Wednesday, September 27, 2006 

Traveling dulu vs sekarang

Pernah membayangkan traveling pada saat belum ada internet, e-mail, warnet, wartel, handphone, dan ATM?

Dulu informasi tentang negara yang ingin dikunjungi adalah dari buku, padahal buku-buku mengenai traveling saat itu sangat minim, lah toko buku saja jarang. Mana ada buku semacam Lonely Planet, Let’s Go, Rough Guide - saat itu buku traveling yang terkenal adalah Catatan Perjalanan-nya HOK Tanzil yang cara jalannya tidak masuk budget saya. Jadilah untuk survey tempat, saya sering nongkrong di toko buku dan diam-diam mencatat informasi perjalanan. Trik saya yang lain adalah pergi ke travel agent dan ‘nyolongin’ brosur-brosur paket wisata. Dari situ saya bisa melihat foto-foto dan harga paket tur sebagai masukan. Sebelum ada teknologi pemesanan tiket pesawat secara online, mereka memakai ‘Buku ABC’ yaitu buku panduan kota tujuan dari kota A sampai Z mengenai bagaimana orang terbang ke tempat tersebut dan keterangan singkat mengenai tempatnya, misalnya kota San Francisco dapat dicari di huruf S. Pantas saja dulu orang ke luar negeri sangat bergantung dengan paket tur wisata karena informasi yang paling lengkap ‘dimonopoli’ travel agent.

Saat ini semua informasi bisa dicari di internet, toko buku pun banyak dan sudah punya section khusus buku-buku traveling. Buku Lonely Planet saja sudah ada yang edisi ‘on a shoestring’ yaitu traveling dengan budget terbatas sehingga memudahkan para backpackers. Pesan tiket pesawat bisa lewat internet, tinggal cari yang termurah berdasarkan tanggal dan jam keberangkatan. Tiket pesawat saat ini pun hanya berupa kertas print dari e-mail, tinggal menunjukkan tanda pengenal sudah beres. Informasi mau menginap di hotel juga tinggal cari di internet. Bahkan cara pergi dari airport ke hotel sudah diberi tahu bagaimana caranya, naik apa, berapa lama, dan perkiraan waktunya. Berkat mailing list, kita bisa cari informasi tentang suatu tempat dari orang yang sudah pernah ke sana. Rasanya paket wisata dari travel agent saat ini jadi kurang laku karena traveling perorangan menjadi sangat mudah sehingga paket wisata jadinya hanya diperuntukkan bagi orang yang malas cari informasi dan tidak mau ribet.

Dulu kalau saya traveling membuat kuatir orang tua karena jarang kasih kabar berhubung wartel masih jarang dan belum ada teknologi handphone, mana saya sering bablas - bilang pergi ke Bali seminggu tapi jadi 3 minggu karena nyangsang sampai ke Lombok dan Sumbawa segala. Dulu untuk melakukan telepon SLJJ harus ke kantor Telkom setempat, dan karena ‘miskin’ harus minta disambungkan telepon tapi dibayar penerima. Setelah wartel sudah marak, baru deh saya kena wajib lapor. Kalau ke luar negeri, saya agak dimaafkan, yang penting sebelumnya saya memberi informasi mengenai itinerary. Kadang saya kirim postcard bergambar, itupun seringnya duluan saya yang sampai di rumah daripada postcard-nya.

Saat ini wartel sudah menjamur di segala pelosok di Indonesia, warnet juga mulai banyak. Kalau ke luar negeri, saya pasti menyempatkan diri ke warnet untuk cari informasi, cek e-mail, dan membaca komen para pembaca Naked Traveler, hehe! Ketika sudah ada handphone, rasanya orang tua saya yang berbahagia karena gampang ngeceknya. Tapi dulu saat belum ada international roaming - begitu ke luar negeri sinyal langsung mati – saya terpaksa tetap ke warnet untuk mengabari lewat e-mail. Untungnya saat ini handphone nomor Indonesia sudah bisa dipakai di hampir sebagian besar negara di dunia, kecuali negara-negara yang tidak populer seperti Andorra dan Palau. Handphone zaman sekarang bahkan sudah ada teknologi 3G yang bisa video call lintas negara pula - bener-bener ga bisa bohong kita lagi ada di mana.

