Sunday, March 26, 2006 

Arti hidup di negara tropis

Seumur hidup saya tinggal di Indonesia, negara tropis. Meskipun saya sering misuh-misuh karena kepanasan, tapi semakin saya sering bertandang ke luar negeri semakin saya mencintai hidup negara sendiri. Apalagi kalau tahu betapa orang-orang bule itu siriknya minta ampun dengan kita yang tinggal di negara dengan matahari sepanjang tahun. Kebiasaan-kebiasaan hidup di negara tropis kadang terbawa dengan noraknya ketika saya bertandang ke negara dingin. Hal-hal kecil menjadi lucu karena adanya perbedaan suhu, cuaca, dan tingkat kelembaban.

Suatu hari saya nebeng menginap di apartemen teman di Paris, seorang asal Australia yang pernah tinggal satu kos dulu zaman kuliah. Malam-malam saya diantar ke kamar tamu dengan jendela besar yang terbuka lebar tanpa gorden atau teralis. Otomatis saya langsung bereaksi, buru-buru lari dan menutup jendela. Teman saya bertanya mengapa saya menutup jendela tiba-tiba, saya menjawab, “Nanti banyak nyamuk.” (nyamuk merupakan binatang yang paling saya benci). Bergulinglah teman saya mentertawai saya. Hehe, di Paris mana ada nyamuk! Saya jadi malu.

Atau ketika saat saya menginap di rumah teman di Helsinki, di ruang tamu apartemennya terlihat kacang mede dan kacang pistachio ditaruh begitu saja di piring di atas meja. Otomatis lagi saya ke dapur, mencari toples, dan memasukkannya, soalnya saya paling doyan dengan kedua jenis kacang tersebut dan jadi teringat ibu saya yang selalu mencereweti saya dalam hal menaruh makanan dengan benar. Lagi-lagi saya ditertawai teman saya karena di Eropa tingkat kelembabanannya rendah dan tidak membuat makanan ‘masuk angin’. Sebaliknya, teman saya bercerita ketika dia tinggal di Jakarta, karena kebiasaannya membiarkan camilan dibiarkan di meja semalaman, besok paginya kripiknya penuh dikerubungi semut.

Kalau matahari bersinar terik, kita terbiasa mensyukurinya karena bisa jemur pakaian sampai garing. Ketika saya nebeng menginap di apartemen teman di Vienna, saya bertanya bagaimana mengeringkan pakaian sehabis dicuci dan sibuk melongok ke luar jendela mencari tali jemuran. Tentu saya ditertawai lagi, di sana orang cukup merentengkan pakaiannya di gantungan handuk di dalam ruangan dan ditanggung kering. Negara dengan tingkat kelembababan rendah tak perlu matahari langsung untuk mengeringkan pakaian, namun perhatikan saja rumah susun atau apartemen di negara tropis, pasti balkon atau jendelanya dipenuhi dengan jemuran.

Enaknya hidup negara tropis, kita tak perlu pakaian khusus untuk menyesuaikan diri dengan musim. Di sini kita bisa pakai t-shirt, celana pendek, dan sendal jepit, sepanjang tahun. Malasnya saya ke negara dingin, saya harus membawa jaket, syal, baju tebal, dan sepatu tertutup. Otomatis ransel saya pun bertambah besar dan berat. Kalau difoto pas musim dingin, sepertinya pakaian saya itu-itu saja karena saya pasti terbalut dengan jaket yang itu-itu juga dan kelihatan gendut karena pakaian berlapis-lapis.

Satu lagi, karena tubuh saya terbiasa dengan matahari dan udara panas, saya jadi alergi tinggal di udara dingin. Alergi ini dalam arti sebenarnya, kalau kedinginan tiba-tiba saya merasa gatal luar biasa mulai dari telinga, leher, dan badan, terus bentol-bentol merah. Haduh! Supaya saya merasa hangat, saya suka berlama-lama mandi di bawah pancuran air panas. Alhasil kulit menjadi kering dan kulit yang bentol-bentol menjadi semakin gatal. Lotion sebotol besar saya pun cepat habis.

Moral of the Story: Tuhan Maha Adil. Negara maju dan kaya kebanyakan berada di negara empat musim. Penduduknya mampu membeli pakaian berbagai jenis sesuai musim dan membeli lotion yang banyak.


Sunday, March 12, 2006 

Uka-Uka di Moyo

Cerita-cerita seram selama traveling mungkin pernah kita alami, terutama ketika naik gunung atau kemping di hutan – paling banter sih ada yang kesurupan. Namun pengalaman paling mistis yang pernah saya alami adalah ketika saya ke Pulau Moyo di Sumbawa pada tahun 1993. Saya bersama 2 orang teman perempuan tertarik ke sana karena di situ terdapat resor mewah Amanwana (di mana ada resor jaringan Aman, bisa dipastikan tempat tersebut pastilah bagus sekali), konon Lady Diana dan sejumlah orang terkenal di dunia pernah menginap di tempat ini. Selain itu, di pulau tersebut terdapat air terjun yang sangat indah.

Entah kapan kami sanggup menginap di resor Aman, jadilah kami menumpang di rumah Pak Lurah dan bertanya-tanya bagaimana caranya ke air terjun yang tersohor bagusnya itu. Kami kecewa karena semua orang di kampung itu termasuk Pak Lurah sangat tidak menyarankan untuk pergi ke air terjun, alasannya pun beragam mulai dari susah, jauh, sampai bahaya. Besok paginya ketika kami duduk mengopi di teras, kami didatangi seorang kakek-kakek tua berambut putih. Bertanyalah kami kepada si kakek, dan hanya dia yang menyarankan kita dapat pergi ke sana. “Gampang, tinggal ikuti jalan saja. Jalannya pun selebar mobil karena sering dilewati kok,” jelas si kakek. Siang harinya kami berhasil menggeret 2 orang pemuda kampung untuk mengantar kami trekking ke dalam hutan dan meminta bantuan temannya yang nelayan untuk menjemput kami keesokan harinya di pantai seberang pulau. Jalannya memang selebar mobil tapi makin ke dalam hutannya makin lebat dan rapat, saya melihat kedua pemuda tersebut mukanya pucat. Salah satu meminta pulang, “Mbak, saya tidak kuat, dari tadi diganggu hantu.” Kami hanya tertawa karena kami tidak merasa ada hal-hal yang mencurigakan. Sampai pemuda yang terakhir juga minta pulang dengan alasan yang sama, “Bahaya, mbak, bahaya,” sambil lari terbirit-birit. Kami pun memutuskan untuk terus jalan saja tanpa diantar karena tanggung sudah berjalan kaki selama 3 jam.

Tak lama berjalan, tiba-tiba kami mendengar suara pohon tumbang. BRAAK! Kami berhenti. Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara pohon lain yang tumbang. BRAAAKK! Di balik pepohonan, kami melihat makhluk besar berwarna hitam, berbulu dan mendengus. “Ssst...diem...di depan kita ada apa yaa?”. Kedua teman saya sampai terkencing di celana karena ketakutan, “Haa? Kkkayaknya bbabi hu-hutan... apa bban-ban-banteng yaa?”. Mengingat ajaran di Pramuka waktu masih kecil, saya memberi saran, “Kita balik badan hitungan ke-3 dan langsung lari zig zag, oke? Satu...dua...TIGAA!” dan kami pun berlari tunggang langgang ke kanan dan ke kiri sambil dikejar makhluk hitam besar dan diiringi dengan debuman pohon-pohon tumbang di belakang kami. Karena kelelahan, refleks saya manjat ke atas pohon, diikuti kedua teman saya. Sambil terdiam, kami masing-masing mengeluarkan senjata. Tololnya, senjata kami hanyalah pepper spray, pisau lipat dan garam! Bodohnya kami lagi, bisa saja pohon ini yang ditabrak sampai tumbang. Cukup lama kami bergelantungan menenangkan diri di atas pohon sampai kami yakin makhluk tadi sudah pergi. Kami pun memutuskan untuk pulang saja ke kampung dan melupakan pergi ke air terjun.

