Sisi Lain Polisi
Kalau saya traveling, mata saya selalu jelalatan mencari polisi setempat. Rasanya saya merasa aman kalau saya dapat melihat polisi meski dari kejauhan, paling tidak saya tahu kemana saya harus lari kalau terjadi apa-apa atau sekedar bertanya karena saya sering nyasar. Kalaupun tidak ada polisi, cukup lihat mobil atau kantornya - untunglah kata ‘polisi’ sebagian besar dalam bahasa apapun bunyinya mirip dan dimulai dengan huruf ‘p’, seperti Polis, Policia, dan Polizei. Seragam polisi di mana-mana warnanya selalu netral seperti coklat, biru, hitam. Model seragamnya semua kurang lebih sama, tapi bawahannya bisa beda-beda. Di negara barat, pada saat musim panas mereka memakai celana pendek – entah mengapa di Asia kok tidak ada seragam polisi celana pendek, mungkin dianggap tidak berwibawa. Yang paling aneh, saya pernah lihat foto polisi di Fiji: ia memakai seragam polisi dengan atasan kemeja dan bawahannya berupa rok miring yang ujungnya rumbai-rumbai – persis seperti bajunya Flinstone! Mana sepatu polisinya model sepatu sendal tali-tali gitu. Jadi pengen foto bareng...
Saya memang senang foto bareng polisi setempat, tapi pernah tidak kesampaian ketika saya traveling ke Vietnam. Begitu mendarat di Bandara Noibai, Hanoi, di depan pintu pesawat sudah berdiri 3 orang polisi Vietnam dengan seragamnya yang sangat intimidating – jas berwarna hijau berkancing emas dengan pangkat kain keras di bahu dan topi pet hijau bersimbol merah dan bintang kuning. Mana mukanya serem, berkulit kuning, mata sipit, rahang tegas dengan raut yang bengis – hiii, jadi teringat film-film tentang Vietcong yang berdarah dingin banget. Anehnya di jalan saya jarang lihat polisi kecuali yang jaga di depan Kedutaan. Kata teman saya yang orang Jerman, itu adalah salah satu ciri negara komunis dimana jarang polisi terlihat karena kebanyakan mereka berbaju biasa agar dapat memata-matai orang. Sejak itu, selama di Vietnam saya berbahasa rahasia dengan Yasmin karena parno takut diciduk dan dibentak-bentak, “Mata-mata kamu!”. Keparnoan saya bertambah ketika suatu malam saya mengikuti cara orang lokal dengan nongkrong di pinggir jalan sambil minum bir dan makan rujak. Persis jam 12 malam saya melihat mobil polisi datang dengan sirene yang meraung-raung dan lampu kelap-kelip dengan teriakan yang saya tidak mengerti lewat toa tapi kira-kira artinya ‘Bubar! Bubar!!’. Lalu Cuong, teman saya yang orang Vietnam, berteriak, “Poliiiik!” dan semua orang berlarian panik dan brek brek warung tutup dengan cepatnya. Hah? Ade ape?
Saya jadi ingat saya pernah ketangkep polisi di luar negeri. Gara-garanya sih standar saja, speeding di highway Orlando, AS. Bingung juga bisa ketangkep karena saya tidak melihat satu polisipun di sepanjang jalan. Saya sampai bertanya dari mana dia bisa tau bahwa kecepatan mobil saya melebihi batas. Pak Polisi menunjuk jarinya ke atas dan saya melihat helikopter lewat di atas kepala saya. Wih, canggih bener deteksinya lewat helikopter, kayak di film-film. Perasaan tidak aman justru karena banyak polisi bersenjata di mana-mana pernah saya alami di Davao. Kota yang terletak di selatan Filipina itu memang terkenal sering terjadi pemberontakan suatu kelompok, makanya banyak polisi dikerahkan untuk menjaga. Tapi rasanya ini lebih parah daripada saat kerusuhan Jakarta, bahkan ketika saya cuma makan di restoran fast food Jollibee yang hanya berisi 6 meja saja, di depan pintu dijaga oleh polisi yang berdiri dengan sikap sempurna lengkap dengan senjata laras panjang!
Kalau polisi dengan anjing sih biasa kita lihat di bandara, tapi selama ini saya hanya lihat anjingnya duduk-duduk saja sambil diikat ke pagar, kecuali di Sydney anjingnya jalan-jalan mengendus-endus setiap koper sampai teman saya menjerit-jerit karena takut anjing. Bicara soal polisi dan anjing, saya punya pengalaman lucu. Tahun 1990 di kota Ventura, AS, saya pernah mengunjungi kantor polisi setempat dan berkesempatan melihat pelatihan anjing polisi. Anjing dilatih untuk membaui sesuatu, mencari benda, berlari, menyerang, dan sebagainya. Saya perhatikan si polisi memberikan instruksi ke anjing dalam bahasa yang bukan bahasa Inggris sehingga saya menanyakan dalam bahasa apakah mereka berkomunikasi. Jawaban polisi membuat saya tertawa terbahak, rupanya anjing-anjingnya itu diimpor dari Jerman, sehingga para polisi sampai khusus dikursuskan bahasa Jerman agar dapat berkomunikasi dengan anjing! Hebat!
Polisi memang kadang seram kadang menyenangkan - apalagi kalau ramah dan bisa berbahasa Inggris. Kadang saya suka cari ‘gara-gara’ kalau bertanya kepada polisi, pasti saya cari yang ganteng dulu. Di Stock Yards, sekitar sejam dari Fort Worth, AS, saya (pura-pura) bertanya arah jalan kepada seorang polisi bule yang ganteng, tinggi, gede, dan berambut hitam karena berasal dari Italia. Saya masih ingat namanya Bruno - karena namanya seperti nama anjing saya. Dengan baiknya ia mengantar saya keliling-keliling dan menerangkan sejarah tempat itu bak tour guide, malah mengajak saya masuk museum yang saat itu sudah tutup karena dia punya kuncinya. Selanjutnya? Rahasia!
Cerita paling lucu tentang polisi justru terjadi di Jakarta. Suatu sore saya ketangkep di depan Hotel Le Meridien karena bablas 3-in-1. Mampus! Seperti biasa, saya hanya diam saja tidak melawan ketika dia akan menilang saya.
“Damai aja deh, Pak,” tawar saya. Sialnya, saya hanya membawa selembar uang kertas seratus ribuan di dalam dompet. Nyogok seratus ribu kan sayang banget karena ‘harga biasa’ hanya 30-50 ribu rupiah. “Begini, Pak. Uang saya hanya selembar seratus ribuan nih. Kalau dikasih semua, abis ini saya nggak bisa makan, belum pulangnya harus bayar tol. Bisa kembalian nggak, Pak?” kata saya dengan deg-degan takut disangka kurang ajar.
Eh Pak Polisi menyaut, “Maunya damai berapa?”
“Yah harga biasa lah, Pak, tiga puluh ribu.”
“Hmm... tunggu sebentar,” jawabnya sembari mengambil uang kertas bergumpal-gumpal di dalam sepatu botnya! “Saya cuman punya kembalian enam puluh ribu tuh, Mbak. Gimana?”
“Ya okelah, Pak,” jawab saya sambil mengambil uang yang diambil dari sepatunya.
Hihihi, nyogok polisi udah kayak beli barang di pasar saja - bisa kembalian!
Saya memang senang foto bareng polisi setempat, tapi pernah tidak kesampaian ketika saya traveling ke Vietnam. Begitu mendarat di Bandara Noibai, Hanoi, di depan pintu pesawat sudah berdiri 3 orang polisi Vietnam dengan seragamnya yang sangat intimidating – jas berwarna hijau berkancing emas dengan pangkat kain keras di bahu dan topi pet hijau bersimbol merah dan bintang kuning. Mana mukanya serem, berkulit kuning, mata sipit, rahang tegas dengan raut yang bengis – hiii, jadi teringat film-film tentang Vietcong yang berdarah dingin banget. Anehnya di jalan saya jarang lihat polisi kecuali yang jaga di depan Kedutaan. Kata teman saya yang orang Jerman, itu adalah salah satu ciri negara komunis dimana jarang polisi terlihat karena kebanyakan mereka berbaju biasa agar dapat memata-matai orang. Sejak itu, selama di Vietnam saya berbahasa rahasia dengan Yasmin karena parno takut diciduk dan dibentak-bentak, “Mata-mata kamu!”. Keparnoan saya bertambah ketika suatu malam saya mengikuti cara orang lokal dengan nongkrong di pinggir jalan sambil minum bir dan makan rujak. Persis jam 12 malam saya melihat mobil polisi datang dengan sirene yang meraung-raung dan lampu kelap-kelip dengan teriakan yang saya tidak mengerti lewat toa tapi kira-kira artinya ‘Bubar! Bubar!!’. Lalu Cuong, teman saya yang orang Vietnam, berteriak, “Poliiiik!” dan semua orang berlarian panik dan brek brek warung tutup dengan cepatnya. Hah? Ade ape?
Saya jadi ingat saya pernah ketangkep polisi di luar negeri. Gara-garanya sih standar saja, speeding di highway Orlando, AS. Bingung juga bisa ketangkep karena saya tidak melihat satu polisipun di sepanjang jalan. Saya sampai bertanya dari mana dia bisa tau bahwa kecepatan mobil saya melebihi batas. Pak Polisi menunjuk jarinya ke atas dan saya melihat helikopter lewat di atas kepala saya. Wih, canggih bener deteksinya lewat helikopter, kayak di film-film. Perasaan tidak aman justru karena banyak polisi bersenjata di mana-mana pernah saya alami di Davao. Kota yang terletak di selatan Filipina itu memang terkenal sering terjadi pemberontakan suatu kelompok, makanya banyak polisi dikerahkan untuk menjaga. Tapi rasanya ini lebih parah daripada saat kerusuhan Jakarta, bahkan ketika saya cuma makan di restoran fast food Jollibee yang hanya berisi 6 meja saja, di depan pintu dijaga oleh polisi yang berdiri dengan sikap sempurna lengkap dengan senjata laras panjang!
Kalau polisi dengan anjing sih biasa kita lihat di bandara, tapi selama ini saya hanya lihat anjingnya duduk-duduk saja sambil diikat ke pagar, kecuali di Sydney anjingnya jalan-jalan mengendus-endus setiap koper sampai teman saya menjerit-jerit karena takut anjing. Bicara soal polisi dan anjing, saya punya pengalaman lucu. Tahun 1990 di kota Ventura, AS, saya pernah mengunjungi kantor polisi setempat dan berkesempatan melihat pelatihan anjing polisi. Anjing dilatih untuk membaui sesuatu, mencari benda, berlari, menyerang, dan sebagainya. Saya perhatikan si polisi memberikan instruksi ke anjing dalam bahasa yang bukan bahasa Inggris sehingga saya menanyakan dalam bahasa apakah mereka berkomunikasi. Jawaban polisi membuat saya tertawa terbahak, rupanya anjing-anjingnya itu diimpor dari Jerman, sehingga para polisi sampai khusus dikursuskan bahasa Jerman agar dapat berkomunikasi dengan anjing! Hebat!
Polisi memang kadang seram kadang menyenangkan - apalagi kalau ramah dan bisa berbahasa Inggris. Kadang saya suka cari ‘gara-gara’ kalau bertanya kepada polisi, pasti saya cari yang ganteng dulu. Di Stock Yards, sekitar sejam dari Fort Worth, AS, saya (pura-pura) bertanya arah jalan kepada seorang polisi bule yang ganteng, tinggi, gede, dan berambut hitam karena berasal dari Italia. Saya masih ingat namanya Bruno - karena namanya seperti nama anjing saya. Dengan baiknya ia mengantar saya keliling-keliling dan menerangkan sejarah tempat itu bak tour guide, malah mengajak saya masuk museum yang saat itu sudah tutup karena dia punya kuncinya. Selanjutnya? Rahasia!
Cerita paling lucu tentang polisi justru terjadi di Jakarta. Suatu sore saya ketangkep di depan Hotel Le Meridien karena bablas 3-in-1. Mampus! Seperti biasa, saya hanya diam saja tidak melawan ketika dia akan menilang saya.
“Damai aja deh, Pak,” tawar saya. Sialnya, saya hanya membawa selembar uang kertas seratus ribuan di dalam dompet. Nyogok seratus ribu kan sayang banget karena ‘harga biasa’ hanya 30-50 ribu rupiah. “Begini, Pak. Uang saya hanya selembar seratus ribuan nih. Kalau dikasih semua, abis ini saya nggak bisa makan, belum pulangnya harus bayar tol. Bisa kembalian nggak, Pak?” kata saya dengan deg-degan takut disangka kurang ajar.
Eh Pak Polisi menyaut, “Maunya damai berapa?”
“Yah harga biasa lah, Pak, tiga puluh ribu.”
“Hmm... tunggu sebentar,” jawabnya sembari mengambil uang kertas bergumpal-gumpal di dalam sepatu botnya! “Saya cuman punya kembalian enam puluh ribu tuh, Mbak. Gimana?”
“Ya okelah, Pak,” jawab saya sambil mengambil uang yang diambil dari sepatunya.
Hihihi, nyogok polisi udah kayak beli barang di pasar saja - bisa kembalian!