Dipalak Sukarela

Jam 7.30 pagi saya ke rumah Ketua RT, gedor-gedor pagarnya saja lama banget baru dia keluar. Setelah saya utarakan maksud, saya baru tahu kalau SKKB sekarang namanya sudah berubah menjadi SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Saya disuruh ke rumah Sekretaris RT karena dia tidak mempunyai blangko suratnya, pergilah saya ke sana dan diberi surat, lalu balik lagi ke Ketua RT untuk ditandatangani. Dari situ saya disuruh minta tanda tangan ke Ketua RW. Saya pun diberi peta dan pergi ke sana. Dari situ saya langsung ke kantor Kelurahan. Jam sudah menunjukkan jam 9 pagi tapi hanya ada 1 orang yang ada (duh, enak bener kerja jadi PNS!). Si petugas lalu mengetik-ngetik dan ketika saya diberikan surat keterangannya, dia berkata, “Uang administrasinya, Mbak.” Saya yang bego bertanya balik, “Berapa, Pak?”. Jawabnya, “Sukarela.” Saya pun merogoh dompet. Sial, saya hanya punya 2 lembar pecahan 20 ribuan dan selembar 50 ribuan - tentu saya memberikan selembar Rp 20.000,-
Saya bergegas ke Polsek, sialnya lagi saya ternyata disuruh ke Polres karena SKCK-nya untuk urusan visa. Sampai di Polres, saya disuruh mengisi formulir dan ke ruang sidik jari. Formulir itu mencakup bentuk badan, muka, dan lain-lain, dan kesepuluh jari saya dicap. Setelah si petugas memeriksa sidik dan memberikan rumus khusus, lalu dia berkata, “Uang administrasinya, Mbak.” Saya pun merelakan selembar 20 ribuan kedua.
Saya kembali ke meja SKCK, begitu surat diberikan keluar pula kalimat sakti, “Uang administrasinya, Mbak.”
“Berapa?”, tanya saya.
“Sukarela.”
Saya pun memelas, “Pak, uang saya tinggal selembar 50 ribuan. Kalau saya kasih semua, nanti saya nggak bisa makan. Saya minta kembali ya, Pak?”
“Berapa?”
“Sukarela!”
Dan saya diberi kembalian Rp 30.000,-. Oh saya baru tahu kalau tarif malak eh uang sukarela itu ternyata memang dua puluh ribu.
Yang menyebalkan lagi, SKCK keluaran Polres itu ternyata hanya berupa surat pengantar karena untuk urusan visa harus diterbitkan di Mabes Polri. Ya ampun, saya masih harus ke Mabes lagi! Syarat ke Mabes harus menyertakan fotokopi Akte Kelahiran, paspor, 2 lembar pas foto lagi dan disuruh mengambil keesokan harinya. Sampai rumah, ternyata saya menemukan SKKB lama saya dan membaca rumus sidik jari saya. Eh ternyata beda kantor polisi, beda rumus! Gila, kacau juga negara kita ini! Bagaimana mau menangkap pelaku kejahatan kalau sidik jari saja tidak di-file dengan benar dan bisa berbeda-beda untuk 1 orang yang sama!
Setelah semua dokumen saya lengkapi, pergilah saya ke Kedutaan Filipina. Saya sengaja bawa duit segepok untuk pembayaran visa tapi ternyata gratis dan bisa selesai dalam waktu sehari. Saya pun mengisi formulir dan menyertakan semua dokumen. Besoknya saya datang lagi untuk mengambil visa, ternyata visa hanya berlaku 3 bulan, padahal saya akan tinggal di sana setahun. Saya menelepon teman yang sekolah di Manila, dikatakan bahwa setelah 3 bulan kita harus mengurus perpanjangan visa di kantor imigrasi sana dengan persyaratan yang juga macam-macam. Katanya lagi, “Tapi tenang saja, Kak. Kalau urus itu nanti aku antar, aku punya kenalan orang dalam yang biasa kita sogok supaya cepat keluar.” Oalah... hari gini palak-palakan ternyata bukan terjadi di Indonesia saja!
Catatan: per hari ini saya pindah ke Filipina untuk melanjutkan studi S2. Setua gini saya balik lagi deh jadi anak kos dan fakir missed-call!