« Home | Traveling with Superstar (2) » | Traveling with Superstar » | Traveling dulu vs sekarang » | Pulau James Bond dan Candi Angelina Jolie » | Takut Maling, Bukan Takut Teroris » | Susah Selingkuh di Palau » | Palau: negara hiu! » | Liburan ke Palau bukan Pulau » | Cakar-cakaran langit » | Visa doesn’t take you anywhere »

Saturday, November 04, 2006

Menghitung Hari Cuti

Cuti, sebuah kata yang sangat membangkitkan semangat (saya). Karena saya sangat menyukai traveling, cuti adalah isu besar bagi seorang karyawan seperti saya. Sebagai seorang yang bekerja di perusahaan di Indonesia, menurut saya tidak adil untuk mendapatkan hak cuti hanya 12 hari dalam setahun. Konon karena di Indonesia sudah punya banyak tanggal merah alias public holiday, padahal di luar negeri kurang lebih sama juga banyaknya. Ada sih tambahan hak cuti, yaitu cuti sakit dengan surat dokter dan kalau ada keluarga yang meninggal dunia atau menikah. Paling lama ya cuti melahirkan, tapi ga bisa ‘ditipu’ kan? Tapi berapa sering sih dalam setahun kita mengalami kejadian di atas?

Betapa siriknya saya mengetahui teman-teman saya di luar negeri yang punya banyak hari cuti. Di luar public holidays, dalam setahun di Amerika berhak mendapat 3 minggu cuti, di Eropa dan Australia dapat 4 minggu cuti, bahkan negara-negara di Skandinavia dan Mediterania dapat 33-36 hari hak cuti! Pantas saja orang Eropa yang paling banyak ‘keleleran’ traveling di seluruh dunia. Percaya tidak, hanya di negara-negara berkembang saja (kebanyakan di negara Asia) yang mendapat hak cuti sama dengan atau kurang dari 2 minggu. Apanya yang salah saya tidak tahu, mungkin orang kita dianggap tidak produktif dalam bekerja. Tapi saya lebih heran lagi dengan orang-orang yang tidak memanfaatkan hak cutinya. Kok bisa ada teman kantor yang masih punya sisa cuti 5 hari yang tidak diambil dan dibiarkan hangus. Lucunya, saudara saya yang seorang polisi mengaku tidak pernah ambil cuti karena kalau cuti dianggap merugi karena tidak ada pemasukan – tau kan maksudnya?

Saya sungguh sebal dengan peraturan pemerintah tentang ‘libur bersama’ yang baru diterapkan beberapa tahun belakangan ini karena hak cuti saya dipaksa disunat - kita dipaksa libur pada hari kejepit, alasannya daripada tidak efektif bekerja karena banyak juga yang jadinya bolos. Masalahnya, dalam setahun cukup banyak juga hak cuti yang mau tak mau harus mau direlakan untuk direnggut begitu saja dalam kehidupan saya. Contohnya saja libur Lebaran yang pasti dipotong 3 hari, ditambah libur ini itu totalnya jadi 6 hari. Jadi pada dasarnya hak cuti karyawan dari 12 hari itu tinggal 6 hari saja! Padahal ada hari-hari dimana saya lagi bokek dan tidak ingin pergi ke mana-mana. Lebih sebalnya lagi, saya tidak bisa traveling jauh karena tidak mendapat libur yang cukup panjang. Seminggu mau ke Eropa atau Amerika mah ‘ngabis-ngabisin badan’ saja bukan? Waktu terbangnya saja sudah terpotong 3 hari sendiri. Duh!

Pasalnya saya senang menabung cuti supaya semua hari cuti itu bisa ‘dijebret’ sekaligus. Peraturan perusahaan tempat saya bekerja tidak menyebutkan bahwa karyawan boleh sekaligus mengambil semuanya, tapi tetap saja harus mendapat izin dari atasan. Saya selalu berdoa agar mendapat bos syang memperbolehkan saya pergi, berdoa agar tidak ada pekerjaan yang bertumpuk, dan berdoa ada rekan kerja yang bersedia menggantikan pekerjaan saya. Dalam ilmu ‘percutian’, soal agama adalah penting dalam menentukan waktu liburan - lebih mudah bila terdapat perbedaan agama di antara karyawan dalam satu unit. Yang Muslim akan mengambil cuti Lebaran dan kerja pada libur Natal, yang Kristen akan mengambil cuti Natal dan kerja pada libur Lebaran. Meskipun saya Natalan, saya merayakan keduanya karena keluarga ibu merayakan Lebaran, jadi saya bisa memilih liburan di salah satu hari raya tersebut. Karena kita dipaksa pemerintah untuk cuti bersama pada hari keagamaan, biasanya saya selalu menambahkan hari cuti sendiri yang ditempel di belakangnya agar saya mendapatkan waktu lebih banyak untuk traveling.

Dulu saya pernah lama kerja di hospitality industry, industri yang selalu buka 365 hari dalam setahun. Kejamnya, sistem kerja dibuat 6-1 artinya 6 hari kerja 1 hari libur dan hari liburnya pun tidak boleh pada hari Sabtu, Minggu, atau tanggal merah. Cuti sih dapat 12 hari setahun juga, tapi hitungan hari cuti termasuk weekend. Sampai suatu saat saya pernah jadi job hopper – sering pindah kerjaan demi mendapat waktu libur lebih di antara keluar dari satu perusahaan dan sebelum masuk perusahaan baru. Betapa bahagianya saja ketika saya akhirnya pindah kerja corporate yang Sabtu Minggu libur, jadi dengan 5 hari cuti bisa dapat 10 hari liburan kalau berangkat Jumat malam dan pulang Minggu malam. Kabar gembiranya, Februari depan saya sudah bekerja di perusahaan yang sekarang selama 3 tahun, artinya saya mendapat tambahan hari cuti yang disebut cuti progresif selama 3 hari jadi totalnya 15 hari. Wah, lumayan!


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|