Thursday, July 24, 2008 

Naik balon di bulan

Siapa yang tidak pengen naik balon, seperti impian saya sejak kecil. Saya juga bertekad untuk naik balon pertama kali di salah satu tempat terbaik di dunia, yaitu di Cappadocia, Turki. Letaknya di region Central Anatolia, 19 jam naik kereta atau 11 jam naik bis dari Istanbul. Lansekapnya benar-benar aneh, karena serasa seperti di bulan. Akibat letusan Gunung Erciyes dan Gunung Hasan yang terjadi 3 juta tahun yang lalu membuat daerah ini tertutup plateau. Angin dan cuaca membuatnya menjadi batuan lembut volkanik yang membentuk pilar-pilar tinggi yang ajaib sehingga disebut sebagai fairy chimneys, berwarna gradasi pink sampai kuning dan kecoklatan..Di dalam pilar inilah terdapat gua-gua yang pada abad 8 orang Kristen yang bersembunyi dari kejaran serdadu Romawi membuat gereja dan tinggal di dalamnya. Sampai saat ini pun banyak hotel di Göreme yang terletak di dalam gua. Tak heran tempat ini termasuk ke dalam Unesco World Heritage Site.

Saya direferensikan oleh Hasan, seorang teman yang penduduk lokal, untuk naik balon dari perusahaan bernama Göreme Balloons, yang merupakan perusahaan balon pertama di sini. Untuk naik balon, harganya tidak murah. 160 Euro per orang, selama satu jam, berisi 16-22 orang sekeranjang, termasuk antar-jemput, sarapan, champagne toast, asuransi dan sertifikat. Kalau mau paket yang borju, harganya 230 Euro selama 1,5 jam dan hanya berisi 8-11 orang saja. Karena saya KKN-an dengan orang Turki, mereka memberi diskon 300 Euro untuk bertiga. Kami disarankan untuk memakai pakaian hangat mengingat suhu pagi hari drop setengahnya meski musim panas (siang hari 31ºC, malam hari 15ºC), belum lagi angin kering yang menerpa sehingga membuat bibir bocel-bocel.

Jam 4.45 pagi kami dijemput naik minibus. Alasan naik balon di pagi hari selain untuk melihat matahari terbit, juga karena angin yang paling kalem ya di pagi hari sehingga mudah terbang di ketinggian maksimum. Sampai di ‘landasan’ dekat desa Göreme kami disuguhi sarapan ringan, berupa roti kering dan biskuit serta kopi dan teh, sementara mereka menyiapkan balon masing-masing dengan diisikan udara. Bunyi apinya yang besar terdengar seperti bunyi kompor mbleduk. Balonnya pun ternyata gedeee banget dengan keranjang anyaman berbentuk kotak (persis keranjang piknik) yang dibagi empat bagian, di tengahnya adalah si pilot. Kami mengisi daftar absen dan petugas memberikan petunjuk balon yang mana yang akan kami tumpangi. Biasanya satu balon terdapat satu keranjang berisi 16 orang bila ukuran badannya segede-gede saya. “If all Japanese, it can fit up to 23 persons,” kata petugasnya. Sialan. Kami pun naik keranjang dengan cara memanjat karena tidak disediakan tangga. Tinggi keranjang sebatas dada, jadi cukup aman. Sebelum terbang, kami diberikan kertas yang telah dilaminating mengenai dos and donts.

Saya berada di balon pertama, maka pertama kalilah kami mengudara jam 5.45 pagi. Pilotnya bernama Ibrahim. Pilot balon itu ternyata harus ada lisensi resmi dari International Civil Aviation Authorities. Tugasnya mengarahkan dan menaik-turunkan balon, karena lajunya balon tergantung dari angin. Ia juga dipandu oleh petugas di landasan dengan menggunakan HT. Prinsip terbang balon adalah gravitasi dan heat transfer – jika udara di dalam balon dipanaskan maka balon akan terbang atas, jika udara di dalam balon dingin maka balon akan turun. ‘Kompor’ yang berisik itu ternayata berada di atas kepala para penumpang. Satu balon membawa 80 liter propane sebagai bahan bakarnya.

Dengan naik yang perlahan-lahan tak terasa kami berada jauh di atas, maksimum bisa mencapai ketinggian 2000 feet (666,66 meter). Satu per satu balon terlihat diterbangkan dan di atas saya hitung ada 18 balon lain. Motif balonnya yang warna-warni sangat kontras dengan alam gersang seperti di bulan. Pemandangan 360º dari atas balon pun terlihat spektakular. Pilar-pilar batu di sekeliling daerah yang luas ini terlihat bagaikan ombak yang dilukis alam secara berirama. Pegunungan, lembah, fairy chimneys semuanya bersatu dengan warna yang bergradasi. Rasanya sangat romantis. Balon pun tidak terasa grudak-gruduk karena terbang dengan pelan dan kalem. Pilot lalu merendahkan balon sehingga kami juga dapat dengan jelas melihat dari jarak dekat gua-gua di dalam fairy chimneys, rubah yang berlarian, pohon aprikot dan pohon poplar, dan Red Valley. Sinar matahari yang baru keluar mengintip dari balik pegunungan dan kami pun membumbung tinggi melewati gunung itu.

