« Home | Taman Permainan Seram » | Uwel-uwelan kabel » | The truth about European train » | Pilipina, Filipina, atau Pilifina? » | Hotel Kelebihan Bintang » | Naik Gunung? Kemping aja ah! » | Belanja Barang Bermerk » | Arti hidup di negara tropis » | Uka-Uka di Moyo » | Jangan paksa saya buang air besar! »

Wednesday, June 07, 2006

Menunggu Angin demi Adrenalin

Bicara soal adrenalin, rasanya sudah lama adrenalin saya tidak pernah ‘dipompa’ akibat kesibukan kerja. Ajakan seorang teman beberapa waktu yang lalu yang sedang ikut kursus paragliding membuat saya tertarik untuk mencoba. Paragliding? Setahu saya sih terjun payung dari gunung seperti yang sering kita lihat kalau melewati jalur Puncak. Ternyata terbuka untuk umum dan bisa terjun tandem (soalnya saya malas kalau disuruh ikut kursus). Kontak sana kontak sini demi untuk mencari teman barengan memang cukup sulit, mayoritas lagi-lagi alasannya klasik: karena takut. Untunglah ada satu teman yang mau diangkut.

Kami disuruh datang pada hari Sabtu di atas jam 12 siang ke lokasi di Riung Gunung Puncak, tepatnya di perkebunan teh PTP VIII Gunung Mas. Lagi asik mengisi perut di Puncak Pass, turunlah hujan deras. Kami pun pergi ke Factory Outlet sambil menunggu hujan berhenti. Jam 5 sore baru kami bisa naik ke puncak Gunung Mas. Hmm...naik mobil di pinggir tebing tinggi saja sudah lumayan bikin deg-degan mengingat kami akan terbang dari landasan yang tingginya 250 meter. Wah, setinggi gedung 83 lantai! Tempat landing berada sekitar 2 km dari landasan take off, cukup jauh dan curam kalau dilihat dari atas. Berhubung sudah sore dan katanya ‘mati angin’, kami pun menginap ramai-ramai di villa teman agar dapat mencoba lagi keesokan paginya. Sesepuh paragliding di situ lalu bercerita bahwa paragliding berbeda jauh dengan terjung payung meskipun sama-sama menggunakan payung. Kalau terjun payung adalah berupaya untuk turun, tapi paragliding justru berupaya untuk naik setinggi-tingginya dan terbang selama-lamanya di udara, namun sangat tergantung pada kondisi cuaca, thermal (udara panas yang naik ke atas) dan kecepatan angin.


Keesokan pagi jam 9 kami sudah ready di landasan. Badan dan paha saya lalu dililit dengan harnes yang menyambung ke semacam ransel besar berbentuk mirip seperti kura-kura – rupanya tempat menaruh parasut sekalian tempat duduk dan senderannya. Parasut lalu dibuka lebar dan diletakkan di landasan, tandem master dan saya pun diikat lagi ke tali parasut. Kami menunggu dan terus menunggu, duduk, berdiri, duduk, berdiri, demi mendapat angin baik’ yang katanya bisa diindasikan dengan melihat wind socket – bila arah angin menghadap kita dan bertiup cukup kencang, maka kita boleh mulai terbang. Giliran saya pun terus didahului para paraglider lain karena untuk tandem membutuhkan angin yang cukup kuat untuk membawa bobot 2 orang dibanding terbang solo. Sialnya, tiba-tiba awan hitam datang dan turunlah hujan. Buru-buru kami turun gunung dan berteduh lagi di warung. Menunggu lagi. Hujan turun cukup lama sampai akhirnya jam 1 siang kami memutuskan untuk pergi makan di restoran beneran. Lagi asik-asik makan, tiba-tiba awan hitam hilang dan matahari bersinar terang. Cling! Buru-buru lagi kami naik gunung dan bersiap lagi untuk terbang, tapi sialnya saat itu angin bertiup cuma sepoi-sepoi saja dan mengarah ke depan. Tandem master pun diganti dengan bobot yang lebih ringan supaya lebih mudah terbang. Kami pun menunggu dan menunggu lagi.

Jam 3 sore barulah saya tiba-tiba dipanggil dan cepat-cepat mengaitkan diri ke sana-sini. Si tandem master lalu menyuruh saya berlari... menghadap bibir tebing. Dan begitu saya berada di bibir tebing, saya merasakan jantung saya berhenti berdetak karena saya tidak melihat lagi landasan... tapi saya pun tertarik ke atas. Oh, saya sudah terbang! Selanjutnya saya sibuk menaikkan pantat saya agar dapat duduk di ransel kura-kura, sampai-sampai tandem master saya berdiri dan mendorong kursi ransel agar dia dapat ‘mencidukkan’ pantat saya. Setelah saya bisa menenangkan diri karena dapat duduk dengan tenang, saya baru merasakan terpaan angin yang berbunyi brbrrrrrr di muka saya. Kami pun terbang ke sana ke mari, rasanya seperti naik Ontang-Anting di Dufan tapi ini tidak ada porosnya. Telepon genggam yang berbunyi pun tidak saya hiraukan – bisa sih diangkat, tapi kalau jatuh bagaimana? Saya sempat pula melihat macetnya jalanan Puncak sampai...zziingg... tiba-tiba tandem master melakukan wing over – manuver belokan yang tajam. Saat inilah saya merasa adrenalin saya memuncak karena saya bisa saja seketika itu jatuh melorot karena tidak ada pegangan! Saat menuju tempat landing, tandem master menyuruh untuk menaikkan kaki saya bila tidak yakin bisa landing dengan kaki. Ssssuuuuttt...kami pun menabrak kebun teh.

Terakhir saya dikasih semacam sertifikat yang bertuliskan (perhatikan grammar dan ejaan bahasa Inggrisnya): I have try this extreem adventure flight in Indonesia. Tapi bagi saya, paragliding kurang seram dibanding ‘perjuangan’ saya menunggu angin – menunggu 2 hari untuk terbang sekitar 15 menit! Mungkin lagi sial, tapi berita baiknya, kalau saya traveling ke suatu tempat yang merupakan lokasi paragliding, ada aktivitas baru: saya bisa ikut lagi terbang tandem.


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|