Perawan bernama Negros*
*Tulisan ini dimuat di "U Magazine" edisi Juli 2008 halaman 54-63 dg sedikit bagian yg telah diedit
-------------------------------------------------------------------------
Negros, nama sebuah pulau di Filipina yang sangat politicaly incorrect karena berbau rasis, membuat saya memutuskan untuk pergi ke sana. Apalagi yang mengajak adalah teman sekelas di kampus, Lowell Yu, yang memang asal Negros sehingga saya tidak usah repot-repot merencakan perjalanan. Terus terang saya sendiri belum pernah dengar nama Negros, namanya tenggelam dengan tempat wisata lain di Filipina seperti Boracay atau Bohol yang terkenal itu.
Pulau Negros sendiri berada di region Visayas yang terletak di bagian tengah Filipina. Negros terbagi dua propinsi, di selatannya adalah Negros Oriental dengan ibu kota Dumaguete dan di bagian utaranya Negros Occidental dengan ibu kota Bacolod. Negros Oriental sendiri berpenduduk hanya sekitar 1,2 juta. Mereka tidak berbahasa Tagalog seperti di Manila dan region Luzon, namun berbahasa Cebuano, meski orang Filipina rata-rata bisa berbahasa Inggris.
Rupanya pada zaman dahulu kala, penduduk asli yang pada awalnya tinggal di Negros berkulit hitam. Ketika Miguel Lopez de Legaspi pertama kali mendarat di Negros pada tahun 1565, ia melihat banyak penduduk berkulit hitam (‘Negros’ dalam bahasa Spanyol berarti ‘hitam’) sehingga pulau itu dinamakan Negros. Penduduk asli itu merupakan golongan ras Negrito yang ditemui pada suku-suku asli di Asia Tenggara (Filipina, peninsula Malaysia, Thailand dan beberapa suku di kepulauan Andaman di India). Ciri fisiknya memang hampir sama dengan orang Afrika pygmy yaitu bertubuh tidak begitu tinggi dan berkulit hitam tapi sampai saat ini para ilmuwan belum pasti apakah memang berasal dari Afrika atau asli dari Asia sebab menurut penelitian gen mereka lebih mirip dengan gen orang Asia. Ada juga ilmuwan yang mengatakan bahwa asal mereka adalah dari Afrika Timur yang migrasi 60.000 tahun yang lalu. Jauh amat ya?
Pantai tersembunyi di Pulau Apo
Dari Manila jam 7 pagi, kami naik pesawat Cebu Pacific selama satu jam menuju Dumaguete. Di airport saya langsung berganti celana pendek dan membawa baju renang dan handuk saja karena langsung mengunjungi Apo Island, pulau kecil yang berdiameter 3 km saja. Pulau ini salah satu surga diving dan snorkeling di Filipina karena keindahan alam bawah lautnya yang merupakan rumah dari 650 spesies ikan dan 450 spesies karang laut yang masih sehat. Dengan naik jeepney, angkutan umum khas Filipina yang merupakan hasil modifikasi dari jeep willis zaman perang dunia kedua, perjalanan ditempuh selama 1,5 jam ke kota Dauin. Kapal sudah menunggu kami di pinggir pantai untuk menuju pulau Apo selama 30 menit.
Begitu merapat, saya agak kecewa karena pantainya dipenuhi oleh kapal-kapal nelayan. Wah, gimana mau berenang? Rupanya kami harus berjalan lagi selama 15 menit melewati bebatuan dengan air sebatas paha dan melewati celah karang yang sempit. Sampailah kami di tempat yang sangat indah, sebuah pantai yang tersembunyi di antara bebatuan raksasa. Pasirnya yang putih, air yang biru bening dan batu karang yang mengapitnya mengingatkan saya pada Pulau Phi Phi di Thailand, tempat syuting film The Beach-nya Leonardo di Caprio. Wow! Tak sabar saya segera menceburkan diri ke air laut yang bening bak kristal. Makan siang pun di bawah payung sambil mengagumi indahnya pantai, berupa ikan tuna bakar, ayam bakar dan ‘chop suey’ (capcay).
Jam 2 siang kami pindah tempat, meyusuri perkampungan penduduk. Terdapat 145 kepala keluarga atau 700an orang yang bertempat tinggal di pulau Apo, sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan. Rumah-rumah berbentuk rumah panggung berdinding anyaman bambu. Lingkungan desa ini amat asri, dengan pohon yang rimbun dan danau yang bersih di salah satu sisinya. Sampailah kami di pantai selatan pulau Apo yang disebut Marine Sanctuary karena di pantai tersebut terdapat cagar laut yang dilindungi. Pemerintah melarang nelayan memancing ikan di sini, kapal pun tidak boleh memasuki area ini. Benar saja, di dasar laut kedalaman 4 meter itu menyimpan kekayaan alami: hard corals dan soft corals berbagai macam jenis dan bentuk dan banyak ikan kecil berwarna-warni, di antaranya angelfish, scorpionfish, frogfish, dan tentunya clownfish yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Nemo’. Ketika saya snorkeling, astaga, tiba-tiba saya melihat ‘tembok’ berwarna perak mengkilat... ternyata school of jackfish! Ada sekitar ribuan ikan kuwe berenang sampai membentuk ‘tembok’ berwarna perak. Saya pun ‘menembus tembok’ tersebut dan mereka membentuk lingkaran baru, begitu seterusnya sampai saya puas berakrobatik bersama. Selama ini saya hanya melihat gerombolan ikan kuwe pada saat menyelam di kedalaman 15 meter, ini pengalaman pertama saya ketemu pada saat snorkeling di permukaan laut. Sesekali kami beristirahat di salah satu pondok kayu di pinggir pantai sambil menikmati San Miguel Light, merk bir kebanggaan Filipina. Kami juga menyempatkan diri trekking ke menara mercu suar di atas bukit dengan ketinggian 120 meter yang terjal dimana pemandangan keseluruhan pulau terlihat dari sini.
Dumaguete, kota pelajar dan pensiunan
Sore hari kami kembali ke Dumaguete. Seperti Yogyakarta, kota Dumaguete ini terkenal sebagai kota pelajar karena banyak terdapat sekolah dan universitas. Tapi Lowell menyebutnya ‘ibu kota sepeda motor di Filipina’ karena konon jumlah kepemilikan motor di seluruh Filipina paling banyak di kota Dumaguete. Kami pun check in di Bethel Guest House yang terletak di Rizal Boulevard, persis menghadap pantai. Meski namanya guest house, tapi penginapan yang termasuk baru dibangun ini bertingkat lima dengan fasilitas setara hotel bintang tiga. Kamarnya luas, ber-AC, ada TV dan air panas. Yang justru menarik perhatian saya adalah lift-nya yang terdapat poster iklan sebesar A3 mengenai jasa pengurusan visa bagi wanita Filipina yang menikah dengan orang asing. Saat saya makan malam di “Why Not” yang hanya berjarak satu blok dari hotel, baru saya menyadari bunyi iklan tersebut. Di dalam restoran khas makanan Jerman itu saya melihat banyak pria bule tua bersama cewek-cewek ‘Pinay’ (sebutan untuk perempuan Filipina) bergaya ‘ayam’. Kata Lowell, “Kota ini memang sengaja dipromosikan bagi para pria asing untuk menghabiskan masa pensiunnya di sini karena living cost dan harga properti jauh lebih murah daripada di Manila dan alamnya yang indah.” Oh, pantas saja! Ada sekitar 4.000 orang asing pensiunan yang tinggal di sana, sebagian besar berasal dari Jerman, Swiss dan Amerika.
Kami lalu menghabiskan malam dengan berjalan kaki keliling kota dimulai dari Rizal Boulevard yang merupakan pusat tongkrongan anak muda, seperti pantai Losari di Makassar. Nama Rizal berasal dari nama pahlawan Filipina, Dr. Jose Rizal, yang pernah mampir ke tempat ini pada saat dia diasingkan. Taman sepanjang 780 meter di pinggir pantai ini sangat asri dengan pohon-pohon besar. Pantainya pun bersih dan tidak berbau - bahkan ketika siang hari air lautnya warna biru, bukan hitam seperti di Ancol. Di seberang taman berjejer restoran dan bar. Di ujung jalan terdapat Silliman Hall, bangunan kolonial bertingkat tiga bercat merah dan putih yang dibangun pada tahun 1903, dulunya merupakan perpustakaan universitas tapi saat ini menjadi museum antropologi. Di sepanjang jalan Silliman Avenue terletak Silliman University, salah satu universitas terbaik dan tertua di Filipina yang didirikan pada tahun 1901 yang merupakan satu-satunya universitas Protestan di Filipina yang mayoritas Katolik. Meskipun namanya lucu (terdengar seperti ‘silly man’), namun jurusan ilmu kelautannya termasuk yang teratas karena mempunyai laboratorium terlengkap. Bangunannya pun masih mempertahankan keasliannya sejak zaman penjajahan Spanyol. Tak lupa kami ke landmark kota Dumaguete yaitu Dumaguette Bell Tower yang dibangun pada tahun 1811, dulunya dipakai sebagai bel peringatan kepada penduduk bila ada bajak laut yang menyerang. Di lantai menara yang terbuat dari batu bata tersebut banyak terdapat lilin yang dinyalakan bagi umat Katolik untuk memanjatkan doa. Di sebelahnya terdapat St Catherine of Alexandria Cathedral, gereja tertua di Negros yang terbuat dari batu.
Ratusan lumba-lumba menari
Hari kedua jam 6 pagi kami kembali naik jeepney menuju utara, ke kota Bais, selama 1,5 jam. Dari sana Lowell sudah menyediakan kapal berisi 25 penumpang untuk membawa kami ke Tañon Strait untuk melihat lumba-lumba langsung dari habitatnya. Bahkan bila beruntung, kita dapat juga melihat ikan paus. Selat ini terletak di antara pulau Negros dan pulau Cebu. Waktu terbaik untuk melihat lumba-lumba memang di pagi hari, di saat air tenang sehingga gampang mencarinya. Jenis lumba-lumba di sana kebanyakan adalah ‘spinner dolphin’ (Stenella longirostri) yang terkenal dengan gaya akrobatiknya yang berputar di udara saat mereka melompat ke atas permukaan. Hewan mamalia yang berwarna abu-abu gelap dan perut putih dengan moncong panjang ini hanya dapat ditemukan di perairan tropis.
Tak sampai satu jam, guide memberi aba-aba kepada kami untuk berdiri di pinggir kapal sambil bertepuk tangan. Wah, tak pernah saya melihat lumba-lumba sedekat dan sebanyak ini berenang mengikuti lajunya kapal dan berlompatan indah sambil berpasang-pasangan. Bukan hanya 1 atau 2 pasang, tapi puluhan! Percaya atau tidak, semakin ramai kami bertepuk tangan dan berteriak, semakin semangat lumba-lumba datang dan berlompatan. Wah, ‘banci tampil’ juga nih lumba-lumba! Kapal kami pun menjadi riuh rendah setiap kali bertemu sekelompok lumba-lumba, sampai bingung mau lihat ke kanan atau ke kiri kapal saking banyaknya, mencapai ratusan. Tambah lagi atraksi akrobat mereka di udara. Benar-benar menakjubkan! Sayangnya kami tidak bertemu dengan ikan paus. Tak terasa 3 jam kami telah dihibur oleh lumba-lumba yang lucu itu dan perut pun sudah keroncongan.
Kapal pun menjauh dan menuju Manjuyod Sandbar. Saya belum ‘ngeh’ apa arti sandbar sampai saya melihat pemandangan alam yang menakjubkan. Di tengah lautan dalam dengan air yang berwarna biru gelap, tiba-tiba di tengahnya ada perairan tenang dengan warna air laut yang berwarna turquois. Rupanya itu adalah sebuah pulau pasir sepanjang 7 km dengan pasir putih yang ‘menjulang’ di tengah laut. Pada saat surut, kita dapat piknik di pulau tersebut, bahkan bermain bola. Semakin siang, air akan pasang dan menutupi pulau pasir tersebut sehingga terbentuklah kolam renang tak berombak yang super luas dengan air yang super bening. Kita pun terlihat seperti berjalan kaki di air. Di sekelilingnya terlihat pegunungan hijau dan awan yang rendah dengan latar belakang langit yang biru. Di atas sandbar terdapat 4 buah rumah panggung tempat berteduh. Rumahnya hanya berupa atap tanpa dinding dan pada salah satu sisinya terdapat dapur dan toilet. Bila air pasang, terlihat seperti rumah apung. Di salah satu rumah yang bisa disewa itu kami makan siang berupa aneka makanan laut yang telah dipersiapkan oleh kru kapal. Setengah hari kami menghabiskan waktu dengan berenang, mengapung di lautan, snorkeling, ‘leyeh-leyeh’ di rumah dengan angin semilir, atau terjun bebas dari teras rumah langsung ke dalam air.
Hari yang melelahkan ditutup dengan makan malam di restoran Hayahay yang terletak di pinggir pantai Dumaguete. Menurut budaya orang Filipina: tidak ada pesta tanpa ‘lechon’ (babi guling yang dipanggang sedemikan rupa sehingga kulitnya garing namun dagingnya lembut, dapat dimakan tanpa saos apapun). Jadilah kami berpesta di sana merayakan pengalaman yang menakjubkan selama dua hari terakhir. Selalu ada alasan untuk berpesta bukan?
‘Night Swimming’ di tengah hutan
Dua hari penuh menikmati birunya laut, kami pindah ke hijaunya pegunungan Sandulot di kota Siaton, tepatnya di Lake Balanan. Danau ini terjadi karena pada tahun 1920an terjadi gempa berskala 6,8 skala Richter yang menyebabkan tanah longsor dari pegunungan Balanan dan Nasig sehingga membentuk reservoir air dimana para penduduk desa menjadikannya sebagai sumber mata pencahariaan dari ikan dan agrikultur. Baru pada tahun 1990an Departemen Perhutanan resmi menjadikan area tersebut menjadi cagar alam. Dengan naik jeepney, perjalanan ditempuh dalam 2 jam. Ketika jalan mulai menanjak menuju punggungan gunung, debu beterbangan memasuki jeepney yang tidak berpintu dan berjendela sehingga kami terpaksa harus menutup muka dengan sarung atau sapu tangan.
Setelah jeepney melewati sungai, sampailah kami di danau Balanan. Airnya yang tenang bagaikan cermin sampai merefleksikan pegunungan hijau dan awan putih di permukaannya. Kami pun jalan-jalan mengelilingi danau dan naik saung apung. Saung ini dapat menyebrangi sungai dengan cara menarik tali yang dihubungkan di antara kedua pinggiran danau. Karena tree house-nya penuh, kami menginap di lodge. Ternyata resor yang dimiliki pemerintah ini melebihi ekspektasi saya: kamarnya luas, bagus dan bersih. Makan siang kali ini adalah ‘kinilaw’ yang sering disebut ‘shashimi ala Filipina’ karena merupakan ikan mentah yang diasam oleh cuka dan diberi bumbu dan potongan bawang merah dan cabai. Mantap saat disantap dengan nasi panas. Aktivitas sore diisi dengan bermain kayak di danau, leyeh-leyeh di saung, memancing, bermain sepeda air, trekking ke air terjun, atau membaca buku di ruang tamu yang langsung menghadap danau.
Sehabis makan malam, dengan membawa senter saya diajak ‘ghost hunting’ karena melewati pohon-pohon beringin yang besar dan terkesan angker. Tak berapa lama, kami sampai di kompleks kolam renang. Di tengah hutan yang lebat terdapat tiga buah kolam renang yang berundak-undak dari atas ke bawah. Kolamnya tidak begitu besar, tapi airnya dibendung langsung dari sungai sehingga sangat segar dan tidak mengandung kaporit. Kami menghabiskan malam dengan berenang sambil menikmati bir dingin. Airnya terasa hangat karena udara di pegunungan yang sejuk. Jam 12 malam saya pun tidur karena lelah dan suasanya yang sunyi, tidak terdengar suara apaun selain suara jangkrik.
Keesokan harinya, sebelum pulang kami kembali berenang di kolam renang sejuk itu. Barulah saya melihat lokasi kolam yang berada di pinggir sungai dan memang dikelilingi hutan lebat. Sialnya dalam perjalanan pulang jeepney yang kami tumpangi bannya pecah persis di tengah hutan dengan pohon kapuk. Sudah lama juga saya tidak pernah bermain dengan kapas yang lembut dan putih ini langsung dari pohonnya. Sampai di bandara Dumaguete di Sibulan, saya tambah takjub. Setelah sekian lama, baru kali ini saya ke bandara yang tidak ada pemeriksaan x-ray, bahkan tidak ada metal detector. Cara pemeriksaan bagasi ya tas-tas dibuka secara manual oleh petugas keamanan dan ‘diobok-obok’ deh.
Intinya, liburan singkat di Negros sangat menyenangkan dan lumayan murah. Saya hanya menghabiskan 4.300 Peso atau sekitar Rp 900.000 termasuk akomodasi 4 malam, transportasi (jeepney dan sewa kapal), makan 3 kali sehari, camilan dan unlimited bir.
-------------------------------------------------------------------------
Negros, nama sebuah pulau di Filipina yang sangat politicaly incorrect karena berbau rasis, membuat saya memutuskan untuk pergi ke sana. Apalagi yang mengajak adalah teman sekelas di kampus, Lowell Yu, yang memang asal Negros sehingga saya tidak usah repot-repot merencakan perjalanan. Terus terang saya sendiri belum pernah dengar nama Negros, namanya tenggelam dengan tempat wisata lain di Filipina seperti Boracay atau Bohol yang terkenal itu.
Pulau Negros sendiri berada di region Visayas yang terletak di bagian tengah Filipina. Negros terbagi dua propinsi, di selatannya adalah Negros Oriental dengan ibu kota Dumaguete dan di bagian utaranya Negros Occidental dengan ibu kota Bacolod. Negros Oriental sendiri berpenduduk hanya sekitar 1,2 juta. Mereka tidak berbahasa Tagalog seperti di Manila dan region Luzon, namun berbahasa Cebuano, meski orang Filipina rata-rata bisa berbahasa Inggris.
Rupanya pada zaman dahulu kala, penduduk asli yang pada awalnya tinggal di Negros berkulit hitam. Ketika Miguel Lopez de Legaspi pertama kali mendarat di Negros pada tahun 1565, ia melihat banyak penduduk berkulit hitam (‘Negros’ dalam bahasa Spanyol berarti ‘hitam’) sehingga pulau itu dinamakan Negros. Penduduk asli itu merupakan golongan ras Negrito yang ditemui pada suku-suku asli di Asia Tenggara (Filipina, peninsula Malaysia, Thailand dan beberapa suku di kepulauan Andaman di India). Ciri fisiknya memang hampir sama dengan orang Afrika pygmy yaitu bertubuh tidak begitu tinggi dan berkulit hitam tapi sampai saat ini para ilmuwan belum pasti apakah memang berasal dari Afrika atau asli dari Asia sebab menurut penelitian gen mereka lebih mirip dengan gen orang Asia. Ada juga ilmuwan yang mengatakan bahwa asal mereka adalah dari Afrika Timur yang migrasi 60.000 tahun yang lalu. Jauh amat ya?
Pantai tersembunyi di Pulau Apo
Dari Manila jam 7 pagi, kami naik pesawat Cebu Pacific selama satu jam menuju Dumaguete. Di airport saya langsung berganti celana pendek dan membawa baju renang dan handuk saja karena langsung mengunjungi Apo Island, pulau kecil yang berdiameter 3 km saja. Pulau ini salah satu surga diving dan snorkeling di Filipina karena keindahan alam bawah lautnya yang merupakan rumah dari 650 spesies ikan dan 450 spesies karang laut yang masih sehat. Dengan naik jeepney, angkutan umum khas Filipina yang merupakan hasil modifikasi dari jeep willis zaman perang dunia kedua, perjalanan ditempuh selama 1,5 jam ke kota Dauin. Kapal sudah menunggu kami di pinggir pantai untuk menuju pulau Apo selama 30 menit.
Begitu merapat, saya agak kecewa karena pantainya dipenuhi oleh kapal-kapal nelayan. Wah, gimana mau berenang? Rupanya kami harus berjalan lagi selama 15 menit melewati bebatuan dengan air sebatas paha dan melewati celah karang yang sempit. Sampailah kami di tempat yang sangat indah, sebuah pantai yang tersembunyi di antara bebatuan raksasa. Pasirnya yang putih, air yang biru bening dan batu karang yang mengapitnya mengingatkan saya pada Pulau Phi Phi di Thailand, tempat syuting film The Beach-nya Leonardo di Caprio. Wow! Tak sabar saya segera menceburkan diri ke air laut yang bening bak kristal. Makan siang pun di bawah payung sambil mengagumi indahnya pantai, berupa ikan tuna bakar, ayam bakar dan ‘chop suey’ (capcay).
Jam 2 siang kami pindah tempat, meyusuri perkampungan penduduk. Terdapat 145 kepala keluarga atau 700an orang yang bertempat tinggal di pulau Apo, sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan. Rumah-rumah berbentuk rumah panggung berdinding anyaman bambu. Lingkungan desa ini amat asri, dengan pohon yang rimbun dan danau yang bersih di salah satu sisinya. Sampailah kami di pantai selatan pulau Apo yang disebut Marine Sanctuary karena di pantai tersebut terdapat cagar laut yang dilindungi. Pemerintah melarang nelayan memancing ikan di sini, kapal pun tidak boleh memasuki area ini. Benar saja, di dasar laut kedalaman 4 meter itu menyimpan kekayaan alami: hard corals dan soft corals berbagai macam jenis dan bentuk dan banyak ikan kecil berwarna-warni, di antaranya angelfish, scorpionfish, frogfish, dan tentunya clownfish yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Nemo’. Ketika saya snorkeling, astaga, tiba-tiba saya melihat ‘tembok’ berwarna perak mengkilat... ternyata school of jackfish! Ada sekitar ribuan ikan kuwe berenang sampai membentuk ‘tembok’ berwarna perak. Saya pun ‘menembus tembok’ tersebut dan mereka membentuk lingkaran baru, begitu seterusnya sampai saya puas berakrobatik bersama. Selama ini saya hanya melihat gerombolan ikan kuwe pada saat menyelam di kedalaman 15 meter, ini pengalaman pertama saya ketemu pada saat snorkeling di permukaan laut. Sesekali kami beristirahat di salah satu pondok kayu di pinggir pantai sambil menikmati San Miguel Light, merk bir kebanggaan Filipina. Kami juga menyempatkan diri trekking ke menara mercu suar di atas bukit dengan ketinggian 120 meter yang terjal dimana pemandangan keseluruhan pulau terlihat dari sini.
Dumaguete, kota pelajar dan pensiunan
Sore hari kami kembali ke Dumaguete. Seperti Yogyakarta, kota Dumaguete ini terkenal sebagai kota pelajar karena banyak terdapat sekolah dan universitas. Tapi Lowell menyebutnya ‘ibu kota sepeda motor di Filipina’ karena konon jumlah kepemilikan motor di seluruh Filipina paling banyak di kota Dumaguete. Kami pun check in di Bethel Guest House yang terletak di Rizal Boulevard, persis menghadap pantai. Meski namanya guest house, tapi penginapan yang termasuk baru dibangun ini bertingkat lima dengan fasilitas setara hotel bintang tiga. Kamarnya luas, ber-AC, ada TV dan air panas. Yang justru menarik perhatian saya adalah lift-nya yang terdapat poster iklan sebesar A3 mengenai jasa pengurusan visa bagi wanita Filipina yang menikah dengan orang asing. Saat saya makan malam di “Why Not” yang hanya berjarak satu blok dari hotel, baru saya menyadari bunyi iklan tersebut. Di dalam restoran khas makanan Jerman itu saya melihat banyak pria bule tua bersama cewek-cewek ‘Pinay’ (sebutan untuk perempuan Filipina) bergaya ‘ayam’. Kata Lowell, “Kota ini memang sengaja dipromosikan bagi para pria asing untuk menghabiskan masa pensiunnya di sini karena living cost dan harga properti jauh lebih murah daripada di Manila dan alamnya yang indah.” Oh, pantas saja! Ada sekitar 4.000 orang asing pensiunan yang tinggal di sana, sebagian besar berasal dari Jerman, Swiss dan Amerika.
Kami lalu menghabiskan malam dengan berjalan kaki keliling kota dimulai dari Rizal Boulevard yang merupakan pusat tongkrongan anak muda, seperti pantai Losari di Makassar. Nama Rizal berasal dari nama pahlawan Filipina, Dr. Jose Rizal, yang pernah mampir ke tempat ini pada saat dia diasingkan. Taman sepanjang 780 meter di pinggir pantai ini sangat asri dengan pohon-pohon besar. Pantainya pun bersih dan tidak berbau - bahkan ketika siang hari air lautnya warna biru, bukan hitam seperti di Ancol. Di seberang taman berjejer restoran dan bar. Di ujung jalan terdapat Silliman Hall, bangunan kolonial bertingkat tiga bercat merah dan putih yang dibangun pada tahun 1903, dulunya merupakan perpustakaan universitas tapi saat ini menjadi museum antropologi. Di sepanjang jalan Silliman Avenue terletak Silliman University, salah satu universitas terbaik dan tertua di Filipina yang didirikan pada tahun 1901 yang merupakan satu-satunya universitas Protestan di Filipina yang mayoritas Katolik. Meskipun namanya lucu (terdengar seperti ‘silly man’), namun jurusan ilmu kelautannya termasuk yang teratas karena mempunyai laboratorium terlengkap. Bangunannya pun masih mempertahankan keasliannya sejak zaman penjajahan Spanyol. Tak lupa kami ke landmark kota Dumaguete yaitu Dumaguette Bell Tower yang dibangun pada tahun 1811, dulunya dipakai sebagai bel peringatan kepada penduduk bila ada bajak laut yang menyerang. Di lantai menara yang terbuat dari batu bata tersebut banyak terdapat lilin yang dinyalakan bagi umat Katolik untuk memanjatkan doa. Di sebelahnya terdapat St Catherine of Alexandria Cathedral, gereja tertua di Negros yang terbuat dari batu.
Ratusan lumba-lumba menari
Hari kedua jam 6 pagi kami kembali naik jeepney menuju utara, ke kota Bais, selama 1,5 jam. Dari sana Lowell sudah menyediakan kapal berisi 25 penumpang untuk membawa kami ke Tañon Strait untuk melihat lumba-lumba langsung dari habitatnya. Bahkan bila beruntung, kita dapat juga melihat ikan paus. Selat ini terletak di antara pulau Negros dan pulau Cebu. Waktu terbaik untuk melihat lumba-lumba memang di pagi hari, di saat air tenang sehingga gampang mencarinya. Jenis lumba-lumba di sana kebanyakan adalah ‘spinner dolphin’ (Stenella longirostri) yang terkenal dengan gaya akrobatiknya yang berputar di udara saat mereka melompat ke atas permukaan. Hewan mamalia yang berwarna abu-abu gelap dan perut putih dengan moncong panjang ini hanya dapat ditemukan di perairan tropis.
Tak sampai satu jam, guide memberi aba-aba kepada kami untuk berdiri di pinggir kapal sambil bertepuk tangan. Wah, tak pernah saya melihat lumba-lumba sedekat dan sebanyak ini berenang mengikuti lajunya kapal dan berlompatan indah sambil berpasang-pasangan. Bukan hanya 1 atau 2 pasang, tapi puluhan! Percaya atau tidak, semakin ramai kami bertepuk tangan dan berteriak, semakin semangat lumba-lumba datang dan berlompatan. Wah, ‘banci tampil’ juga nih lumba-lumba! Kapal kami pun menjadi riuh rendah setiap kali bertemu sekelompok lumba-lumba, sampai bingung mau lihat ke kanan atau ke kiri kapal saking banyaknya, mencapai ratusan. Tambah lagi atraksi akrobat mereka di udara. Benar-benar menakjubkan! Sayangnya kami tidak bertemu dengan ikan paus. Tak terasa 3 jam kami telah dihibur oleh lumba-lumba yang lucu itu dan perut pun sudah keroncongan.
Kapal pun menjauh dan menuju Manjuyod Sandbar. Saya belum ‘ngeh’ apa arti sandbar sampai saya melihat pemandangan alam yang menakjubkan. Di tengah lautan dalam dengan air yang berwarna biru gelap, tiba-tiba di tengahnya ada perairan tenang dengan warna air laut yang berwarna turquois. Rupanya itu adalah sebuah pulau pasir sepanjang 7 km dengan pasir putih yang ‘menjulang’ di tengah laut. Pada saat surut, kita dapat piknik di pulau tersebut, bahkan bermain bola. Semakin siang, air akan pasang dan menutupi pulau pasir tersebut sehingga terbentuklah kolam renang tak berombak yang super luas dengan air yang super bening. Kita pun terlihat seperti berjalan kaki di air. Di sekelilingnya terlihat pegunungan hijau dan awan yang rendah dengan latar belakang langit yang biru. Di atas sandbar terdapat 4 buah rumah panggung tempat berteduh. Rumahnya hanya berupa atap tanpa dinding dan pada salah satu sisinya terdapat dapur dan toilet. Bila air pasang, terlihat seperti rumah apung. Di salah satu rumah yang bisa disewa itu kami makan siang berupa aneka makanan laut yang telah dipersiapkan oleh kru kapal. Setengah hari kami menghabiskan waktu dengan berenang, mengapung di lautan, snorkeling, ‘leyeh-leyeh’ di rumah dengan angin semilir, atau terjun bebas dari teras rumah langsung ke dalam air.
Hari yang melelahkan ditutup dengan makan malam di restoran Hayahay yang terletak di pinggir pantai Dumaguete. Menurut budaya orang Filipina: tidak ada pesta tanpa ‘lechon’ (babi guling yang dipanggang sedemikan rupa sehingga kulitnya garing namun dagingnya lembut, dapat dimakan tanpa saos apapun). Jadilah kami berpesta di sana merayakan pengalaman yang menakjubkan selama dua hari terakhir. Selalu ada alasan untuk berpesta bukan?
‘Night Swimming’ di tengah hutan
Dua hari penuh menikmati birunya laut, kami pindah ke hijaunya pegunungan Sandulot di kota Siaton, tepatnya di Lake Balanan. Danau ini terjadi karena pada tahun 1920an terjadi gempa berskala 6,8 skala Richter yang menyebabkan tanah longsor dari pegunungan Balanan dan Nasig sehingga membentuk reservoir air dimana para penduduk desa menjadikannya sebagai sumber mata pencahariaan dari ikan dan agrikultur. Baru pada tahun 1990an Departemen Perhutanan resmi menjadikan area tersebut menjadi cagar alam. Dengan naik jeepney, perjalanan ditempuh dalam 2 jam. Ketika jalan mulai menanjak menuju punggungan gunung, debu beterbangan memasuki jeepney yang tidak berpintu dan berjendela sehingga kami terpaksa harus menutup muka dengan sarung atau sapu tangan.
Setelah jeepney melewati sungai, sampailah kami di danau Balanan. Airnya yang tenang bagaikan cermin sampai merefleksikan pegunungan hijau dan awan putih di permukaannya. Kami pun jalan-jalan mengelilingi danau dan naik saung apung. Saung ini dapat menyebrangi sungai dengan cara menarik tali yang dihubungkan di antara kedua pinggiran danau. Karena tree house-nya penuh, kami menginap di lodge. Ternyata resor yang dimiliki pemerintah ini melebihi ekspektasi saya: kamarnya luas, bagus dan bersih. Makan siang kali ini adalah ‘kinilaw’ yang sering disebut ‘shashimi ala Filipina’ karena merupakan ikan mentah yang diasam oleh cuka dan diberi bumbu dan potongan bawang merah dan cabai. Mantap saat disantap dengan nasi panas. Aktivitas sore diisi dengan bermain kayak di danau, leyeh-leyeh di saung, memancing, bermain sepeda air, trekking ke air terjun, atau membaca buku di ruang tamu yang langsung menghadap danau.
Sehabis makan malam, dengan membawa senter saya diajak ‘ghost hunting’ karena melewati pohon-pohon beringin yang besar dan terkesan angker. Tak berapa lama, kami sampai di kompleks kolam renang. Di tengah hutan yang lebat terdapat tiga buah kolam renang yang berundak-undak dari atas ke bawah. Kolamnya tidak begitu besar, tapi airnya dibendung langsung dari sungai sehingga sangat segar dan tidak mengandung kaporit. Kami menghabiskan malam dengan berenang sambil menikmati bir dingin. Airnya terasa hangat karena udara di pegunungan yang sejuk. Jam 12 malam saya pun tidur karena lelah dan suasanya yang sunyi, tidak terdengar suara apaun selain suara jangkrik.
Keesokan harinya, sebelum pulang kami kembali berenang di kolam renang sejuk itu. Barulah saya melihat lokasi kolam yang berada di pinggir sungai dan memang dikelilingi hutan lebat. Sialnya dalam perjalanan pulang jeepney yang kami tumpangi bannya pecah persis di tengah hutan dengan pohon kapuk. Sudah lama juga saya tidak pernah bermain dengan kapas yang lembut dan putih ini langsung dari pohonnya. Sampai di bandara Dumaguete di Sibulan, saya tambah takjub. Setelah sekian lama, baru kali ini saya ke bandara yang tidak ada pemeriksaan x-ray, bahkan tidak ada metal detector. Cara pemeriksaan bagasi ya tas-tas dibuka secara manual oleh petugas keamanan dan ‘diobok-obok’ deh.
Intinya, liburan singkat di Negros sangat menyenangkan dan lumayan murah. Saya hanya menghabiskan 4.300 Peso atau sekitar Rp 900.000 termasuk akomodasi 4 malam, transportasi (jeepney dan sewa kapal), makan 3 kali sehari, camilan dan unlimited bir.