Tak terasa sejam telah berlalu. Saya pikir kami akan kembali ke titik semula, tidak tahunya terlihat beberapa orang berlari-larian mengikuti balon kami di suatu ladang yang terbuka yang dikelilingi lembah yang curam. Wah kalau tidak mendarat dengan tepat, bisa-bisa kami nyusruk ke lembah! Pilotpun memberi aba-aba, “Landing position!”. Artinya, kami harus menekuk lutut, menyenderkan pantat ke keranjang bagian dalam dan memegang pinggir keranjang dengan kedua tangan. Saya sampai egol-egolan dengan pantat Nina dan ibu-ibu lain yang sama-sama berpantat besar agar mendapat tempat sandaran pantat yang aman dan nyaman. Pilot melemparkan tali dari keranjang, 3 orang menarik tali sambil badannya ikut melayang. Lalu 3 orang lain yang berbadan besar memegang tali tersebut dan menjadikan dirinya pemberat dengan bergelantungan di keranjang. Saya pikir sudah selesai dan kami akan mendarat di ladang, tidak tahunya datanglah truk 4-wheel drive dengan menggandeng bak terbuka. Rupanya tanpa terasa kami mendarat rata di atas bak truk! Hebat sekali si pilot! Lalu satu persatu kami memanjat keluar keranjang dan menuruni bak truk.

Lalu para petugas sudah menyiapkan botol champagne dan menuangkannya ke gelas-gelas. “Şerefe!”, katanya. Artinya cheers dalam bahasa Turki (saya tidak tahu dalam bahasa Indonesianya. Tos? Lisoi? Cir-go-bang-ga-cir?). Lalu ia membagikan sertifikat ke masing-masing penumpang: Fligh Certificate. This is to certify that Trinity participated in a Hot Air Balloon Flight in Cappadocia, Turkey, on Jully 10, 2008. Pilot, Ibrahim. (bulan July, huruf ‘l’-nya dua ni yee!).


Tuesday, July 22, 2008 

Perawan bernama Negros*

*Tulisan ini dimuat di "U Magazine" edisi Juli 2008 halaman 54-63 dg sedikit bagian yg telah diedit
-------------------------------------------------------------------------

Negros, nama sebuah pulau di Filipina yang sangat politicaly incorrect karena berbau rasis, membuat saya memutuskan untuk pergi ke sana. Apalagi yang mengajak adalah teman sekelas di kampus, Lowell Yu, yang memang asal Negros sehingga saya tidak usah repot-repot merencakan perjalanan. Terus terang saya sendiri belum pernah dengar nama Negros, namanya tenggelam dengan tempat wisata lain di Filipina seperti Boracay atau Bohol yang terkenal itu.

Pulau Negros sendiri berada di region Visayas yang terletak di bagian tengah Filipina. Negros terbagi dua propinsi, di selatannya adalah Negros Oriental dengan ibu kota Dumaguete dan di bagian utaranya Negros Occidental dengan ibu kota Bacolod. Negros Oriental sendiri berpenduduk hanya sekitar 1,2 juta. Mereka tidak berbahasa Tagalog seperti di Manila dan region Luzon, namun berbahasa Cebuano, meski orang Filipina rata-rata bisa berbahasa Inggris.


Rupanya pada zaman dahulu kala, penduduk asli yang pada awalnya tinggal di Negros berkulit hitam. Ketika Miguel Lopez de Legaspi pertama kali mendarat di Negros pada tahun 1565, ia melihat banyak penduduk berkulit hitam (‘Negros’ dalam bahasa Spanyol berarti ‘hitam’) sehingga pulau itu dinamakan Negros. Penduduk asli itu merupakan golongan ras Negrito yang ditemui pada suku-suku asli di Asia Tenggara (Filipina, peninsula Malaysia, Thailand dan beberapa suku di kepulauan Andaman di India). Ciri fisiknya memang hampir sama dengan orang Afrika pygmy yaitu bertubuh tidak begitu tinggi dan berkulit hitam tapi sampai saat ini para ilmuwan belum pasti apakah memang berasal dari Afrika atau asli dari Asia sebab menurut penelitian gen mereka lebih mirip dengan gen orang Asia. Ada juga ilmuwan yang mengatakan bahwa asal mereka adalah dari Afrika Timur yang migrasi 60.000 tahun yang lalu. Jauh amat ya?

Pantai tersembunyi di Pulau Apo
Dari Manila jam 7 pagi, kami naik pesawat Cebu Pacific selama satu jam menuju Dumaguete. Di airport saya langsung berganti celana pendek dan membawa baju renang dan handuk saja karena langsung mengunjungi Apo Island, pulau kecil yang berdiameter 3 km saja. Pulau ini salah satu surga diving dan snorkeling di Filipina karena keindahan alam bawah lautnya yang merupakan rumah dari 650 spesies ikan dan 450 spesies karang laut yang masih sehat. Dengan naik jeepney, angkutan umum khas Filipina yang merupakan hasil modifikasi dari jeep willis zaman perang dunia kedua, perjalanan ditempuh selama 1,5 jam ke kota Dauin. Kapal sudah menunggu kami di pinggir pantai untuk menuju pulau Apo selama 30 menit.

Begitu merapat, saya agak kecewa karena pantainya dipenuhi oleh kapal-kapal nelayan. Wah, gimana mau berenang? Rupanya kami harus berjalan lagi selama 15 menit melewati bebatuan dengan air sebatas paha dan melewati celah karang yang sempit. Sampailah kami di tempat yang sangat indah, sebuah pantai yang tersembunyi di antara bebatuan raksasa. Pasirnya yang putih, air yang biru bening dan batu karang yang mengapitnya mengingatkan saya pada Pulau Phi Phi di Thailand, tempat syuting film The Beach-nya Leonardo di Caprio. Wow! Tak sabar saya segera menceburkan diri ke air laut yang bening bak kristal. Makan siang pun di bawah payung sambil mengagumi indahnya pantai, berupa ikan tuna bakar, ayam bakar dan ‘chop suey’ (capcay).

Jam 2 siang kami pindah tempat, meyusuri perkampungan penduduk. Terdapat 145 kepala keluarga atau 700an orang yang bertempat tinggal di pulau Apo, sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan. Rumah-rumah berbentuk rumah panggung berdinding anyaman bambu. Lingkungan desa ini amat asri, dengan pohon yang rimbun dan danau yang bersih di salah satu sisinya. Sampailah kami di pantai selatan pulau Apo yang disebut Marine Sanctuary karena di pantai tersebut terdapat cagar laut yang dilindungi. Pemerintah melarang nelayan memancing ikan di sini, kapal pun tidak boleh memasuki area ini. Benar saja, di dasar laut kedalaman 4 meter itu menyimpan kekayaan alami: hard corals dan soft corals berbagai macam jenis dan bentuk dan banyak ikan kecil berwarna-warni, di antaranya angelfish, scorpionfish, frogfish, dan tentunya clownfish yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Nemo’. Ketika saya snorkeling, astaga, tiba-tiba saya melihat ‘tembok’ berwarna perak mengkilat... ternyata school of jackfish! Ada sekitar ribuan ikan kuwe berenang sampai membentuk ‘tembok’ berwarna perak. Saya pun ‘menembus tembok’ tersebut dan mereka membentuk lingkaran baru, begitu seterusnya sampai saya puas berakrobatik bersama. Selama ini saya hanya melihat gerombolan ikan kuwe pada saat menyelam di kedalaman 15 meter, ini pengalaman pertama saya ketemu pada saat snorkeling di permukaan laut. Sesekali kami beristirahat di salah satu pondok kayu di pinggir pantai sambil menikmati San Miguel Light, merk bir kebanggaan Filipina. Kami juga menyempatkan diri trekking ke menara mercu suar di atas bukit dengan ketinggian 120 meter yang terjal dimana pemandangan keseluruhan pulau terlihat dari sini.

Dumaguete, kota pelajar dan pensiunan
Sore hari kami kembali ke Dumaguete. Seperti Yogyakarta, kota Dumaguete ini terkenal sebagai kota pelajar karena banyak terdapat sekolah dan universitas. Tapi Lowell menyebutnya ‘ibu kota sepeda motor di Filipina’ karena konon jumlah kepemilikan motor di seluruh Filipina paling banyak di kota Dumaguete. Kami pun check in di Bethel Guest House yang terletak di Rizal Boulevard, persis menghadap pantai. Meski namanya guest house, tapi penginapan yang termasuk baru dibangun ini bertingkat lima dengan fasilitas setara hotel bintang tiga. Kamarnya luas, ber-AC, ada TV dan air panas. Yang justru menarik perhatian saya adalah lift-nya yang terdapat poster iklan sebesar A3 mengenai jasa pengurusan visa bagi wanita Filipina yang menikah dengan orang asing. Saat saya makan malam di “Why Not” yang hanya berjarak satu blok dari hotel, baru saya menyadari bunyi iklan tersebut. Di dalam restoran khas makanan Jerman itu saya melihat banyak pria bule tua bersama cewek-cewek ‘Pinay’ (sebutan untuk perempuan Filipina) bergaya ‘ayam’. Kata Lowell, “Kota ini memang sengaja dipromosikan bagi para pria asing untuk menghabiskan masa pensiunnya di sini karena living cost dan harga properti jauh lebih murah daripada di Manila dan alamnya yang indah.” Oh, pantas saja! Ada sekitar 4.000 orang asing pensiunan yang tinggal di sana, sebagian besar berasal dari Jerman, Swiss dan Amerika.

Kami lalu menghabiskan malam dengan berjalan kaki keliling kota dimulai dari Rizal Boulevard yang merupakan pusat tongkrongan anak muda, seperti pantai Losari di Makassar. Nama Rizal berasal dari nama pahlawan Filipina, Dr. Jose Rizal, yang pernah mampir ke tempat ini pada saat dia diasingkan. Taman sepanjang 780 meter di pinggir pantai ini sangat asri dengan pohon-pohon besar. Pantainya pun bersih dan tidak berbau - bahkan ketika siang hari air lautnya warna biru, bukan hitam seperti di Ancol. Di seberang taman berjejer restoran dan bar. Di ujung jalan terdapat Silliman Hall, bangunan kolonial bertingkat tiga bercat merah dan putih yang dibangun pada tahun 1903, dulunya merupakan perpustakaan universitas tapi saat ini menjadi museum antropologi. Di sepanjang jalan Silliman Avenue terletak Silliman University, salah satu universitas terbaik dan tertua di Filipina yang didirikan pada tahun 1901 yang merupakan satu-satunya universitas Protestan di Filipina yang mayoritas Katolik. Meskipun namanya lucu (terdengar seperti ‘silly man’), namun jurusan ilmu kelautannya termasuk yang teratas karena mempunyai laboratorium terlengkap. Bangunannya pun masih mempertahankan keasliannya sejak zaman penjajahan Spanyol. Tak lupa kami ke landmark kota Dumaguete yaitu Dumaguette Bell Tower yang dibangun pada tahun 1811, dulunya dipakai sebagai bel peringatan kepada penduduk bila ada bajak laut yang menyerang. Di lantai menara yang terbuat dari batu bata tersebut banyak terdapat lilin yang dinyalakan bagi umat Katolik untuk memanjatkan doa. Di sebelahnya terdapat St Catherine of Alexandria Cathedral, gereja tertua di Negros yang terbuat dari batu.

Ratusan lumba-lumba menari
Hari kedua jam 6 pagi kami kembali naik jeepney menuju utara, ke kota Bais, selama 1,5 jam. Dari sana Lowell sudah menyediakan kapal berisi 25 penumpang untuk membawa kami ke Tañon Strait untuk melihat lumba-lumba langsung dari habitatnya. Bahkan bila beruntung, kita dapat juga melihat ikan paus. Selat ini terletak di antara pulau Negros dan pulau Cebu. Waktu terbaik untuk melihat lumba-lumba memang di pagi hari, di saat air tenang sehingga gampang mencarinya. Jenis lumba-lumba di sana kebanyakan adalah ‘spinner dolphin’ (Stenella longirostri) yang terkenal dengan gaya akrobatiknya yang berputar di udara saat mereka melompat ke atas permukaan. Hewan mamalia yang berwarna abu-abu gelap dan perut putih dengan moncong panjang ini hanya dapat ditemukan di perairan tropis.

Tak sampai satu jam, guide memberi aba-aba kepada kami untuk berdiri di pinggir kapal sambil bertepuk tangan. Wah, tak pernah saya melihat lumba-lumba sedekat dan sebanyak ini berenang mengikuti lajunya kapal dan berlompatan indah sambil berpasang-pasangan. Bukan hanya 1 atau 2 pasang, tapi puluhan! Percaya atau tidak, semakin ramai kami bertepuk tangan dan berteriak, semakin semangat lumba-lumba datang dan berlompatan. Wah, ‘banci tampil’ juga nih lumba-lumba! Kapal kami pun menjadi riuh rendah setiap kali bertemu sekelompok lumba-lumba, sampai bingung mau lihat ke kanan atau ke kiri kapal saking banyaknya, mencapai ratusan. Tambah lagi atraksi akrobat mereka di udara. Benar-benar menakjubkan! Sayangnya kami tidak bertemu dengan ikan paus. Tak terasa 3 jam kami telah dihibur oleh lumba-lumba yang lucu itu dan perut pun sudah keroncongan.

Kapal pun menjauh dan menuju Manjuyod Sandbar. Saya belum ‘ngeh’ apa arti sandbar sampai saya melihat pemandangan alam yang menakjubkan. Di tengah lautan dalam dengan air yang berwarna biru gelap, tiba-tiba di tengahnya ada perairan tenang dengan warna air laut yang berwarna turquois. Rupanya itu adalah sebuah pulau pasir sepanjang 7 km dengan pasir putih yang ‘menjulang’ di tengah laut. Pada saat surut, kita dapat piknik di pulau tersebut, bahkan bermain bola. Semakin siang, air akan pasang dan menutupi pulau pasir tersebut sehingga terbentuklah kolam renang tak berombak yang super luas dengan air yang super bening. Kita pun terlihat seperti berjalan kaki di air. Di sekelilingnya terlihat pegunungan hijau dan awan yang rendah dengan latar belakang langit yang biru. Di atas sandbar terdapat 4 buah rumah panggung tempat berteduh. Rumahnya hanya berupa atap tanpa dinding dan pada salah satu sisinya terdapat dapur dan toilet. Bila air pasang, terlihat seperti rumah apung. Di salah satu rumah yang bisa disewa itu kami makan siang berupa aneka makanan laut yang telah dipersiapkan oleh kru kapal. Setengah hari kami menghabiskan waktu dengan berenang, mengapung di lautan, snorkeling, ‘leyeh-leyeh’ di rumah dengan angin semilir, atau terjun bebas dari teras rumah langsung ke dalam air.

Hari yang melelahkan ditutup dengan makan malam di restoran Hayahay yang terletak di pinggir pantai Dumaguete. Menurut budaya orang Filipina: tidak ada pesta tanpa ‘lechon’ (babi guling yang dipanggang sedemikan rupa sehingga kulitnya garing namun dagingnya lembut, dapat dimakan tanpa saos apapun). Jadilah kami berpesta di sana merayakan pengalaman yang menakjubkan selama dua hari terakhir. Selalu ada alasan untuk berpesta bukan?

‘Night Swimming’ di tengah hutan
Dua hari penuh menikmati birunya laut, kami pindah ke hijaunya pegunungan Sandulot di kota Siaton, tepatnya di Lake Balanan. Danau ini terjadi karena pada tahun 1920an terjadi gempa berskala 6,8 skala Richter yang menyebabkan tanah longsor dari pegunungan Balanan dan Nasig sehingga membentuk reservoir air dimana para penduduk desa menjadikannya sebagai sumber mata pencahariaan dari ikan dan agrikultur. Baru pada tahun 1990an Departemen Perhutanan resmi menjadikan area tersebut menjadi cagar alam. Dengan naik jeepney, perjalanan ditempuh dalam 2 jam. Ketika jalan mulai menanjak menuju punggungan gunung, debu beterbangan memasuki jeepney yang tidak berpintu dan berjendela sehingga kami terpaksa harus menutup muka dengan sarung atau sapu tangan.


Setelah jeepney melewati sungai, sampailah kami di danau Balanan. Airnya yang tenang bagaikan cermin sampai merefleksikan pegunungan hijau dan awan putih di permukaannya. Kami pun jalan-jalan mengelilingi danau dan naik saung apung. Saung ini dapat menyebrangi sungai dengan cara menarik tali yang dihubungkan di antara kedua pinggiran danau. Karena tree house-nya penuh, kami menginap di lodge. Ternyata resor yang dimiliki pemerintah ini melebihi ekspektasi saya: kamarnya luas, bagus dan bersih. Makan siang kali ini adalah ‘kinilaw’ yang sering disebut ‘shashimi ala Filipina’ karena merupakan ikan mentah yang diasam oleh cuka dan diberi bumbu dan potongan bawang merah dan cabai. Mantap saat disantap dengan nasi panas. Aktivitas sore diisi dengan bermain kayak di danau, leyeh-leyeh di saung, memancing, bermain sepeda air, trekking ke air terjun, atau membaca buku di ruang tamu yang langsung menghadap danau.


Sehabis makan malam, dengan membawa senter saya diajak ‘ghost hunting’ karena melewati pohon-pohon beringin yang besar dan terkesan angker. Tak berapa lama, kami sampai di kompleks kolam renang. Di tengah hutan yang lebat terdapat tiga buah kolam renang yang berundak-undak dari atas ke bawah. Kolamnya tidak begitu besar, tapi airnya dibendung langsung dari sungai sehingga sangat segar dan tidak mengandung kaporit. Kami menghabiskan malam dengan berenang sambil menikmati bir dingin. Airnya terasa hangat karena udara di pegunungan yang sejuk. Jam 12 malam saya pun tidur karena lelah dan suasanya yang sunyi, tidak terdengar suara apaun selain suara jangkrik.

Keesokan harinya, sebelum pulang kami kembali berenang di kolam renang sejuk itu. Barulah saya melihat lokasi kolam yang berada di pinggir sungai dan memang dikelilingi hutan lebat. Sialnya dalam perjalanan pulang jeepney yang kami tumpangi bannya pecah persis di tengah hutan dengan pohon kapuk. Sudah lama juga saya tidak pernah bermain dengan kapas yang lembut dan putih ini langsung dari pohonnya. Sampai di bandara Dumaguete di Sibulan, saya tambah takjub. Setelah sekian lama, baru kali ini saya ke bandara yang tidak ada pemeriksaan x-ray, bahkan tidak ada metal detector. Cara pemeriksaan bagasi ya tas-tas dibuka secara manual oleh petugas keamanan dan ‘diobok-obok’ deh.

Intinya, liburan singkat di Negros sangat menyenangkan dan lumayan murah. Saya hanya menghabiskan 4.300 Peso atau sekitar Rp 900.000 termasuk akomodasi 4 malam, transportasi (jeepney dan sewa kapal), makan 3 kali sehari, camilan dan unlimited bir.


Saturday, July 05, 2008 

Kesempatan tidak datang dua kali

Hari Kamis malam
Saya sedang kumpul-kumpul dengan teman-teman segeng, sampailah kami ke pembicaraan mengenai pekerjaan. Jade mengatakan bahwa dia akan ada business trip ke Turki pada minggu pertama Juli. Rupanya dia mengajak juga Nina. Mereka berdua adalah sahabat jalan saya, terakhir kami backpacking bareng ke Brunei dan Filipina. Saya pun diajak Jade ke Istanbul dan bisa ikutan nebeng menginap di hotelnya yang dibayarin kantor. Wah, ke Turki bersama sahabat-sahabat saya? “Buruan sediain paspor, foto 4x6 latar belakang merah dan fotokopi rekening bank, besok pagi kita barengan ke kedutaan Turki,” tantang Jade. Hah? Besok? Hmm, saya yang impulsif ini berpikir cepat dan langsung berhitung. Saya masih punya sisa dolar dari tabungan di Filipina. Saya pun sudah bosan jadi pengangguran yang nongkrong di rumah melulu. Belum tentu kalau nanti sudah kerja saya mendapat kesempatan seperti ini, malah kalau jadi ‘anak baru’, baru bisa cuti setahun kemudian. Terakhir, kalau Turki akhirnya jadi anggota Uni Eropa, bisa jadi visa akan semakin susah dan mata uang Turkish Lira berubah menjadi Euro sehingga harga akan membumbung tinggi. Jam 9 malam itu juga saya ngacir bikin pas foto.

