Tuesday, September 23, 2008 

Wisata ke Kuburan

Kuburan yang dijadikan tempat wisata biasanya makam pahlawan, makam orang terkenal, kuburan massal korban bencana alam atau korban holocaust. Saya sih kurang tertarik ke makam pahlawan karena kuburannya cuman begitu doang, nisan-nisan yang bentuknya seragam dan ada tugu besar yang bergrafir nama. Yang menarik untuk foto-foto (dari luar) sih ke mausoleum yaitu kompleks makam yang luas dengan monumen besar, umumnya makam pemimpin terkenal, contohnya makam Ho Chi Minh di Hanoi atau Mustafa Kemal Atatürk di Ankara. Tapi tetap saya kurang tertarik karena bentuk bangunannya yang masif, kaku, terkesan ‘sombong’, trus pake dijaga banyak tentara dengan sikap tegak gitu - padahal kan jagain orang mati doang. Yang artistik mungkin adalah catacomb yaitu makam yang letaknya di lorong bawah tanah di dalam gereja, contohnya di St. Peter’s Basilica di Vatican tempat Santo Petrus dan para Paus dimakamkan. Masih banyak ‘kuburan’ menarik yang belum saya datangi sih, seperti Great Pyramid, Taj Mahal, bahkan Astana Giribangun.

Kuburan paling serem bagi saya adalah kuburan massal korban kekejaman Pol Pot dan Khmer Merah-nya, tepatnya Killing Fields of Choeung Ek, 15 km ke luar kota Phnom Penh. Di sana ada pagoda setinggi 20an meter yang di dalamnya ada rak kaca berisi ribuan tengkorak kepala... yang udah retak-retak karena ditembak, dipukul, atau digancuk. Di rak paling bawah ditumpuk baju para korban yang tercabik-cabik dan masih berlumuran darah. Di bagian belakang pagoda ada halaman besar yang ada bolongan kuburan massal dengan papan petunjuk bertuliskan jumlah korban dan cara matinya. Contohnya, kuburan bayi yang mati karena dilempar dan ditojos bambu runcing, ada kuburan anak-anak dan wanita yang ditelanjangi, dan kuburan orang tanpa kepala. Baca deh papannya “Mass grave of 866 victims without head”, gimana nggak merinding disko coba? Hiiiii!

Saya pernah tidak sengaja ke kuburan selebritis terkenal seantero dunia karena minta diajak seorang teman yang tinggal di Paris tahun 1998 untuk pergi ke tempat yang bukan touristy. Saya pasrah saja malam-malam digeret ke timur kota Paris, tepatnya ke Père Lachaise, lalu masuk ke dalam sebuah kompleks kuburan yang mblesuk di antara jalanan cobblestones dan nisan-nisan yang tinggi. Sialan, ke kuburan rupanya – terang aja bukan tempat turis! Sampailah saya di sebuah makam yang biasa banget, tapi begitu baca namanya di nisan...ternyata itu adalah kuburan Jim Morrison, vokalisnya The Doors. Yihaaa! Di makamnya teronggok karangan bunga, lilin, kertas-kertas surat berisi tulisan semacam “I love you”, sampai ke puisi dan doa dari para fans. Sungguh waktu itu saya baru tahu kalau si Jim dikubur di sini, secara saya juga nggak ngefans banget.

Yang paling ‘lucu’ adalah The Chinese Cemetery di daerah suburbia Santa Cruz, 4 km utaranya kota Manila (kayaknya yang lucu-lucu kok di Filipina mulu ya?). Yap, di situ hanyalah kompleks kuburan Cina, yang mati juga bukanlah orang terkenal, tapi cuma satu-satunya di dunia yang kayak begini. Rasanya bombastis banget promosinya mengingat di Indonesia juga banyak kuburan Cina bukan? Ternyata inilah yang bikin unik: kuburannya bukan berbentuk kuburan biasa, tapi rumah-rumah mewah berarsitektur Cina campur dengan Art Deco. Hampir di setiap rumah sudah dilengkapi furnitur, lampu kristal, air, AC, dapur, ruang tidur, halaman, pagar, bahkan ada anjing dan pembokat segala! Saya ngintip ke dalam rumah, rupanya di dalam ‘ruang tamu’-nya sudah ada beberapa makam, ada yang sudah bernisan dan ada yang masih kosong. Lucu yang lain, jika ada keluarga yang kurang mampu membangun rumah kuburan, maka disediakan ‘tipe apartemen’ yang berupa bangunan bertingkat berisi kamar-kamar kecil saja. Setiap perayaan All Saints Day (jatuh setiap tanggal 1 November) orang datang untuk menghormati arwah yang mati. Jalan jadi super macet sehingga orang datang 3 hari sebelumnya agar bisa masuk. Datang bukan hanya duduk sebentar dan kasih bunga, mereka menginap di rumah kuburan, dan mengadakan pesta besar lengkap dengan makan-makan (pake ‘lechon’ alias babi guling) dan alkohol. Semalaman mereka berpesta, bernyanyi sambil gitaran atau pake sound system, minum-minum, dan main mahjong barengan... sama kursi yang sengaja dikosongkan untuk yang sudah mati!


Sunday, September 21, 2008 

Romantisme salju

Waktu saya kecil, akibat terpengaruh dengan buku cerita, saya pengen banget pergi ke negara bersalju. Mungkin ini adalah impian banyak orang yang tinggal di negara tropis, negara yang punya segalanya kecuali salju. Malah saya pengen tau: apakah salju itu kalo dikasih sirup bisa langsung diminum sehingga nggak usah beli es dong-dong yang sering lewat di depan rumah.

Saya masih ingat impian masa kecil saya kesampaian pada tanggal 3 Maret 1995 di Geneva, Swiss. Sore itu saya dan Pepita baru aja sampai dari perjalan kereta dari Perancis, dan kami nebeng menginap di apartemen teman. Setelah lebih dari seminggu bekpeking dan makan roti pentungan yang keras, gimana nggak girang ketika kami disuguhi Indomie rebus yang panas dan pedes. Lagi enak-enaknya merem melek menyeruput kuah mie, tiba-tiba dari jendela dapur saya melihat gumpalan putih seperti kapas yang turun. “Itu salju,” kata teman kami datar. Hah? Buru-buru kami berlari ke luar dan berteriak-teriak kegirangan, membuka tangan lebar-lebar, muter-muter, lompat-lompat, bahkan sengaja membuka kaca mata untuk merasakan apa yang disebut ‘kelilipan salju’. Kalo kejadian itu dibikin film slow motion... mengharu biru nggak sih?

Rupanya hujan salju itu tidak lama sehingga hanya membasahi jalan saja. Tiga hari kemudian kami sengaja ke Lucerne untuk naik ke Mount Pilatus (2132 m) yang merupakan salah satu puncak gunung bagian utara dari pegunungan Alpen. Naik ke puncaknya sih menggunakan cable car dan sampai di atas ada bangunan bundar tempat observatory dan restoran. Orang lain mah langsung berhenti di pinggir jendela sambil mengagumi pemandangan, tapi kami sibuk cari pintu keluar karena ingin merasakan salju tebal yang menggunung di pekarangan. Bak film kartun, saya pasang ancang-ancang dari jauh, berlari kencang, lalu melayangkan tubuh di atas salju. Bum! Lama saya menghabiskan waktu dengan memegang-megang salju (rasanya persis seperti es serut yang mengeras), bikin bundaran dan lempar-lemparan, terus sengaja tidur-tiduran dan berguling-gulingan di hamparan es. Yang membuat saya bangga, saat itu saya adalah satu-satunya anak pecinta alam di klub saya yang pernah ke gunung es (meski naik cable car). Hehehe!

Dua tahun kemudian, saya dikirim perusahaan untuk training ke Atlanta, AS, pada saat musim dingin selama 2 bulan. Salju rasanya tidak romantis lagi. Bayangin aja, lagi enak-enaknya krukupan dalam selimut sementara di luar udara duingin dan salju turun, gimana nggak males bergerak coba? Sialnya, setiap hari harus ngantor, mana kudu jalan kaki sambil terseok-seok di antara lapisan es yang licin lagi. Penderitaan lainnya: ingus bisa tiba-tiba meler tanpa terkontrol dan mengeras begitu saja di atas bibir, hidung merah bak badut sirkus karena terlalu sering diseka, kulit jadi ruam dan gatal luar biasa karena udara yang kering. Sebenarnya musim salju itu tidak begitu dingin, asal... tidak disertai dengan angin. Duh, kalo angin lagi lewat (apalagi kalo kencang) dinginnya literaly benar-benar sampai menusuk tulang, berasa ngiluuu dan mulut pun mengucap ‘aduh, duh, duuh...’. Sejak itu saya baru bisa bilang bahwa saya benci salju, es, hawa dingin, winter, dan teman-temannya.


Waktu saya ke New Zealand, semua orang menyarankan saya untuk ikutan trekking ke glacier. Wujud es yang satu ini memang belum pernah saya lihat, glacier adalah semacam sungai dari salju yang tidak pernah meleleh meski kena panas sehingga menumpuk abadi. Bulan Oktober di New Zealand memang bukan musim dingin, tapi desa Franz Josef tetap saja bikin saya menggigil. Glacier yang berasal dari Southern Alps ini padahal hanya berada 240 meter di atas permukaan laut (terbentang sepanjang 11 km sampai di ketinggian 2700 meter), beda dengan di Swiss yang glacier-nya baru ada pada ketinggian ribuan meter. Untuk ke sana harus lewat operator dimana mereka menyediakan jasa guide dan menyewakan peralatan seperti rain jacket, glacier boots dan sepatu jeruji besi (crampon). Dengan crampon yang berat dan glacier yang licin, plus tidak ada pegangan ke pohon seperti ketika naik gunung, membuat susah berjalan (gaya jalannya jadi kayak Zombie!). Jalan pun tidak rata, malah kadang ada lembah atau celah yang dihimpit balok es raksasa. Tapi pemandangannya memang spektakuler abis: pegunungan yang tertutup dengan es, lembah hijau yang luas dan cantik, blok es raksasa yang berwarna putih kebiruan... wih!

Ternyata glacier tidak membuat saya gatal dan pilek, tapi rupanya berada di musim dingin dengan temperatur di bawah 2ºC yang bikin saya alergi. Saya sadar ketika saya ke Finlandia, siapa yang sangka bulan Oktober di sana sudah turun hujan salju. Mulanya kuping saya yang merah dan gatal, terus sampai ke leher, bahu, tangan, paha... bentol-bentol pula lagi, persis kayak orang yang alergi makan seafood. Selain itu, bekpeking pada musim dingin membuat saya merasa lebih sedih dan down, mungkin karena tidak ada matahari jadi membuat malas dan tak bersemangat. Rasanya juga tambah lelah berjalan kaki karena memakai baju yang berlapis-lapis dan jaket tebal, dihajar pula dengan udara dingin, ditambah lagi duit yang cekak. Saya ingat sekali perasaan saya ketika jalan kaki sendirian melewati jalan utama kota Andorra la Vella jam 10 malam... sepi, kedinginan, lapar, duit cekak... terus saya melewati sebuah restoran dimana dari jendela luar saya melihat satu keluarga di dalam ruangan yang hangat oleh api perapian sedang menikmati makanan yang lezat dan berlimpah, tertawa-tawa, peluk-pelukan... hiks hiks hiks... saya jadi merasa senasib sependeritaan dengan Gadis Penjual Korek Api!

Jawaban pertanyaan masa kecil saya: ternyata saya nggak pernah liat orang makan salju tuh. Salju itu menangkap polusi dan kotoran di udara, jadi kalo mau bisnis es harus berasal dari salju di Antartika yang bersih. Hihihi!


Thursday, September 11, 2008 

Olah Raga (Jantung) Ekstrim

Baru-baru ini saya berhasil melakukan 2 olah raga ekstrim (extreme sport). Entah mengapa disebut ‘olah raga’ karena menurut saya yang berolah raga adalah jantung, karena bikin deg-degan sampai merasa mau copot. Maklum, saya ini seorang adrenaline junkie, selalu ingin merasakan hal yang dapat memacu adrenalin dengan kadar yang bertambah setiap kalinya.

Beberapa kali saya sudah pernah ikutan whitewater rafting. Seru sih, tapi bagi saya kurang deg-degan karena ada beberapa orang dalam satu kapal. Saya juga pernah kayaking, tapi semuanya di laut yang tenang, itupun satu kayak isi dua orang. Makanya saya tertarik ikutan whitewater kayaking sendirian di sungai deras dan berjeram di Cagayan Valley, Filipina. Perjalanan ke sana cukup menderita, 10 jam naik bis malam dari Manila ke Tuguegarao, lalu naik jeepney ke Penablanca. Voila, kami sudah berada di bahu sungai dengan pemandangan spektakuler: air sungai yang biru dikelilingi perbukitan hijau dan batu cadas. Setelah memakai helm dan life vest, kami di-training secara singkat oleh Anton Carag, pemilik operator. Dari cara dia serius berbicara, ilmiah, dan disangkutin dengan nyawa, bikin saya melempem, seperti: ‘kalau tertarik pusaran maka kamu akan minum air sekian liter dan oksigen ke otak akan jadi begini maka kamu akan merasa begitu sehingga kamu harus bla bla bla’. Abis itu ada praktek: naik kayak sendiri, terus kayaknya sengaja dibalikin, disuruh naik lagi dengan hitungan detik, begitu seterusnya sampe bener. Siaaap, jendraaal!

Lalu kami ber-10 naik 2 kapal kecil bermotor, melawan arus ke hulu sungai Pinacanauan. Butuh perjuangan berat juga melewati arus kencang, kadang kami harus turun dan mendorong kapal. Sampai di badan sungai yang lebar dan berair tenang, kami pun berlatih naik kayak. Duh, lebar pinggul saya sampe mentok di dudukan kayak yang sempit. Mengendarai kayak sih mudah bagi saya, tapi beberapa teman ada yang terbalik berkali-kali. Untung di paling depan dan paling belakang ada kapal kecil yang menggiring tim kami, kalau-kalau ada yang butuh ‘diselamatkan’. Saya tidak perlu banyak mendayung karena arusnya sudah deras, sehingga hanya mendayung untuk menstabilisasi dan mengarahkan kayak. Perjalanan dimulai dengan air tenang dengan pemandangan yang indah, terus ke jeram kecil yang berasa seperti melewati polisi tidur kecil tapi banyak, sampai ke jeram besar yang berasa seperti naik kuda liar karena dihempas ombak ke atas ke bawah, begitu seterusnya. Ah, mantab kali! Hebat juga saya, tidak pernah terbalik sama sekali.

Nah, kalau soal bungy jumping, cita-cita saya terjun dari the world’s highest bungy platform kesampaian juga! Terakhir tahun 2003 saya terjun di NZ dengan ketinggian 134 meter, nah di Macau ini tingginya 233 meter atau hampir dua kali lipatnya! Sebenarnya semalam sebelumnya saya dan geng sudah pergi ke Macau Tower. Bahkan di observation deck yang lantainya terbuat dari kaca, saya tidak berani berjalan di atasnya dan melihat ke bawah. Saya pun diledek, “Wis tue lo! Kaga usah macem-macem deh mau terjun segala!”. Besok paginya ketiga teman saya itu pulang duluan ke Jakarta, sementara pesawat saya ke Manila baru berangkat jam 10 malam. Karena nggak tau mau ke mana lagi plus tekad yang kuat untuk menumbangkan rekor, akhirnya saya pergi sendiri ke Macau Tower. Begitu melihat video dan foto-foto di lobby, rasanya tambah senewen. Saat saya mendaftarkan diri, saya malah disarankan untuk melihat dulu orang yang terjun dari luar gedung. Gila, saya tidak melihat apa-apa, sampai saya memperhatikan dengan seksama... ya ampun, orang yang terjun dari atas keciiil banget sampe hampir nggak keliatan! Ya ampun, ini beneran tinggiii! Mana tempat pendaratan ya beton aja gitu, cuma dikasih balon kotak setinggi 2 meter. Wah, gimana kalo nyungsep atau salah sasaran coba?

Dengan pasrah, saya pun naik lift - yang saking tinggi dan cepetnya sampe kuping jadi tiba-tiba budeg. Saya disuruh menandatangani ‘kontrak mati’, ganti baju, dan dipakein harness dan carabiner. Lalu ditimbang berat badan dimana angkanya gede-gede ditulis pake spidol hitam di punggung tangan (ups, naik 15 kg dari timbangan saya terakhir di NZ!). Saya pun berjalan dengan gaya memasukkan tangan ke saku jeans biar ga malu. Sambil duduk menunggu, kaki saya bergoyang kencang bagaikan kaki yang menjahit pake mesin jahit manual saking stresnya tapi tidak ada orang yang bisa saya ajak ngomong (kalo diitung, udah jadi selusin baju kali!). Dan tibalah giliran saya... saya keluar dari kaca gedung, menunggu di bibir dinding, dan melihat orang yang terjun di depan saya. Wah, mereka aja ngga keliatan dari atas! Kota Macau yang indah dan berhawa sejuk tidak mampu melawan rasa deg-degan saya saat kedua pergelangan kaki saya diikat dengan bantalan dan dikaitkan ke tali. Dengan berjalan tertatih-tatih saya menuju platform yang seperti papan loncat indah. Duh, lemesss benerrr ni dengkul! “Three...Two...One...GO!” Zziiing...rasanya isi perut saya sudah sampai ke tenggorokan dan jantung sampai ke jempol kaki - selama 8 detik terlama di hidup saya! Lalu... ziiiiingg...saya terpantul lagi ke atas, sekitar 1/3 tingginya, berkali-kali terpantul sampai saya sadar kepala hampir menyentuh balon tapi kaki masih di atas. Setelah ikatan kaki dibuka, saya berguling ke pinggir balon, dan ketika akan berjalan... rupanya kaki saya masih lemas sehingga saya berjalan merangkak. Saya pun memalak rokok dari turis Jepang di situ sambil menenangkan diri dan terduduk lemas...

Catatan: Mau tau tekad baru saya? Kalau mau whitewater kayaking lagi, saya mau di sungai dengan grade yang lebih tinggi. Kalau mau bungy jumping lagi, harus lebih tinggi dari 233 meter. Tapi kalau lebih rendah dari itu, saya mau lompat madep belakang ah. Hehehe, gaya!


Wednesday, September 03, 2008 

Rookie of the year

Kalau saya traveling dengan sahabat-sahabat jalan saya yang biasa sih tidak pernah punya masalah karena sudah tau sama tau. Tapi kalau ada teman yang baru gabung traveling bego-begoan, butuh penyesuaian juga. Meski dalam kehidupan sehari-hari kami gaul bareng, tapi soal traveling ala backpacker adalah pertama kali bagi mereka. Kesamaan mereka semua: sama-sama baru saja membeli ransel pertama seumur hidup - sehingga saya menyebut mereka rookie. Lucu banget melihat kelakuan mereka, apalagi setelah saya tanya mengenai ‘pengalaman bekpekingan apa yang paling berkesan bagi mereka’.

Thi Met, teman sekelas dan sekamar asal Vietnam, umur 29, ibu satu anak, bekerja sebagai dosen di sebuah universitas di Hanoi. Pertama kali naik pesawat dan ke luar negeri ya pas kuliah di Filipina. Menjadi lajang lagi dan cuti setahun menjadi ibu membuat dia ingin menjelajah dunia, tapi sialnya ia kebablasan hamil pada saat berat-beratnya kuliah. Baru kali ini saya traveling sama ibu-ibu bunting. Dengan perut besarnya tetep keukeuh jalan kaki ke pantai-pantai di Subic dan pegunungan Baguio sambil membawa plastik ke mana-mana: satu plastik kosong untuk tadah muntah, satu lagi plastik berisi segala macam camilan dan susu karton. Belum lagi sebentar-sebentar perutnya minta diisi karena lapar. Ngidamnya pun ajaib banget: minum bir! Saya jadi sering dimarahi orang karena membiarkan dia minum. Karena selalu merasa kepanasan, hobinya memakai baju daster batik yang dipake untuk jalan-jalan, tidur, bahkan masuk ke bar. Ih, udah kayak inang-inang aja! Bagi dia, semuanya berkesan, karena traveling tidak pernah masuk dalam agendanya seumur hidup!
Catatan: sebulan lalu dia melahirkan. Putra keduanya itu diberi nama Phi-Phi – dari kata Philippines, saking berkesannya.

Udhi, teman sekelas yang orang India, umur 5 tahun lebih tua daripada saya, menjabat sebagai top management di perusahaan multi nasional terkenal. Saya salut juga dengan keputusannya untuk mau bersusah payah traveling ala backpacker di Filipina, soalnya selama ini hanya pergi karena perjalanan bisnis kelas atas. Pertama trip bareng sekelas ke Boracay aja, bawaannya koper beroda, pakai sepatu kulit, dan membawa banyak baju yang akhirnya tidak terpakai. Lama-lama setelah di-training, dia sudah nyaman membawa ransel dan memakai sendal jepit saja, baju-bajunya yang ala bapak-bapak kantoran pun lama-lama berubah menjadi kaos dan celana pendek. Parahnya dia tidak bisa berenang, pertama kali lihat laut aja pada umur 20 tahun, jadilah dia salah satu murid saya yang setiap sore latihan di kolam renang kampus. Suatu kali setelah dipaksa-paksa, dia berhasil ikutan rafting di Cagayan Valley. Dia menyebutnya sebagai “The biggest achievement in my life” saking bangganya. Dia memang hepi banget bisa jalan-jalan, sepertinya matanya dibukakan dan merasa muda lagi. Kasiannya, sebentar-sebentar dia berhenti berjalan, lalu membungkukkan badan dan mengeluh, “Oh, my back hurts!”. Dasar aki-aki!

Pascal
, cowok yang city boy dan metrosexual abis ini lebih muda 5 tahun daripada saya. Travelingnya kebanyakan karena perjalanan bisnis yang dibayarin kantor. Orangnya sih asik-asik aja, enak diajak bergosip dan ga masalah jadi cowok sendiri (di antara nenek-nenek bawel). Karena cowok dan masih muda, dia tidak pernah mengeluh soal jalan jauh. Malah orangnya nggak bisa diem: baru aja kita duduk sebentar, udah ngajak jalan-jalan lagi. Kita bangun siang dikit, langsung ribut ngebangunin kita minta ditemenin jalan-jalan. Mana setiap malam ribuut aja cari disko. Capee deeeh! Anehnya soal selera makan, hidup mati maunya makan nasi dan ayam goreng. Bahkan kalau dia lihat lambang KFC, seperti berasa orgasme.
Dia paling berkesan ketika kami makan di restoran di Hongkong dan ada kelebihan charge untuk pemesanan dim sum. Tentulah saya protes dan kami terpaksa menunggu lama agar uangnya dikembalikan sambil deg-degan karena orang Hongkong yang galak-galak. Kata Pascal, “Gua sekarang baru bisa menghargai jadi backpacker yang harus berjuang soal duit, duilee...dim sum seharga 25 ribu rupiah aja dikomplen.” Hush, jangan salah. Uang segitu bisa buat naek Star Ferry 10 kali nyebrangin Victoria Harbour!

Jana, anak mall yang girly banget. Entah kesambet apa, dia memutuskan untuk bekpekingan bersama saya. Padahal biasanya dia traveling ala borju, menginap di hotel mahal, ikut tour, doyan banget belanja (barang sale) dan menggeret koper berwarna ngejreng. Ternyata orangnya asik-asik aja disuruh ngegembel, juga panjang sabar dan jago nawar. Parahnya adalah cara dia berpakaian yang seperti kekurangan bahan: coak depan, coak belakang, menerawang, mini (bahkan micro), dan ‘ketit’ (lebih kecil dari ketat), belum lagi warnanya yang sesilau stabilo. Karena bodinya yahut dan kulitnya putih mulus, pake baju model begitu kesannya jadi porno. Sering banget dia dipelototin dan disuitin orang (apalagi kalo lagi di terminal bis atau pelabuhan. Ya iyalah!). Yang saya salut adalah cara packing-nya. Ranselnya paling kecil di antara kami, tapi semua ada. Saya pikir karena baju-bajunya yang tipis dan kecil, tapi rupanya dia punya barang apapun dengan ukuran mini dan karena apapun digulung kecil-kecil satu per satu.
Tentang pengalaman paling berkesan, katanya ketika kami berdua nongkrong sama anak muda lokal yang main gitaran di Alona Beach, Bohol, Filipina. Lagu-lagu yang dimainin jenis classic rock tahun 80an – lagu favoritnya. Saya pun tanya, “Emang dulu nggak pernah kemping sambil gitaran ya?”. Nggak, jawabnya. Pantess.


Moral of the story: biar bunting, tua, atau anak disko, ga masalah kok untuk bekpekingan!


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates