Pertandingan Olah Raga? Bete!
Di musim World Cup seperti saat ini, rasanya semua orang jadi intens untuk menyaksikan pertandingan sepak bola dunia, bahkan cafe dan restoran pun jadi sering bikin acara nonton bareng. Rupanya fenomena nonton bareng terdapat di mana-mana, baik pertandingan sepak bola, maupun cabang olah raga lainnya. Tapi menurut saya, budaya nonton bareng pertandingan olah raga membuat saya jadi bete kalau saya sedang traveling di luar negeri. Lain halnya kalau saya memang niat nonton pertandingan, membeli tiket, masuk ke stadion, dan menjadi suporter salah satu tim. Tapi kalau niatnya jalan-jalan, dan karena ada pertandingan olah raga malah jadi ribet, wah ogah deh!
Waktu saya backpacking ke Australia tahun 2000, pas bersamaan dengan penyelenggaraan Olympiade. Karena saya mulai dari Melbourne, euphoria Olympiade kurang berasa di sana, sampai saya tiba di Sydney barulah saya merasakannya. Mulai dari bandara, transportasi umum, jalan-jalan, cafe, pantai, semua penuh dengan orang dengan kostum berbagai negara, entah pendukung entah atlet. Cari hostel maupun hotel pun susah, semuanya fully booked – untung saya bisa nebeng di rumah teman. Mau berenang di Bondi Beach pun penuh dengan orang yang menonton pertandingan volley pantai. Lumayan juga sih liat atlet-atlet laki bertelanjang dada sliweran...yumm! Pertandingan-pertandingan lain, terutama yang melibatkan Australia, disiarkan live melalui giant screen di jalanan. Pengalungan medali juga dilakukan di tempat ramai di Circular Quay dekat Opera House sehingga menambah sesak sampai mau foto-foto pun tidak bisa. Malam hari di daerah gaul The Rocks juga tidak lain tidak bukan bikin acara nonton bareng di tiap cafe. Lama-lama saya muak juga, pengen santai bergaul tanpa embel-embel olah raga tapi tidak bisa. Sedikit-sedikit mau ngga mau jadi dipaksa orang-orang di sekitar saya untuk turut meneriakkan yell mereka, “Aussie, Aussie, Oy, Oy, Oy!”. Rasanya saya jadi tidak nasionalis. Giliran ada pertandingan bulutangkis di TV yang ada tim Indonesianya, saya baru semangat nonton...tapi akhirnya dipindah channel karena tidak ada tim Australia di sana – saya sampai nonton di toko elektronik yang jual TV. Penutupan Olympiade tanggal 1 Oktober malam, saya diajak teman orang Australia untuk nonton pesta kembang api di Darling Harbour. Bis dan taksi semua penuh, jalan kaki pun penuh sesak. Akhirnya kami susah payah berjalan kaki pulang ke rumah teman di pinggir pantai Habord, dan menonton dari teras rumahnya.
Pesan saya, kalau berencana traveling ke kota penyelenggara Olympiade, paling enak datang setelah Olympiade bubar. Beberapa bulan setelah Olympiade 1996 di Atlanta dan Olympiade 2004 di Athena, saya pas lagi berada kedua kota tersebut. Enaknya, transportasi umum sudah dibuat baik tapi tidak penuh, contohnya di Athena - karena Olympiade jadi ada kereta bawah tanah yang mempermudah traveling. Fasilitas umum jadi bersih dan nyaman, petunjuk pun banyak dibuat dalam bahasa Inggris. Kalau doyan belanja, barang-barang merchandise Olympiade dijual obral sampai 70%.
Namun bukan hanya pertandingan Olympiade saja bikin saya bete. Suatu malam minggu di Auckland, Selandia Baru, saya berencana mau clubbing. Pergilah saya ke daerah Harbour karena di situ ada sederetan cafe dan club, jadi gampang untuk pindah-pindah tempat. Sialnya malam itu ada siaran langsung pertandingan rugby internasional dan ditayangkan live di tiap restoran/cafe/bar/pub/biliard/club, bahkan dipasang giant screen di tengah laut! Akhirnya saya minum-minum saja di Loaded Hog, yang katanya tempat yang paling happening. Tapi di situ orang-orang semuanya serius nonton TV sampai berteriak-teriak dan bertepuk tangan, padahal saya sama sekali tidak mengerti pertandingan rugby. Sampai jam 1 pagi pertandingan rugby itu belum juga kelar, saya sudah keburu capek dan mengantuk. Bubarlah acara. Sial!
Pertandingan olah raga juga hampir ‘membunuh’ saya pada suatu malam di daerah Khaosan, Bangkok. Malam itu ada final Tiger Cup 2002 antara Indonesia vs Thailand, jadi saya dan seorang teman Indonesia bela-belain mencari warung lokal yang menyetel pertandingan live di TV. Kami duduk di meja paling depan, berteriak-teriak di antara orang Thailand, memelet-meletkan lidah saat tim Indonesia memasukkan gol, mencaci maki dalam bahasa Indonesia saat tim Thailand memasukkan gol. Setelah 2 x 45 menit, kedudukan 2-2 jadi masih ada perpanjangan waktu, eh channel TV diganti pertandingan Liga Inggris karena ada orang bule yang protes. Suasana makin panas karena ada 3 kubu yang berebut channel, tapi karena Liga Inggris sudah diiklankan sebagai acara nonton bareng di papan depan warung jadinya kita mengalah. Buru-buru kami pindah dan lari-lari mencari warung lain, ternyata orang-orang Thailand itu juga ikutan pindah. Warung yang satu ini jadi penuh sesak, hanya kami berdua yang super ribut membela tim Indonesia di antara puluhan orang lokal dan bule yang membela Thailand. Teriakan semangat ‘Yess!’ dan teriakan ledekan ‘Booooo...!’ bergantian terdengar di antara 2 kubu. Saat adu penalty, suasana tambah panas sampai lempar-lemparan kacang dan bungkus rokok. Begitu tim Thailand berhasil menggolkan bola pada kesempatan terakhir, tim Indonesia pun kalah. Buru-buru kami berlari kabur sambil diteriaki orang sewarung dan dilempari!
Waktu saya backpacking ke Australia tahun 2000, pas bersamaan dengan penyelenggaraan Olympiade. Karena saya mulai dari Melbourne, euphoria Olympiade kurang berasa di sana, sampai saya tiba di Sydney barulah saya merasakannya. Mulai dari bandara, transportasi umum, jalan-jalan, cafe, pantai, semua penuh dengan orang dengan kostum berbagai negara, entah pendukung entah atlet. Cari hostel maupun hotel pun susah, semuanya fully booked – untung saya bisa nebeng di rumah teman. Mau berenang di Bondi Beach pun penuh dengan orang yang menonton pertandingan volley pantai. Lumayan juga sih liat atlet-atlet laki bertelanjang dada sliweran...yumm! Pertandingan-pertandingan lain, terutama yang melibatkan Australia, disiarkan live melalui giant screen di jalanan. Pengalungan medali juga dilakukan di tempat ramai di Circular Quay dekat Opera House sehingga menambah sesak sampai mau foto-foto pun tidak bisa. Malam hari di daerah gaul The Rocks juga tidak lain tidak bukan bikin acara nonton bareng di tiap cafe. Lama-lama saya muak juga, pengen santai bergaul tanpa embel-embel olah raga tapi tidak bisa. Sedikit-sedikit mau ngga mau jadi dipaksa orang-orang di sekitar saya untuk turut meneriakkan yell mereka, “Aussie, Aussie, Oy, Oy, Oy!”. Rasanya saya jadi tidak nasionalis. Giliran ada pertandingan bulutangkis di TV yang ada tim Indonesianya, saya baru semangat nonton...tapi akhirnya dipindah channel karena tidak ada tim Australia di sana – saya sampai nonton di toko elektronik yang jual TV. Penutupan Olympiade tanggal 1 Oktober malam, saya diajak teman orang Australia untuk nonton pesta kembang api di Darling Harbour. Bis dan taksi semua penuh, jalan kaki pun penuh sesak. Akhirnya kami susah payah berjalan kaki pulang ke rumah teman di pinggir pantai Habord, dan menonton dari teras rumahnya.
Pesan saya, kalau berencana traveling ke kota penyelenggara Olympiade, paling enak datang setelah Olympiade bubar. Beberapa bulan setelah Olympiade 1996 di Atlanta dan Olympiade 2004 di Athena, saya pas lagi berada kedua kota tersebut. Enaknya, transportasi umum sudah dibuat baik tapi tidak penuh, contohnya di Athena - karena Olympiade jadi ada kereta bawah tanah yang mempermudah traveling. Fasilitas umum jadi bersih dan nyaman, petunjuk pun banyak dibuat dalam bahasa Inggris. Kalau doyan belanja, barang-barang merchandise Olympiade dijual obral sampai 70%.
Namun bukan hanya pertandingan Olympiade saja bikin saya bete. Suatu malam minggu di Auckland, Selandia Baru, saya berencana mau clubbing. Pergilah saya ke daerah Harbour karena di situ ada sederetan cafe dan club, jadi gampang untuk pindah-pindah tempat. Sialnya malam itu ada siaran langsung pertandingan rugby internasional dan ditayangkan live di tiap restoran/cafe/bar/pub/biliard/club, bahkan dipasang giant screen di tengah laut! Akhirnya saya minum-minum saja di Loaded Hog, yang katanya tempat yang paling happening. Tapi di situ orang-orang semuanya serius nonton TV sampai berteriak-teriak dan bertepuk tangan, padahal saya sama sekali tidak mengerti pertandingan rugby. Sampai jam 1 pagi pertandingan rugby itu belum juga kelar, saya sudah keburu capek dan mengantuk. Bubarlah acara. Sial!
Pertandingan olah raga juga hampir ‘membunuh’ saya pada suatu malam di daerah Khaosan, Bangkok. Malam itu ada final Tiger Cup 2002 antara Indonesia vs Thailand, jadi saya dan seorang teman Indonesia bela-belain mencari warung lokal yang menyetel pertandingan live di TV. Kami duduk di meja paling depan, berteriak-teriak di antara orang Thailand, memelet-meletkan lidah saat tim Indonesia memasukkan gol, mencaci maki dalam bahasa Indonesia saat tim Thailand memasukkan gol. Setelah 2 x 45 menit, kedudukan 2-2 jadi masih ada perpanjangan waktu, eh channel TV diganti pertandingan Liga Inggris karena ada orang bule yang protes. Suasana makin panas karena ada 3 kubu yang berebut channel, tapi karena Liga Inggris sudah diiklankan sebagai acara nonton bareng di papan depan warung jadinya kita mengalah. Buru-buru kami pindah dan lari-lari mencari warung lain, ternyata orang-orang Thailand itu juga ikutan pindah. Warung yang satu ini jadi penuh sesak, hanya kami berdua yang super ribut membela tim Indonesia di antara puluhan orang lokal dan bule yang membela Thailand. Teriakan semangat ‘Yess!’ dan teriakan ledekan ‘Booooo...!’ bergantian terdengar di antara 2 kubu. Saat adu penalty, suasana tambah panas sampai lempar-lemparan kacang dan bungkus rokok. Begitu tim Thailand berhasil menggolkan bola pada kesempatan terakhir, tim Indonesia pun kalah. Buru-buru kami berlari kabur sambil diteriaki orang sewarung dan dilempari!