Dulu untuk menyambung pertemanan dengan sesama traveler dari manca negara, kita saling tukar alamat dan nomer telepon rumah. Lalu kirim-kiriman surat atau postcard yang datangnya pun berbulan-bulan sekali. Waktu saya belum bekerja, sebelum traveling saya bela-belain mencetak kartu nama pribadi sendiri dari mesin cetak kartu nama instan yang ada di mall. Setelah bekerja dan punya kartu nama kantor, barulah tukar-tukaran alamat jadi lebih bergengsi, itu juga belum ada alamat e-mail. Setelah ada internet dan e-mail, segalanya jadi jauh lebih mudah. Kita bisa lebih sering berhubungan dengan e-mail, bahkan bisa chatting, telepon-teleponan via Voip, dan bisa langsung bertatap muka dengan teknologi web cam.

Dulu waktu belum ada ATM (Automatic Teller Machine), ke mana-mana harus bawa buku bank. Setiap masuk ke suatu kota, mata langsung jelalatan cari bank apa yang tersedia. Kalau mau ambil duit, bela-belain cari bank dan harus mengantri pagi-pagi. Setelah ada ATM, mulanya jaringan belum banyak dan pecahan uangnya pun masih sepuluh ribuan – kalau mau bayar tiket atau hotel bisa bergepok-gepok. Saat ini kartu ATM bisa berguna sebagai debit card, jadi tinggal gesek saja tanpa bawa uang tunai. Tarik uang juga sudah bisa di ATM yang bukan asal bank sendiri. Di luar negeri pun, kartu ATM Indonesia berlaku asal ada logo jaringan yang bekerja sama, seperti Visa dan Cirrus. Bahkan saat ini lebih canggih lagi, saya bisa melakukan pembayaran menggunakan m-banking, tinggal pencet-pencet dari handphone tanpa harus ke ATM.

Ah, berbahagialah orang traveling pada zaman sekarang!


Sunday, September 17, 2006 

Pulau James Bond dan Candi Angelina Jolie

Tempat atau negara mana yang paling ingin Anda kunjungi dan mengapa? Entah kenapa kebanyakan jawaban orang adalah tempat-tempat yang dilihat dari film yang pernah ditontonnya. Contohnya karena terinspirasi film Before Sunrise-nya Ethan Hawke teman saya sangat ingin pergi ke Vienna, Austria. Atau karena teman saya tergila-gila film Lord of The Rings, dia ingin sekali pergi ke New Zealand. Rupanya film dokumenter seperti yang ada di Discovery Travel & Living channel itu tidak dihitung, mungkin karena tidak ada adegan yang romantis atau adegan yang ‘nancep’ di hati. Pertanyaan selanjutnya: film apa yang membuat Anda ingin sekali pergi ke sana? Kalau saya sih banyak, dan terus terang memang menjadi salah satu alasan saya mengunjungi suatu tempat.

Saya sengaja niat pergi ke Phi Phi Island, Thailand, karena jatuh hati dengan pantai tempat Leonardo di Caprio tinggal dalam film The Beach. Gimana nggak ngiler lihat pantai pasir putih dan air laut yang biru toska bening seperti di film tersebut? Agen pariwisata Thailand tidak melewatkan kesempatan menjual lokasi syutingnya kepada para turis, mereka promosi habis-habisan lewat brosur dengan paket-paket tur bergambar Leonardo di Caprio (bahkan pulau tersebut dinamakan ‘Leo Island’!). Di sana, hotel, restoran, dan operator diving rajin memutar lagu yang merupakan soundtrack filmnya yaitu lagu Pure Shore-nya All Saint, juga sering ada nonton bareng film The Beach pakai giant screen. Mulanya saya bingung kok pantainya tidak seperti di film, rupanya pantai si Leo harus naik kapal dulu karena terletak di Phi Phi Ley yang tidak berpenghuni, sementara semua penginapan ada di Phi Phi Don.

Karena lokasi syutinglah nama pulau bisa berubah menjadi ‘James Bond Island’, tempat lokasi syuting film The Man with the Golden Gun yang dirilis tahun 1974. Nama pulau itu sebenarnya adalah Khao Phing Kan Island yang terletak di Phang Nga Bay, Thailand. Meski di fim tersebut diceritakan si James sedang berada di Cina, tapi lokasi syutingnya di Thailand dan jadilah tempat pariwisata. Untunglah candi Ta Phrom yang berada di kompleks candi Angkor Wat, Kamboja, tidak dinamai candi ‘Angelina’ karena film Tomb Raiders-nya Angelina Jolie syutingnya di sana. Scene Angeline kejar-kejaran di candi yang ada akar pohon besar yang menembus candi dijual agen pariwisata sebagai paling tempat wajib dikunjungi, lebih populer dibanding candi-candi lainnya.

Dulu tujuan saya ke Austria adalah karena film The Sound of Music yang meskipun dirilis tahun 1965 namun merupakan film sepanjang masa. Pemandangannya yang indah, pegunungan hijau, bunga edelweis, istana indah di pinggir danau yang tenang, begitu tertanam di benak saya sejak saya masih anak-anak. Lagi-lagi agen pariwisata di Salzburg benar-benar tahu cara menjual paket wisata, suasana seperti di film zaman baheula itu benar-benar dibangun. Hotel dan restoran terus-terusan memasang lagu soundtrack dan memutar filmnya, suvenir saja gambarnya si Julie Andrews. Saya pun ikut tur lokal ‘Sound of Music’, di dalam bis ada TV dan DVD jadi setiap tour guide-nya menerangkan tentang suatu tempat, diputarlah salah satu scene dari film. Contohnya gazebo tempat Rolf melamar Liesl dengan nyanyian “I am sixteen going on seventeen”, tangga di Mirabell Garden tempat anak-anak Von Trapp nyanyi “Do re mi” (si tour guide-nya sampai menirukan tarian do re mi), atau tempat Maria dan Baron kawin di Mondsee Cathedral. Si tour guide bahkan menceritakan gosip-gosip nggak penting selama syuting film ini, misalnya si Liesl yang dalam film berumur 16 tahun tapi dalam kenyataan pemerannya sudah berumur 22 tahun.

Lihat bagaimana New Zealand berhasil menjual pariwisatanya, karena film Lord of The Rings, negara itu menjadi sangat terkenal dan pemasukan negara dari turisme meningkat. Penerbangan nasionalnya, Air New Zealand, bahkan mencat badan pesawatnya dengan gambar-gambar casting dan pemandangan film Lord of The Rings, tagline-nya saja ditulis ‘Airlines of Middle Earth’. Bekas setting syutingnya pun dibiarkan agar dapat dijual ke turis, seperti desa Hobbiton dimana para Hobbits tinggal di rumah-rumah mini. Paket wisata ke tempat lokasi syuting film tersebut yang tersebar hampir di seluruh negara laku keras, dan semua yang ada di film benar-benar nyata dan indah: Misty Mountains, Mount Doom, bukit Edoras, Mordor, Ford of Bruienen, lokasinya Pillars of the Kings. Halah! Bahkan film-film Bollywood pun sering mengambil syuting di New Zealand, meski orang menyangka syutingnya di Swiss karena ada pegunungan saljunya.

Balik ke negara sendiri, saya jadi berpikir film apa yang membuat orang ingin ke Indonesia? Rasanya tidak ada. Atau mungkin video clip-nya Michael Learns to Rock yang lokasi syutingnya di pantai Dreamland, Bali? Beberapa film Hollywood dengan parahnya menggambarkan Indonesia yang masih sangat primitif, seperti penggambaran Brad Pitt dalam film Legends of The Fall dimana karena sakit hati dia mengembara ke Indonesia yang digambarkan pantai kosong dengan orang-orang primitif berkulit hitam tapi seluruh tubuhnya dilumuri cat putih. Hah, Indonesia bagian mana tuh? Beberapa film lain ada juga yang menggambarkan Bali tapi saya yakin syutingnya bukan di Bali. Ironisnya, ada film barat jelas-jelas tentang Indonesia tapi seluruh lokasi syutingnya malah dilakukan di Filipina! Ya, itulah film The Year of Living Dangerously yang dibintangi oleh Mel Gibson, Sigorney Weaver dan Linda Hunt! Sementara film Indonesia sendiri yang membuat saya ingin pergi ke sana adalah filmnya Garin Nugroho berjudul Surat Untuk Bidadari dimana lokasi syutingnya di Sumba. Dengan pemandangan yang indah dan penggarapan yang baik, saya bertekad suatu hari saya akan mengunjungi Sumba.


Wednesday, September 13, 2006 

Takut Maling, Bukan Takut Teroris

Per tanggal 11 Agustus 2006, Amerika Serikat memberlakukan peraturan penerbangan terbaru, konon gara-garanya ada kecurigaan atas aksi terorisme di salah satu penerbangan jalur Inggris dan AS. Peraturannya lumayan bikin orang marah karena setiap penumpang pesawat terbang saat ini dilarang membawa barang-barang berbasis cairan, termasuk gel dan aerosol, ke dalam kabin pesawat kecuali masuk ke dalam bagasi. Jadi segala macam lotion, gel rambut, sampo, odol, lip gloss, lighter, air minum, sampai cairan lensa kontak dilarang keras dibawa penumpang. Obat-obatan hanya boleh dibawa masuk pesawat apabila ada label nama yang sesuai dengan nama penumpang dan sudah ada persetujuan dari tim medis bandara, susu bayi baru boleh dibawa masuk setelah si ibu memakan susu bubuk di depan petugas. Beli liquor di Duty Free juga tidak bisa. Bahkan Inggris katanya lebih parno lagi dengan membuat peraturan tidak boleh membawa segala macam alat elektronik termasuk laptop dan iPod!

Rupanya peraturan ini langsung diberlakukan serentak di negara-negara lain, saya pun baru menyadarinya ketika saya terbang dari Filipina baru-baru ini. Ransel tentengan saya diperiksa petugas sebelum masuk bandara, diendus dulu oleh anjing pelacak, dibuka satu per satu kantong-kantongnya dan disuruh memindahkan barang-barang berbasis cairan ke dalam ransel besar saya yang masuk ke bagasi. Yang paling mengesalkan saya harus merelakan 2 barang, yaitu botol minum air mineral yang selalu saya bawa ke mana-mana dan tetes air mata untuk lensa kontak. Alhasil dua jam di bandara saya kehausan dan terpaksa mengeluarkan duit lagi untuk beli minum, dan begitu mendarat kedua mata saya merah meradang akibat udara pesawat yang kering. Cis! Saat akan boarding dalam penerbangan balik dari Davao ke Manado, saya melihat pemandangan yang ironis: 7 orang petugas ground-handling bandara berdiri di pintu pesawat sambil menenteng puluhan dus styrofoam berisi es krim duren khas Davao untuk diberikan kepada serombongan orang Indonesia. Sudah jelas dilarang bawa cairan ke dalam pesawat, eh bisa-bisanya lolos bawa es krim! Rupanya rombongan itu (yang didukung oleh pejabat konsulat setempat) menyogok para petugas bandara sehingga es krim tidak melewati jalur pemeriksaan penumpang! Hebat bukan?

Hubungan antara cairan dan terorisme saya kurang pasti mengapa, tapi saya pernah nonton di Discovery Channel tentang pemboman di Philippine Airlines dimana teroris menggunakan botol cairan pencuci lensa kontak untuk menanamkan detonator. Yah, mungkin itu sebabnya. Dari cerita itu juga digambarkan bahwa si teroris membawa alat pemicu bomnya yang disembunyikan ke dalam sol sepatu. Di Indonesia boro-boro ada larangan bawa barang berbasis cairan, prosesi buka ikat pinggang dan sepatu saat melewati Sinar X saja tidak pernah ada meski di negara-negara tetangga kita saja sudah memberlakukan peraturan itu.

Saya jadi curiga dengan gerbang metal detector yang ada di bandara Indonesia - kok tidak sesensitif di luar negeri dimana ngantongin banyak uang koin atau pakai jam tangan metal saja alarmnya berbunyi. Lucunya lagi, di bandara Indonesia kalaupun ada alarm yang bunyi, si petugas tidak memeriksa dengan seksama. Si petugas memang memakai tongkat metal detector untuk pemeriksaan lebih lanjut, tapi berbunyipun si petugas tidak pernah menyentuh pakaian si penumpang, paling tidak memegang benda tersebut dan menanyakan isinya apa. Malah kalau ibu-ibu yang lewat pun dicuekin sama sekali meskipun alarmnya berbunyi. Suatu kali saya tahu banget teman saya bawa HT dan handphone yang tidak dikeluarkan dari sakunya, meskipun alarm di gerbang berbunyi dan selanjutnya si petugas men-scan dengan tongkat dan bunyi juga, tapi si petugas cuek aja tuh. Hii!

Paling ‘ketat’ memang di Bandara Soekarno-Hatta, soalnya gunting kuku saya pernah disita dan saya pernah diinterogasi petugas karena membawa ratusan pin merchandise kantor saya. Di Bandara Sam Ratulangi di Manado, teman saya pernah lupa memindahkan gunting ke dalam bagasi jadi gunting tersebut ditaruh begitu saja di dalam tas tangannya. Mau tahu apa yang terjadi setelah melewati Sinar X? Si petugas berteriak, “Ada yang bawa gunting? Siapa yang bawa gunting ya? Kamu? Kamu?” sambil menunjuk-nunjuk saya, teman saya, dan satu orang lain yang mengantri. Lah, tentu saja tidak ada yang mau mengaku! Lagian si petugas kan bisa melihat dari layar TV bentuk-bentuk tas yang lewat di ban berjalan di depannya, secara cuman 3 orang yang lewat dengan 3 buah tas yang berjalan berurutan sesuai urutan antrian orang! Wih, bahayanya!

Soal peraturan apa yang boleh dan tidak dibawa ke dalam pesawat, di mana-mana selalu tertulis jelas, besar, dan strategis di dalam bandara – kecuali di Indonesia. Di kita memang ada peraturan yang ditulis besar di plang sebelum masuk bandara, tapi plangnya diletakkan di tempat yang tersembunyi yang tidak terlihat oleh penumpang. Lucunya, satu-satunya peraturan yang saya lihat jelas dan besar adalah pada roll-up banner yang diletakkan persis di sebelah meja check-in yang bertuliskan ‘Dilarang membawa barang berharga’ dengan gambar perhiasan, laptop, jam tangan, yang disilang-silang merah. Gila ya, hare gene orang Indonesia ternyata lebih takut dengan maling dibanding dengan teroris!


Tuesday, September 05, 2006 

Susah Selingkuh di Palau

Menurut sejarah – ini tertulis resmi di National Museum of Belau – nenek moyang orang Palau berasal dari Indonesia. Begitu menyebutkan asal saya dari Indonesia, mereka saja langsung bilang, “Aha, our ancestor!”. Kalau melihat foto-foto orang Palau zaman doeloe di museum tersebut, mereka persis kayak orang Jawa sehingga pantas diberi nama si Yono, si Joko, dan sebagainya. Herannya saat ini orang Palau tidak mirip dengan orang Jawa, mereka telah ‘berevolusi’ sehingga berkulit hitam, meski tidak sehitam orang Papua - lebih tepatnya seperti kulit orang Ambon yang coklat tua banget. Rambut mereka keriting-keriting kecil alias brindil. Badan mereka guede-guede semua, yang kurus rasanya hanya balita saja. Perhatikan saja bis sekolah butut berwarna kuning yang lewat, isinya anak-anak yang semuanya guede-guede. Yasmin sampai berkomentar, “Wah, gua ogah sekolah di Palau. Takut digencet!”. Kalau naik taksi, supir taksinya guede banget sampai-sampai kalau saya duduk di belakang joknya, kaki saya kegencet.

Negara Palau terdiri dari 300an pulau, tapi hanya 8 pulau yang didiami penduduk dan terbagi ke dalam 16 negara bagian. Total penduduknya kurang dari 20.000 orang saja, 2/3-nya tinggal di ibu kotanya, Koror. Jumlah segitu di Indonesia kan dipimpin oleh Lurah, nah di Palau dipimpin oleh seorang Presiden (saya jadi pengen tahu apa saja kerjaan presidennya). 30 % penduduk Palau merupakan pendatang yang berasal dari Filipina (70%nya), Jepang, Taiwan dan Amerika - jadi sebenarnya orang Palau asli hanya 13.000an saja. Saking sedikitnya penduduk, ke manapun berjalan pasti saja ada yang menyapa – tampaknya semua orang mengenal semua orang. Wah, susah juga untuk punya selingkuhan. Kata Jig, orang Palau yang tukang kapal, “Let me put this way, it’s even difficult for us if we want to flirt, we should ask them ‘who’s your mother and who’s your father’ because they might be our relatives!”. Hehe, bener juga, boro-boro mau selingkuh, mau ngeceng aja susah karena takut sodaraan!

Karena tidak ada transportasi umum, hari terakhir kami menyewa mobil untuk keliling-keliling kota Koror. Harganya lumayan masuk akal: 30$ untuk 24 jam dan boleh pakai SIM Indonesia, dapatnya mobil Toyota Corolla baru dengan transmisi otomatis (anehnya, Suzuki Katana yang busuk malah harga sewanya 50$!). Dari peta kelihatannya kota Koror itu besar karena jalannya menghubungi 4 pulau, jadilah kami mengisi bensin 5 galon. Lucunya, selain jalan di kanan tapi setir di kanan, satu negara ini tidak ada petunjuk arah jalan, tidak ada rambu-rambu lalu lintas, bahkan tidak ada lampu merah. Saking bingungnya, ujung jalan utama bisa-bisa berakhir di halaman rumah orang. Tololnya lagi, dalam waktu tidak sampai 10 menit, kami sudah mencapai ujung paling Timur sampai paling Barat. Halah, jarum penunjuk bensin saja tidak bergerak turun sedikit pun setelah seharian jalan.

Bahasa orang Palau ya bahasa Palau, meski semuanya bisa berbahasa (broken) Inggris. Sekolah tertinggi di sana cuman sampai 2 years college alias D2. Penghasilan Palau hanya dari turisme, mereka tidak mengekspor atau menghasilkan apapun. Jembatan, jalan, museum, semuanya dibangun dari grant negara asing. Sepertinya orang Palau malas-malas. Mereka yang punya tanah dan property disewakan ke para pendatang jadi setiap bulan mereka tinggal nagih duit sewa, sehari-hari mereka leyeh-leyeh aja. Kalaupun ada yang bekerja, kebanyakan pekerjaan mereka adalah jenis ‘kerah biru’seperti tukang kapal dan kasir supermarket, selain kerja di pemerintahan dan jadi polisi. Meskipun demikian, semua orang punya mobil dan semua rumah ber-AC, GDP mereka saja 5800 $ (Indonesia 900$). Pada abad milenium ini, mereka masih menyirih, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang tua maupun anak muda. Sirih terbuat dari betelnut yang diolesi bubuk dari karang laut yang dibakar, dibungkus daun sirih, kadang disisipi tembakau rokok. Sebentar-sebentar mereka meludah, tak heran pingiran mulut mereka berwarna merah.

Palau mempunyai 4 radio lokal. Saya pernah dengar, semuanya tidak ada suara penyiarnya, jadi cuman nyalain kaset atau CD doang! TV lokal tentu tidak ada. TV kabel saja hanya bisa me-relay 12 channel stasion TV luar yang salah satunya TV Filipina. Koran lokal ada 2: Tia Belau yang terbit seminggu sekali dan Palau Horizon yang terbit dua kali seminggu (enak sekali jadi jurnalis di sana ya?). Ukuran korannya segede tabloid berisi 16 halaman saja. Headline-nya tentang power emergency dimana saat itu sedang dilanda krisis tenaga listrik jadi sering mati lampu eh mati listrik. Di sampingnya ada foto ¼ halaman, gambar dua orang Palau memelototi selembar kertas di dalam kantor yang gelap dan berantakan, caption-nya: gambar suasana kantor yang gelap dimana orang saja susah untuk membaca dokumen. Hahaha! Berita lain, tentang Presiden Palau yang menggunting pita dalam rangka peresmian jalan raya sepanjang 400 meter! Ada juga berita tentang suatu hari jellyfish lake sangat penuh dengan turis sampai mencapai 250 orang. Berita olah raga diisi dengan pertandingan bola basket antar perusahaan dengan foto orang main basket di dalam stadion tanpa penonton. Yang malah menempati satu halaman penuh adalah ramalan bintang. Sisanya berita-berita tentang negara-negara tetangganya di Micronesia. Selipan brosur di dalam koran adalah iklan sale dari Ben Franklin (department store terbesar di sana), isinya foto baju-baju bermerk yang tercantum harga-harga diskonnya, tapi...fotonya berlatar belakang tegel lantai rumah yang kotak-kotak kuning! Gila, bikin iklan cuek banget, masa foto produk dengan menjembreng baju-baju di lantai dan difoto! Hahaha!

Kesimpulan: Sebagai orang yang tinggal di negara dengan 230 juta penduduk, saya sangat terkesan dengan Palau yang very laid back dan sangat fiktif lucunya!


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates