Tuesday, January 24, 2006 

Road to Heaven

Menyewa mobil bersama teman-teman di Bali adalah hal yang biasa dilakukan, bukan karena sistem transportasi umum kita yang belum begitu baik tapi memang lebih menyenangkan bisa pergi kemanapun kita mau. Di luar negeri saya menyewa sekaligus menyupir mobil hanya dua kali, di Amerika Serikat dan Selandia Baru. Untuk menghemat, patunganlah dengan teman-teman untuk biaya sewa mobil dan bensin. Kalau perlu dan masih muat, angkut sesama backpacker yang bertujuan ke tempat yang sama. Menurut peraturan menyupir mobil di luar negeri, kita harus mempunyai SIM Internasional yang bisa diurus di Jakarta. Kalau belum berubah, bentuk SIM-nya bukan seperti SIM biasa yang kecil tapi berupa lembaran karton besar berwarna hijau.

Waktu ke AS, saya terpaksa cuek menyupir tanpa SIM karena akan traveling dari Dallas ke San Antonio. Sewa mobil sih atas nama teman saya, tapi yang menyupir saya. Jam 12 malam sebelumnya, saya latihan menyupir untuk membiasakan diri menyupir di jalur jalan sebelah kanan dengan setir kiri, membaca rambu lalu lintas Amerika, dan menyupir mobil otomatis (enak juga kaki bisa nangkring kayak di Warteg). Pokoknya ada dua hal yang selalu saya ingat: jaga batas kecepatan dan peraturan mengenai yield. Canggihnya, petunjuk jalan dapat di-print dari website. Tinggal memasukkan nama jalan, keluarlah petunjuk yang sangat rinci, naik high way nomer berapa, berapa lama, ke luar di mana, sampai petunjuk belok kanan atau kirinya.

Inilah jalan ke luar kota di Amerika: sejauh mata memandang isinya jalan tak ada ujung. Jarak Dallas – San Antonio itu sebenarnya mungkin sejauh Jakarta – Yogyakarta, tapi bisa ditempuh hanya dalam beberapa jam saja karena jalan mulus tanpa macet. Meski di high way itu ada speed limit (biasanya 70 mile/hour atau sekitar 120 km/jam), tapi semua mobil justru menjadikannya sebagai batas minimum, apalagi kalau mobilnya ada teknologi cruise control. Cocok banget dengan gaya menyupir saya yang bawaannya doyan ngebut, serasa main games balap mobil di komputer. Zziiing! Padahal sejujurnya deg-degan juga kalau melihat polisi mendekat, soalnya bisa gawat kalau ketahuan tidak punya SIM dan menyupir mobil atas nama orang lain.

Kali kedua, saya menyupir di Selandia Baru. Traveling di negara yang ‘lebih banyak domba daripada manusia’ ini memang lebih nyaman dan mudah bila menyewa mobil sendiri, apalagi saat itu saya patungan dengan 2 orang teman perempuan. Berbekal brosur dari hostel yang mengatakan bahwa di sini mobil setir kanan dan diperbolehkan menggunakan SIM negara sendiri, kami pun memutuskan untuk sewa mobil di kota Christchurch dengan tipe ekonomis seharga 45 NZ$/hari selama 7 hari. Kami juga menambah biaya asuransi sebesar 6 NZ$/hari karena kalau terjadi kerusakan harus bayar minimum 700 NZ$. Kami pun dibawa ke garasinya, mobilnya Corolla putih tahun 1995, 1500 cc, otomatis lagi. Uhuy! Baru mau jalan, kami sadar ternyata tidak ada tape maupun radio! Sialnya, ini mobil terakhir yang tersisa. Tidak hilang akal, kami langsung tancap gas ke Warehouse untuk beli tape. Supaya murah, kami membeli walkman ecek-ecek buatan Cina dan speaker, total jendral 30 NZ$. Baru kali ini traveling sampai bela-belain beli barang elektronik, yah daripada bete tidak ada musik sepanjang jalan. Not bad at all, paling tidak ada suara-suara berirama meski supaya jelas terdengar harus tutup jendela.

Kami sangat menikmati perjalanan di Selandia Baru, terutama di South Island. Favorit saya adalah perjalanan dari Christchurch ke Franz Joseph yang pada awalnya hanya jalan lurus dengan kanan kiri padang rumput. Sampai jalannya agak menanjak barulah kami disuguhkan dengan pemandangan spektakuler...pegunungan Southern Alps dengan salju abadi di puncaknya. Menyupir seakan-akan menonton film, selalu ada kejutan di setiap belokan jalan. Tiba-tiba hutan yang lebat, tiba-tiba danau yang airnya warna tourquois, tiba-tiba pegunungan warna hijau, warna putih, warna coklat, tiba-tiba ada pantai dengan pasir putih dengan air yang biru. Pemandangan indah terlihat pada 3 bagian selain dari kaca mobil, yaitu dari kaca spion depan, spion kanan dan spion kiri – semuanya berbeda dan bagus banget. Cuaca pun kadang panas, kadang hujan – di sinilah kami melihat banyak Misty Mountain, serasa di film Lord of the Rings. Banyak kali kami stop untuk memotret di scenic look out (spot dimana disediakan parkir mobil untuk memotret pemandangan yang spektakuler). Baru sekarang saya merasakan apa yang disebut breathtaking scenery – saking bagusnya sampai sesak napas.


Thursday, January 19, 2006 

Banyak matahari, sedikit jalan kaki

Di antara teman-teman, saya lah yang paling cepat berjalan kaki. Katanya karena saya bertubuh tinggi dan berkaki panjang sehingga langkahnya lebar. Tapi terus terang, saya hanya berjalan kaki beneran pada saat makan siang dari kantor ke warung atau di mall - selebihnya naik mobil. Jakarta yang panas dan berpolusi memang dijadikan alasan orang malas berjalan kaki. Tapi itu juga terjadi di kota-kota lainnya di Indonesia, kecuali di desa karena alat transportasi belum memadai. Akuilah, kita memang tidak terbiasa untuk berjalan kaki. Tak heran trotoar di kota besar di Indonesia tidak pernah tergarap dengan baik. Trotoar bukan diisi oleh para pejalan kaki, tapi penuh dengan motor dan tukang jualan. Saya sering bertanya kepada teman-teman bule saya yang pernah tinggal di Jakarta tentang apa yang mereka missed. Jawabannya sederhana saja, “To be able to walk.”

Karena berjalan kaki (jauh) merupakan kegiatan yang selalu dilakukan bule-bule itu setiap hari, pantas saja saya selalu kalah cepat dibandingkan mereka meskipun saya seorang pejalan kaki cepat ukuran Indonesia. Waktu saya ikut trip trekking di Fraser Island (Australia), di antara serombongan bule-bule, saya di urutan nomer 2 dari belakang. Yang paling belakang adalah seorang wanita yang guendut alias obesitas. Waktu saya ikut trip hiking ke Franz Joseph Glacier (Selandia Baru), instrukturnya sengaja membagi 3 kelompok berdasarkan kecepatan jalan seseorang, yaitu fast, medium, dan slow. Berkaca dari pengalaman, tentu saya memilih masuk kelompok slow. Ternyata selain saya yang ‘normal’, anggota lain adalah orang-orang yang obesitas dan yang memakai tongkat alias cacat! Duh, meski malu hati saya tetap pada pendirian saja daripada ditinggal sendirian di belakang. Di Athena (Yunani), saya yang tukang nyasar memilih untuk mengikuti walking tour ke Acropolis yg terletak di atas bukit dan situs-situs lainnya yang terletak di kota tua dengan jalan-jalan yang ruwet dan sempit. Semalam sebelumnya saya sudah deg-degan membayangkan harus kejar-kejaran jalan sama bule-bule jangkung. Ternyata besok paginya peserta cuman seorang, saya doang. Jadilah saya yang mengatur kecepatan jalan dan ternyata si guide yang gendut napasnya pendek, lebih sering dia yang minta berhenti karena terengah-engah.

Saya perhatikan lagi, di negara-negara dingin orang sangat on time. Kalau kereta terdengar akan lewat, orang-orang mempercepat langkahnya bahkan berlari untuk dapat masuk. Padahal kereta itu akan datang setiap 2 menit sekali. Sebagai orang Indonesia yang berprinsip ‘masih ada kereta yang akan lewat’, saya memilih untuk tetap berjalan dengan kecepatan yang sama. Teman-teman bule saya sampai frustasi, kata mereka ‘there is no way to make Indonesians move faster’. Hehe! Dengan transportasi yang sangat baik dan tepat waktu, memang tidak ada alasan untuk datang terlambat. Tidak seperti di negara kita yang menghalalkan alasan macet meskipun semua orang juga tahu bahwa supaya tidak terlambat obatnya adalah pergi lebih awal.

Teori-teorian bodoh yang saya simpulkan sendiri dari hasil pengamatan selama traveling adalah: semakin jauh letak suatu negara dari garis khatulistiwa, semakin cepat orang di negara tersebut berjalan. Logikanya, semakin jauh dari khatulistiwa maka negara tersebut pasti dingin sehingga orang akan berjalan lebih cepat supaya tidak kedinginan. Perhatikan orang Indonesia, mana ada orang yang berjalan cepat? Saya bahkan beranggapan bahwa semakin dekat suatu negara ke garis khatulistiwa, semakin malas pula orang-orangnya. Mereka jalannya slow, very laid-back, sering tidak tepat waktu, dan kurang disiplin. Perhatikan saja film-film Hollywood, mana ada tokoh ilmuwan orang Melayu atau Latin? Namun sisi positifnya adalah: semakin dekat orang tinggal ke garis khatulistiwa maka akan semakin ramah orangnya. Mungkin karena mereka berjalan lambat, mereka lebih punya banyak waktu untuk saling ‘berhaha-hihi’ satu sama lain. Tuhan Maha Adil!


Thursday, January 12, 2006 

Kumbang, pantat dan kentut

Bicara soal traveling, saya merasa wajib bercerita mengenai si Kumbang. Gini-gini mobil Kijang warna coklat metalik ‘kelahiran’ tahun 1990 ini sudah pernah traveling Sumatra dan Jawa overland. Dia selalu setia menemani saya yang sibuk ke sana ke mari setiap hari, dan tentunya selalu super sibuk saat liburan. Dia juga pernah berjasa menyelamatkan saya dan teman-teman sekantor saat kerusuhan Jakarta. Pokoknya dia merupakan rumah ke dua bagi saya, apa yang ada di rumah ya ada di Kumbang, kecuali kompor dan kamar mandi. Saya beri nama Kumbang biar kesannya macho dan genit – seperti kata pepatah ‘bagaikan kumbang di antara kembang’. Tapi meskipun dia buruk rupa, platnya bernomor cantik 3 digit.

Namun entah mengapa si Kumbang senang mogok pada tempat yang salah dan waktu yang salah. Seringkali Kumbang disumpahserapahi teman-teman saya karena mogok di mall, di hotel berbintang, di gedung kawinan, di tempat dugem. Teman-teman yang sudah dress to kill memakai baju pesta dan hak tinggi terpaksa keluar dan berlari-lari mendorong Kumbang. Kalau saya sendirian juga begitu, si Kumbang yang ‘banci tampil’ senang mogok di tengah-tengah perempatan jalan, di atas jembatan, bahkan di pintu parkir yang penuh antrian mobil di belakangnya. Makanya saya selalu mentertawai iklan jual mobil yang mengatakan ‘ex wanita’ karena wanita don’t know shit about merawat dan memperbaiki mobil.

Anehnya, si Kumbang sepertinya punya nyawa. Ketika mesinnya terbatuk-batuk, saya harus merayunya, “Kumbang sayang, jangan nakal ya? Kumbang cakep deh!” Seketika itu juga jalannya lancar lagi. Sebaliknya, bila ada teman saya yang menghina si Kumbang, dia bisa tiba-tiba mogok! ‘Kepercayaan’ bahwa si Kumbang bernyawa membuat saya dan teman-teman selalu berbicara bahasa rahasia bila membicarakan keburukannya supaya dia tidak ‘mendengar’ karena dia bisa tiba-tiba ngambek. Tapi si Kumbang paling senang saat kami kencan Sabtu siang untuk mempercantik diri, saya ke salon dan dia ke bengkel. Sialnya, ongkos nyalon si Kumbang lebih mahal daripada salon majikannya.

Percaya tidak, Kumbang itu pencemburu. Pernah dashboard-nya si Kumbang dicolong orang. Saya yang sibuk belum sempat menggantinya sehingga harus ‘tebak-tebak buah manggis’ untuk mengisi bensin. Puncaknya, suatu malam sehabis kencan pertama kali, saya diantar ke mobil oleh teman kencan saya dan terlihatlah bolongan si Kumbang mulai dari setir sampai ke kolong kaki. Dia pun berkomentar, “Wah, kenapa nggak cepet-cepet diganti sih? Bahaya lho kalau kehabisan bensin karena nggak ada indikatornya.”
“Duh, mana sempat. Tapi tenang aja, saya kan jago matematika, jadi bisa memperkirakan jarak tempuh dan kebutuhan bensin dengan tepat,” jawab saya yang gengsian.
“Hebat kamu!”, pujinya yang membuat saya tersipu malu. Cieee!
Baru saja 500 meter berpisah, tiba-tiba si Kumbang berhenti ti ti ti. Mampus, bensinnya habis! Saya sendirian, di atas jembatan Casablanca pula. Terpaksalah saya menelepon dia meminta tolong untuk dibelikan bensin.
“Kamu ternyata nggak pintar matematik ya?”, katanya menyindir. Duh, malunya...

Si Kumbang juga sangat mencintai kelakuan Dono Warkop. Suatu hari lagi asyiknya mengendarai Kumbang di daerah Karawaci, tiba-tiba di perempatan jalan saya melihat ada ban mobil menggelinding cepat ke depan menyusul kami. Saya tertawa sambil berpikir, “Gila, ada ban jalan sendiri. Ngebut lagi!” Dan beberapa detik kemudian…GUBRAAAK! Kumbang pun kandas, badannya jatuh ke kiri sampai posisi duduk saya naik ke atas. Hah, ternyata ban mobil tadi adalah ban Kumbang yang lepas! Saya langsung turun mengejar si ban yang terus menggelinding... dan akhirnya ban tersebut nyebur ke sungai! Saya pun membayar seorang anak kecil yang sedang memancing untuk berenang mengambil ban si Kumbang. Dengan menenteng ban, saya kembali ke mobil sialan ini untuk menggantinya. Tapi ternyata ban serepnya pun kempes!

Saking ngetopnya si Kumbang, saya gampang dikenali. Ada saja yang mengklakson di tengah jalan dan mendadah-dadahi. Begitu ganti orang yang menyupir, ada saja teman yang menanyakan ‘Kumbang dibawa siapa kemarin?’. Bisa juga menimbulkan gosip kalau ketahuan saya sedang bersama seorang lelaki yang tidak familiar. Bahkan kalau dia parkir, saya sering mendapat surat yang diselipkan di wiper dari teman yang menanyakan kabar. Kalau saya bertemu teman lama, kalimat kedua setelah menanyakan kabar saya adalah menanyakan kabar si Kumbang. Sebalnya, saya sering mendapat undangan pernikahan yang ditujukan kepada ‘Trinity dan Kumbang’. Ya, kami memang bagaikan pantat dan kentut – saling mencinta dan membenci pada saat yang sama.

Catatan: Karena uang ‘jajan’ si Kumbang yang semakin banyak, tahun lalu dengan berat hati akhirnya saya jual. Hiks.


Sunday, January 08, 2006 

Thai Message

Jangan protes, bukan saya salah ketik atau salah eja, tapi memang begitulah plang yang sering salah tulis di Thailand, bahkan di negara kita sendiri untuk kata ‘massage’. Saya jadi perhatian terhadap tulisan di plang karena saya memang senang dipijat. Setiap pulang traveling atau ketika saya merasa akan jatuh sakit, pasti saya ke panti pijat di bilangan Wijaya. Dulu saya sering panggil tukang pijat ke rumah, si mbok ini sudah jadi langganan keluarga sejak saya SD. Sayangnya si mbok sudah meninggal beberapa tahun yang lalu (mungkin kehabisan tenaga memijat keluarga saya yang segede-gede Gaban), jadilah saya beralih ke panti pijat. Karena doyan dipijat, salah satu tujuan utama saya pergi ke Thailand adalah untuk merasakan Thai Massage yang terkenal itu. Konon sudah ada sejak 2.500 tahun yang lalu dan berasal dari India, pijatan a la Thailand ini dapat memperbaiki alur ‘prana’ atau energi vital dalam tubuh.

Kali pertama saya mencoba pijat Thailand sehabis saya gempor seharian scuba diving di pulau Phi Phi (lokasi film The Beach-nya Di Caprio). Banyak tempat pijat berjejer di sepanjang jalan, tapi modelnya seperti di etalase jadi orang bisa melihat aktivitas di dalam. Sengaja saya jalan ke ujung pulau untuk mencari tempat pijat yang ada di lantai 2 supaya tidak jadi tontonan. Pemijatnya seorang perempuan muda yang kecil dan manis. Melihat bule di sebelah saya menjerit kesakitan, saya jadi agak jiper juga. Tidak tahunya pijatannya biasa-biasa saja. Pijat Thailand ini pijat kering tanpa lotion atau minyak, jadi kita ditekan-tekan, dipuntir-puntir, ditekuk-tekuk, dan ‘dikretekin’. Tapi karena si mbak yang kurus ini kurang bertenaga untuk menarik saya sampai bunyi, rasanya malah nanggung.

Masih penasaran, kali ke dua saya coba pijat di Chiang Mai sehabis trekking ke desa para hill tribes. Tukang pijat saya lagi-lagi cewek cantik. Benar saja dugaan saya, pijatannya pun biasa-biasa saja. Dia kebanyakan ngerumpi dengan teman-temannya sambil mengunyah permen karet. Huh! Kembali ke Bangkok, saya berencana untuk pijat lagi karena seharusnya pijatan di ibu kota lebih mantap. Di Wat Pho, candi yang terkenal dengan patung reclining Budha-nya yang besar dan berlapis emas, ternyata merupakan pusat sekolah Thai Massage. Di sana kita bisa mendapatkan massage gratis dari pemuda-pemuda sana, tentunya orang harus tahu diri untuk memberikan sejumlah tip. Tapi saya melewatkan kesempatan itu karena saya tidak suka dipijat sambil duduk dan ditonton banyak orang.

Malam terakhir di Thailand saya bela-belain mencari panti pijat jam 11 malam di sekitar jalan Khaosan. Untung ada yang buka, namanya Pian’s, meski terletak di gang kecil. Saya pun dibawa ke lantai 2 di sebuah ruko. Ada 20-an kasur digelar di lantai, hampir semua penuh sama orang yang lagi dipijat dan memijat, campur laki-laki dan perempuan. Kamar yang sunyi ini bau dupa, lampunya sangat minim alias remang-remang, dan semua orang berbaring dengan mata merem-melek – suasana yang ‘mencekam’ ini bagaikan pesta opium di benak saya. Lalu datanglah mas-mas umur 20-an yang ternyata tukang pijat saya. Habis saya dipuntir-puntir sampai menimbulkan bunyi ‘krek’ yang sangat ‘crispy’. Saking hebohnya, saya sampai ditunggangi dalam arti sebenarnya oleh si tukang pijat! Memang lelaki pijatannya mantab (kali ini pakai huruf ‘b’), tidak seperti pemijat saya sebelumnya - si ayam-ayam itu. Hehe! Servis di sini juga OK, sehabis dipijat kita dikasih handuk panas, teh panas, dan camilan. Bisa jadi saya salah pilih panti pijat di Thailand, tapi dari cara dan efek pijatnya di 3 tempat itu, saya tetap lebih mencintai pijat tradisional Indonesia a la mbok-mbok.

Sialnya saat ini kata ‘pijat’ sering disalahartikan karena menjamurnya panti ‘pijat plus’, sampai-sampai para wanita untuk amannya harus pijat ke spa atau salon supaya tidak disangka macam-macam. Contohnya ketika saya diajak teman untuk pijat di Bandung dan Semarang. Masuklah kami ke bangunan besar dan bertingkat tapi remang-remang. Teman saya hanya terkekeh melihat saya yang curiga sementara teman-teman yang lelaki semua malah kegirangan. Benar saja, begitu masuk saya disodorkan album foto dan disuruh memilih cewek pemijat yang bernama modern: Mia, Lisa, Tia, Wanda, dan lain-lain. Lucunya, foto mbak-mbak ini niat dibuat di studio dengan memakai baju a la Cinderella (atau baju pengantin?) dan make-up yang tebal. Gayanya cuman dua, gaya jari telunjuk di pipi atau gaya pegang tanaman hias. Saya lalu bilang sama si reception, “Mbak, tolong carikan saya cewek yang paling tua dan paling jelek, tapi pijatannya paling keras.” Bukannya jahat, tapi saya percaya bahwa kecantikan tukang pijat itu berbanding terbalik dengan enaknya pijatan. Dan itu selalu terbukti.


Monday, January 02, 2006 

Jangan sirik dengan ransel saya

Mengapa disebut backpackers? Karena para traveler membawa ransel (backpack), bukannya koper (suitcase). Intinya, mereka menjelajah dunia dengan biaya yang terbatas. Bagi saya, ransel itu paling praktis untuk dibawa ke mana-mana. Karena digendong di punggung, tangan saya bebas memijit tombol, membayar sesuatu, menelepon sambil merokok, atau berkacak pinggang sambil mengupil (uh, nikmat). Kalau berdesak-desakan di dalam bis, saya bisa menyusup sambil ‘mengibaskan’ ransel saya supaya orang minggir. Kalau mau kejar-kejaran juga tidak masalah meskipun jalannya turun naik atau bergelombang. Ransel saya juga berfungsi sebagai alas duduk kalau capek, atau sebagai alas kepala kalau menginap di airport atau stasion kereta. Ransel saya juga tidak pernah protes kalau isinya kepenuhan, atau tertinggal di bagian Lost & Found - bahkan pernah hilang 3 hari karena tidak terbawa Royal Brunei.

Ransel yang masih saya pakai sampai sekarang dibeli tahun 1995 dengan merk Eiger seharga delapan puluh ribu rupiah di Matahari. Bentuknya ransel besar, terbagi dua kompartemen atas dan bawah, dan ada 2 kantong besar dan 2 kantong kecil di sisi kiri dan kanannya. Uniknya ransel saya itu ‘beranak-pinak’ - di bagian depannya ada ransel day-pack kecil dan di bagian atasnya tas pinggang kecil, keduanya bisa disambung dengan retsleting. Jadi saya tetap gaya traveling dengan tas-tas yang matching. Ransel warna biru ini sudah menjelajah belahan dunia bersama saya, mulai dari kemping, naik gunung, sampai backpacking ke luar negeri – tambah lagi ransel ini juga sering dipinjam teman-teman ke mana-mana. Jangan sirik dengan ransel saya ya?

Yang paling suka dari ransel ini karena ada retsletingnya. Saya tidak perlu repot mengubek-ngubek kalau ingin mengambil sesuatu di dalamnya, isinya tetap rapih. Bayangkan ransel yang biasa, bolongannya hanya satu di atas dengan tali serut. Begitu mau ambil sesuatu, kita harus mengeluarkan satu persatu isinya, apalagi kalau barang tersebut ada di bagian paling bawah. Belum lagi kalau ada pemeriksaan tas dimana harus dibuka dan dikeluarkan isinya satu per satu. Dari segi keamanan, ransel beretsleting juga lebih terjamin karena bisa digembok. Aman dimasukkan ke bagasi pesawat, aman kalau ditinggal di hostel.

Dengan membawa ransel, kita harus sudah siap travel light – membawa hanya secukupnya. ’Bahan dasar’ saya untuk 2 minggu bepergian adalah 5 kaos, 2 celana panjang, dan 1 celana pendek. Biasanya di hostel tersedia mesin cuci yang bisa dioperasikan dengan koin, atau kalau di negara Asia Tenggara kita bisa ke laundry yang dihitung per kiloan. Saya juga selalu membawa sabun cuci sachet untuk mencuci baju dalam. Tidak lupa bawa beberapa kantong plastik untuk memisahkan baju kotor, baju bersih, dan alas kaki. Kalau ditimbang, ransel saya dan seluruh isinya beratnya tidak lebih dari 10 kilogram kok, berat yang masih bisa ditolerir untuk dibawa di punggung sambil berlari-lari.

Kalau ada teman yang ingin ikut traveling dengan saya, selalu saya sarankan (lebih tepatnya, saya paksakan) untuk membawa ransel juga. Ketika saya mengatakan ‘ransel’ artinya membawa 1 (baca: satu) buah ransel biasa dan bukan merk terkenal. Pernah teman saya ‘menerjemahkannya’ dengan membawa 2 ransel karena dia belum tahu cara travel light. Saat check in di hostel, semua orang memelototinya, bahkan si recepcionist menyindir, “Hi superstar with 2 backpacks!” Males kan? Atau teman saya yang lain yang membawa ransel tapi bermerk Louis Vuitton seharga 15 juta. Ha! Siapa yang berani jamin tidak hilang diembat? Sedangkan ransel ‘biasa’ maksudnya ransel yang digendong di punggung, bukan ransel yang ada roda dan bisa dislorok. Di hostel sindirannya lebih gawat, “Something wrong with your back?”. Pokoknya pembawa ransel diasosiasikan sebagai orang yang ‘miskin, muda, dan kuat’. Namun dengan asosiasi seperti itu, parahnya kita bisa dilecehkan saat masuk ke hotel bagus atau restoran mahal. Kelihatan sekali wajah petugas concierge yang menyeringai dan mengangkatnya dengan jijik. Atau wajah para waiters yang seakan-akan berkata ‘kuat ngga lu bayar makanan kita?’. Huh, sini ane bayar!


No Nudity Here!

  • naked: devoid of concealment or disguise
  • Pronunciation: 'nA-k&d, esp Southern 'ne-k&d
  • (From Merriam-Webster Online)

Who's Naked?

    Hi, I am Trinity, an ordinary woman in Jakarta who loves traveling. This is my journal and thoughts collected from my trips around the globe and across my lovely country, Indonesia.
    E-mail me at naked.traveler@gmail.com

    Keep informed on The Naked Traveler news and events, add me as your friend at:
    Profil Facebook Trinity Traveler
    Share your travel stories or get info from the real travelers here

    Subscribe to nakedtraveler

    Powered by us.groups.yahoo.com

    You are naked number .

Naked Me More

     
    Web
    The Naked Traveler

Naked Book

    Get "The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)" book now in your nearest book stores! Bondan Winarno said,"...memikat. Ada kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, tidak hanya yang dilihat..."
    For more info, please click here.

NakedShout

Kinda Cool Links


    Lowongan Kerja Minyak dan Gas

Powered for Blogger
by Blogger Templates