” sambil lari terbirit-birit. Kami pun memutuskan untuk terus jalan saja tanpa diantar karena tanggung sudah berjalan kaki selama 3 jam.
Tak lama berjalan, tiba-tiba kami mendengar suara pohon tumbang. BRAAK! Kami berhenti. Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara pohon lain yang tumbang. BRAAAKK! Di balik pepohonan, kami melihat makhluk besar berwarna hitam, berbulu dan mendengus. “Ssst...diem...di depan kita ada apa yaa?”. Kedua teman saya sampai terkencing di celana karena ketakutan, “Haa? Kkkayaknya bbabi hu-hutan... apa bban-ban-banteng yaa?”. Mengingat ajaran di Pramuka waktu masih kecil, saya memberi saran, “Kita balik badan hitungan ke-3 dan langsung lari zig zag, oke? Satu...dua...TIGAA!” dan kami pun berlari tunggang langgang ke kanan dan ke kiri sambil dikejar makhluk hitam besar dan diiringi dengan debuman pohon-pohon tumbang di belakang kami. Karena kelelahan, refleks saya manjat ke atas pohon, diikuti kedua teman saya. Sambil terdiam, kami masing-masing mengeluarkan senjata. Tololnya, senjata kami hanyalah pepper spray, pisau lipat dan garam! Bodohnya kami lagi, bisa saja pohon ini yang ditabrak sampai tumbang. Cukup lama kami bergelantungan menenangkan diri di atas pohon sampai kami yakin makhluk tadi sudah pergi. Kami pun memutuskan untuk pulang saja ke kampung dan melupakan pergi ke air terjun.
Begitu kami balik badan, kami terkejut karena jalan yang tadi kami lewati bercabang dua dengan jalan yang sempit, lembab, dan pepohonan yang rapat. Dengan terdiam kami mengambil jalan di kanan dan terus berjalan cepat. Tak sengaja sejam kemudian kami menemukan air terjun yang dimaksud! Air terjunnya memang indah sekali, terdiri dari beberapa lagun kecil yang bertingkat-tingkat sehingga airnya jatuh ke tiap lagun dan berakhir di kolam yang besar. Kami pun melupakan kejadian menyeramkan tadi dan dengan cueknya kami berenang telanjang karena malas membongkar ransel. Wah segarnyaaa...! Anehnya dalam perjalanan pulang, kami merasa ada yang menyolek-nyolek dan memanggil-manggil nama kami, padahal kami semua berjalan satu per satu agak berjauhan dan tidak mengucapkan satu patah kata pun. Kami pun tambah pucat pasi. Hari semakin gelap ketika kami sampai di sebuah bukit yang dapat melihat kampung dari kejauhan, entah bagaimana kami bisa sampai di sana padahal kami yakin waktu pergi jalannya rata. Kami melanjutkan perjalanan menuju cahaya lampu, sampai bertemu dengan salah seorang pemuda dari kampung yang menjemput kami naik kuda, “Cepat pulang, mbak, cepat,” katanya. Sampai di kampung, ternyata semua orang sudah berdiri dengan kuatir sambil menunggu kami. Mereka pun memeluk kami satu per satu. “Untung kalian selamat, nak,” begitu kata mereka. Ih, apa-apaan sih ini?
Di rumah Pak Lurah kami diduduki dan diceramahi, “Tidak ada orang sini yang berani masuk ke sana. Di dalam sana bekas kerajaan Mataram yang sudah tenggelam, banyak hantunya. Mereka bisa memanggil nama kamu, dan bila kamu lalai, kalian akan diajak masuk ke kerajaannya dan tidak pernah kembali. Sudah banyak orang kampung ini yang hilang entah ke mana, sekalinya selamat mereka pulang ke kampung tapi jadi gila, pulang-pulang kepalanya jadi botak dan membawa semangka. Untung tadi kalian diingatkan oleh seekor banteng sehingga kalian kembali. Masih untung cuma ketemu satu. Kamu mau tahu ada berapa banyak banteng di dalam sana? Seribu!” Hah?
“Tapi siapa kakek-kakek tua berambut putih panjang tadi pagi? Beliau yang bilang kami tidak apa-apa masuk ke dalam,” tanya saya penasaran.
“Kakek-kakek? Tidak ada kakek-kakek di sini, apalagi berambut putih dan panjang. Saya orang yang paling tua di sini,” jawab Pak Lurah.
Hiiiii!!!
Entah kapan kami sanggup menginap di resor Aman, jadilah kami menumpang di rumah Pak Lurah dan bertanya-tanya bagaimana caranya ke air terjun yang tersohor bagusnya itu. Kami kecewa karena semua orang di kampung itu termasuk Pak Lurah sangat tidak menyarankan untuk pergi ke air terjun, alasannya pun beragam mulai dari susah, jauh, sampai bahaya. Besok paginya ketika kami duduk mengopi di teras, kami didatangi seorang kakek-kakek tua berambut putih. Bertanyalah kami kepada si kakek, dan hanya dia yang menyarankan kita dapat pergi ke sana. “Gampang, tinggal ikuti jalan saja. Jalannya pun selebar mobil karena sering dilewati kok,” jelas si kakek. Siang harinya kami berhasil menggeret 2 orang pemuda kampung untuk mengantar kami trekking ke dalam hutan dan meminta bantuan temannya yang nelayan untuk menjemput kami keesokan harinya di pantai seberang pulau. Jalannya memang selebar mobil tapi makin ke dalam hutannya makin lebat dan rapat, saya melihat kedua pemuda tersebut mukanya pucat. Salah satu meminta pulang, “Mbak, saya tidak kuat, dari tadi diganggu hantu.” Kami hanya tertawa karena kami tidak merasa ada hal-hal yang mencurigakan. Sampai pemuda yang terakhir juga minta pulang dengan alasan yang sama, “Bahaya, mbak, bahaya,” sambil lari terbirit-birit. Kami pun memutuskan untuk terus jalan saja tanpa diantar karena tanggung sudah berjalan kaki selama 3 jam.
Tak lama berjalan, tiba-tiba kami mendengar suara pohon tumbang. BRAAK! Kami berhenti. Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara pohon lain yang tumbang. BRAAAKK! Di balik pepohonan, kami melihat makhluk besar berwarna hitam, berbulu dan mendengus. “Ssst...diem...di depan kita ada apa yaa?”. Kedua teman saya sampai terkencing di celana karena ketakutan, “Haa? Kkkayaknya bbabi hu-hutan... apa bban-ban-banteng yaa?”. Mengingat ajaran di Pramuka waktu masih kecil, saya memberi saran, “Kita balik badan hitungan ke-3 dan langsung lari zig zag, oke? Satu...dua...TIGAA!” dan kami pun berlari tunggang langgang ke kanan dan ke kiri sambil dikejar makhluk hitam besar dan diiringi dengan debuman pohon-pohon tumbang di belakang kami. Karena kelelahan, refleks saya manjat ke atas pohon, diikuti kedua teman saya. Sambil terdiam, kami masing-masing mengeluarkan senjata. Tololnya, senjata kami hanyalah pepper spray, pisau lipat dan garam! Bodohnya kami lagi, bisa saja pohon ini yang ditabrak sampai tumbang. Cukup lama kami bergelantungan menenangkan diri di atas pohon sampai kami yakin makhluk tadi sudah pergi. Kami pun memutuskan untuk pulang saja ke kampung dan melupakan pergi ke air terjun.
Begitu kami balik badan, kami terkejut karena jalan yang tadi kami lewati bercabang dua dengan jalan yang sempit, lembab, dan pepohonan yang rapat. Dengan terdiam kami mengambil jalan di kanan dan terus berjalan cepat. Tak sengaja sejam kemudian kami menemukan air terjun yang dimaksud! Air terjunnya memang indah sekali, terdiri dari beberapa lagun kecil yang bertingkat-tingkat sehingga airnya jatuh ke tiap lagun dan berakhir di kolam yang besar. Kami pun melupakan kejadian menyeramkan tadi dan dengan cueknya kami berenang telanjang karena malas membongkar ransel. Wah segarnyaaa...! Anehnya dalam perjalanan pulang, kami merasa ada yang menyolek-nyolek dan memanggil-manggil nama kami, padahal kami semua berjalan satu per satu agak berjauhan dan tidak mengucapkan satu patah kata pun. Kami pun tambah pucat pasi. Hari semakin gelap ketika kami sampai di sebuah bukit yang dapat melihat kampung dari kejauhan, entah bagaimana kami bisa sampai di sana padahal kami yakin waktu pergi jalannya rata. Kami melanjutkan perjalanan menuju cahaya lampu, sampai bertemu dengan salah seorang pemuda dari kampung yang menjemput kami naik kuda, “Cepat pulang, mbak, cepat,” katanya. Sampai di kampung, ternyata semua orang sudah berdiri dengan kuatir sambil menunggu kami. Mereka pun memeluk kami satu per satu. “Untung kalian selamat, nak,” begitu kata mereka. Ih, apa-apaan sih ini?
Di rumah Pak Lurah kami diduduki dan diceramahi, “Tidak ada orang sini yang berani masuk ke sana. Di dalam sana bekas kerajaan Mataram yang sudah tenggelam, banyak hantunya. Mereka bisa memanggil nama kamu, dan bila kamu lalai, kalian akan diajak masuk ke kerajaannya dan tidak pernah kembali. Sudah banyak orang kampung ini yang hilang entah ke mana, sekalinya selamat mereka pulang ke kampung tapi jadi gila, pulang-pulang kepalanya jadi botak dan membawa semangka. Untung tadi kalian diingatkan oleh seekor banteng sehingga kalian kembali. Masih untung cuma ketemu satu. Kamu mau tahu ada berapa banyak banteng di dalam sana? Seribu!” Hah?
“Tapi siapa kakek-kakek tua berambut putih panjang tadi pagi? Beliau yang bilang kami tidak apa-apa masuk ke dalam,” tanya saya penasaran.
“Kakek-kakek? Tidak ada kakek-kakek di sini, apalagi berambut putih dan panjang. Saya orang yang paling tua di sini,” jawab Pak Lurah.
Hiiiii!!!