« Home | Pertandingan Olah Raga? Bete! » | Menunggu Angin demi Adrenalin » | Taman Permainan Seram » | Uwel-uwelan kabel » | The truth about European train » | Pilipina, Filipina, atau Pilifina? » | Hotel Kelebihan Bintang » | Naik Gunung? Kemping aja ah! » | Belanja Barang Bermerk » | Arti hidup di negara tropis »

Sunday, June 18, 2006

Lost in Translation

Banyak sekali yang bisa diceritakan mengenai kendala bahasa saat traveling. Saya jadi ingat dulu waktu belajar bahasa Inggris di sekolah, kita hanya tahu bahasa Inggris ya bahasa Inggris. Setelah kenal dunia luar, barulah tahu bahwa setiap orang kulit putih belum tentu bisa berbahasa Inggris, dan bahwa bahasa Inggris di tiap negara itu berbeda, baik aksen maupun penggunaan kata-katanya. Dari cara orang berbicara bahasa Inggris pun saya bisa tahu dia asalnya dari mana. Salah terjemahan karena salah pengertian bahasa adalah biasa, misalnya di Jerman ketika saya memesan minuman di bar, “I’d like to have a Dry Martini” yang datang adalah 3 gelas Martini! Duh! Nah, kalau pergi ke negara dimana bahasa Inggris bukan bahasa utamanya, mulailah bahasa a la Tarzan digunakan. Contohnya ketika saya meminta sambal di restoran di Kamboja harus dengan cara berakting memotong cabe, belagak memakan dan kepedasan, barulah mereka mengerti.

Kalau traveling naik kereta di Eropa, pengumuman kota yang akan dituju dilakukan melalui pengeras suara dengan menggunakan bahasa setempat, dan berganti bahasa ketika memasuki perbatasan negara lain. Di airport, papan pengumuman juga menggunakan bahasa setempat. Nah, di sinilah saya sering ‘tebak-tebak buah manggis’ untuk menebak nama kota. Contohnya kota Jenewa di Swiss, dalam bahasa Inggrisnya adalah Geneva, dalam bahasa Jerman jadi Genf dan dalam bahasa Spanyol jadi Ginebra. Tapi bagi saya, paling tidak saya harus menghapal bahasa setempat untuk kata ‘keluar’ dan mengetahui persis dimana arahnya, baik sedang berada di restoran, tempat dugem, stasion kereta, airport, dan lain-lain. Rasanya di setiap tempat, saya harus bisa cepat lari keluar untuk menyelamatkan diri bila terjadi sesuatu. Kalau suatu negara mempunyai huruf sendiri, saya sampai mencatat di kertas khusus kata ‘keluar’. Begitu juga dengan alamat tempat penginapan saya, agar mudah ditunjukkan ke orang lokal bila nyasar.

Tahun 1995, teman saya pernah kecopetan dompetnya di Praha, Ceko. Kami berdua pun langsung mencari polisi untuk melapor kehilangan karena ada KTP, SIM, dan kartu kreditnya. Sialnya negara itu tidak ada yang bisa bahasa Inggris, bahasa keduanya adalah bahasa Jerman. Jadilah kami dengan berbahasa Tarzan ‘dilempar’ dari satu polisi ke polisi lainnya, sampailah kami di kantor polisi besar di dalam gedung bertingkat. Di dalam suatu ruangan kami disuruh menceritakan apa yang terjadi, tapi tak satupun mengerti bahasa Inggris. Yang ada, saya dan teman jadi buat pertunjukan drama, sedikit mirip pantomim: kami berdua jalan-jalan, saya mengambil dompetnya, kami kejar-kejaran, dan seterusnya. Polisi-polisi di ruangan itu semua malah terbahak-bahak. Sial. Kami disuruh menunggu sampai sejam dan keluarlah selembar kertas...laporan kehilangan dalam bahasa Ceko! Hehe, betapa tololnya kami, bela-belain lapor dan dikasih surat keterangan yang tidak bisa digunakan juga di Indonesia.

Cerita lucu lagi-lagi di Manila, Filipina. Suatu pagi saya naik taksi ke airport Centennial, tiba-tiba saya mencium bau yang menyengat sepert bau kentut. Otomatis saya ngamuk-ngamuk ke supir taksi karena saya yakin dia yang mengeluarkan gas berbau tidak sedap itu soalnya taksi yang ber-AC itu jendelanya tertutup dan tidak mungkin bau berasal dari luar karena kami berjalan di jalan protokol yang jauh dari got atau tumpukan sampah. Saya pun merepet dalam bahasa Indonesia – mungkin karena si supir mukanya kayak orang Indonesia beneran, “Sialan! Kentut ya lo! Bau kentut tau! Hih, berani-beraninya lo kentut!”. Bukannya merasa bersalah, si supir malah tersenyum simpul dengan muka yang memerah bak kepiting rebus dan menjadi sangat grogi. Untunglah tak lama kemudian sampai di airport jadi saya segera turun, tanpa memperpanjang persoalan meskipun kesal. Malam harinya saya mengobrol dengan cowok-cowok lokal Filipin di pinggir pantai Sabang dan pembicaraan sampai ke topik bahasa yang akhirnya membahas bahasa jorok di masing-masing negara. Mampus, saya baru tahu kalau kata ‘kentut’ dalam bahasa sana artinya ‘f*ck’! Pantas saja tadi si supir taksi merah mukanya, pasti dia menyangka saya mengajak dia tidur! Hiiii!

Kebetulan saya pernah diuntungkan menginap di sebuah hostel di Athena karena dalam kamar yang seharusnya diisi 4 orang hanya diisi dengan saya dan seorang cowok brondong Jepang yang guanteng banget. Selama dua hari kami menghabiskan waktu bersama, meskipun bahasa Inggris dia sangat parah. Kemana-mana dia bawa kamus elektronik supaya dia bisa berkomunikasi dengan saya, bahkan ucapannya terdengar seperti robot karena mengikuti suara di gadget tersebut. Jawaban atas pertanyaan kompleks selalu dengan kalimat ‘I don’t know’ – artinya, dia tidak tahu jawabannya atau dia tidak tahu menjawab apa dalam bahasa Inggris. Berhubung dia ganteng dan saya traveling sendiri, ya sudahlah saya cuek saja, lumayan buat lucu-lucuan. Malam terakhir, kami tidur di tempat tidur masing-masing, tiba-tiba dia bertanya, “Who are you thinking now?”. Aha, ada sinyal nih.
Saya pun menjawab sok menggoda, “You.”
Jedah. 1 menit. Saya melihat dia mengetik-ngetikkan sesuatu di kamus elektroniknya.
What about you? Who are you thinking now?”, tanya saya penasaran tapi gengsi.
I don’t know,” jawabnya lempeng-dot-com.
Saya pun menarik selimut dan tidur. Bete.


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|