Begitu kami balik badan, kami terkejut karena jalan yang tadi kami lewati bercabang dua dengan jalan yang sempit, lembab, dan pepohonan yang rapat. Dengan terdiam kami mengambil jalan di kanan dan terus berjalan cepat. Tak sengaja sejam kemudian kami menemukan air terjun yang dimaksud! Air terjunnya memang indah sekali, terdiri dari beberapa lagun kecil yang bertingkat-tingkat sehingga airnya jatuh ke tiap lagun dan berakhir di kolam yang besar. Kami pun melupakan kejadian menyeramkan tadi dan dengan cueknya kami berenang telanjang karena malas membongkar ransel. Wah segarnyaaa...! Anehnya dalam perjalanan pulang, kami merasa ada yang menyolek-nyolek dan memanggil-manggil nama kami, padahal kami semua berjalan satu per satu agak berjauhan dan tidak mengucapkan satu patah kata pun. Kami pun tambah pucat pasi. Hari semakin gelap ketika kami sampai di sebuah bukit yang dapat melihat kampung dari kejauhan, entah bagaimana kami bisa sampai di sana padahal kami yakin waktu pergi jalannya rata. Kami melanjutkan perjalanan menuju cahaya lampu, sampai bertemu dengan salah seorang pemuda dari kampung yang menjemput kami naik kuda, “Cepat pulang, mbak, cepat,” katanya. Sampai di kampung, ternyata semua orang sudah berdiri dengan kuatir sambil menunggu kami. Mereka pun memeluk kami satu per satu. “Untung kalian selamat, nak,” begitu kata mereka. Ih, apa-apaan sih ini?

Di rumah Pak Lurah kami diduduki dan diceramahi, “Tidak ada orang sini yang berani masuk ke sana. Di dalam sana bekas kerajaan Mataram yang sudah tenggelam, banyak hantunya. Mereka bisa memanggil nama kamu, dan bila kamu lalai, kalian akan diajak masuk ke kerajaannya dan tidak pernah kembali. Sudah banyak orang kampung ini yang hilang entah ke mana, sekalinya selamat mereka pulang ke kampung tapi jadi gila, pulang-pulang kepalanya jadi botak dan membawa semangka. Untung tadi kalian diingatkan oleh seekor banteng sehingga kalian kembali. Masih untung cuma ketemu satu. Kamu mau tahu ada berapa banyak banteng di dalam sana? Seribu!” Hah?
“Tapi siapa kakek-kakek tua berambut putih panjang tadi pagi? Beliau yang bilang kami tidak apa-apa masuk ke dalam,” tanya saya penasaran.
“Kakek-kakek? Tidak ada kakek-kakek di sini, apalagi berambut putih dan panjang. Saya orang yang paling tua di sini,” jawab Pak Lurah.
Hiiiii!!!


Sunday, March 05, 2006 

Jangan paksa saya buang air besar!

Jet lag merupakan rasa tidak nyaman pada waktu melakukan perjalanan udara yang lama dan dirasakan sebagai suatu kelelahan yang sangat, disorientasi, konsentrasi menurun, sukar tidur (insomnia) dan kegelisahan. Gejala lain yang mungkin timbul antara lain tidak nafsu makan, kelemahan, sakit kepala, pusing, dan pandangan kabur. Gangguan ini merupakan gambaran dari penerbangan jarak jauh yang melewati zona waktu, menyebabkan ritme aktifitas sehari-hari menjadi kacau (Oldmeadow, 1991).