Hari Jumat pagi
Saya ke bank untuk print rekening, lalu bersama-sama ke Kedutaan Turki di Kuningan. Karena buru-buru, lupa pula saya memakai baju yang rapih. Saya meneliti diri sendiri dari atas ke bawah: t-shirt, jeans, dan sendal jepit! Duh, bodohnya saya! Memasuki gerbang kedutaan, saya melihat persyaratan visa turis (yang rupanya baru diberlakukan sejak April 2007, padahal sebelumnya kita bisa bebas visa). Wah, ternyata harus ada tiket bolak-balik, surat keterangan kerja atau surat jaminan dari orang tua jika tidak bekerja, surat sponsor dari Turki, dan lain-lain. Saya langsung ‘jiper’ karena persyaratan saya tidak lengkap, apalagi Nina rupanya sudah dibikinkan surat keterangan dari kantor Jade. Saya berpikir, yah, kalau dapat sukur kalau tidak dapat ya udah. Kami pun mulai mengarang cerita, kalau ditanya tiket dan sponsor, bilang aja sekalian sama kantornya Jade – meskipun tidak ada bukti tertulis. Kalau ditanya alamat di Turki, tulis saja alamat hotelnya Jade. Dan berbagai karangan yang kami bertiga sengaja berlatih agar pesannya sama dan konsisten.

Setelah mengantri dua jam, sampailah kami di depan loket dan wawancara pun dimulai satu-persatu. Jade ditanya kerja di industri apa dan ngapain ke Turki, lalu diminta mengisi formulir lebih detil. Nina mengaku sekantor sama Jade. Begitu giliran saya, si petugas tanya, “Ini alamat pekerjaannya mana? Kok nggak diisi?”. Dasar saya orangnya nggak bisa bohong, dengan polos saya jawab, “Saya nggak kerja, Mbak.” Dengan nada menyindir dia berkata, “Kok enak banget ya nggak kerja?”. Saya jawab lagi dengan senyum memelas, “Saya baru lulus kuliah dan sedang cari kerjaan tapi belum dapat tuh, Mbak. Makanya mau jalan-jalan dulu ke Turki.” Akhirnya ketiga berkas dokumen pun masuk ke loket dan kami disuruh mengambilnya hari Rabu. Haduh, dapat nggak ya? Mengingat persyaratan saya yang tidak lengkap dan rekening bank saya yang berjumlah tidak banyak dan tidak ada pemasukan pula selama setahun.

Hari Rabu pagi
Saya berhasil mendapat visa Turki! Horeee! Saya pun blingsatan cari tiket. Duh, musim liburan pada saat musim panas begini pastilah penuh dan mahal. Saya mengontak seorang teman yang bekerja di travel agent, dia sangat bisa diandalkan setiap saya bepergian karena selalu hapal selera saya dengan kata kunci: “cariin yang termurah, berangkat tanggal segini, pulang tanggal segini, terserah naik pesawat apapun”. Sore harinya dia memberikan pilihan naik Turkish Airlines, Emirates atau Singapore Airlines. Ajaibnya, saya mendapat tiket termurah justru dari Singapore Airlines dengan rute Jakarta-Singapore-Istanbul-Singapore-Jakarta dengan harga lebih murah USD 300 dibanding penerbangan lainnya! Lumayan banget!

Thank God, tidak menyangka semuanya dimudahkan. Intinya, impulsif itu tidak apa-apa. Kalau ada waktu, dana, dan kesehatan, ya berangkat, karena kesempatan tidak datang dua kali.

Minta maaf kalau blog ini kosong beberapa lama.


Tuesday, July 01, 2008 

Orang India nggak bisa lihat pohon nganggur?

Maaf, bukannya saya rasis, tapi setelah bergaul dengan orang India saya menemukan banyak fakta yang lucu dan menarik tentang mereka. Hampir setahun kuliah di Filipina, saya justru lebih ter-exposure dengan budaya India dibanding Filipina karena di kampus ada ratusan mahasiswa India yang sebagian besar tinggal di asrama seperti saya, sesama foreign students. Selama ini yang kita tahu adalah India-India model Pasar Baru atau India-India di Singapura dan Malaysia yang hitam keling dengan ngomong Inggris beraksen ‘t’ menjadi ‘d’ (‘led me tdell you dis’ = ‘let me tell you this’) plus kepala yang sering geleng-geleng entah kenapa. Teman saya tersinggung kalau saya menyamakan ‘India asli India’ dengan ‘India di Asia Tenggara’, dia bilang bahwa India di Asia Tenggara itu dulunya adalah orang India selatan yang dikirim oleh orang Inggris untuk dipekerjakan sebagai budak. Ciee...nggak mau disamain ni ye!

Saya baru tahu bahwa tidak semua orang India itu berkulit hitam dan bau kari karena tergantung dari asalnya. Mereka sendiri menggolongkan diri sebagai ‘India utara’ dan ‘India selatan’. Orang utara itu putih-putih kulitnya, berbulu badan lebat, tidak begitu bau, berhidung mancung banget, dan berbicara dengan tempo lebih lambat. Karena mereka berbatasan dengan Pakistan maka bentuknya seperti orang Pakistan yang kadang mirip orang Middle East, malah anehnya ada yang kayak bule bermata biru. Kebalikannya, orang India selatan itu berkulit hitam, lebih sedikit bulunya, lebih bau, dan berbicara dengan tempo yang cepat (tipikal India inti keras: saat mereka berbicara terdengar bagaikan petasan injek!). Mereka ini berbatasan dengan Bangladesh dan Sri Lanka, dan mungkin karena lebih dekat ke garis khatulistiwa, maka kulitnya lebih gelap karena lebih banyak kena sinar matahari. Nah kalau orang India timur, mereka justru seperti orang Asia Tenggara dimana berkulit coklat, mata agak sipit, bulu jarang dan hidung yang tidak begitu mancung – mungkin karena terpengaruh dari orang Mongolia dan Cina yang berbatasan. Kesamaan fitur mereka semua adalah giginya yang putih dan rata. Tidak ada satupun saya lihat ada yang giginya ‘keriting’ atau tonggos. Sepertinya ukuran gigi dan besar rahangnya pas bener.

Akhirnya saya tahu perbedaan iya dan tidak dengan gelengan kepala mereka. Kalau ‘tidak’, sama seperti kebanyakan bahasa tubuh di dunia: kepala diputar menghadap ke kanan dan ke kiri. Kalau ‘iya’, kepala digerakkan dari kuping kiri mendekati pundak kiri terus ke pundak kanan. Sampai dosen saya sering konfirmasi balik, “Is that a yes or a no?” karena kalau diterangin di kelas, mereka bukannya mengangguk-angguk tanda setuju tapi geleng-geleng kepala. Soal geleng-geleng kepala, ternyata orang utara hanya menggeleng satu kali bila menyetujui suatu hal, tapi orang selatan gelengannya lebih ‘heboh’, bisa berkali-kali seperti ada per pada lehernya.

Ledekan kita terhadap orang India adalah ‘wah, mereka kan nggak bisa liat pohon nganggur tuh, pasti nari muter-muter’. Stereotipe orang India terjadi karena film-film India semuanya berisi tari-tarian di taman, di antara pohon atau pilar. Nah, setelah saya perhatikan, ironisnya justru sebagian besar dari mereka tidak bisa joget! Kalau ada pesta disko, lagunya ke mana jogetnya ke mana, tidak mengikuti beat. Seringkali meskipun pake lagu disko barat, mereka keukeuh berjoget ala India yang duduk di lantai dengan badan meliuk-liuk dan tangan berputar-putar. Atau model sebelah kaki yang dikaitkan di depan dengan sebelah kaki orang lain lalu berputar-putar membentuk lingkaran (jadi ingat permainan ‘keripik jengkol’ jaman SD).


Soal menyanyi, waduh parah banget, fals abis! Jarang ada orang India yang mengikuti perkembangan musik dunia masa kini. Bisa jadi karena industri musik dan film di India jauh mendominasi dibanding produk-produk luar. Saya jadi malu kalau mengajak mereka karaoke (di Filipina kalau karaoke ya di bar umum, bukan di dalam kamar-kamar privat), sampai-sampai orang Filipina (yang terkenal jago nyanyi) pengen mukulin. Lagu barat yang ‘menye-menye’ macam lagu-lagu Bryan Adams dan Celine Dion itu yang paling digemari, kalau lagu rock ya Bon Jovi. Kebayang kan lagu susah seperti My heart will go on-nya Celine itu dinyanyikan mereka di karaoke umum? Rasanya saya ingin masuk ke dalam bumi saja saat itu! Tapi namanya juga orang India yang ‘pedenya dua juta’, teteup aja maju terus pantang mundur, nyanyiiii teruss. Hahaha! Tapi kalau mereka menari atau menyanyi tradisional India sih rasanya pas-pas aja. Nah kalau kita kan biar dikata jago nari Jawa atau Bali, di lantai disko tetep oke banget jogetnya gitu.

Soal makanan, kayaknya mereka memang paling susah deh untuk makan makananan yang non India, apalagi yang bagi yang vegetarian. Semuanya harus berkari dan ada roti/capati/nun. Orang India yang mau mencoba makanan non India biasanya yang sudah mapan. Karena India adalah negara daratan (makanya jarang banget ada yang bisa berenang), bisa dibilang mereka hampir tidak pernah makan seafood. Pertama kali seumur hidup mereka makan ikan kerapu, cumi-cumi, udang, dan kepiting, saat mereka tinggal di Filipina. Mereka juga tidak ada yang bisa makan dengan menggunakan sumpit. Kesamaan mereka, semua suka minum teh panas (sering dicampur dengan susu), sehari minimal 2 cangkir – pagi dan sore. Kalau bergadang karena banyak tugas, bukannya minum kopi, mereka tetep minumnya teh. Fakta lain, jam makan orang India sangat larut, mulainya di atas jam 9 malam. Saya sering diundang makan oleh teman-teman India yang tinggal di apartemen. Artinya, saya tetap harus datang jam 7.30 malam, minum alkohol dan makan kue kering sambil ngobrol-ngobrol, menunggu tuan rumah memasak. Makan dimulai jam 10an, dan terus-menerus makanan dituang di piring saya (kalau menolak dianggap tidak menghormati) lalu diakhiri dengan dessert yang muanis banget. Setelah makan, ngobrol-ngobrol lagi dan...ada permainan. Kadang main bingo, main tebak-tebakan, bahkan... disuruh nyanyi satu per satu! Gile, kayak pesta anak TK aja! Nah, kalau tamunya banyak, kami meneruskan ngobrol-ngobrol di pinggir kolam renang apartemen sambil minum bir atau whisky. Kalau di kita camilan sambil minum alkohol kan kacang goreng, nah kalau mereka telur rebus berlusin-lusin. Oalaah!

Fakta yang hebat adalah hare gene 90% orang India itu menikah karena arranged married alias dijodohkan. Menikah merupakan hal yang besar, pestanya bisa sampai 7 hari 7 malam. Orang tua berperan utama dalam menyediakan anak-anak mereka pasangan hidup sehingga harus menjalin network yang luas agar memperbesar kemungkinan. Ketika kedua belah keluarga dipertemukan bersama anaknya masing-masing, salah satu pihak keluarga atau si anak sih boleh menolak – itupun tidak frontal, alasannya bisa ‘sesederhana’ seperti si anak masih mau sekolah, padahal karena alasan gendut dan jelek misalnya. Makanya daripada malu, para orang tua benar-benar menyeleksi calon menantunya masing-masing, bahkan diiklankan di koran bila belum juga berhasil. Memang ada yang sekali ketemu langsung jodoh, ada juga yang berkali-kali melewati acara kenalan antar keluarga.

Soal kasta beneran masih berlaku di sana. Kasta Brahmana yang tertinggi, ciri khasnya adalah setiap cowok memakai tali (semacam tali kasur) yang melingkar di badannya dan umumnya vegetarian. Ada yang vegetarian tanpa makan telur, ada vegetarian yang boleh makan telur, malah kasta Brahmana dari Kashmir pemakan segalanya. Dengan 4 tingkatan kasta, di sana setiap kasta ada sub kasta lagi. Tapi jangan sampai kita menyebut seseorang berkasta Syudra, itu sama saja dengan hinaan yang kasar. Kesamaan mereka semua, mereka tidak makan daging sapi, meski ada beberapa orang selatan yang cuek. Sapi dianggap suci karena sapi menghasilkan susu sehingga dianggap seperti ibu.


Keorisinilan mereka terlihat juga dari gelang yang terbuat dari tali atau benang di pergelangan tangan hampir semua lelaki, katanya itu merupakan pemberian orang tua atau mertua yang telah didoakan agar anaknya dilindungi. Bindi, atau titik di tengah dahi perempuan, sudah jarang digunakan. Yang jelas bindi berwarna merah artinya perempuan itu sudah menikah. Saya pikir titik itu dibuat dari semacam pensil atau odol, rupanya zaman sekarang sudah terbuat dari sticker. Soal gaya baju cewek-ceweknya, berbeda dengan video klip lagu India yang bajunya terbuka dan seronok, aslinya mah mereka pake celana pendek atau tank top aja ogah. Yang sering saya cela adalah soal selera warna mereka. Demennya itu pake warna-warna ngejreng, bahkan sebagian besar cowok punya t-shirt dan/atau sendal jepit berwarna merah menyala (padahal kumisan)! *gubrak*

India, negara yang berpenduduk 1,2 milyar ini merupakan negara dengan populasi kedua terbanyak di dunia setelah Cina. Dengan jumlah penduduk yang buanyak mereka harus bersaing keras agar ‘kelihatan’. Tidak heran mereka sangat ulet dan tekun, pendidikan yang setinggi-tingginya (minimal S2), dan juga bersuara keras. India juga merupakan negara dengan jumlah penduduk berbahasa Inggris terbanyak kedua di dunia sehingga mereka gampang bekerja di mana pun di seluruh dunia. Dibilang pelit sih nggak juga, tapi menurut saya mereka tidak ragu-ragu untuk bersuara demi mendapatkan haknya alias tukang komplen, juga jago bernegosiasi alias menawar. Misalnya ketika beli burger di McDonald’s, karena vegetarian maka mereka memesan burger tanpa daging dan minta didiskon. Halah! Ada cerita lucu ketika kami sekelas liburan ke Boracay dan naik flying fish (balon besar pipih berbentuk ikan yang ditarik speed boat dengan kecepatan tinggi). Vikas, teman saya yang tidak bisa berenang tapi nekat ikutan, panik ketakutan sampai pucat pasi. Berkali-kali dia teriak minta berhenti tapi 5 teman lain yang berada di satu balon menolak. Mau tau apa yang dia lakukakan agar speed boat berhenti? Dia berteriak ke tukang kapal, “Stooopp! I’ll pay you twice if you stop this boat!”. Bwahahaha!

Yah biar bagaimanapun mereka adalah teman-teman baik saya yang sering membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Pandangan saya terhadap orang India telah berubah. Ah, saya jadi pengen ke India...


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates