Liburan ke Palau bukan Pulau
Bukan salah tulis atau salah cetak dengan kata ‘pulau’ seperti yang sering ditanya teman-teman ‘Hah? Liburan ke Pulau apa?’, tapi saya ke negara Palau - Republic of Palau. Pertanyaan selanjutnya pasti, "Palau? Di mana tuh?". Di Micronesia, Samudra Pasifik. "Micronesia? Mana lagi tuh?". Ah panjang.
Terus terang saya baru mengetahui keberadaan negara itu juga 2 tahun yang lalu saat saya ke danau indah di Pulau Kakaban, dekat Derawan, Kalimantan Timur. Di danau tersebut terdapat buanyak stingless jellyfish, ubur-ubur yang kehilangan kemampuannya untuk menggigit akibat tidak adanya predator di air yang terperangkap di dalam atol sejak zaman pra sejarah. Katanya di dunia ini hanya ada 2 danau semacam itu, 1 di Kakaban tadi dan 1 di Palau.
Karena Palau merupakan negara in the middle of nowhere dan tidak ngetop, mencari informasi di internet pun susah, ditambah lagi tidak ada satu orang pun yang saya kenal yang pernah ke sana jadi tidak bisa bertanya, apalagi buku Lonely Planet tentang Palau tidak saya temukan di toko buku manapun di Jakarta. Yang saya takutkan apalagi kalau bukan soal visa. Di Indonesia tidak ada Kedutaannya, di internet tidak disebutkan syarat masuk ke negara tersebut, bahkan jaringan international roaming operator selular yang saya pakai pun tidak ada kerja sama dengan Palau – artinya bakal tidak ada sinyal blas! Saya sampai membuat back up plan kalau-kalau dideportasi (lagi), yaitu saya akan traveling ke pulau-pulau di Filipina bagian selatan. Dengan bermodalkan nekad dan informasi seadanya, saya berhasil mengajak seorang teman ke sana - Yasmin, cewek seangkatan di kuliah, sepermainan, dan sekosan.
Meski ribet, cara termurah ke Palau adalah dengan naik pesawat dengan rute sebagai berikut: Jakarta – Manado – Davao (kota terbesar ketiga di Filipina) – Koror (ibu kota Palau). Pesawat Manado – Davao naik Merpati dengan jenis Foker 100 dan pesawat Davao – Koror naik Asian Spirit dengan jenis British Aerospace 164, masing-masing berkapasitas lumayan besar dengan 100 seaters. Karena pesawat dari Manado ke Davao hanya sekali seminggu pada hari Senin, kami menghabiskan waktu dengan scuba diving dulu di Bunaken dan keliling kota Davao yang terkenal dengan julukan durian city (tapi harga durian di Davao saat musim durian pun 3 kali lipat lebih mahal daripada harga durian di Medan. Cis!). Di Davao kami bela-belain belanja beberapa botol air putih 1,5 literan dan banyak camilan, takut dengan harga yang melambung di Palau. Petugas check-in bagasi pesawat sampai bertanya, “Are these your clothes, Ma’am?”. Saya pikir pertanyaan standar keamanan penerbangan seperti di negara barat yang selalu bertanya sampai ke pertanyaan ‘did you pack by yourself?’, tapi begitu saya menjawab ‘yes’ ternyata si petugas berkomentar, “It’s too heavy for a week traveling, Ma'am!”. Saya hanya tersenyum menjawab – lebih tepatnya ngeles, “Well, I can’t afford laundry in the hotel.”
Anyway, begitu mendarat di Koror sekitar jam 7 malam, saya deg-degan juga mengantri di imigrasi. Tak tahunya si petugas imigrasi malah surprise ada orang Indonesia mau jadi turis di negaranya dan bertanya bagaimana saya tahu negara Palau. Malah dia bilang banyak nelayan Indonesia yang tinggal di Palau (wah, saya tidak jadi menorehkan rekor sebagai orang Indonesia pertama di Palau. Hehe!). Cap cap... saya pun lolos imigrasi, dikasih batas waktu sebulan, dan tanpa biaya visa sama sekali! Horee! Hambatan kedua adalah melewati custom yang petugasnya orang-orang Palau yang hitam dan segede kulkas 3 pintu. Mereka menanyakan sangat detail tentang barang-barang dan jumlah uang tunai yang saya bawa. Akhirnya kami bertemu dengan supir penjemput dari hotel, tidak berbentuk seperti orang Palau karena dia seorang Pinoy (Filipina). Lucunya, mobil berjalan di kanan tapi setir mobil ada di kanan juga! Ini akibat Palau bekas jajahan Amerika Serikat tapi mengimpor mobil dari Jepang. Di sepanjang jalan menuju kota, tampaknya seperti memasuki kompleks perumahan Caltex di Riau, semua rumah berbentuk sama, berpanggung, ber-AC dan tanpa pagar.
Salah satu cara termurah dan menghemat sampai 60%, kami mengambil paket terbang dan menginap dari Asian Spirit sehingga 3 hari pertama dapat menginap di hotel berbintang 3 yang jendelanya langsung di pinggir laut. Maksud hati besok pagi mau langsung nyebur ke laut, tapi besoknya saya terkaget-kaget karena air lautnya surut rut rut sampai karang-karang lautnya terlihat. Lah? Maka hari pertama kami melakukan survey di downtown, maksudnya cek harga makanan di restoran, harga bahan makanan di supermarket, harga paket diving, sekalian harga suvenir. Kata resepsionis, tidak ada transportasi publik di negara ini! Hah? Satu-satunya cara bepergian adalah dengan naik taksi tanpa argo. Dari hotel ke downtown yang cuma 2 menit saja bayarnya 3$ AS – ya, negara ini menggunakan mata uang dolar Amerika. Wah, bisa mampus bukan? Ternyata harga-harga di sana pun memang bikin mampus: makan 1 course main menu di restoran biasa saja rata-rata 10$, 1 botol air putih ukuran 500 ml 1$, tour seharian rata-rata 100$, t-shirt jelek tulisan Palau paling murah 16$. Cis! Kami pun berbelanja pop mie (merk Indomie asli import dari Indonesia, seharga 59 cents sebiji. Sial!), sosis, kornet, roti sisir, dan air putih isi 3 galon. Kombinasi makanan ini untuk makan malam kami setiap hari. Nasib jadi backpacker - biar dikata menginap di hotel bagus, makanannya serasa kemping di hutan.
Bersambung...
Terus terang saya baru mengetahui keberadaan negara itu juga 2 tahun yang lalu saat saya ke danau indah di Pulau Kakaban, dekat Derawan, Kalimantan Timur. Di danau tersebut terdapat buanyak stingless jellyfish, ubur-ubur yang kehilangan kemampuannya untuk menggigit akibat tidak adanya predator di air yang terperangkap di dalam atol sejak zaman pra sejarah. Katanya di dunia ini hanya ada 2 danau semacam itu, 1 di Kakaban tadi dan 1 di Palau.
Karena Palau merupakan negara in the middle of nowhere dan tidak ngetop, mencari informasi di internet pun susah, ditambah lagi tidak ada satu orang pun yang saya kenal yang pernah ke sana jadi tidak bisa bertanya, apalagi buku Lonely Planet tentang Palau tidak saya temukan di toko buku manapun di Jakarta. Yang saya takutkan apalagi kalau bukan soal visa. Di Indonesia tidak ada Kedutaannya, di internet tidak disebutkan syarat masuk ke negara tersebut, bahkan jaringan international roaming operator selular yang saya pakai pun tidak ada kerja sama dengan Palau – artinya bakal tidak ada sinyal blas! Saya sampai membuat back up plan kalau-kalau dideportasi (lagi), yaitu saya akan traveling ke pulau-pulau di Filipina bagian selatan. Dengan bermodalkan nekad dan informasi seadanya, saya berhasil mengajak seorang teman ke sana - Yasmin, cewek seangkatan di kuliah, sepermainan, dan sekosan.
Meski ribet, cara termurah ke Palau adalah dengan naik pesawat dengan rute sebagai berikut: Jakarta – Manado – Davao (kota terbesar ketiga di Filipina) – Koror (ibu kota Palau). Pesawat Manado – Davao naik Merpati dengan jenis Foker 100 dan pesawat Davao – Koror naik Asian Spirit dengan jenis British Aerospace 164, masing-masing berkapasitas lumayan besar dengan 100 seaters. Karena pesawat dari Manado ke Davao hanya sekali seminggu pada hari Senin, kami menghabiskan waktu dengan scuba diving dulu di Bunaken dan keliling kota Davao yang terkenal dengan julukan durian city (tapi harga durian di Davao saat musim durian pun 3 kali lipat lebih mahal daripada harga durian di Medan. Cis!). Di Davao kami bela-belain belanja beberapa botol air putih 1,5 literan dan banyak camilan, takut dengan harga yang melambung di Palau. Petugas check-in bagasi pesawat sampai bertanya, “Are these your clothes, Ma’am?”. Saya pikir pertanyaan standar keamanan penerbangan seperti di negara barat yang selalu bertanya sampai ke pertanyaan ‘did you pack by yourself?’, tapi begitu saya menjawab ‘yes’ ternyata si petugas berkomentar, “It’s too heavy for a week traveling, Ma'am!”. Saya hanya tersenyum menjawab – lebih tepatnya ngeles, “Well, I can’t afford laundry in the hotel.”
Anyway, begitu mendarat di Koror sekitar jam 7 malam, saya deg-degan juga mengantri di imigrasi. Tak tahunya si petugas imigrasi malah surprise ada orang Indonesia mau jadi turis di negaranya dan bertanya bagaimana saya tahu negara Palau. Malah dia bilang banyak nelayan Indonesia yang tinggal di Palau (wah, saya tidak jadi menorehkan rekor sebagai orang Indonesia pertama di Palau. Hehe!). Cap cap... saya pun lolos imigrasi, dikasih batas waktu sebulan, dan tanpa biaya visa sama sekali! Horee! Hambatan kedua adalah melewati custom yang petugasnya orang-orang Palau yang hitam dan segede kulkas 3 pintu. Mereka menanyakan sangat detail tentang barang-barang dan jumlah uang tunai yang saya bawa. Akhirnya kami bertemu dengan supir penjemput dari hotel, tidak berbentuk seperti orang Palau karena dia seorang Pinoy (Filipina). Lucunya, mobil berjalan di kanan tapi setir mobil ada di kanan juga! Ini akibat Palau bekas jajahan Amerika Serikat tapi mengimpor mobil dari Jepang. Di sepanjang jalan menuju kota, tampaknya seperti memasuki kompleks perumahan Caltex di Riau, semua rumah berbentuk sama, berpanggung, ber-AC dan tanpa pagar.
Salah satu cara termurah dan menghemat sampai 60%, kami mengambil paket terbang dan menginap dari Asian Spirit sehingga 3 hari pertama dapat menginap di hotel berbintang 3 yang jendelanya langsung di pinggir laut. Maksud hati besok pagi mau langsung nyebur ke laut, tapi besoknya saya terkaget-kaget karena air lautnya surut rut rut sampai karang-karang lautnya terlihat. Lah? Maka hari pertama kami melakukan survey di downtown, maksudnya cek harga makanan di restoran, harga bahan makanan di supermarket, harga paket diving, sekalian harga suvenir. Kata resepsionis, tidak ada transportasi publik di negara ini! Hah? Satu-satunya cara bepergian adalah dengan naik taksi tanpa argo. Dari hotel ke downtown yang cuma 2 menit saja bayarnya 3$ AS – ya, negara ini menggunakan mata uang dolar Amerika. Wah, bisa mampus bukan? Ternyata harga-harga di sana pun memang bikin mampus: makan 1 course main menu di restoran biasa saja rata-rata 10$, 1 botol air putih ukuran 500 ml 1$, tour seharian rata-rata 100$, t-shirt jelek tulisan Palau paling murah 16$. Cis! Kami pun berbelanja pop mie (merk Indomie asli import dari Indonesia, seharga 59 cents sebiji. Sial!), sosis, kornet, roti sisir, dan air putih isi 3 galon. Kombinasi makanan ini untuk makan malam kami setiap hari. Nasib jadi backpacker - biar dikata menginap di hotel bagus, makanannya serasa kemping di hutan.
Bersambung...