Bagian dari traveling yang paling menyebalkan bagi saya adalah ketika saya harus berada di pesawat yang terbang lama banget melewati beberapa zona waktu, tapi yang lebih menyebalkan lagi adalah merasakan jet lag setelah liburan berakhir. Rasanya sukar sekali berkonsentrasi, ngantuk tidak kepalang meski minum bercangkir-cangkir kopi, tubuh melayang, suhu tubuh meninggi, pokoknya jadi bego abis. Setiap ditanya orang, saya sampai harus konsentrasi penuh akan pertanyaannya karena kata-kata yang diucapkan terdengar seperti berdengung. Untuk menjawabnya pun saya harus menyusun kalimat dengan susah payah sehingga kebanyakan keluar kata-kata tidak berstruktur seperti ‘mmm...mmm...apa tuh....mmmm....itunya diituin...’

Padahal kalau saya sampai di negara tujuan, saya tidak pernah merasa jet lag. Mungkin karena terlalu excited dan kondisi tubuh sebelum berangkat yang masih fit – maklum mau liburan. Saya selalu merasakan jet lag sehabis pulang traveling, dan rasanya semakin tua semakin parah. Minimal 3 hari pertama di Indonesia kondisi tubuh saya kacau, persis yang digambarkan di paragraf pertama tulisan ini, terutama kacaunya jam tidur dan jam buang air besar saya.

Pulang liburan dari Australia yang berbeda 4 jam, awalnya saya selalu terbangun jam 4 pagi dan langsung ‘nyala’ seketika sebab saya biasa bangun jam 8 pagi waktu Australia. Melek 3 jam di tempat tidur dimana cahaya matahari pun belum ada sungguh bukan hal yang menyenangkan. Soal makan, napsu makan saya pun kacau. Meski saya paksa makan dengan jam Indonesia, tetap saja jam 3 sore di kantor saya sudah merasa lapar bukan main!

Pulang liburan dari Eropa, agak lebih bisa ditolerir karena perbedaan 6 jam tidak begitu masalah dengan jam makan - di Indonesia jam makan siang, di Eropa jam makan pagi, atau di Indonesia jam makan malam, di Eropa jam makan siang. Sialnya, lagi enak-enaknya makan siang seketika itu juga perut saya bergemuruh – saatnya buang air besar pagi hari waktu Eropa! Jadilah 3 hari berturut-turut saya menumpang toilet warung dan ribut cari toilet umum di mall.

Paling parah saat saya pulang dari Texas 3 tahun yang lalu. Perbedaan 13 jam itu kan benar-benar membuat dunia terbalik - siang jadi malam, malam jadi siang - padahal saya baru tiba semalam sebelum hari pertama saya masuk di kantor baru. Saya tidak dapat menahan kantuk dan bermuka bete ketika seharian harus dikenal-kenalkan dengan rekan-rekan kerja baru. Senyum saya pasti garing dan saya tidak bisa mendengar satupun nama yang mereka sebutkan. Siangnya saya mendapat telepon dari HRD, saya diharuskan untuk mengikuti general check up keeseokan harinya jam 7 pagi dengan membawa urine dan tinja. Jam 12 malam urusan buang hajat justru sudah selesai dan saya lupa untuk mengambil sample. Tersadar jam 5 pagi, saya paksa untuk bangun dan setengah mati berusaha untuk buang air besar. Saya makan pepaya, mengurut perut pakai balsem, minum kopi, loncat-loncat, tetap tidak bisa keluar...karena saya sudah kebiasaan buang air besar jam 11 siang waktu Amerika atau jam 12 malam waktu Indonesia!

Katanya untuk mencegah atau paling tidak meminimalisasi jet lag, kita tidak disarankan minum kopi atau alkohol di pesawat karena kedua jenis minuman tersebut bersifat diuretik sehingga membuat kita jadi sering buang air kecil dan membuat kita semakin dehidrasi. Tapi mana bisa saya hidup tanpa minum kopi setelah makan? Perut begah, tak ada kerjaan di dalam pesawat, tak bisa merokok, pelariannya adalah ngopi. Saya akui juga saya salah kaprah, saya suka minum alkohol di pesawat maksudnya supaya cepat tidur. Mungkin juga saya termasuk seorang yang ‘ogah rugi’, mumpung alkohol dibagikan gratis. Hehe!


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates