« Home | Visa doesn’t take you anywhere » | Sandal Jepit Pejabat » | Kuping Babi, Embrio Bebek, atau Kecoa? » | Kecil tapi Penting » | Tragedi Paspor » | Mau Murah, Tahanlah Lapar » | Lost in Translation » | Pertandingan Olah Raga? Bete! » | Menunggu Angin demi Adrenalin » | Taman Permainan Seram »

Monday, August 07, 2006

Cakar-cakaran langit

Berada di ketinggian ternyata merupakan salah satu aktivitas favorit saya. Nggak ngapa-ngapain sih, cuma senang aja melihat pemandangan dari ketinggian, apalagi di malam hari dimana saya bisa melihat lampu-lampu kota. Dulu saya bahkan senang nongkrong eh nangkring di bibir jendela kantor lama saya di lantai 16. Ada blok pas seukuran pantat yang memanjang sepanjang jendela gedung, di situlah pantat saya nempel sambil memandang Jalan Sudirman di malam hari dengan kaki saya yang bergelayutan. Saya baru sadar, ternyata ada satu hal yang selalu saya lakukan bila saya ke suatu tempat wisata, yaitu mencari tempat tertinggi.

Saya juga senang memandang kota di malam hari dari ketinggian. Di Indonesia tempat favorit saya adalah kawasan Dago Pakar dengan outdoor cafe-nya yang bisa memandang kota Bandung, atau di kawasan Gombel tempat memandang lampu kota Semarang. Di luar contohnya seperti di Mount Victoria di Auckland, Kahlenberg di Vienna, dan Tibidado di Barcelona. Kalau mau melihat pemandangan kota dari tempat tertinggi di kota tersebut, paling gampang cari saja cable car (kadang disebut gondola) di peta, biasanya menuju bukit tertinggi di kota tersebut, contohnya Festung Hohensalzburg di Salzburg, Bob’s Peak di Queenstown, Bukit Bendera di Penang, Doi Suthep di Chiang Mai, bahkan bisa sampai ke puncak Mount Pilatus di Lucerne. Pemandangan dari situ luar biasa!

Dulu saya bercita-cita ke New York karena sangat tertarik dengan gedung-gedung pencakar langitnya yang saya sering lihat di fim-film Amerika. Pertama kali menjejakkan kaki di sana, saya langsung menuju Empire State Building (381 m). Mungkin karena terpengaruh film A love affair-nya Warren Beaty dan Anette Bening atau Sleepless in Seattle-nya Tom Hanks dan Meg Ryan, suasana di situ jadi romantis. Saya juga ke Twin Towers-nya World Trade Center (417 m) yang dulunya merupakan bangunan tertinggi di dunia sebelum adanya Petronas. Siapa sangka World Trade Center yang kokoh itu hancur kena serangan teroris di tahun 2001. Makanya saya merasa beruntung sempat foto-foto di depan gedung tersebut, rasanya saya menjadi bagian dari sejarah.

Untuk berada di tempat tertinggi di suatu tempat tujuan wisata, pastilah dikutip bayaran. Biasanya ada observation deck yang dapat memandang 360°, ada teropong yang kalau mau lihat harus bayar pakai koin, kadang ada restoran yang bisa sambil mimi-mimi melihat pemandangan. Contohnya waktu saya ke menara Eiffel (300 m) di Paris. Untuk naik ke menara tersebut, terdapat antrian yang sangat panjang. Tunggu punya tunggu, tiba-tiba saya melihat ada antrian lain yang lebih pendek sehingga saya pindah jalur. Begitu saya sampai di depan pintu...ternyata antrian itu adalah antrian naik menara dengan menggunakan tangga! Oalah, pantesan! Antrian panjang satunya tentu dengan menggunakan lift. Lumayan gempor kan kalau disuruh naik tangga berulir begitu, apalagi sambil diterpa angin dingin. Berbekal pengalaman lucu tersebut, saya benar-benar mencari informasi apakah naik pakai tangga atau pakai lift. Seperti waktu saya ke Sagrada Familia di Barcelona, gereja yang dibangun oleh arsitek terkenal bernama Gaudi. Saya memilih membayar ekstra 2 Euro demi naik ke puncak pakai lift. Sialnya, sampai lift terbuka, kita masih harus naik tangga lagi untuk sampai ke puncak.

Saya juga menyempatkan diri ke Rialto Tower (251 m) di Melbourne dan Sky Tower (328 m) di Auckland - keduanya sama-sama mengklaim diri sebagai bangunan tertinggi di southern hemisphere. Tapi ternyata saya boleh berbangga sebagai orang Indonesia saat saya ke Helsinki dimana saya diajak ngopi di restoran tertinggi di negara Finlandia. Halah, gedung yang disebut Hotel Torni itu cuman 70 meter tingginya. Beda tipis dengan bangunan tertinggi di negara Andora yaitu Caldea Spa (80 m) – yep, bangunan tertingginya merupakan tempat spa terbesar di Eropa, itupun bentuknya kerucut dimana lantai paling atasnya adalah bar dengan 4 meja saja. Di Dubai saya juga ke Burj al Arab Hotel, hotel tertinggi di dunia dengan ketinggian 321 meter. Boro-boro mau ngeteh di Skyview Bar-nya di lantai 60, untuk masuk ke sana saja dikutip bayaran yang mahal - jadinya saya hanya foto di depan pagar. Kasian deh saya!

Menarik bila memperhatikan bagaimana orang berlomba membangun gedung tertinggi di dunia. Kalau dulu didominasi oleh negara barat namun sekarang beralih ke Asia. Dari 30 besar dari ranking tingginya bangunan (tidak termasuk antena) di dunia, Cina sendiri punya 12. Bagaimana dengan negara kita sendiri? Top of mind orang pasti merujuk kepada Monas yang tingginya ternyata ‘hanya’ 137 meter saja. Bangunan tertinggi di Indonesia saat ini dimenangkan oleh Wisma BNI 46 dengan tinggi 250 meter - kebayang kalau ada kebakaran, bisa ‘ndredeg’ tu dengkul turun pakai tangga dari lantai 50! Biar bagaimanapun, saya sangat berharap Jakarta Tower di Kemayoran jadi dibangun. Konon akan selesai tahun 2009 dengan ketinggian 558 meter mengalahkan CN Tower di Toronto! Yiiihaaaa!


E-mail this post



Remenber me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...

|